16 Maret 2009

AKAN KUBERI MAKAN MEREKA DENGAN PUISI

Kebanyakan orang tua menginginkan anaknya untuk menjadi dokter, insinyur, guru, menteri, bahkan presiden. Karena di situlah prestise keluarga akan terangkat dan masyarakat akan lebih ngajeni.

“Joko hebat ya, itu, anak nomor dua pak Joyo, sekarang sudah jadi dokter.”

“Iya, tidak hanya itu, adiknya, Rusdi juga sudah jadi insinyur, dan Ratna, kakaknya juga sudah jadi guru SMA di ibu kota.”

Itulah kira-kira kata-kata yang terlontar dari mulut mayarakat. Dengan sendirinya mereka telah meletakkan orang tersebut setingkat lebih tinggi. Tidak hanya itu, mereka menjadikan si dia sebagai icon, sebagai panutan. Tapi itulah yang terjadi. Dari zaman kompeni hingga jaman komputer sekarang ini. Apalagi di daerah pedesaan, tak terkecuali dimana aku dilahirkan dan dibesarkan oleh orang tuaku.

Ibu adalah seorang guru pada sebuah sekoalah dasar di desaku. Dia mengabdikan dirinya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa kurang lebih selama sembilan belas tahun. Bapak adalah seorang kaur kesra di desa ini. Aku adalah anak pertama dan satu-satunya di rumah. Kami bukan termasuk keluarga yang kaya. Ya, cukuplah. Meski hidup di desa, kami tidak memiliki sawah atau pekaranganyang luas seperti warga yang lain, sebab kami bukanlah pndudukasli desa ini. Ya, kami adalah pendatang. Dengan keadaan yang seperti itu, dapat membiayayaik hingga tamat SMA.

Bapak meningnkanku sebagai dokter. Lain dengan ibu, dia lebih mengingnkan aku untuk mengikuti jejaknya. Ya, sebetulnya keduanya sama-sama baik, malah lebih baik dibanding dengan profesi yang lain. Keduanya sama-sama mengabdikan diri dengan ilmu yang dimilikinya kepada uamt manusia. Menjadi guru adalah suau hal yang sangat mulia. Mencerdaskan kehidupan bangsa, saya rasa julukan itu cocok untuk seseorang yang berprofesi sebagai guru. Sungguh luar biasa. Bias dikatakan, tanpa guru sebuah bangsa akan selalu dalam kegelapan.

Dokter, sebuah profesi yang langsung berhubungan dengan nyawa manusia. Di desaku, menjadi dokter adalah sebuah prestasi yang luar biasa. Secara otomatis strata sosial pun segera naik satu ingga dua level. Dan orang akan segera ngajeni dengan munduk-munduk di hadapannya.

***

Rabu sore, langit sudah mulai gelap. Kami berkumpul di ruang tengah.

“Aku ingin kuliah di sastra,” dengan sedikit cemas akhirnya kalimat itu meluncur dari mulutku.

Tidak ada sahutan.

“Aku ingin kuliah di sastra, Pak, Bu,” kuulangi lagi ucapanku tadi.

“Bapak tidak salah dengar?” akhirnya ada sahutan.

“Benar, bapak tidak salah dengar. Aku ingin kuliah di sastra.”

“Lalu kamu mau ambil apa?” Tanya ibu pelan.

“Sastra Indonesia,”jawabku singkat.

“Sastra Indonesia?” Tanya bapak dengan nada sedikit kaget, “mau jadi apa kamu nanti?” tambahnya.

“Aku ngin jadi sastrawan.”

“Ha, ha, ha……!!!” tawa ayah tiba-tiba meledak, “ha…ha..ha……mau jadi sastrawan? Jadi penyair?”

“Ya.”

“Baru kali ini ada seseorang punya keinginan menjadi seorang sastrawan, menjadiseorang penyair. Apa hebatnya seorang penyair, ha? Dengar! Penyair itu orang yang tidak punya masa depan. Rambutnya gondrong, acak-acakan, jarang mandi, bajunya kucel, kesana-kemari berteriak membacakan puisi, seperti orang gila…..”

“Tapi pak…”

“Jangan menyela, bapak belum selesai bicara,” kali ini nada bicara bapak mulai meninggi, “lalu melanglang buana ke tempat antah berantah demi sebuah puisi.kurang kerjaan, ngabis-ngabisin duwit thok!

“Bu, anakmu tuh!,” tambahnya.

