11 Desember 2009

NGAPAK-TAINMENT, WAJAH BARU BAHASA BANYUMASAN


Ada resah dalam diri penulis novel dan budayawan asal Banyumas, Ahmad Tohari. Keresahan yang dialami beberapa tahun belakangan ini saat melihat keluarga muda di Purwokerto, Jawa Tengah, mulai enggan menggunakan dan mengajarkan bahasa Jawa dialek Banyumsan yang ngapak-ngapak.

Keresahan itu memang cukup beralasan mengingat saat ini, penggunaan bahasa Banyumasan kurang menemukan gregetnya. Para keluarga muda lebih senang mengajarkan bahasa Indonesia atau bahasa Jawa mbadhek kepada anak-anaknya. Sebab, menurut mereka, menggunakan bahasa Banyumasan identik dengan bahasa pelawak atau babu yang terdengar kasar di telinga dan tidak sopan dalam pergaulan.

Ngapak-tainment

Dalam bukunya Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak, Budiono Herusatoto mengatakan bahwa bahasa ngapak adalah istilah bahasa Jawa Banyumasan yang dilangsir oleh para priyayi wetanan yang berbahasa Jawa mbandhek.

Penggunaan bahasa dialek ini meliputi wilayah Kabupaten Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Tegal, Brebes, Pemalang, bagian barat Kebumen, dan bagian timur dan pesisir Cirebon (Indramayu).

Berbeda dengan penggunaan bahasa Banyumas di masyarakat terutama di keluarga-keluarga muda, penggunaan bahasa Banyumas di dunia intertainment akhir-akhir lebih banyak terdengar di telinga kita.
Penggunaan bahasa ngapak telah merambah ke berbagai macam segi industri hiburan yang lebih kreatif seperti musik, siaran radio, teater dan film. Selain itu juga merambah ke dunia fashion dan seluler.

Di industri musik misalnya, muncul nama Sopsan dan Bije Patik sebagai group musik yang mengusung lokalitas bahasa Banyumasan dengan memadukan genre musik yang bermacam seperti melayu, arabian, oriental, latin, dangdut, reggae, hingga rock n roll. Di industri film, bahasa Banyumas tidak dapat dianggap sebelah mata dengan ikut sertanya film dokumenter ”Metu Getih” dalam European Film Festival 2007 dan PPIA Converence: The Voice of the Future Leader Victoria University 2008.

Lalu di dunia teater, sering dipertunjukkannya pementasan teater yang mengangkat warna lokal Banyumasan seperti oleh kelompok teater Teksas, Tubuh, dan Janur. Sedang di munculnya kaos oblong “Bawor” dan “Dablongan” di dunia fashion mengidentikan jati diri Banyumas seperti Yogyakarta dengan Dagadu-nya atau Bali dengan Joger-nya. Di dunia seluler pun bahasa ngapak mulai digunakan dalam pengoperasian handphone seperti ”busek” menggantikan ”delete”.

Dan yang paling fenomenal adalah munculnya acara siara radio bertajuk “Curahan Hati dan Humor” (Curanmor) di sebuah radio swasta di Cilacap. Acara tersebut telah menjadi menu wajib yang harus didengarkan oleh telinga masyarakat Cilacap dan sekitarnya. Bahkan rekaman acara tersebut sudah menjelajah ke berbagai kota hingga luar negeri dengan cara diunduh lewat internet.

Semiotika Perlawanan
Bahasa adalah sebuah institusi sosial yang bersifat dinamis. Dia tidak statis. Dia selalu berkembang mengikuti keadaan sosial masyarakatnya. Demikian juga halnya dengan bahasa Banyumasan. Dia mengikuti perkembangan penggunanya sesuai dengan kreativitas pengguna tersebut.

Dalam bukunya Teori Semiotika, Umberto Eco menyebutkan bahwa tanda berada diantara beberapa peristiwa, daya cipta sebuah tanda yang dimungkinkan oleh kode-kode menghendaki peristiwa baru tersebut bisa dinamai atau digambarkan. (2009: 237).

Munculnya fenomena ngapak-tainment merupakan sebuah tanda perlawanan dari masyarakat Banyumas terhadap tafsir budaya yang dahulu di bawah keraton yang menjajah bahasa Banyumas sebagai bahasa kelas dua hingga bahasa Banyumas memiliki posisi yang setara dengan bahasa yang diusung keraton. Perlawanan tersebut ditandai dengan munculnya bentuk kreativitas masyarakat Banyumas yang mengangkat nilai-nilai kearifan lokal yang cablaka dalam wajah dan warna baru.
Selain itu, lahirnya wajah baru bahasa ngapak merupakan bagian dari proses pencarian kembali jati dri masyarakat yang mulai kehilangan identitasny terutama bagi golongan muda.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa lahirnya ngapak-tainment berkaitan erat dengan motif ekonomi. Sebagian besar, bentuk dari kreativitas tersebut merupakan bagian dari strategi dalam memasuki budaya massa. Akan tetapi hal itu tidaklah berarti bahwa budaya Banyumas terancam oleh komersialisasi. Justru strategi yang diterapkan tersebut lebih menguntungkan bagi kelestarian kebudayaan Banyumas itu sendiri. Budaya Banyumas akan lebih mudah diterima oleh masyarakat karena itulah sebenarnya jati diri mereka.

Dengan adanya fenomena seperti ini, budaya Banyumas semakin menemukan eksistensinya sebagai budaya yang adi luhung. Dan keresahan Ahmad Tohari dapat terobati.Klilan

Dimuat di Kompas Jateng, Selasa 8 Desember 2009

18 Juli 2009

MENYOAL (KEMBALI) PENGADILAN PUISI PENYAIR BANYUMAS

Beberapa waktu lalu, saya pernah menulis dengan judul Nasib Pengadilan Puisi Penyair Banyumas Kini yang dimuat di Kedaulatan Rakyat (25/2 /2007). Dalm tulisan itu, saya bercerita tentang pengadilan puisi yang diadakan oleh Ansor Basuki Balasikh di Cilacap dan Abdul Wachid B.S. di Purwokerto, tepatnya di kampus Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) dan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Purwokerto. Keduanya kegiatan itu hanya berlangsung dalam hitungan jari saja yang akhirnya hilang tak terjejak. Lalu, tulisan saya tersebut saya akhiri dengan sebuah pertanyaan yang cukup panjang yaitu: Akankah pengadilan puisi penyair Banyumas (PPPB) akan ada lagi dan akan bernasib sama seperti pendahulunya?

Maka dalam kesempatan kali ini, saya akan menjawab pertanyaan yang sempat saya lontarkan di atas.

Setelah PPPB terakhir di kampus STAIN Purwokerto yang bernasib cukup tragis, kurang lebih enam bulan berselang, beberapa kawan-kawan muda yang notabene mahasiswa Jurusan Ilmu Budaya (pada waktu itu masih bernama Program Sarjana Bahasa dan Sastra) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto yaitu Braja Eka Bayu Permana, Rahayu Puji Utami, Ryan Rachman, dan Bayu Indra Kusuma membentuk sebuah komunitas di sebuah kontrakan di bilangan Jl. Gunung Slamet Gg. Flamboyan No. 11 Grendeng Purwokerto yang diberi nama Sanggar Sastra Wedang Kendhi (SSWK).

Pada pertama kali pengenalan keberadaannya, SSWK mengadakan acara yang mirip dengan pengadilan puisi. Acara tersebut diberi nama Ngobrol Bareng Sastra atau yang sering disebut Ngobras. Pada awalnya, acara Ngobras tersebut hampir sama dengan pengadilan puisi yang dilakukan oleh Persada Studi Klub (PSK) atau PPPB dahulu. Hanya yang membedakan adalah, dalam acara tersebut, yang diadili, dibahas, dan didiskusikan tidak hanya puisi saja. Akan tetapi segala sesuatu yang berhubungan dengan sastra seperti cerpen, novel, kondisi dan perkembangan sastra di Banyumas pada khususnya dan Indonesia pada umumnya, serta karya-karya para penulis Banyumas yang muncul di surat kabar.

Pada awalnya memang acara Ngobras hanya dilakukan oleh SSWK, akan tetapi pada perkembangannya, kawan-kawan SSWK mengajak beberapa komunitas sastra yang ada di Purwokerto untuk ikut bergabung dengan acara Ngobras tersebut. Ada dua komunitas yang ikut bergabung yaitu Komunitas Sastra Alam (SALAM) yang dipunggawai oleh Dwiana Jati Setiaji, Bayu Murdiyanto, Agus Salim, dan Tri Januri dan Komunitas Hujan Tak Kunjung Padam (HTKP) yang digawangi oleh Muhammad Ayatullah, Aliv V Essesi, Agustav Triyono, Yudhistira Jati dan Ari Purnomo. Di luar komunitas itu juga tercatat dari perorangan yang tidak tergabung dalam komunitas yaitu Teguh Sucianto, Isno Wardoyo, Taufani, Lin Mursal, Vandi Romadhon dan Nofiq Amrullah.

Dan dari bergabungnya beberapa komunitas dan orang-orang tersebut di atas, tak pelak acara Nobras menjadi semakin berkembang dengan tema dan bahan perbicangan yang beragama. Selain sastra, mereka juga mendiskusikan berbagai permasalahan budaya terutama yang ada di Banyumas seperti teater, kesenian tradisonal dan sejenisnya.
Kembali ke awal, Ngobras dilakukan seminggu sekali pada malam Kamis dengan tempat berpindah-pindah. Dari markas SSWK, Salam, HTKP, hingga tempat-tempat lain seperti di kompleks stasiun kereta api, kampus, angkringan, hingga tepi jalan dan tepi sungai sambil disambi mancing hingga berlangsung dua tahun lebih.

Karena sebagian besar anggota Ngobras juga berprofesi sebagai pekerja teater, maka dalam perkembangannya, Ngobras berlangsung satu bulan sekali dengan alasan kesibukan masing-masing peserta seperti persiapan pementasan. Berubahnya waktu menghasilkan sebuah konsekuensi dari para anggotanya bahwa Ngobras yang berjalan satu bulan sekali haruslah benar-benar dijadikan sebagai kegiatan yang tidak hanya berguna bagi peserta Ngobras saja, akan tetapi juga berguna bagi khalayak yang notabene bukan anggota Ngobras. Akhirnya Ngobras pun berubah menjadi acara sastra yang bersifat lebih besar.

Beberapa waktu lalu, Ngobras menghadirkan cerpenis Dwicipta untuk berbicara seputar proses kreatif menulis cerpen kepada kawan-kawan anggota Ngobras dan diluar anggota Ngobras. Pada bulan ini, Ngobras mengadakan diskusi sastra dengan tema Sastra Yang Memasyarakat yang menghadirkan pembicara Badrudin Emce, Drs. Heri Pratiknyo MSc dan Taufani yang dihadiri oleh seluruh lapisan masyarakat, dari sastrawan, pekerja teater, seniman, guru, dosen, mahasiswa, hingga tukang becak dan pedagang asongan.
Dan kedepannya, Ngobras diharapkan sebagi salah satu barometer dalam kegiatan bersastra di Banyumas dan dijadikan sebagai tempat untuk berkumpulnya para sastrawan, tidak hanya dari Banyumas saja namun juga dari berbagai kota di luar Banyumas.

Selain SSWK dan bala kurawanya, kegiatan yang serupa dengan pengadilan puisi juga dilakukan oleh beberapa komunitas lain. Komunitas Sastra Bunga Pustaka (Bupus) yang dimotori oleh Restu Kurniawan, Yosi M. Giri, Asrul Tonirio, Yudhiono Aprianto mengadakan acara bedah karya terutama puisi dari setiap anggotanya yang jumlahnya lebih dari tiga puluh orang ini.

Sedangkan komunitas Beranda Peradaban yang digawangi oleh M. Aziz Rayid, Teguh Trianton, Arif Hidayat dan Ibrahim Barsilai Jami ini mengadakan bedah puisi setiap hari Kamis malam di sebuah warung angkringan. Karya-karya yang dibedah dan didiskusikan oleh komunitas ini adalah karya-karya para sastrawan Banyumas yang sudah lama malang melintang di jagad kesusastraan maupun mereka yang baru saja ikut menceburkan diri.

