19 Desember 2008

SENYUM PARA MALAIKAT


“Hai malaikat-malaikat-Ku, telah Ku jadikan bulan ini sebagai berlian manikam yang paling manikam di seluruh alam ciptaan-Ku. Telah kupersiapkan tak terujung pahala bagi manusia di bumi yang kecil itu, tentu saja bagi mereka, umat Muhammad yang selalu menyerukan nama-Ku dalam setiap lakunya. Telah Ku janjikan seribu bulan bagi mereka yang senantiasa melafazkan asma-Ku di mendekati penghujung Ramadhan ini. Maka, ambillah kantung-kantung pahala di almari itu dan turunlah kalian ke planet biru itu. hampiri mereka yang selalu menyeru nama-Ku!”

Maka seketika para malaikat bergegas menuju sebuah ruangan di salah satu sudut surga firdaus. Di ruang tersebut terdapat almari-almari berwarna nikmat, berjajar membentuk barisan seperti parade. Para malaikat berdiri satu persatu di depan almari tersebut dan membuka pintunya bersamaan. Maka terlihatlah ribuan kantung terbuat dari cahaya surga. Dalam kantung-kantung tersebut terdapat tak terhitung pahala yang bersinar terbuat dari cahaya surga yang paling indah dan utama. Diambilnya seluruh kantung-kantung pahala tersebut dan dimasukkannya ke dalam tas yang sangat besar di pinggangnya.

Setelah itu, mereka segera keluar dari rumah Allah dan menuju pelataran yang sangat luas. Mereka berjajar rapi. Kedua buah sayap yang terkuncup di belakang pundaknya serentak merentang gagah seperti elang dan mengeluarkan cahaya yang nikmat. Sayap yang indah. Bulu-bulunya putih melebihi putihnya kapas atau susu yang diperas dari payudara unta terbaik di jazirah Arab.

Tak selang kemudian, serentak ribuan malaikat terbang melesat ke angkasa raya dari surga yang paling mulia menuju sebuah bola kecil berwarna biru di antara ribuan bintang di salah satu sudut galaksi. Bola kecil itu bernama bumi. Tempat dimana jutaan manusia anak cucu Adam hidup. Terbang membantang sayap. Melesap lepas lebih cepat dari kecepatan cahaya. Begitu cepatnya hingga terlihat seperti larik cahaya tipis yang berkilau menyegarkan mata. Mereka membentuk sebuah formasi indah melebihi lukisan Michael Angelo atau Monet.

Ada kesegaran melebihi embun pagi di setiap wajah mereka. Madu termanis dari sungai di belakang rumah Allah tersulam sempurna di bibir mereka, membentuk sebuah senyuman yang selalu tersemat. Betapa tidak, mereka membawa berjuta pahala yang luar biasa nikmatnya untuk manusia-manusia terpilih di mata tuhan mereka. Pahala yang tercipta dari tangan Allah yang paling suci di bulan yang paling suci dari segala bulan yang ada. Pahala yang hanya ada di bulan Ramadhan. Terlebih lagi mereka turun ke bumi tepat pada malam lailatul qadar. Malam yang paling mulia diantara malam-malam yang ada.

Dari kedua buah bibir yang selalu tersimpul senyum kebanggaan itu terlafadzkan kata-kata takbir, tahmid, dan tahlil menyerukan asma Allah. Mereka berzikir kepada Allah. Seperti itu selalu. Alangkah merdunya, melebihi nyanyian termerdu dari bibir Sirens yang membuat gila Odiseus atau nada-nada yang dilahirkan oleh jari-jari lembut Apollo yang menari di dawai-dawai harpa emasnya.