“Lho, bapak kok jadi nyalahin ibu, wong buatnya bareng kok,” ibu tak terima, “le, kamu boleh jadi apa saja, ibu ndak ngelarang kok. Tapi mbok ya o kamu ngertiin bapakmu. Ya udah, kamu boleh kuliah di sastra, tapi jangan ambil Indonesianya ya, ambil Inggris apa Jepang apa Prancis malah ndak apa-apa. Sarjana sastra Indonesia sekarang itu ndak kepakai di sini. Kalau sarjana sastra Inggris atau Jepang kamu akan mudah cari kerja,” kata ibu menasihatiku dengan lembut.

Bapak mengambil Dji Sam Soe satu batang dari bungkusnya yang ada di saku bajunya, lalu dibakarnya. Dihisapnya dalam-dalam. Sambil menyemburkan asap ke udara, bapak melanjutkan kalimatnya.

“Bu, ambilkan minum,” lalu pandangannya beralih kepadaku, “jadi penyair itu susah dapat duit. Koran? Mau berapa ratus puisimu yang mau kamu kirim ke Koran? Ya kalau dimuat, paling-paling cuma dapat dua ratus ribu.”

Ibu datang dari dapur sambil membawa secangkir the tubruk kesukaan bapak,lalu diletakkannya di atas meja kecil di depanku.

“Terus, kalu kamu sudah punya istri, punya anak, mau kamu beri makan apa mereka? Uang segitu cukup?! Buat beli beras, beli sayur, beli susu, beli minyak, beli ini, beli itu. Mau kami suruh mereka makan puisi?! Hah!”

Bapak mengambil cangkir di depannya lalu didekatkan kea rah bibirnya yang hitam. Bibirnya mecucu meniup minuman kesukaannya yang masih panas., lalu diseruputnya sedikit demi sedikit. Setelah itu diletakkannya kembali di atas meja kayu berukir itu.

Wes lah, kamu tu ndak usah neko-neko. Bapak ingin kamu jadi orang bener, jadi orang sukses. Bisa menghidupi anak istrimu kelak,” kaliini nada bicaranya mulai menurun, “dan yang pasti, bapak sama ibu akan merasa bangga jika kamu bisa jadi dokter, insinyur, atau dosen atau direktur. Kamu adalah satu-satunya anak yang dapat mengangkat martabat orang tuamu ini.”

“Tapi pak, aku sudah yakin kalau aku ingin menjadi seorang penyair seperti Rendra atau Amir Hamzah,” akhirnya aku bicara.

“Bapak tahu, kamu punya alas an yangmasuk akal. Kamu sudah besar. Kamu sudah bisa berpikir mana yang baik dan mana yang buruk buat kamu. Jadi pikirkan lagi keputusanmu tadi masak-masak. Tapi yang jelas bapak tidak setuju kalu kamu menjadi seorang penyair. Bapak tidak suka itu.”

Ibu yang biasanya membelaku, entah kenapa malam ini dia hanya berkata sedikit. Apa mungkin pemikiran ibu sama dengan pemikiran bapak, jadi ibu tidak perlu bicara panjang lebar seperti bapak. Padahal aku sangat mengharapkan pembelaan darinya.
“Bapak cumangasih kamu nasihat, toh nanti kamu yang akan menjalaninya to, bukan bapak atau ibu. Mendingan kamu istirahat sana, bapak juga mau istirahat, capek. Lagian juga sudah malam, ndak baik ngomong keras-keras.”

Dihisapnya lagi rokok kretek yang tinggal putung di sela jari tangan kanannya. Setelah itu dihunjamkannya di asbak sambil menyemburkan asap dari bibirnya. Tangannya diangkat kembali sambil memegang cangkir. Diminumnya teh tubruk yang sudah aga dingin itu sampai habis.

Ibu masih memasang matanya ke arahku. Dan aku segera bangkit lemas dengan perasaan dongkol meninggalkan mereka.

***

Pagi sudah hilang setengah. Bapak dan ibu sudah pergi ke kantor masing-masing beberapa jam lalu. Aku di rumah sendiri. Ya tadi pagi, sebelum berangkat, ibu menyuruhku untuk memberesi gudang.

Lama aku tak masuk gudang. Debu berhamburan di mana-mana. Sarang laba-laba bergelayuran sesuka mereka. Dan aku muali melakukan pekerjaanku. Memindahkan baran ini, mengangkat barang itu, merapikan itu, menyapu lantai dan lain-lain dan lain-lain.