Kembali ke pertanyaan saya di atas, dari beberapa gambaran yang saya uraikan di atas dapat disimpulkan bahwa PPPB sudah hadir kembali dengan berbagai macam pengembangan dan format baru yang lebih menarik dan mengasyikan. Dan saya rasa bahwa kegiatan semacam itu tidak akan berakhir tragis seperti para pendahulunya sebab para pegiat sastra generasi baru di Banyumas sudah merasakan bahwa mereka membutuhkan dan dibutuhkan oleh Banyumas sebagai ujung tombak sastra Banyumas.

Klilan.

Tulisan ini dimuat di Radar Banyumas, Minggu, 12 Juli 2009

02 Juli 2009

TIGA PULUH PLUS SATU SAJAK UNTUK RAHAYU PUJI UTAMI, PEREMPUAN YANG DIMATAKU SANGAT CANTIK SEKALI


I
aku kirim helai-helai degub jantungku lewat gemerisik ilalang bersama sinyal-sinyal rindu biru, peluk jingga, dan kecup ungu ke bilik hatimu sebagai lagu ninabobomu duhai dinda kecilku

II
lalu bayangku kan bawa kau terbang lewati laut salju yang hangat ke ujung malam
dan bila tlah di ujung langit bayangku kan melepasmu dan mambiarkan kau jatuh di kamarku tepat di dekapan hangatku

III
ku ikhlaskan bila nyamuk-nyamuk yang menusukkan ciuman-ciuman maut di tubuhku ini malam adalah kau

IV
bila ilalang berbisik lewat rinai angin tengah malam
kan kutitipkan rembulan dini hari ke ujung-ujung mimpimu malam ini
mataku seperti mata kucing yang lapar akan kisah jinggamu
ini malam langit dipenuhi dengan wajahmu
udara dipenuhi nafasmu yang beraroma rindu
merasuk dalam nadi dan mengendap dalam jiwaku
adalah aku yang selalu lapar dengan cinta dan kasihmu

V
dengan hormat, izinkan ku bertandang ke kotak mimpimu malam ini dan malam-malam berikutnya
atas terbukanya hatimu maka ku haturkan sejuta cinta

VI
aku tak bisa mencuri kata dalam almanak jarum jam yang berdenyut untuk ditukar dengan segenggam rindu yang merona di desah nafasmu yang terus memburu awan tengah malam dalam setiap ruang cintaku

VII
anyelirku
kutunggu wajahmu dalam layar handphoneku
lama kutunggu hinga rembulan mbeku
namun matamu tak kunjung menghampiri
membawa sekuntum pilu dalam kalbu yang biru merindu

VIII
Maka ku ziarahi warnamu yang semerbak mengiris bunga purnama

IX
Kau bercerita tentang laki-laki berkepala kijang yang berlari mengejar anak panah yang lepas dari gendewa Sri Rama
Laki-laki itu selalu datang dalam kepalamu mengutuk pintamu kepada Sri Rama tempo lalu:
Sepatu hak tinggi dari kulit kijang

X
Kau mendongak ke pintu langit
Menatapnya lekat
Matahari rompal separuh!

XI
Kugunting udara menjadi ribuan orakel
Kutempel perca demi perca di atas meja makan malam
Dan pada lembar terakhir menjelma wajahmu
Membayang di dalam semangkok sup yang asapnya mengebul

XII
Seperti ikan
Kau berenang di kolam darahku

XIII
Ting…ting…ting…
Suara gelang tanganmu mengingatkanku pada rumah
Rumah yang menyala
Terbakar asmara
Cinta!

XIV
Aku menelponmu pagi-pagi sekali sayang, tapi tak ada nafasmu merangsek ke telingaku
Hanya tut…tut…tut… di ujung telepon seperti kereta api yang keluar dari mulut anak-anak playgroup di depan kelas
Bernyanyi sambil menggoyang pantat tipisnya

XV
Aku menyukai malam
Karena saat matahari terlelap kau kan datang menjengukku
Membawa secangkir cofeemix hangat dan sayap serangga malam

XVI
Sungguh nikmat
Menikmati kedua bongkah pipimu
Empuk seperti roti yang dijual keliling perumahan setiap pagi menjelang siang

XVII
Aku seekor lintah!
Kusedot dan kusedot cintamu hingga yang paling penghabisan
Lalu kubiarkan kau mati di ujung bibirku

XVIII
Di dalam bokor tubuhku tumbuh anyelir tak terkira wanginya
Setiap pagi kau kan mendapat bunga cinta itu di depan pintu bertuliskan namaku di kelopaknya
Meski tanpa pita di tangkainya

XIX
Tubuhmu hijau menyegarkan
Aku senang sekali bermain sepakbola di atas tubuhmu
Bola yang menyala hijau pula
Tapi anggin bukanlah wasit yang baik
Meniup peluit sesuka hati
Hingga tiupan terakhir berbuah pinalti
Gol !!!
Bola kumasukkan ke dalaman jiwamu

XX
Di pintumu
Kunci rumah kugantungkan
Di jendelamu
Aku bersekutu dengan embun

XXI
Maka biarkan aku mencintaimu melebihi cintamu padaku
Meski kau tak pernah kuberitahu besar cintaku padamu
Lebih besar dari jejak bibirmu di pipiku yang kau lesapkan setiap waktu berseru

XXII
Maka dalam setiap puisi yang terjejak
Di setiap mimpi dan nyata
Adalah kau yang mengiang di pelupuk mata

XXIII
Akulah ombak yang selalu rindu memeluk pantaimu
Akulah buih yang selalu rindu merasup pasir desirmu
Tenggelamlah kau di lautku!

XXIV
Aku menjelma matari
Masuk ke kamarmu lewat jendela tanpa kacamu
Perlahan tangan-tangan guritaku memeluk tubuhmu mengalirkan kehangatan
Dan bibir jinggaku serta merta merangsek ke dalaman bibirmu
O puan bermahkota sayang

XXV
Hujan yang rebah di gerai rambutmu semalam
Membawa kado berikat pita merah jambu berisi gelayut rindu

XXVI
Lalalala
Menari ku di ujung rindu
Lalalala
Nunggu kasihku melukis kalbu

XXVII
Jika kau adalah bintang yang berpendar itu, akulah ribuan bintang yang bersemayam di sekelilingmu, maka hanya wajahkulah yang selalu kau tatap kemanapun matamu berkelana

XXVIII
Lalu mengapa wajahmu selalu mengalir dalam jiwaku, meski tlah kutampung dalam ribuan botol rindu dalam gelas-gelas rindu, dalam bejana-bejana rindu, dalam cawan-cawan rindu?

XXIX
Oh sungguh aku kan menjadi manusia yang diperbudak asmara

XXX
Bukankah pipi yang merona di ufuk mimpi malam tadi adalah milikmu?
Bukankah bibir yang menyimpul di pelataran mata pagi tadi adalah milikmu?
Ternyata aku tak dapat melepasmu meski se-crit saja, meski se-tul saja

XXX+I
Tak habis-habisnya puisi yang kutulis tentang kau
Setelah bait ini akan tumbuh gelombang kata-kata dari setiap jengkal langit di ujung rambut ikalmu
Bergemuruh mengalun dan berpendar menjadi buih

15 Juni 2009

PUISIKU DI KORAN SINDO

Minggu, 14 Juni yang lalu, enam buah puisiku muncul di Koran Sindo
Puisinya sebagai berikut:

AKU PUN PULANG

Aku pun pulang
Berkendara malam dan deru aspal beku
Pulang menjemput rindu
Pada aroma bunga yang ditanam ibu di depan rumah
Pada bisik pasir yang diramu bapak menjadi istana
Pada lengking yang tersiar dari bibir adik-adikku

Dan aku pulang
Sebab aku hampir lupa
Bagaimana cara melelapkan mata pada kasur busa
Dan malam semakin basah

Sumpyuh, November 2008

LAMGIT MALAM

Langit tetaplah langit
Dia menyimpan sejuta rahasia
di laci-lacinya
Tumbuh beribu pohon penuh terka

Dan aku tetaplah di sini
Ryan kecil tanpa laku
Mendongak menebabg langit
Bersama malam menempuh waktu
Mati dalam kutuk batu

Sanggar Sastra Wedang Kendhi, September 2008


DAUN EUPHORBIA

Aku datang pagi ini
membawa daun Euphorbia
Berwarna cinta
Yang kupetik dari daun langit

Kupetik pintu dan jendela hatimu
Hati merahmu
Semerah dau euphorbiaku

"Kenapa tak kau bawa bunga yang merah?"

Karena daun
Yang menghidupkan bunga

Purwokerto, Juli 2008

LENCANA


Memetik nafas hijaumu
Di antara puisng-puing wangi bulan sabit
Seperti menyemat lencana matari emas
Di dada tanpa rongga

Berpijar!
Nafasmu pijar

Purwokerto, Februari 2008

ATHURIUM

Kekasih
aku meminangmu
menjadi sigaraning nyawaku
dengan anthurium jemanii katalog indukan
sebagai mas kawinnya

Purwokerto, Juli 2008

KEPADA SETIAP KAPAL

Kepada setiap kapal
Yang bertolak dari pelabuhan ini
Di mataku
Selalu ada puluhan malaikat mengiring di geladak
Memberi rasa percaya pada pundak nahkoda
Menggendong jiwa-jiwa bertandang ke haribaan ibunda

Namun ada puluhan banaspati
Membayang di buritan
Menyulap angin menjadi badai
Menjelma ombak menjadi monster raksasa
Mengoleng kapal
Membuta nahkoda

Kepada setiap kapal
Yang bertolak dari pelabukan ini
Dalam laut dapat diduga
Isi laut siapa terka
Ikan bisa menjelma gurita raksasa
Buih bisa menjelma pusar air mata

Seperti hutan,
Laut adalah belantara tak bertuan
Penuh tanda Tanya
Kita bisa berburu lumba-lumba
Melihatnya menari di atas karpet air
Namun bilamana
Hiu pun tak segan mengaum
Melontarkan gigi-gigi pisaunya

Kepada setiap kapal
Yang bertolak dari pelabuhan ini
Maka segera bersurat
Bila sauh tlah kau unduh

Purwokerto-Kebumen, September 2008


Selamat, selamat sekali lagi selamat

13 Juni 2009

MGOBRAS BULAN JUNI

09 Juni 2009

MEMBACA MALAM


Membaca malam tanpa bintang yang berenang di laut ilalang dini hari. Batu-batu yang beku terbunuh sunyi. Daun-daun menguning kering jatuh perlahan bergoyang tanpa angin yang menyalak. Tanah yang lemban mengatupkan kelopaknya

Membaca malam tanpa dednyut waktu yang mengerang. Perawan tua menyelam di sungai mimpi di atas tubuh keringnya. Adalah momentum sunyi bagi jiwanya yang telah letih oleh segala peluh dunia siang

Membaca malam dalam seribu sepi yang membakar degub langit. Penyair tua bergetar jiwa binalnya. Memungut memoria lalu yang tercecer di ujung-ujung jarum jam yang menggantung di dadanya. Merunut futura yang menempel di setiap lembar cakrawala yang menganga di kotak-kotak zenit. Seperti pendulum tukang sulap, berpusing tak pernah jera. Membongkar wajah dan mata maya

Membaca malam di wajah bumi. Malam tak akan mati

Sanggar Sastra Wedang Kendhi, September 2007

KEPADA SETIAP KAPAL


Kepada setiap kapal
Yang bertolak dari pelabuhan ini
Di mataku
Selalu ada puluhan malaikat mengiring di geladak
Memberi rasa percaya pada pundak nahkoda
Menggendong jiwa-jiwa bertandang ke haribaan ibunda

Namun ada puluhan banaspati
Membayang di buritan
Menyulap angin menjadi badai
Menjelma ombak menjadi monster raksasa
Mengoleng kapal
Membuta nahkoda

Kepada setiap kapal
Yang bertolak dari pelabukan ini
Dalam laut dapat diduga
Isi laut siapa terka
Ikan bisa menjelma gurita raksasa
Buih bisa menjelma pusar air mata