Tubuh mereka yang gagah, terbungkus pakaian terindah. Di kepala mereka juga terlilit surban dengan warna yang sama dengan pakaian mereka. Pakaian yang dirajut dari benang-benang sutra yang dipetik dari pohon emas putih yang tumbuh di taman surga.
Dan bagi setiap langit yang dilintasi para malikat itu adalah sebuah anugrah yang maha nikmat yang diberikan oleh penciptanya. Setiap benda angkasa di langit tersebut serentak memberikan sambutan dan mengiringi perjalanan para malaikat pembawa kantung-kantung pahala dari surga itu dengan nyanyian termerdu dari bibir mereka. Sama seperti yang dilafadzkan para malaikat itu. Ya, bintang, planet, bulan, meteor, galaksi dan jutaan benda langit lainnya berzikir kepada Allah. Bahkan debu yang mengambang di langit hampa segera berlari agar para malaikat Allah itu dapat terbang di jalan yang bersih dan suci. Dan tak lupa mereka pun ikut berzikir menyerukan asma Allah Subhanahuwataalla.

Laaillahaillalah! Laaillahaillalah! Laaillahaillalah!

Subhanallah! Subhanallah! Subhanallah!

Allahuakbar! Allahuakbar! Allahuakbar!

Ya, seluruh alam mengiringi perjalanan mereka ke alam manusia. Senantiasa berzikir tiada henti seperti rantai yang tak pernah putus dari surga hingga Bumi.
Hingga pada akhirnya, rombongan malaikat suci pembawa pahala yang diberkahi oleh Allah Subhanahuwataala pun masuk ke dalam tata surya matahari. Sebuah tata surya kecil di antara jutaan tata surya yang ada di gugus bintang Bimasakti. Di sini pun demikaian halnya. Matahari, sebagai tuan rumah segera memerintahkan anak-anaknya untuk menyambut kedatangan para malaikat Allah dengan lantunan zikir.

“Assalamualaikum warahmatullahiwabarokatuh.”

“Waalaikum salam warahmatullahiwabarokatuh. Selamat datang wahai para malaikat Allah yang mulia”sahut Matahari beserta isi tata surya.

Tata surya ini adalah tata surya yang paling beruntung diantara tata surya lain. Bagaimana tidak, di tata surya yang kecil ini terdapat sebuah planet berwarna biru bernama bumi yang terdapat air dan udara hingga menjadi sebuah rumah bagi mahluk hidup. Di tata surya inilah mahluk tuhan yang bernama manusia ada dan hidup. Di tata surya ini lahir manusia-manusia pilihan yang di berkahi dan disayangi oleh penciptanya. Di tata surya ini lahir manusia pembawa ajaran tauhid seperti Nuh, Ibrahim, Ismail, Sulaiman, Isa, dan manusia paling mulia di sisi Allah, manusia penyempurna Islam, Muahammad. Di planet bumi inilah Al-Quran hadir. Dan di tata surya inilah pada setiap tahunnya, ribuan malaikat Allah datang membawa jutaan pahala ternikmat dari lemari surga yang paling teridah.

Dari Pluto, Neptunus, Uranus, Saturnus, Jupiter, dan Mars berserta para satelitnya berzikir tiada henti serta memberikan salam teridah bagi para malaikat Allah. Meskipun Matahari, Merkurius, dan Venus tidak dilalui oleh malaikat-malaikat itu, namun mereka tetap bersemangat memberikan sambutan dan doa serta zikir kepada Allah.
Hingga akhirnya mereka pun tiba di planet kecil berwarna biru dan putih tempat dulu pertama kali Adam, manusia pertama di alam raya ini di turunkan dari surga bersama Hawa. Sebelumnya mereka telah disambut terlebih dahulu oleh benda kecil di sebelah Bumi bernama bulan.

Dan Bumilah, benda langit kecil itu yang paling bersemangat dan penuh suka cita menyambut mereka. Dari atmosfer dingin yang paling terluar hingga api yang membara dalam perut bumi yang paling dalam. Tanah, air, pohon, rumput, bunga, gajah, jerapah, sapi, kuda, angsa, burung, ikan, kumbang, cacing, hingga bakteri yang paling terkecil sekalipun tak henti-hentinya berzikir kepada Allah menyambut malaikat-malaikat suci itu.