Tiba-tiba mataku menumbuk sesuatu. Sebuah kardus mie-instant tertutup rapa oleh perekat tergeletak di pojok ruangan.

Kuhampiri dan kubuka perlahan. Dan… ya tuhan!. Setumpuk buku kumpulan puisi karya penyair terkenal. Ada punya Chairil, Sutardji, Umbu, Gus Mus, hingga STA dan beberapa karya penyair luar negeri. Serta setumpuk buku tulis. Semuanya usang dan sebagian ada yang berlubang dimakan kutu buku.

Aku keluarkan semuanya dari kardus itu. Aku bertanya dalam hati. Punya siapa buku-buku ini? Dan buku-buku tulis ini? Kubuka satu peratu. Aku tambah tak percaya; lebih dari tiga ratus puisi tertulis di dalamnya.

Tiba-tiba ada yang jatuh dari sela-sela buku tulis yang kupegang. Secarik kertas. Sebuah surat.

Untuk anakku tersayang.
Anakku, bapak menulis surat ini saat bapak baru saja membelikanmu susu. Ya, saat ini kamu baru berumur tiga tahun. Umur sedang lucu-lucunya.

Nak, bapak adalah orang yang sangat suka dengan puisi. Ketika bapak menulis, membaca atau mendengarkan puisi, hati bapak akan terasa nyaman dan sejuk. Dengan puisi bapak dapat merasakan dan menikmati hidup. Ya. Bapak memutuskan untuk menjadi seorang penyair. Waktu muda bapak, bapak habiskan untuk berkutat dengan puisi.

Tapi saat itu, kakekmu tidak mengijinkan bapak untuk menjadi seorang penyair. Maklum, kakekmu itu orangnya kolot, feudal. Maklum lah, kakekmu itu wong ndeso kluthuk. Kekekmu menginginkan bapak umtuk membantu kakek jualan garam sama ikan asin di pasar.
Bapak sempat cek cok dengan kakek waktu itu. Namun bapak bersikukuh dengan keputusan bapak. Menjadi seorang penyair. Hingga bapak menikah dengan ibumu dan kamu lahir, bapak masih berkutat dengan puisi. Bapak percaya kalau bapak bisa menghidupi kamu dan ibumu dengan puisi.

Tapi kenyataan berbicara lain. Mungkin karena tidak mendapat restudari kakekmu kali ya? Bapak tidak pernah mendapat uang sepeserpun dari puisi-puisi bapak. Sudah berpuluh-puluh kali bapak mengirimkan puisi-puisi bapak ke koran, tabloid, dan majalah. Hasilnya nihil. Tak satu puisi pun yang dimuat. Sudah beberapa kal bapakmendatangi penerbit. Tak satu pun yang mau menerbitkan puisi-puisi bapak.
Bapak sangat sedih nak. Untunglah ibumu orang yang sabar dan pengertian. Dia mengerti dengan keadaanbapak. Untungnya lagi, ibu bekerja sebagai guru SD. Jadi selama ini ibulah yang menjadi tulangpunggung keluarga, bukan bapak.

Bapak sangat malu sama ibu. Malu. Maka, saat ini bapak putuskan untuk melupakan citacita bapak dan menyingkirkan pisi-puisi bapak dari hadapan bapak dan berkonsentrasi untuk mencari pekerjaan lain yang lebih bisa diharapkan.
Bapak memang tidak membuang puisi-puisi bapak di laut atau membakarnya menjadi abu. Bapak masih menyimpannya. Ya untuk kenangan bapak jika bapak tua kelak.
Anakku, matahariku. Bapak ingin kamu menjadi orang yang berhasil. Terserah mau jadi apa. Asalkan jangan jadi penyair, itu saja. Tidak lebih. Bapak tidak inginkamu menjadi seperti bapak sekarang.

Anakku, bapak menyayangimu.

Kebumen, 3 Mei 87


Jiwaku gusar dan sedikit terguncang. Ternyata itulah mengapa bapak marah-marah saat aku bilang kalu aku inginmenjadi penyair. Aku tidak percaya, ternyata bapak menyimpan rahasia kepadaku.

Tiba-tiba air mataku mengalir membelah pipi. Dan aku semakin yakin dengan keputusanku untuk menjadi seoran gpenyair. Akan kubuktikan kepada bapak jika aku tidak akan seperti dia dulu. Akan kubuktikanjika kelak istri dan anak-anakku akakn aku kasih makan mereka puisi.

Sanggar Sastra Wedang Kendhi, April 2007

0 komentar:

Posting Komentar