Seperti hutan,
Laut adalah belantara tak bertuan
Penuh tanda Tanya
Kita bisa berburu lumba-lumba
Melihatnya menari di atas karpet air
Namun bilamana
Hiu pun tak segan mengaum
Melontarkan gigi-gigi pisaunya

Kepada setiap kapal
Yang bertolak dari pelabuhan ini
Maka segera bersurat
Bila sauh tlah kau unduh

Purwokerto-Kebumen, September 2008

KAMBOJA


-Edi Romadon

bukankah ia akan selalu berguguran menimbun tanah basah
di pelataran rumah? berguguran seperti sayap laron-laron yang tak
mampu menahan panas lampu penerang jalan raya
di awal musim hujan. di pelataran rumah. rumah tanpa jendela kaca
atau ventilasi untuk sirkulasi. rumah masa depan. rumahku,
rumahmu, rumah kalian, rumah kita

dia akan selalu berguguran. menebar aroma kematian yang amboi
seramnya, yang amboi cekamnya. aroma kematian pada jiwa-jiwa yang
tak kutahu rimbanya. seperti angin yang berkelana tak tentu mata angin

dan kita hanya bias merangkai kamboja yang berguguran menjadi origami
doa dan doa, supaya aroma kematian yang menakutkan itu berganti
wajah menjadi aroma kematian yang amboi asyiknya, yang duhai
nikmatnya. yang ah lembutnya. seasyik permainan playstation, senikmat
matahari, selembut kue bolu kukus. seindah kematian

Purwokerto, Mei 2009

SENJA ITU DITERKAM BELUKAR


Berikan aku senja yang tembaga, Ryan

Kau selalu saja berpikir bahwa hanya senja yang penuh warna
Hanya senja yang membuat tinta beranak pinak menjadi ribuan puisi

Dimas, aku benci pada senja!
Dia datang menjemputku dari rumah penuh bunga bernama:
siang
Dia pergi mengantarkanku pada tajam langit malam

Aku benci pada senja, Dimas
Dia menggiringku pada warna kematian yang menyekik di batang jiwaku

Berikan aku senja yang tembaga, Ryan!

Ah, Dimas
Kau memang keras kepala!

Purwokerto, Juni 2009

SENJA YANG SEPERTI INI DATANG LAGI


senja yang seperti ini datang lagi
sama seperti tempo lalu

dia membawa sayap-sayap bangau
kembali ke rumah kecilnya
di ujung pohon ketapang belakang rumah
dia membawa angin
terbirit menjauh pulang
ke peluk tangan ibunya

senja yang sama
dia membawa kita pada cemas malam

Purwokerto, Juni 2009

01 Juni 2009

KASUR


lalu kuletakkan tubuh kayuku di atas kasur ini. kasur merah
bata berisi kapuk randu. bukan busa. kasur yang jarang sekali mengenyam
sengat matahari dan embus angin. tubuhku serta merta tenggelam dalam kubur tanpa liang. kasur memakanku hidup-hidup. membunuh tapi tak mematikan. aku
berenang di sungai yang (aku rasa hanya mengalir) pada setiap musim kawin. airnya bergerak serempak seperti mata kucing yang berlari terbirit dikejar tikus yang besar sekali. sungai yang kerontang ketika bulan sabit menyelinap dan memapas tangkai
daun pisang di sepanjang tepiannya. sungai yang membuat jalur lurus seperti motif garis pada sprei pembalut kasur yang bermotif garis pula. dan karena aku tak bisa
berenang, maka tubuh kayuku pun hanyut mengikuti garis lurus sungai. sesekali tubuhku ditandu oleh ribuan kepiting bercapit catut. sesekali tubuhku terantuk batu sebesar gajah berwarna hitam yang jongkok mengintip udang kawin di dasar sungai. aku hanyut. nurut. kadang aku tak habis pikir. mengapa ada sungai di kasurku? apakah aku bermimpi? sedangkan kasurku beserta bantal-bantalnya, spreinya, gulingnya, kapuknya, selimutnya tak pernah membuatku tidur. aku tak pernah tidur. berpikir. berpikir! berpikirlah! aku
pun memutar otak. berpikir. seperti para filsuf berkepala botak, berjanggut dan berkumis tebal menjuntai langit serta berkacamata jengkol. tidak mempercayai apa yang kusaksikan. aku berpikir mencari kebenaran hakiki tentang sungai dalam kasurku. apakah ada mata air yang menyembur? tapi menyembur di mana? sedangkan di kasurku tak tumbuh gunung. aku pun hanyut dalam pikirku. seperti hanyut dalam sungai kasur. hanyut tanpa sampan, tanpa kayuh, tanpa layar. hingga kudapati muara yang menjadi jembatan antara sungai dan laut. laut? bukan laut. tepatnya lautan. kubiarkan tubuh sampanku tersedot gelombang lautan. gelombang lautan yang berwarna merah bata bermotif garis seperti kasurku. dan aku berlayar tanpa nahkoda, tanpa peta, tanpa kompas di tengah lautan kasur

Sanggar Sastra Wedang Kendhi, Mei 2009

PUAN YANG SELALU MENGEMAS AIR MATA

puan siapa yang tak menanggung duka
bila waktu mencuri tuannya dalam medio tak terjumlah?

aku menemukan berpucuk-pucuk rindu di kotak surat oranye di beranda kepalaku bertuliskan namamu, dinda: puan yang selalu mengemas air mata dari kali pertama perpisahan hingga nanti persuaan. air mata yang dikirim oleh bisik tanah rekah dimana kaki ku pijak. oleh bisik mendung yang menggantung dimana kepalaku berpayung

puan mana yang tak selalu mengurai isak
bila kilometer menutup matanya untuk menatap tuannya?

Kebumen, Oktober 2008

PEREMPUAN BERKERUDUNG EMBUN YANG SELALU MENEBAR AROMA RINDU



dari kristal matamu
menetes rindu tak terperi

rindu padaku
rindu padaku

Purwokerto, Mei 2009

KUTEMUKAN JALAN PULANG

akhirnya kutemukan juga jalan pulang. setelah kaki berpusing menapaki hingga ujung aspal pekat didih ditelan matahari. setelah tertegun pada suatu pertigaan tanpa papan penunjuk arah. terpancang batin menimang kanan kiri yang hendak ku arung. mengingat kali pertama jalan pertama kali kurunut ketika ku pergi bertolak ke rimba peradaban. jalan tanpa aspal yang lebih menyerupai ungai kering kala kemarau meregang. penuh batu, pasir, tanah, dan deretan ilalang dan rumput akering kuning kecoklatan

akhirnya kutemukan jalan menuju nol kilometer tempat kali pertama aku menulis puisi tentang masa depan dan anak-anak

Kebumen , Oktober 2008

23 April 2009

NGOBRAS (Ngobrol Bareng Sastra)

13 April 2009

KALENDER


Sudah kau hitung berepa banyak angka yang tergantung di kalender itu? banyak. Di setiap angka ada tanda dimana kita harus mengeja masa. Membaca sejarah yang berlalu tinggalkan tanya. Merasakan hadiah yang terhidang di sekitar tubuh kita. Serta menterjemah misteri yang selalu menghantu di setiap jalan tanpa terka di depan mata.

Sanggar Sastra Wedang Kendhi, November 2008

KUPU-KUPU


Mata redupmu seketika menjelma kupu-kupu warna-warni
Mengepak sayap tipis mengibas angin lembut tengah malam
Menyelam di pelataran mimpi rerumputan

Lalu dari jendela mataku
Tumbuh pohon bunga menebar aroma warna
Dengan pikat maka kau kujerat
Dalam sari kembang yang melajang sayang
Dan kelopak-kelopak adalah selimut jerat lekat
Agar kaki-kakimu tak dapat kemana tempat

Maka biarlah tubuhmu terbang di tumpukkan kembang sari yang empuk
Bersamaku mentasbih malam hingga lekang

Aku bunga
Kau kupu-kupu
Kita bulan madu

Purwokerto, Februari 2008

MASIH KUCIUM AROMA TEH YANG KAU SEDUH


Pagi ini pun kau bangunkan aku dengan aroma melati yang mengembang dari teh yang kau seduh dalam cangkir putih bergambar lelaki kekar bertubuh kuda kedua tangannya memegang busur panah dan bertuliskan Sagitarius.

“Mas, bangun, tehnnya diminum dulu, nanti keburu dingin,” ucapmu sambil menarik kain korden dan membuka jendela di sebelah timur ranjang.

Akhir-akhir ini kau bertingkah cukup aneh. Perlakuanmu kepadaku setiap pagi berbeda dengan beberapa waktu lalu. Tidak seperti biasanya kau melakukan hal seperti itu. Praktis setelah kepulanganku dari Tokyo.

Memang dulu kau selalu membangunkanku dengan bisikan lembut bibirmu di telingaku. Tapi tidak akhir-akhir ini. Bisikan lembut itu bercampur dengan aroma teh yang kau seduh. Teh yang kau seduh itu lalu kau letakkan di atas meja kecil di samping kanan ranjang tempat kita menjemput mimpi-mimpi malam. Dan ketika mataku terbuka kudapati kau sedang tersenyum lebar hingga gigimu yang seperti biji mentimun itu terlihat mengintip dari balik bibirmu yang tidak terlalu tebal. Dan aroma teh yang kau seduh itu segera mengembang ke dalam liang hidungku yang sedikit mancung dan merasuk ke dalam paru-paru.

Setiap pagi kau selalu menyeduhkanku teh. Tidak selalu sama setiapa harinya. Kadang teh merah, kadang teh hijau, kadang teh hitam.

“Kau hamil?” tanyaku suatu waktu.

Kau hanya tersenyum renyah lalu menghampiriku dan melumat bibirku yang tebal. Setelah beberapa detik kau berhenti menciumku. “Tidak,” jawaban singkat keluar dari bibir tipismu. Lalu kau lanjutkan lagi aktivitasmu yang sempat terhenti. Melumat bibirku hingga habis.

Pernah kutanyakan mengapa kau membangunkanku dengan teh setiap pagi.

“Di dalam teh itu mengandung zat yang berfungsi sebagai anti oksidan yang menangkal radikal bebas. Jadi jika kita minum teh setiap pagi, tubuh kita akan menjadi sehat dan segar.”begitu jawabmu seperti ucapan pak Narto, guru biologi waktu SMA dulu.
Aku pun bertambah curiga kepadamu. Jangan-jangan, waktu aku di Jepang, kau… atau kau….

Tetapi aku harus curiga apa? Aku tahu, kau adalah perempuan paling setia di bumi ini. Tak pernah mendua. Seperti awan kepada hujan, itulah kau. Kau rela apapun demiku. Bahkan mati sekalipun kau rela. Kecurigaanku kepadamu sangat tidak masuk akal, apapun alasannya. Karena aku tahu. Sekali lagi, kau seperti rumput mahluk setia.
Dan waktupun berlari. Aku pun membuang perasaan itu. membuang jauh-jauh. Menghanyutkannya di sungai yang lewat di kota kecil ini. Membiarkannya pergi ke laut lepas. Dan perlahan, aku pun menikmati apa yang kau lakukan padaku. Menerima dalam hati sesuatu yang baru darimu. Membangunkanku dengan bisikan lembut disertai aroma teh yang kau seduh yang kau letakkan di meja kecil di samping tempat tidur.

Aku pun bangkit dari ranjang yang tidak terlalu besar. Kuraih cangkir teh yang kau seduh lalu ku arahkan ke bibirku. Ku seruput perlahan dan menelannya hingga tersisa separuh. Lalu memandangmu membuka kain korden dan membuka daun jendela. Dan wajahmu seketika menjadi cantik luar biasa. Tersapu matahari pagi.

Memang. Berbeda dengan teh yang sering aku minum di warung-warung makan. Setiap teh yang kau seduh selalu nikmat. Apapun jenisnya, apapun merknya. Tapi aku lebih suka teh hitam yang beraroma melati itu. Teh yang sering kau beli di minimarket yang letaknya tak jauh dari rumah kita. Teh hasil pabrikan kota Bogor, katamu. Aroma melatinya lebih terasa dibanding dengan yang lain. Dan aku tidak suka teh celup. Aku lebih suka teh tubruk yang di saring. Resa tehnya berbeda dengan teh celup.
***

“Kapan kau kan kembali?” tanyamu.

