18 Maret 2009

SURAT KEPADA KAWAN


Kawanku di negeri bidadari,
Aku menulis surat ini bukan atas apa-apa
Bukan atas nama cinta atau luka
Hanya sekedar ingin berkabar saja

Kawanku di negeri bidadari,
Bagaimana kabarmu?
Bagaimana kabar negerimu?
Aih.. pastilah kau selalu pelangi
Semerdu angin yang berbisik di negerimu

Kawan,
Negerimu negerimu
Negeriku negeriku
Negeriku tak seperti negerimu

Negeriku memang dulu pernah seperti negerimu
Hijau seperti saphir di cincin yang melingkar di jari manis kekasihku
Biru seperti pita yang melingkari topi di atas rambut legam kekasihku
Kuning seperi langsat kulit tubuh kekasihku
Jingga seperti senja di belakang rumah kekasihku
Nila seperti cat kuku yang tergambar di jari-jari lentik kekasihku
Ungu seperti renda teronce di baju tidur kekasihku

Tapi kini tidak kawan
Bila kau tatap dari angkasa
Maka negeriku merah kehitam-hitaman
Seperti darah yang membeku

Perkelahian, pengroyokan, perang antar suku, pembunuhan
Menjadi sarapan di halaman utama koran pagi
Pencurian, penipuan, penghiantan, pembalakan, korupsi, kolusi
Menjadi minuman segar di terik siang

Kawan,
Di negeriku tuhan diuangkan
Uang menjelma tuhan
Maka manusia beruang
Dia akan menitis tuhan

Kawanku di negeri bidadari,
Bila hujan di negerimu
Pastilah menyulap rumput menjadi bunga
Menyulap bunga menjadi buah
Dan menyulap buah menjadi berkah

Tapi tidak di degeriku
Di sini hujan menyulap apa saja menjadi kematian
Hujan air mata!
Banjir air mata!
Air mata darah!
Air mata siapa saja
Air mata berbau anyir

Kawan, bila kau berkunjung ke negeriku
(sebaiknya jangan pernah terpikir untuk itu)
Kau akan disambut dengan tangis
Perjalanan wisatamu akan diringi dengan tangis
Dan kau akan diantar pulang dengan tangis

Tangis yang histeris
Membuncah dari mulut-mulut manusia
Yang selalu dimata-matai kematian
Manusia siapa saja

Busung lapar, kurang gizi, kekeringan,
Kemiskinan, kebodohan, penggusuran,
Pemulung, pengemis, gelandangan,
Harga yang mencekik
Dan segala macam kereta kencana kematian

Kawan,
Di negeriku merpati, kutilang, murai, kakatua
Menjelma ribuan gagak
Berteriak, berteriak, pekak!
Mengabar irama kematian
Pada jiwa-jiwa kami

Cecndrawasih, merak, gelatik, elang
Menjelma ribuan nasar
Menari merentang sayap
Berputar, berputar, putar!
Berpusing di kepala kami
Memata-matai kami
Mengoyak tubuh kami yang hanya terbungkus kulit

Kawanku di negeri bidadari,
Aku ingin sekali pergi bersama saudara-saudaraku
Mengunjungi gedung teater
Dan menyaksikan drama tentang Panthom of The Opera
Atau tentang Hamlet atau tentang Odipus seperti kau

Tapi di negeriku, opera hanya tentang kebohongan-kebohongan saja
Kebohongan manusia kepada tuhan
Kebohongan manusia kepada alam
Kebohongan kepada manusia
Kebohongan kawan kepada kawan
Kebohongan pemerintah kepada rakyat

Pemerintah di negeriku adalah adipemerintah
Memerintah seenak pusar
Melangitkan harga kebutuhan perut
Minyak membumbung, beras membumbung, lauk membumbung

Gedung perwakilan rakyat telah menjelma menjadi gedung teater
Yang mempertotonkan sandiwara-sandiwara aneh yang tak bermutu
Para aktornya hanya membuat peraturan-peraturan tak berguna
Saling berdebat kusir, saling pukul, saling cemooh
Atau hanya tidur saja kala sidang

Para wakil rakyat gagah berdasi yang duduk di atas sana
Mereka pemakan uang rakyat
Tanpa mendengar keinginan rakyat
Tanpa peduli pada rakyat

Kawanku di negeri bidadari,
Di negeriku, aparat menjadi kerat
Pengayom masyarakat hanya menjadi semboyan
Yang tertempel pada baliho di tepi jalan

Pendidikan gratis, pengobatan gratis,
Bahan-bahan murah, Santunan bagi orang tak mampu
Hanya menjadi mimpi di atas mimpi tidur siang
Yang tak nyenyak kami

Kawanku di negeri bidadari,
Aku merindu hidup seperti di negerimu
yang pernah kau ceritakan padaku
Hidup nyaman, aman, tentram, damai

”Bila pemerntah bengkok, maka puisilah yang meluruskan”
Pastilah kau pernah mendengar jargon itu
Itu tak terjadi di negeriku kawan
Puisi hanya menjadi barang aneh yang terpampang di surat kabar minggu
Menjadi bungkus nasi atau makanan ringan
Teremas, terbuang, terinjak dan terlupakan

Ah…kawanku di negeri bidadari,
Aku terlalu melantur menuliskan surat ini padamu
Kali waktu aku kan menulis lagi tentang negeriku
Sebab semua yang kutuliskan tadi di atas belumlah semua

Kebumen-Purwokerto, Agustus 2008

0 komentar:

Posting Komentar