“Ah, tunggulah barang sebentar,” sahutku.

“Iya, tapi aku butuh kepastian.”

“Kira-kira tiga belas purnama lagi, aku sudah berada di samping tidurmu. Membangunkanmu dengan ciuman terdahsyat yang kumiliki.”

“Ah, dasar penyair palsu!” katamu sambil tertawa kecil, “baiklah, aku kan menunggumu di sini, di tepi ranjang ini sambil membaca tulisan-tulisanmu di surat kabar. Aku cinta kau.”

“Aku cinta kau juga.”

Lalu terdengar suara gagang telepon tergeletak dilanjutkan bunyi tut yang panjang. Aku pun meletakkan telepon genggam di atas meja kecil di samping tempat tidur.
Setelah menerima telepon tersebut, aku segera bangkit dari tempat tidur. Ku seruput cangkir teh hangat yang dari tadi tergeletak meja kecil di samping tempat tidurku.

Kedua kakiku bergerak kesana kemari mencari-cari alasnya. Setelah sepasang sandal dari karet busa itu kutemukan, akupun beranjak dan melangkah menuju kamar mandi. Cukup luas dan mewah untuk ukuran kamar mandi. Lebih mewah dibanding kamar tidurku di rumah.

Selesai mandi aku segera mengenakan pakaianku yang sudah tergeletak rapi di atas tempat tidur. Setelah selesai berdandan, aku segera keluar dari apartemenku dan pergi ke Universitas Tokyo, berjalan kaki.

Ya sudah beberapa waktu ini aku berada di negeri matahaari terbit. Aku mendapat tugas belajar selama dua tahun di sini. Kebetulan aku mendapat beasiswa untuk melanjutka n S-2 ku di negeri sakura ini. Dan kira-kira beberapa bulan lagi disertasiku selesai.
Aku tinggal di sebuah apartemen tidak jauh dari universitas. Aku lebih memilih tinggal di apartemen daripada di asrama mahasiswa. Meskipun sederhana, tapi privasiku terjaga. Meskipun harus mengeluarkan sedikit kocek, tapi tak apalah, uang itu dapat aku peroleh dari honor puisi-puisiku yang dimuat di surat kabar. Baik surat kabar di Jepang sini maupun di tanah air.

Lain dengan asrama mahasiswa. Selain ramai oleh para mahasiswa dari tanah air yang studi di sini, kamarnya pun seperti barak. Tempat tidurnya berjajar. Tapi yang jelas privasi juga tidak terjaga.

Aku tinggal di apartemen sendiri. Istriku tidak ikut. Kebetulan dia sibuk sekali dengan pekerjaannya. Sebenarnya aku ingin sekali dia ikut. Akan tetapi beasiswa ini hanya untukku saja. Aku tahu, pasti dia sangat menderita tanpaku.

Untuk meredam rindu, sehari tiga kali kami saling bertegur lewat telepon. Selain itu aku selalu mengirimkan puisi-puisi rinduku kebeberapa surat kabar di tanah air. Jadi dia bisa membacanya meskipun dua minggu sekali.
***

Ya tadi malam hujan turun sangat lebat. Tidak ada petir menyambar memang, tapi hujan memang benar-benar murka. Anginpun berlari seperti kuda tertusuk besi panas.
Pagi ini dingi sekali. Gerimis sisa hujan tadi malam masih terdengar jatuh di atas daun-daun. Tanganku meraba-raba. Tak kudapati kau di sisiku. Ah, paling-paling kau sedang memasak air di dapur. Aku pun menarik selimut. Kulanjutkan tidur.

Tak berapa lama kau datang memabawa nampan dengan kedua tanganmu. Di atas nampan itu, sebuah cangkir putih menggeliat. Nampak asap tipis melayang di atasnya. Asap itu membawa aroma teh yang berbeda dengan yang biasanya. Kali ini kucium lebih segar.
Kau pun berbeda dengan hari kemarin. Senyum yang kau tawarkan menyimpan sesuatu. Senyum yang menyeringai. Mata sayumu, pagi ini berubah menjadi tajam.

Perlahan kau mendekatiku. Lalu meletakkan teh yang kau seduh di tempat biasa. Setelah itu kau kembali menatapku tajam bersama senyuman penuh misteri. Lalu kau beranjak dan melangkah menuju jendela. Seperti biasa, membuka kain korden dan membuka daun jendela. Wajahmu yang biasanya luar biasa ayu di bias cahaya matahari pagi, kini tampak lain. Kurasa ada aura kekejaman dan kemarahan luar biasa yang keluar dari wajahmu.

Sambil kuseruput teh yang kau seduh, ku tatap dirimu. Rasa teh yang berbeda dengan yang sudah-sudah. Tapi aku tidak terlalu peduli dengan rasa teh yang lain itu. Dalam hati, pertanyaan-pertanyaan aneh menyeruak. Aku tak mengerti mengapa kau bertingkah aneh. Kau nampak lain. Kau bukan kau, pagi ini.

“Minumlah, teh itu kuracik sendiri dengan tanganku. Nanti keburu hilang aromanya, shinjin san!

Aku tersentak. Aku tak percaya apa yang telah diucapkannya pagi ini. Kalimat itu, ucapan itu. Ya, kalimat itu selalu keluar dari bibir Suzume. Selama di Jepang, setiap pagi dia selalu membangunkan tidurku, menyeduhkan teh, menyiapkan pakaian, dan mencium bibirku setiap pagi.

Tapi, bagaimana kau bisa tahu? Aku masih tak percaya.

Kau tersenyum lebar. Matamu menyempit, tetapi bertambah tajam. Kulihat perlahan kau mendekat ke arahku. Belum sempat aku berucap, tiba-tiba kepalaku terasa berat. Tubuhku menjadi lunglai tak berdaya. Wajahmu kabur dari mataku. Dan seketika semua menjadi gelap. Dan aku masih bisa mencium aroma teh yang kureguk barusan.

Sanggar Sastra Wedang Kendhi, Januari- Februari 2009

05 April 2009

BANTAL LOPE-LOPE



maka kau pun bertualang
berlayar di langit wangi aroma terapi
di awan merah jambu
menjadi Odipus, ah bukan
menjadi Aprodhite
mencari labuhan
bagi hati yang ditumbuhi bunga-bunga

aku pun bahagia
menatap senyum di wajahmu
di kepala yang kau rebahkan
di atas lembut bantal lope-lope

dan kau terus berlayar

Purwokerto, Maret 2009

I HATE MY SELF AND I WANT TO...


-Kurt Cobain

aku benci diriku
dan aku ingin maut menjempur
dengan tarian peluru
yang lahir dari mulut revolver

tari menari peluru menari
memangsa keras kelapaku
melumat sedap otak apiku

aku benci diriku
dan aku ingin maut menjemput
dan menunggumu Dave, Chris
di beranda surga
di bawah jembatan sungai Seattle

Purwokerto, Maret 2009

MEJA


di atas meja itu
tumbuh serumpun puisi
puisi tentang puisi
tentang puisi

puisi-puisi menjelma pohon
pohon-pohon kutebang
kayunya kupahat dengan tinta
menjadi sebongkah meja

Purwokerto, Maret 2009

18 Maret 2009

TERKUBUR SAJAK


Rumah-rumah terkunci rapat. Manusia berlari di lemari mimpi. Serangga berlagu decit menggesek sayap-sayap tipisnya. Tak ada purnama, sabit, atau separuh. Bayangnya pun tak hadir. Halimun tak pernah hilang sedari berjuta menit lalu hingga kapan tak tentu waktu
Dan kamar kecil meremang pijar lampu 5 watt di sebuah rumah kecil di kaki bukit. Terkepung rumputan pohon kelapa. Di tempat itu, seorang penyair muda sakit menuju mati. Mata pena nimbus tubuh kurus. Laksa helai kertas yang berserak di lantai tak berkeramik.
Pena berkarat. Tinta penuh tuba meringsek ke dalam tubuhnya. Lalu dari setiap luka menyemburlah darah busuk. Setiap perciknya ditunggangi ribuan kata.
Kata-kata menyembur. Kata-kata berenang. Kata-kata tenggelam. Kata-kata terbang. Kata-kata hilang. Lenyap tak terjejak.
Penyair muda mengejang. Penyair muda membujur kaku biru.
Tiba-tiba dari setiap pori udara, kata-kata muncul bersama anak cucunya. Menjelma kafan. Menjelma keranda. Menjelma lahat. Menjelma nisan. Menjelma puisi. Puisi menjelma puisi-puisi. Puisi-puisi tertumpah di liang lahat. Mengubur tubuh kaku penyair muda

Purbalingga, April 2008

SURAT



Dalam kotak mimpiku surat ilalang tanpa sayap darimu hinggap. Sejuta kata terpahat di dalamnya diantara ruas dan ruas. “Bawakan aku fajar sebelum matahari menggelinding mengoyak-moyak anyelir-anyelir yang menguncup di pelataran kalbu perempuan kabut memekat”, tulismu.

Maka segera kucari matahari di segala sudut kota, di pertokoan, di warung remang-remang, di stasiun, di kotak surat, di bawah bantal, di balik awan, di daun rumputan, di rinai hujan, di pekik kelelawar, di atas menara, di arca-arca dewata, di mata pena, di saku celana, di telaga warna. Aku mencari. Tak nampak jua batang hidungmya.

Aku malah menemukan bulan sabit terikat di dalam sajak-sajakku. Bibir tanpa gincunya mendesis binal seperti ular. Menelusuri saluran-saluran air mencari serumpun makan malam. Hendak ku bawa bulan ke pangkuan jemari-jemari kayumu yang menelungkup, lalu apakah jemarimu kan terlentang? Lalu kau semakin mengerang?

Tintaku seketika membeku menjadi abu lalu terbang bersana kepak lembut sayap-sayap malam. Mata penaku seketika pecah ujungnya membuat mozaik-mozaik air mataku air matamu di daun langit

Kebumen, April 2008

SURAT KEPADA KAWAN


Kawanku di negeri bidadari,
Aku menulis surat ini bukan atas apa-apa
Bukan atas nama cinta atau luka
Hanya sekedar ingin berkabar saja

Kawanku di negeri bidadari,
Bagaimana kabarmu?
Bagaimana kabar negerimu?
Aih.. pastilah kau selalu pelangi
Semerdu angin yang berbisik di negerimu

Kawan,
Negerimu negerimu
Negeriku negeriku
Negeriku tak seperti negerimu

Negeriku memang dulu pernah seperti negerimu
Hijau seperti saphir di cincin yang melingkar di jari manis kekasihku
Biru seperti pita yang melingkari topi di atas rambut legam kekasihku
Kuning seperi langsat kulit tubuh kekasihku
Jingga seperti senja di belakang rumah kekasihku
Nila seperti cat kuku yang tergambar di jari-jari lentik kekasihku
Ungu seperti renda teronce di baju tidur kekasihku

Tapi kini tidak kawan
Bila kau tatap dari angkasa
Maka negeriku merah kehitam-hitaman
Seperti darah yang membeku

Perkelahian, pengroyokan, perang antar suku, pembunuhan
Menjadi sarapan di halaman utama koran pagi
Pencurian, penipuan, penghiantan, pembalakan, korupsi, kolusi
Menjadi minuman segar di terik siang

Kawan,
Di negeriku tuhan diuangkan
Uang menjelma tuhan
Maka manusia beruang
Dia akan menitis tuhan

Kawanku di negeri bidadari,
Bila hujan di negerimu
Pastilah menyulap rumput menjadi bunga
Menyulap bunga menjadi buah
Dan menyulap buah menjadi berkah

Tapi tidak di degeriku
Di sini hujan menyulap apa saja menjadi kematian
Hujan air mata!
Banjir air mata!
Air mata darah!
Air mata siapa saja
Air mata berbau anyir

Kawan, bila kau berkunjung ke negeriku
(sebaiknya jangan pernah terpikir untuk itu)
Kau akan disambut dengan tangis
Perjalanan wisatamu akan diringi dengan tangis
Dan kau akan diantar pulang dengan tangis

Tangis yang histeris
Membuncah dari mulut-mulut manusia
Yang selalu dimata-matai kematian
Manusia siapa saja

Busung lapar, kurang gizi, kekeringan,
Kemiskinan, kebodohan, penggusuran,
Pemulung, pengemis, gelandangan,
Harga yang mencekik
Dan segala macam kereta kencana kematian

Kawan,
Di negeriku merpati, kutilang, murai, kakatua
Menjelma ribuan gagak
Berteriak, berteriak, pekak!
Mengabar irama kematian
Pada jiwa-jiwa kami

Cecndrawasih, merak, gelatik, elang
Menjelma ribuan nasar
Menari merentang sayap
Berputar, berputar, putar!
Berpusing di kepala kami
Memata-matai kami
Mengoyak tubuh kami yang hanya terbungkus kulit

Kawanku di negeri bidadari,
Aku ingin sekali pergi bersama saudara-saudaraku
Mengunjungi gedung teater
Dan menyaksikan drama tentang Panthom of The Opera
Atau tentang Hamlet atau tentang Odipus seperti kau

Tapi di negeriku, opera hanya tentang kebohongan-kebohongan saja
Kebohongan manusia kepada tuhan
Kebohongan manusia kepada alam
Kebohongan kepada manusia
Kebohongan kawan kepada kawan
Kebohongan pemerintah kepada rakyat

Pemerintah di negeriku adalah adipemerintah
Memerintah seenak pusar
Melangitkan harga kebutuhan perut
Minyak membumbung, beras membumbung, lauk membumbung

Gedung perwakilan rakyat telah menjelma menjadi gedung teater
Yang mempertotonkan sandiwara-sandiwara aneh yang tak bermutu
Para aktornya hanya membuat peraturan-peraturan tak berguna
Saling berdebat kusir, saling pukul, saling cemooh
Atau hanya tidur saja kala sidang

Para wakil rakyat gagah berdasi yang duduk di atas sana
Mereka pemakan uang rakyat
Tanpa mendengar keinginan rakyat
Tanpa peduli pada rakyat

Kawanku di negeri bidadari,
Di negeriku, aparat menjadi kerat
Pengayom masyarakat hanya menjadi semboyan
Yang tertempel pada baliho di tepi jalan

Pendidikan gratis, pengobatan gratis,
Bahan-bahan murah, Santunan bagi orang tak mampu
Hanya menjadi mimpi di atas mimpi tidur siang
Yang tak nyenyak kami

Kawanku di negeri bidadari,
Aku merindu hidup seperti di negerimu
yang pernah kau ceritakan padaku
Hidup nyaman, aman, tentram, damai

”Bila pemerntah bengkok, maka puisilah yang meluruskan”
Pastilah kau pernah mendengar jargon itu
Itu tak terjadi di negeriku kawan
Puisi hanya menjadi barang aneh yang terpampang di surat kabar minggu
Menjadi bungkus nasi atau makanan ringan
Teremas, terbuang, terinjak dan terlupakan

Ah…kawanku di negeri bidadari,
Aku terlalu melantur menuliskan surat ini padamu
Kali waktu aku kan menulis lagi tentang negeriku
Sebab semua yang kutuliskan tadi di atas belumlah semua

Kebumen-Purwokerto, Agustus 2008

LAHIRLAH PUISI



Kirimkan aku kertas dari lembar-lembar awan yang memutih. Selipkan di antara helai rambutnya tinta dari sublimasi segala rupa halimun yang berenang di setiap telaga. Biar kunikahi keduanya dalam ikatan dengan kata-kata dan doa yang paling memabukkan sebagai pitanya. Maka biar menjadi sepasang kekasih yang paling kasih. Dan setiap malam berdentang, upacara sanggama kan selalu territuas. Dan dari rahimnya akan lahir ribuan puisi terindah. Puisi lincah seperti anak-anak kucing yang berenang dengan bola karetnya

Sanggar Sastra Wedang Kendhi, Januari 2009

MENJEMPUT MIMPI



Mari kita menjemput mimpi
Tentang kupu-kupu
Yang terbang mengitari
Halaman hijau rumah kita

Mari kita menjemput mimpi
Tentang gerimis pagi
Yang turun riwis
Di wajah bunga-bunga

Mari kita menjemput mimpi
Tentang masa depan pasti
Bumi yang berseri
Memberi tentram pada jiwa

Sanggar Sastra Wedang Kendhi, Februari 2009

AKU TAKUT MENCIPTA PUISI


Aku takut mencipta puisi. Aku takut pada murka tuhan.

Dalam setiap puisi yang tercipta, tumbuh berjuta benalu penuh duri kepalsuan. Merambat dan membebat tubuhnya. Dari tangkainya berbuah cacian kepada manusia, bumi, langit, dan tuhan. Ketidakpuasan terhadap pemerintah, peraturan, kebijakan, sosial, terhadap tanah, hujan, angin, air, api

Dalam puisiku tak ada mutiara terpatri, tak ada pencerahan bagiku, dan bagi manusia. tak ada kata indah dan pesan menawan

Dalam puisiku lahir kebusukkan, perlawanan, demonstrasi, subversive, protes, teriak, tangis, kaum miskin, kumuh, penindasan, penyingkiran, penghianatan, kejahatan, gelap, mimpi

Kemana burung kecil terbang, tak pernah hinggap dalam puisiku. Kemana bintang berkerlip, tak pernah menerang puisiku. Kemana angin berdesir tak pernah menjenguk puisiku

Sanggar Sastra Wedang Kendhi, Februari 2009

REKENING

Buku tabungan kita
Setiap hari
Perlahan menjelma
Daftar hutang
Pada setiap orang

Purwokerto, Januari 2009

TAK ADA LAGI PUISI UNTUKMU


Sebuah ruang kerja. Terdapat sebuah mesin ketik di atas meja lengkap dengan kursinya. Di sebelah mesin ketik terdapat setumpuk kertas dan beberapa lembar amplop. Dan sebuah foto wanita dalam bingkai. Di tembok tergantung sebuah jam dinding. Di tengah tengah ruangan terdapat sebuah meja kecil dan sebuah kursi agak panjang. Di atas meja tersebut tergeletak sebungkus rokok, sebuah asbak dan korek api. Di lantai tampak kertas berserakan.

Seorang laki-laki kira-kira berumur tiga puluh tahun. Duduk di depan mesin ketik. Rambutnya acak-acakan dan kelihatan mulai memutih . wajahnya seperti memendam kekalutan dan kesediahan. Sebatang rokok menyala menempel di bibirnya. Dia memakai celana panjang dan kaos singlet. Dia hendak mengti sesuatu. Berfikir sejenak, lalu mulai mengetik. Tak berapa berselang, diambilnya kertas di mesin ketik tersebut dan meremasnya. Begitu berulang-ulang sampai dua kali. Dia mengetik lagi. Setelah selesai, dia bangkit dan tersenyum puas, lalu dibacanya hasil ketikannya tersebut.


Pemain :
(Berdeklamasi) Tak ada lagi puisi untukmu. Malam ini, lembar kertasku tak memutih lagi. Kelabunya mendung meruang lekat di wajahnya. Pekat indah. Tak seperti malam-malam lalu. Tak ada lagi gunanya puisi-puisi cinta untukmu yang kan tercoret di atasnya. Hanya rinai-rinai hujan yang berjatuhan di ujung pena rinduku. Perlahan gerimis gemericik melebat, membanjir bersama luka, petir lara dan air mata.

Tak ada lagi puisi untukmu. Tak puisi bagus, tak puisi jelek, tak puisi cinta, tak puisi rindu, tak puisi kasih. Tak. Semuanya tak.

Dia mencari amplop, lalu memasukkan tulisannya ke dalamnya. Setelah direkatkan dengan lidahnya, dia keluar panggung. Selang beberapa lama dia kembali masuk tanpa membawa amplop.

Pemain :
(Berteriak) Wahai merpati pengantar surat, layangkan puisi tadi untuk bunga di taman sebelah !

(Berjalan, lalu mengambil foto dan ditimangnya)
Itu tadi puisi terakhir untukmu. Setelah itu, tidak akan ada lagi puisi yang aku layangkan padamu. Akupun telah berkata kepada merpati pengirim surat untuk tak lagi berkunjung ke sini. Aku juga katakan padanya kalau ada puisi atau sesuatu dari kau untuk tak usah dia berikan padaku. Lempar saja di tengah jalan biar terbang bersama angin, atau dibuang di tong sampah biar dimakan anjing, atau juga aku suruh dia kembalikan padamu. Ya, aku pun tak sudi lagi menerima puisi-puisi darimu lagi. Mulai detik ini, antara kita tak lagi ada perasaan yang mengikat hatiku-hatimu. Maka,…… sudahlah, lebih baik kau robek-robek saja puisi-puisi yang pernah aku layangkan padamu. Robek saja, seperti kau merobek hatiku. Aku pun akan membakar semua puisimu yang hinggap di rumahku bersama seluruh rasa cintaku padamu. Biar semua menjadi abu, terbang dan lenyap ditelan angin.

(Meletakkan foto di atas meja) Cinta oh cinta. Beginilah cinta, deritanya tiada akhir . Aku memang bodoh. Mengapa aku harus mencintaimu dan sekarang aku harus terluka. Aku baru sadar, ternyata cinta itu sebuah masalah . Cinta adalah bahaya yang lekas menjadi pudar .

(Mengambil foto) Dulu, kau bilang kalau aku adalah sebuah oase di gurun Kalahari, dan kau adalah pengembara yang dahaga.
(Menirukan suara perempuan). “Basuhlah jiwaku yang meranggas dengan sejuk cintamu, agar hilang segala pedih peri . Sirami jiwaku dengan sejuk kasihmu, agar tak lagi gersang hatiku. Biar rerumput serentak menghijau dan bebunga serentak mengembang. Biar hidupku penuh warna-warni mengharumkan.”

Lebah mana yang tak silau ketika bunga warna-warni membius hidungmya dengan harum segala rupa? Akulah lebah itu. Seketika mengambangkah sayap-sayap lemahku mendengar mantra-mantra yang kau ucapkan. Kau tahu? Jiwaku melambung mengangkasa menggapai pelangi di cakrawala. Akui tak dapat mengucap kata waktu itu.

Seperti kau yang merindu datangnya kekasih, pun halnya diriku. Aku adalah siang yang merindu terang segera dating melenggang. Agar aku tetap menjadi siang. Dan kau tahu? Segala terang terpatri dalam jiwamu. Aku ini binatang jalang yang merindu datangnya wanita membasuh jiwa sepiku. Kau dating dengan terang, menghapus malam dan segala jejaknya. Buatku tetap menjadi seorang siang.

(Meletakkan foto, lalu berjalan kearah jam dinding) Kau ingat berapa kali jam berdentang menemani langkah kita? Ya, banyak, tak terhitung angka. Seperti itu pula puisi-puisi kita yang hinggap di kotak surat di depan rumah kita masing-masing. Aku ingat puisi yang kau berikan padaku beberapa purnama lalu.

(Berdeklamasi) “Aku-kau bagai pengantin ratu, jangan dipisahkan oleh ruang dan waktu. Jadikan aku kakitanganmu dalam gerak kehendakmu. Dengan apa adanya, aku ingin mencintaimu yang sebenarnya. Bacalah isi hatiku, betapa merindukanmu. Dimana kau bersembunyi, kucari hatimu unmtuk kucium dan kuajak bercumbu dalam percintaan sejati. Aku tak peduli dengan basah tubuhku dalam hujan yang bertubi-tubi diruntuhkan langit. Sebab hangat tubuhmu telah menyelimuti dingin hatiku . Aku berombang bersama nafasmu, merajut cinta dasar yang tak ada. Batinmu mengandali. Bisik lembut runtuhkan batu pembatas pagar maya engkau dan aku .”

Ya, ya… kita sedang dijerat asmara cinta. Hari-hari menjadi sok puitis. Makan tak enak, tidurpun tak nyenyak . Kita sedang diracun asmara kembaradan terbang di langit sandhikala. Patahkan sayap-sayap tipisnya. Biar tak dapat kita kemana tempat .

Kau ingat berapa lama jam berdetak menemani langkah kita? Ya la, lama sekali. Selama itu pula kelopakmu mengetuk mimpi malam-malamku. Dan selama itu pula aku menjadi laut yang setia menerima datangnya air yang bermuara dari sungai-sungai segala rupa. Aku menjadi tanah yang selalu rela menerima bila hujan turun tanpa rencana . Aku setia belajar menjadi kekasih yang setia! Kupercaya cintamu bagai bunga yang kering mengharap turunnya hujan . (menunjuk ke arah foto) Lalu mengapa kau tanyakan tentang kesetiaan!? Kenapa kau sangsikan!!??

Kau tahu, aku rela menjadi remah-remah ranting kering agar kau tetap menyala. Aku rela menjadi daun hijau yang selalu tersaji dalam setiap perjamuan makan malam-malammu agar perutmu kenyang nanti dalam meditasimu saat hendak menjadi kupu-kupu. Aku tak berontak, menjadi bunga yang selalu kau hisap sari-sari pelangi di kelopaknya. Aku selalu senang menjadi air agar kau leluasa berenang merunuti masa depan. Aku rela menjadi apapun yang inginkan . aku rela. Aku rela. Lalu mengapa kau tanyakan tentang kesetiaan!!?

Lalu dimana kau saat aku menjadi batu? Dimana saat aku menjadi lebah? Belum sempat kita berbulan madu wujudkan mimpi tentang masa depan dan anak-anak, kau biarkan kumbang itu datang menjemputmu ke taman hati yang lebih indah. Kau asyik bercinta di ranjang empuk dengannya. Kau tertawa membiarkan serbuk sarimu terbang dihisap olehnya. Seperti itu masih kau tanyakan tentang kesetiaan kepadaku? Lalu apakah kau setia? Katakan, katakan. (sambil mengambil foto lalu membantingnya ke lantai) katakan!!! (menangis) katakan…

(Mengambil lembaran foto dari bingkai yang pecah) Pergilah. Pergilah dengan kumbang perkasamu. Aku telah merelakanmu walau sembilu menyayat hati. Takperlu kau meminta maaf padaku. Tak usah kau layangkan lagi puisi-puisi untukku. Jendela rumahku telah kututup. Kotak surat di halaman rumahku telah kubakar. (Mengambil korek api) Akan kulupakan semua tentangmu. Akan kubakar semua tentang kita di hatiku. (Membakar foto) aku akan menghapus jejakmu di jiwaku. Ini kali, tak ada lagi puisi untukmu.

Selesai

16 Maret 2009

JANJI HUJAN


Aku percaya pada ucapan bibirmu senja itu, ketika kita berlari berkendara hujan. Dan tak ada petir bergemuruh di langit bermendung ketika janjimu terucap. Tapi di sini, di dadaku gemuruh itu berjingkat tiada bertepi. Seperti bising ombak menabur debur di tepian atol

Dan sore ini hujan berkunjung lagi di pelataran rumahmu. Hujan pertama di musim kelima, sejak kau bisikkan janji itu. janji kepadaku. Janji kepad hujan. Janji kepada senja

Aku berdiri membeku menjadi tugu di bawah hujan. Menanti angin mengantar surat member kabar tentangmu dan hari-hari manismu tanpaku di situ. Di titik tak terpetakan

Aku percaya pada janjimu

Kebumen, Februari 2009

LELAKI TUA DAN PIANO


Desember yang dingin. Sore yang membosankan. Kuambil sweater yang tergantung di belakang pintu dan kuputuskan untuk keluar dari Manhattan Broadway Hotel. Kulangkahkan kaki menelusuri Broadway. Udara Manhattan sore itu begitu menusuk sum-sum tulang. Jalanan sepi. Salju sisa semalam masih menutupi jalan. Aku terus malangkahkan kakiku. Mataku ngembara memperhatikan burung-burung yang terbang berkejaran. Hidungku kembang kempis, memerah menghirup udara yang dingin.

Sesampai di First Avenue langkahku terhenti. Kuputuskan untuk masuk ke Caracas Arepa Bar. Sebuah bar dengan gaya Venezuela. Aku duduk di meja deretan belakang. Mataku langsung tertuju ke atas panggung. Seorang lelaki tua sedang duduk menyanyikan sebuah lagu sambil memainkan piano di hadapannya.
Seorang pelayan wanita datang menghampiriku.

Good afternoon sir. Mau pesan apa?” Sembari disodorkannya daftar menu kehadapanku.

Kubaca urutan menu satu persatu.

”Capuccino,” sambil kusarahkan daftar menu kepadanya

”Baik, tunggu sebentar, pesanan segera datang, permisi tuan.” Pelayan itu segera pergi meninggalkanku. Tak lama berselang, wanita Latin itu kembali menghampiriku dengan membawa nampan di tangan kirinya.

”Selamat menikmati, tuan,” ucapnya sambil tersenyum.

”Terimakasih,” sahutku. Lalu dia kembali ke tempatnya semula.

Sambil mendengarkan alunan musik, segera kunikmati makanan yang tersaji di depanku. Sedikit demi sedikit. Makanan yang nikmat, musik yang merdu. Namun dari merdunya musik itu dapat kurasakan jika lelaki tua itu sedang dilanda kesedihan yang luar biasa. Ya, dia sedang menyanyikan lagu sedih. Sebuah lagu yang menyayat. Seolah membuka kembali luka lama yang terpendam di dasar samudera. Aku ikut hanyut dalam nada-nada yang diciptakannya.

Kafe tampak sepi sore itu. Hanya beberapa orang tamu yang datang. Meja yang lain masih kosong tak berpenghuni. Seorang wanita duduk di meja paling depan. Dia masih muda dan cantik. Rambutnya yang keemasan tergerai jatuh hingga sebatas bahu. Diperhatikannya dengan penuh konsentrasi lelaki tua yang sedang bermain piano di hadapannya. Dia tampak menikmati alunan nada-nada yang keluar dari piano itu. Segelas Red Wyne yang tergeletak di mejanya diraihnya lalu diseruput sedikit demi sedikit, lalu diletakkannya kembali ke tempat semula. Dan dia masih menikmati permainan orang tua itu.

Di meja tengah, tampak sepasang orang tua duduk berhadapan. Mereka sedang dilanda perasaan yang luar biasa bahagia. Mereka sedang merayakan hari jadinya yang ke tiga puluh. Ya, mengenang masa bercintanya dulu. Di kafe ini tiga puluh tahun yang lalu adalah kali pertama mereka merajut benang api cinta. Tepat pada hari ini.
Lagu pertama telah habis. Tepuk tangan pengunjung cafe pun menyambutnya. Ya, meski hanya beberapa tepuk tangan. Lelaki tua itu terdiam sebentar, lalu mengambil sebotol Matini di atas meja piano dan menuangkannya ke dalam gelas kaca lalu menenggaknya tanpa sisa. Diletakkannya kembali gelas itu ke tempat semula. Tak lama kemudian dia asyik kembali berkutat dengan tuts-tuts pianonya memainkan lagu kedua.

Mataku masih tertuju memperhatikan gerak-geriknya. Sesekali melayangkan pandangan ke sekelilingku lalu kembali ke titik semula. Mulutku berhenti bergerak mengunyah setelah makanan di hadapanku benar-benar tak tersisa. Kunyalakan sebatang Lucky Strike, kuhisap dalam-dalam, kusemburkan asapnya ke udara ruangan. Demikian dan kuulangi lagi seperti itu. Lalu kuseruput capuccino dan kusisakan separuh. Tapi mataku tak lepas dari lelaki tua itu. Lelaki dengan raut wajah penuh dengan kesedihan.

Selang beberapa menit, lagu kedua berakhir juga. Tepuk tangan orang-orang yang ada di kafe itu pun pecah kembali. Tetapi hanya sebentar saja, lalu mereka sibuk dengan urusannya masing-masing.

Laki-laki tua itu bengkit dari bangku pianonya. Agak sedikit gontai. Tiba-tiba matanya tertuju padaku. Lalu dilangkahkan kakinya ke arahku dan duduk di sebelahku.

”Hai, sepertinya kamu bukan orang sini, baru pertama aku melihatmu di sini?” Tanyanya.

“Ya, namaku Ryan, Ryan Rachman, aku dari Indonesia,” jawabku.

“Oh, Snoop, Snoop Timberwood.”

“Permainan piano yang sangat indah, aku sangat menikmatinya.”

Thanks, kalian orang Indonesia memang senang memuji.”

“Yaa, seperti itulah kenyataannya,” jawabku singkat “aku rasa kedua lagu yang kamu mainkan tadi adalah lagu sedih, bukan begitu?” tanyaku.

Dia diam agak lama.

“Yeah, memang,” tiba-tiba dia berkata dengan suara berat. ”aku teringat istriku, kedua lagu itu adalah lagu kenangan kami dulu,” lanjutnya. Dia menoleh ke arah meja pelayan. “Bawakan aku segelas Martini!” Teriaknya parau. Lalu matanya jelalatan mengawasi setiap pengunjung satu persatu. Tak lama kemudian pelayan cantik itu datang membawakan pesanannya. Tak menunggu lama, Martini di gelas kaca itu ditenggaknya.
Aku pun menyeruput capuccinoku yang tinggal separuh namun tak kuhabiskan. Kusisakan buat nanti.

”Namanya Daisy Candlenight. Kami menikah lima puluh tiga tahun yang lalu. Dia berasal dari kota ini. Sedangkan aku berasal dari North Carolina. Aku dipindah tugaskan oleh departemen kepolisian di sini setelah lulus akademi kepolisian. Di kafe inilah pertama kali kami bertemu. Di bangku yang kita duduki sekarang. Waktu itu dia sedang duduk termenung sendiri. Dia mengenakan baju terusan lengan panjang warna biru muda. Bandana dengan warna yang sama menghiasi kepalanya. Rambutnya diikat menjadi dua.”

Aku memperhatikannya penuh dengan sesama. Sebenarnya aku merasa heran. Kami berkenalan baru beberapa menit lalu, bahkan tidak lebih lama dibanding cengan umur capuccino yang kupesan, namun sepertinya dia hendak menceritakan kisah hidupnya kepadaku tanpa merasa curiga. Tapi apa boleh buat, sepertinya kisahya akan menarik.

”Lalu apa yang terjadi dengan istrimu sekarang?”

Dia terdiam. Sambil mengambil satu batang rokok yang tergeletak di atas meja, dia berucap, ”may I?” Belum sempat aku menjawabnya, dia sudah menaruh di mulutnya dan menyalakannya.

”Tiga tahun yang lalu. New York City. Kami sedang berlibur merayakan pernikahan kami yang ke lima puluh. Siang itu, kami baru jalan-jalan. Entah kenapa ia ingin sekali berfoto di depan World Trade Center. Belum lengkap rasanya jika berlibur ke New York jika tidak berfoto di depan gedung kembar yang megah itu, katanya. Yah, demi istri tercinta aku pun menurutinya. Dia berdiri di depan gedung itu dan aku yang mengambil gambarnya. Belum sempat aku mengambil gambar, tiba-tiba sebuah pesawat datang dan menabrak gedung itu, dan...” dengan suara berat ”....dan dia tertimpa reruntuhan gedung itu.” Snoop tak dapat membendung air matanya.

”Dia meninggal tepat di depan mataku. Aku melihat ketakutan di raut wajahnya,” Snoop mengusap air matanya dengan kedua telapak tangannya.

”Andai saja waktu itu aku tak menuruti keinginannya, pasti kejadiannya tidak akan seperti itu. Aku memang bodoh,” lanjutnya.

Aku dapat merasakan kesedihan yang mendalam dalam hati Snoop. Aku pun tak kuasa untuk ikut menitikkan air mata.

”Maafkan aku Snoop. Aku tak tahu jika yang kau alami begitu menyedihkan.”

”Tak apa.”

”Sudahlah Snoop, semuanya telah terjadi. Lagi pula itu bukanlah kesalahanmu. Semuanya telah digariskan oleh tuhan. Tak perlu kau menyesalinya,” hiburku.

”Ya, semuanya memang telah digariskan,” timpalnya.

Tiba-tiba dia bangkit dari tempat duduknya.

”Malam sudah larut, sebaiknya aku pulang. Terima kasih orang Indonesia, terima kasih karena kau telah mau mendengarkan ceritaku dan mendengarkan lagu yang kumainkan tadi,” katanya.

”Sama-sama”

See you. Good night

Good night.”

Dia segera keluar dari kafe itu. Aku pun segera menyeruput capuccino-ku yang sudah dingin lalu kupanggil pelayan dan membayar makanan yang kumakan tadi. Segera aku bangkit dari tempat dudukku dan keluar dari kafe itu. Udara dingin begitu menusuk tulangku. Kupercepat langkahku menuju ke hotel tempat kumenginap. Langit Desember malam ini begitu cerah namun tak secerah hati Snoop, lelaki tua dengan piano yang bersamaku tadi.

Sanggar Sastra Wedang Kendhi, Oktober-Desember 2006

AKU AKAN SETIA MENANTIMU ATAU LEGENDA DEWI SEKAR


Di kaki bukit di desa kami terdapat sebuah patung wanita. Patung itu bernama patung Dewi Sekar. Jika bulan purnama tiba langit akan sangat bersih, tak ada mendung menggantung dan bintang-bintang pun seakan lenyap tak tercecer di sana sini. Hanya ada satu benda yang tergantung di langit, sebuah loyang besar berwarna terang. Yang jelas tak ada sesuatu yang menghalangi cahaya bulan untuk sampai ke bumi. Alam menjadi sunyi senyap, tak ada satu suara pun yang terdengar. Serangga-serangga malam terkunci mulutnya, angin tak berani berhembus menggoyangkan dedaunan atau reranting pohon, lalu serta merta akan tercium bau wangi yang membahama menusuk hidung hingga ke ulu hati. Malam itu seakan waktu berhenti berputar dan tak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali.

Saat sinar bulan menerpa patung Dewi Sekar, perlahan patung itu akan berubah bentuk menjadi sesosok wanita yang cantik jelita. Dia mengenakan gaun putih dengan kaki telanjang. Kedua alisnya nanggal sapisan, dengan bulu mata yang lentik tumengeng tawang. Kedua pipinya nduren sajuring, hidungnya ngundhup mlathi, dan bibirnya nggula satemlik. Rambutnya lurus memanjang hingga ke pinggang. Badannya ramping dengan kulit yang kuning langsat. Kedua kakinya jejang dan jari-jari tangannya mucuk eri. Namun, dari tatap matanya yang sayu, di balik kecantikkannya itu tersimpan suatu kesedihan yang sangat mendalam.

Tak lama kemudian, dari kedua matanya tercurah air mata melewati kedua buah pipi dan bertemu tepat di dagunya, lalu secara perlahan melayang dan jatuh hilang ditelan tanah. Dari bibirnya yang indah itu keluar isak yang menyayat mengiringi air mata. Jika ada orang yang mendengar, maka hatinya akan tersentuh dan serta merta larut dalam kesedihan yang dialami oleh Sang Dewi.

Jika Sang Dewi sudah mulai menangis, maka tak satu orang pun yang dapat menghentikannya, bahkan serangga atau binatang malam. Tidak juga angin, dedaunan, reranting atau rerumputan, mereka tak kuasa untuk menghentikannya. Semua seolah ikut hanyut dalam kesedihan Sang Dewi. Dan dia akan terus menangis dan terus menangis sekeras mungkin hingga menjelang fajar. Setelah berhenti menangis, lalu dia membaca sebuah puisi sedih. Dan ketika puisi itu berakhir, maka dia akan kembali menjadi sebuah patung batu.
***

Desa kami memiliki sebuah bukit yang hijau. Sebuah bukit yang penuh dengan jajaran pohon pinus. Di situ terdapat sebuah sungai kecil yang mengalir dari puncak bukit dengan air yang jernih sejernih hati para penghuni desa. Sungai itu adalah sumber mata air bagi kehidupan kami. Setiap pagi para wanita mengambil air di sungai itu menggunakan periuk yang terbuat dari tanah dan anak-anak kecil mandi bersama dengan tubuh telanjang.

Namun, di balik keindahan itu terdapat sebuah kebiasaan yang entah dari mana mulanya. Kebiasaan itu adalah tak ada satu orang pun yang keluar rumah bila malam bulan purnama menjelang, terutama pada tengah malam. Jadi, setiap malam bulan purnama adalah malam yang sepi. Tak ada anak-anak yang bermain petak umpet atau bermain gobak sodor di halaman.

Ada sebuah cerita yang berkaitan erat dengan fenomena tersebut yang kami peroleh dari orang tua kami. Mereka pun mendapatkan cerita itu dengan cara yang sama. Dan seterusnya dan seterusnya. Sebuah cerita sedih yang memilukan, cerita cinta yang mengharukan.

Senja datang dengan segala cahayanya. Matahari pulang ke gubugnya di balik bukit setelah lelah seharian bersenggama dengan siang. Aku masih duduk di kursi goyang. Menatap kaki bukit yang indah.

Aku beritahukan kepada kalian.

Dahulu ada seorang wanita yang cantik jelita. Dia adalah seorang putri tunggal dari seorang Adipati di sebuah kadipaten pada masa kekuasaan Mataram. Dia bernama Dyah Ayu Sekar. Karena kecantikkannya, banyak pemuda yang jatuh hati kepadanya. Puluhan pemuda datang dengan ketampanannya dan kekayaannya. Dengan rayuan yang indah dengan harapan dapat meluluhkan hati sang putri. Namun dengan lembut sang putri menolaknya. Ternyata dia telah memiliki tambatan hati kepada seorang pemuda dari desa yang bekerja di kadipaten sebagai penggembala kuda. Pemuda itu bernama Bagus Bagaskara.
Putri jatuh cinta kepadanya saat tanpa sengaja dia mendengarkan sebuah puisi yang dibaca Bagus ketika memberi makan kuda-kudanya. Sebuah puisi yang sangat indah dan menyentuh hati. Sekar pun menghampirinya dan mengatakan bahwa puisi dibacanya tadi telah meluluhkan hatinya. Pada awalnya pemuda tersebut menolak cinta sang putri. Tak mungkin seorang abdi dalem, apalagi seorang perawat kuda jatuh cinta kepada junjungannya sendiri. Tetapi sang putri tetap memaksanya. Tak kuasa, akhirnya Bagus pun menerima cinta Sekar karena memang sebenarnya dia juga memiliki rasa yang sama terhadap sang putri.

Dan kisah kasih sepasang kekasih yang sedang dilanda asmara pun dimulai. Mereka memadu kasih di atas punggung kuda. Sekar sangat menyukai saat Bagus membaca puisi-puisinya. Alam akan ikut tersenyum saat mereka sedang berkasih-kasihan walau kisah kasih mereka harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Mereka terus melakukan pertemuan-pertemuan rahasia untuk saling melepas rindu.

Akhirnya kisah kasih mereka diketahui oleh orang tua Sekar. Mereka sangat marah saat mengetahui bahwa putri mereka merajut asmara dengan orang berkasta rendah. Karena tak direstui oleh orang tua Sekar, mereka akhirnya lari dari kadipaten dan menetap di suatu daerah di kaki sebuah bukit. Kisah kasih mereka pun berlanjut di sini dan tak ada satupun yang mengusik percintaan mereka. Tak selang berapa lama, orang tua Sekar mengetahui keberadaan mereka, namun Adipati tidak menghukum kedua sepasang kekasih itu. Dia menyadari bahwa cinta adalah suatu anugerah yang istimewa dari Sang Hyang. Tak peduli dari golongan atau kasta apapun, ningrat atau rendah, semua memiliki hak yang sama dalam soal bercinta. Mereka berdua di ajak untuk kembali ke kadipaten, namun mereka tidak bersedia. Mereka lebih menikmati hidup sebagai orang kecil dan hidup di desa dengan tenang. Adipati pun tak dapat memaksakan kehendak untuk memboyong putrinya kembali.

Suatu saat, terjadi sebuah pemberontakkan yang dilakukan oleh tangan kanan Adipati. Ternyata Bagus memiliki kepandaian dalam soal strategi berperang, maka Adipati menyuruhnya untuk memimpin pasukan dan menumpas pemberontak tersebut. Sebelum Bagus berangkat meninggalkan Sekar, dia berpesan kepada kekasihnya untuk menunggu kedatangnnya pulang. Dengan penuh berat hati, Sekar melepas kepergian pujaan hatinya.
Pemberontakkan telah berhasil di tumpas oleh Bagus dan prajuritnya. Dalam perjalanan pulang, mereka beristirahat di sebuah desa yang tak jauh dari tempat pemberontakkan itu. Mereka menginap di sebuah rumah milik kepala desa. Kepala desa itu memiliki seorang anak perempuan yang cantik dan tidak jauh berbeda dengan kecantikkan Sekar.

Namanya Sri Nareswari. Melihat ketampanan Bagus, Sri pun jatuh cinta kepadanya. Dengan cara yang licik dia menggunakan ajian pemikat untuk memikat hati Bagus. Bagus pun jatuh cinta kepadanya. Akhirnya keduanya menjalin kisah yang indah. Bagus melupakan sesuatu jika saat ini Sekar sedang menunggunya.

Suatu saat, seorang utusan dari Kadipaten datang dan memberitahukan Sekar jika Bagus telah memiliki kekasih yang baru bernama Sri. Tetapi Sekar tidak mempercayai apa yang dikatakan oleh orang itu. Dia yakin jika Bagus adalah orang yang setia, tak mungkin ia menghianati cintanya dan Bagus pasti akan kembali ke pelukannya.

Sekar masih senantiasa menanti kekasihnya pulang ke dekapannya. Dia menunggu dengan penuh kesabaran dan keteguhan. Waktu terus bergulir. Dia merasa sedih karena kekasihnya tak kunjung datang. Tetapi dia masih tetap setia menunggu meski dalam kesendirian. Setiap malam dia selalu menitikkan air mata sambil membaca sebuah puisi yang dibaca oleh Bagus sebelum meninggalkannya.

Wahai kekasihku
Kau lihat temaram itu?
Mereka ikut sedih menghadiri pesta perpisahan kita
Namun, kau tak akan sendiri meski aku jauh dari matamu
Katakan padaku bahwa kau akan selalu menungguku datang dan kembali meraju mimpi kita
Bersama memilin senja hingga maut hinggap di salah satu jendela rumah kita

Satu purnama telah disusul dengan purnama-purnama yang lain. Bulan telah berganti tahun. Sekar pun tak ingat lagi, berapa banyak purnama datang dan menghilang menemaninya dalam kesendirian. Dia masih menunggu dan tetap menunggu hingga tubuhnya mengeras dan berubah menjadi patung. Dan setiap malam bulan purnama tiba, patung itu akan kembali ke wujud aslinya. Sosok wanita dengan kesedihan yang masih mengharapkan kedatangn kekasihnya datang.
***

Senja kini telah hilang. Gelap mengguyur langit menggantikan senja. Aku masih melemparkan pandanganku ke arah kaki bukit dimana patung Dewi Sekar berada. Tiba-tiba, dari dalam istriku keluar menemuiku. Dibawakannya secangkir kopi panas dan pisang rebus kesukaanku. Dia barkata, ”Mas Bagus, sebuah senja yang indah di kaki bukit ya?”. Ya. Dia adalah istriku tercinta. Namanya Sri Nareswari.

Purwokerto, 8 April 2006

AKAN KUBERI MAKAN MEREKA DENGAN PUISI

Kebanyakan orang tua menginginkan anaknya untuk menjadi dokter, insinyur, guru, menteri, bahkan presiden. Karena di situlah prestise keluarga akan terangkat dan masyarakat akan lebih ngajeni.

“Joko hebat ya, itu, anak nomor dua pak Joyo, sekarang sudah jadi dokter.”

“Iya, tidak hanya itu, adiknya, Rusdi juga sudah jadi insinyur, dan Ratna, kakaknya juga sudah jadi guru SMA di ibu kota.”

Itulah kira-kira kata-kata yang terlontar dari mulut mayarakat. Dengan sendirinya mereka telah meletakkan orang tersebut setingkat lebih tinggi. Tidak hanya itu, mereka menjadikan si dia sebagai icon, sebagai panutan. Tapi itulah yang terjadi. Dari zaman kompeni hingga jaman komputer sekarang ini. Apalagi di daerah pedesaan, tak terkecuali dimana aku dilahirkan dan dibesarkan oleh orang tuaku.

Ibu adalah seorang guru pada sebuah sekoalah dasar di desaku. Dia mengabdikan dirinya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa kurang lebih selama sembilan belas tahun. Bapak adalah seorang kaur kesra di desa ini. Aku adalah anak pertama dan satu-satunya di rumah. Kami bukan termasuk keluarga yang kaya. Ya, cukuplah. Meski hidup di desa, kami tidak memiliki sawah atau pekaranganyang luas seperti warga yang lain, sebab kami bukanlah pndudukasli desa ini. Ya, kami adalah pendatang. Dengan keadaan yang seperti itu, dapat membiayayaik hingga tamat SMA.

Bapak meningnkanku sebagai dokter. Lain dengan ibu, dia lebih mengingnkan aku untuk mengikuti jejaknya. Ya, sebetulnya keduanya sama-sama baik, malah lebih baik dibanding dengan profesi yang lain. Keduanya sama-sama mengabdikan diri dengan ilmu yang dimilikinya kepada uamt manusia. Menjadi guru adalah suau hal yang sangat mulia. Mencerdaskan kehidupan bangsa, saya rasa julukan itu cocok untuk seseorang yang berprofesi sebagai guru. Sungguh luar biasa. Bias dikatakan, tanpa guru sebuah bangsa akan selalu dalam kegelapan.

Dokter, sebuah profesi yang langsung berhubungan dengan nyawa manusia. Di desaku, menjadi dokter adalah sebuah prestasi yang luar biasa. Secara otomatis strata sosial pun segera naik satu ingga dua level. Dan orang akan segera ngajeni dengan munduk-munduk di hadapannya.

***

Rabu sore, langit sudah mulai gelap. Kami berkumpul di ruang tengah.

“Aku ingin kuliah di sastra,” dengan sedikit cemas akhirnya kalimat itu meluncur dari mulutku.

Tidak ada sahutan.

“Aku ingin kuliah di sastra, Pak, Bu,” kuulangi lagi ucapanku tadi.

“Bapak tidak salah dengar?” akhirnya ada sahutan.

“Benar, bapak tidak salah dengar. Aku ingin kuliah di sastra.”

“Lalu kamu mau ambil apa?” Tanya ibu pelan.

“Sastra Indonesia,”jawabku singkat.

“Sastra Indonesia?” Tanya bapak dengan nada sedikit kaget, “mau jadi apa kamu nanti?” tambahnya.

“Aku ngin jadi sastrawan.”

“Ha, ha, ha……!!!” tawa ayah tiba-tiba meledak, “ha…ha..ha……mau jadi sastrawan? Jadi penyair?”

“Ya.”

“Baru kali ini ada seseorang punya keinginan menjadi seorang sastrawan, menjadiseorang penyair. Apa hebatnya seorang penyair, ha? Dengar! Penyair itu orang yang tidak punya masa depan. Rambutnya gondrong, acak-acakan, jarang mandi, bajunya kucel, kesana-kemari berteriak membacakan puisi, seperti orang gila…..”

“Tapi pak…”

“Jangan menyela, bapak belum selesai bicara,” kali ini nada bicara bapak mulai meninggi, “lalu melanglang buana ke tempat antah berantah demi sebuah puisi.kurang kerjaan, ngabis-ngabisin duwit thok!

“Bu, anakmu tuh!,” tambahnya.

“Lho, bapak kok jadi nyalahin ibu, wong buatnya bareng kok,” ibu tak terima, “le, kamu boleh jadi apa saja, ibu ndak ngelarang kok. Tapi mbok ya o kamu ngertiin bapakmu. Ya udah, kamu boleh kuliah di sastra, tapi jangan ambil Indonesianya ya, ambil Inggris apa Jepang apa Prancis malah ndak apa-apa. Sarjana sastra Indonesia sekarang itu ndak kepakai di sini. Kalau sarjana sastra Inggris atau Jepang kamu akan mudah cari kerja,” kata ibu menasihatiku dengan lembut.

Bapak mengambil Dji Sam Soe satu batang dari bungkusnya yang ada di saku bajunya, lalu dibakarnya. Dihisapnya dalam-dalam. Sambil menyemburkan asap ke udara, bapak melanjutkan kalimatnya.

“Bu, ambilkan minum,” lalu pandangannya beralih kepadaku, “jadi penyair itu susah dapat duit. Koran? Mau berapa ratus puisimu yang mau kamu kirim ke Koran? Ya kalau dimuat, paling-paling cuma dapat dua ratus ribu.”

Ibu datang dari dapur sambil membawa secangkir the tubruk kesukaan bapak,lalu diletakkannya di atas meja kecil di depanku.

“Terus, kalu kamu sudah punya istri, punya anak, mau kamu beri makan apa mereka? Uang segitu cukup?! Buat beli beras, beli sayur, beli susu, beli minyak, beli ini, beli itu. Mau kami suruh mereka makan puisi?! Hah!”

Bapak mengambil cangkir di depannya lalu didekatkan kea rah bibirnya yang hitam. Bibirnya mecucu meniup minuman kesukaannya yang masih panas., lalu diseruputnya sedikit demi sedikit. Setelah itu diletakkannya kembali di atas meja kayu berukir itu.

Wes lah, kamu tu ndak usah neko-neko. Bapak ingin kamu jadi orang bener, jadi orang sukses. Bisa menghidupi anak istrimu kelak,” kaliini nada bicaranya mulai menurun, “dan yang pasti, bapak sama ibu akan merasa bangga jika kamu bisa jadi dokter, insinyur, atau dosen atau direktur. Kamu adalah satu-satunya anak yang dapat mengangkat martabat orang tuamu ini.”

“Tapi pak, aku sudah yakin kalau aku ingin menjadi seorang penyair seperti Rendra atau Amir Hamzah,” akhirnya aku bicara.

“Bapak tahu, kamu punya alas an yangmasuk akal. Kamu sudah besar. Kamu sudah bisa berpikir mana yang baik dan mana yang buruk buat kamu. Jadi pikirkan lagi keputusanmu tadi masak-masak. Tapi yang jelas bapak tidak setuju kalu kamu menjadi seorang penyair. Bapak tidak suka itu.”

Ibu yang biasanya membelaku, entah kenapa malam ini dia hanya berkata sedikit. Apa mungkin pemikiran ibu sama dengan pemikiran bapak, jadi ibu tidak perlu bicara panjang lebar seperti bapak. Padahal aku sangat mengharapkan pembelaan darinya.
“Bapak cumangasih kamu nasihat, toh nanti kamu yang akan menjalaninya to, bukan bapak atau ibu. Mendingan kamu istirahat sana, bapak juga mau istirahat, capek. Lagian juga sudah malam, ndak baik ngomong keras-keras.”

Dihisapnya lagi rokok kretek yang tinggal putung di sela jari tangan kanannya. Setelah itu dihunjamkannya di asbak sambil menyemburkan asap dari bibirnya. Tangannya diangkat kembali sambil memegang cangkir. Diminumnya teh tubruk yang sudah aga dingin itu sampai habis.

Ibu masih memasang matanya ke arahku. Dan aku segera bangkit lemas dengan perasaan dongkol meninggalkan mereka.

***

Pagi sudah hilang setengah. Bapak dan ibu sudah pergi ke kantor masing-masing beberapa jam lalu. Aku di rumah sendiri. Ya tadi pagi, sebelum berangkat, ibu menyuruhku untuk memberesi gudang.

Lama aku tak masuk gudang. Debu berhamburan di mana-mana. Sarang laba-laba bergelayuran sesuka mereka. Dan aku muali melakukan pekerjaanku. Memindahkan baran ini, mengangkat barang itu, merapikan itu, menyapu lantai dan lain-lain dan lain-lain.

Tiba-tiba mataku menumbuk sesuatu. Sebuah kardus mie-instant tertutup rapa oleh perekat tergeletak di pojok ruangan.

Kuhampiri dan kubuka perlahan. Dan… ya tuhan!. Setumpuk buku kumpulan puisi karya penyair terkenal. Ada punya Chairil, Sutardji, Umbu, Gus Mus, hingga STA dan beberapa karya penyair luar negeri. Serta setumpuk buku tulis. Semuanya usang dan sebagian ada yang berlubang dimakan kutu buku.

Aku keluarkan semuanya dari kardus itu. Aku bertanya dalam hati. Punya siapa buku-buku ini? Dan buku-buku tulis ini? Kubuka satu peratu. Aku tambah tak percaya; lebih dari tiga ratus puisi tertulis di dalamnya.

Tiba-tiba ada yang jatuh dari sela-sela buku tulis yang kupegang. Secarik kertas. Sebuah surat.

Untuk anakku tersayang.
Anakku, bapak menulis surat ini saat bapak baru saja membelikanmu susu. Ya, saat ini kamu baru berumur tiga tahun. Umur sedang lucu-lucunya.

Nak, bapak adalah orang yang sangat suka dengan puisi. Ketika bapak menulis, membaca atau mendengarkan puisi, hati bapak akan terasa nyaman dan sejuk. Dengan puisi bapak dapat merasakan dan menikmati hidup. Ya. Bapak memutuskan untuk menjadi seorang penyair. Waktu muda bapak, bapak habiskan untuk berkutat dengan puisi.

Tapi saat itu, kakekmu tidak mengijinkan bapak untuk menjadi seorang penyair. Maklum, kakekmu itu orangnya kolot, feudal. Maklum lah, kakekmu itu wong ndeso kluthuk. Kekekmu menginginkan bapak umtuk membantu kakek jualan garam sama ikan asin di pasar.
Bapak sempat cek cok dengan kakek waktu itu. Namun bapak bersikukuh dengan keputusan bapak. Menjadi seorang penyair. Hingga bapak menikah dengan ibumu dan kamu lahir, bapak masih berkutat dengan puisi. Bapak percaya kalau bapak bisa menghidupi kamu dan ibumu dengan puisi.

Tapi kenyataan berbicara lain. Mungkin karena tidak mendapat restudari kakekmu kali ya? Bapak tidak pernah mendapat uang sepeserpun dari puisi-puisi bapak. Sudah berpuluh-puluh kali bapak mengirimkan puisi-puisi bapak ke koran, tabloid, dan majalah. Hasilnya nihil. Tak satu puisi pun yang dimuat. Sudah beberapa kal bapakmendatangi penerbit. Tak satu pun yang mau menerbitkan puisi-puisi bapak.
Bapak sangat sedih nak. Untunglah ibumu orang yang sabar dan pengertian. Dia mengerti dengan keadaanbapak. Untungnya lagi, ibu bekerja sebagai guru SD. Jadi selama ini ibulah yang menjadi tulangpunggung keluarga, bukan bapak.

Bapak sangat malu sama ibu. Malu. Maka, saat ini bapak putuskan untuk melupakan citacita bapak dan menyingkirkan pisi-puisi bapak dari hadapan bapak dan berkonsentrasi untuk mencari pekerjaan lain yang lebih bisa diharapkan.
Bapak memang tidak membuang puisi-puisi bapak di laut atau membakarnya menjadi abu. Bapak masih menyimpannya. Ya untuk kenangan bapak jika bapak tua kelak.
Anakku, matahariku. Bapak ingin kamu menjadi orang yang berhasil. Terserah mau jadi apa. Asalkan jangan jadi penyair, itu saja. Tidak lebih. Bapak tidak inginkamu menjadi seperti bapak sekarang.

Anakku, bapak menyayangimu.

Kebumen, 3 Mei 87


Jiwaku gusar dan sedikit terguncang. Ternyata itulah mengapa bapak marah-marah saat aku bilang kalu aku inginmenjadi penyair. Aku tidak percaya, ternyata bapak menyimpan rahasia kepadaku.

Tiba-tiba air mataku mengalir membelah pipi. Dan aku semakin yakin dengan keputusanku untuk menjadi seoran gpenyair. Akan kubuktikan kepada bapak jika aku tidak akan seperti dia dulu. Akan kubuktikanjika kelak istri dan anak-anakku akakn aku kasih makan mereka puisi.

Sanggar Sastra Wedang Kendhi, April 2007