Sesampai di atmosfer, tanpa perlu dikomando, mereka segera menyabar ke seluruh penjuru dunia. Mereka melesat menuju Makkah, Madinah, Palestina, Kairo, Iran, Suriah, Turki, Afrika Selatan, Nigeria, Indonesia, India, Jepang, Bosnia Herzegovina, Inggris, Spanyol, Jerman, Itali, Austria, Meksiko, Brazil, Argentina, Kuba, hingga Amerika dan Rusia. Setiap negara dimanapun di belahan dunia. Tidak peduli negara itu menganut paham federal, republik, sekuler atau bahkan komunis. Dari kota-kota besar hingga desa-desa kecil Dari tepi laut hingga yang terpencil di atas gunung.
Melesat menuju tempat dimana terdapat manusia yang khusuk shalat, berdoa, dan berzikir melafazkan asma Allah tanpa henti serta berserah diri kepada sesembahannya. Tanpa mengenal lelah dan kantuk.

Dan dialah manusia yang paling beruntung di antara manusia beruntung. Dia yang tiba-tiba diketuk jendelanya oleh para malaikat-malaikat Allah. Dan malaikat-malaikat itu dengan hati berbunga menaburkan kantung-kantung pahala yang diambil dari lemari surga kepada jiwa-jiwa nasuha itu.

Maka dia akan menjelma pengikut Muhammad yang selalu disayangi oleh Allah. Dari wajahnya akan berpendar cahaya sejuk seperti embun yang jatuh dari ujung daun keladi. Dari matanya tumbuh pohon beringin yang memberikan rumah teduh bagi burung-burung gereja. Setiap kata yang terlafaz dari mulutnya menjelma bebunga yang selalu mekar mengharum, nikmat dijaring liang telinga. Bilapun kakinya melangkah, jejak yang tersemat menyublim menjadi padang rumput hijau beroase. dengan air tiada pernah surut barang sekejap. Mengenyangkan dan menyegarkan para pengembara yang melintas.

Akhirnya, para malaikat Allah segera pamit saat bintang fajar mulai pudar. Dan tugaspun usailah mereka pun mengucap pamit kepada untuk kembali menghadap kepada penciptanya. Di sepanjang perjalanan pulang melintasi cakrawala, mulut mereka tak henti mendoakan keselamatan kepada Allah bagi manusia-manusia pilihan itu.
Dan sampailah mereka di rumah masing-masing di surga dengan senyum melati tersemat di bibirnya.

Sanggar Sastra Wedang Kendhi, September 2008

KARYA SASTRA YANG BAIK*


Dalam setiap karya sastra mengandung hal yang baik. Dalam bahasa Sansekerta, sastra atau susastra berasal dari kata su yang berarti baik dan sastra yang berarti ajaran, sehingga dapat diartikan bahwa susastra itu adalah sebuah ajaran yang berisi kebaikan yang ditujukan kepada manusia dengan tujuan kebaikan pula.
Sastra dalam bahasa lain sering kita sebut sebagai literatur. Literatur berasal dari bahasa Latin yaitu litera yang berarti tulisan. Literature dapat diartikan sebagai sesuatu hal yang berkaitan dengan tulisan. Akan tetapi tidak setiap tulisan dapat dikatakan sebagai sebuah karya sastra.

Karya sastra terbagi menjadi beberapa genre atau jenis. Menurut Aristoteles dalam bukunya Poetica, karya sastra berdasar ragam perwujudannya terdiri atas tiga macam, yaitu epic, lyric, dan drama. Epic adalah teks yang sebagian berisi deskripsi (paparan kisah), dan sebagian lainnya berisi ujaran tokoh (cakapan). Epic ini bisa disebut prosa. Dalam perkembangannya, prosa terbagi menjadi beberapa jenis yaitu cerpen, cerkak, novel, roman, novelette, dan cerita bersambung. Lyric adalah ungkapan atau ide pengarang. Dalam hal ini yang berbicara adalah “aku”, yang biasa disebut penyair. Lyric ini yang sekarang disebut puisi atau sajak. Drama adalah karya sastra yang didominasi oleh percakapan para tokoh (Noor, 2005:24).

Dalam perkembangannya karya sastra tidak hanya terbagi menjadi tiga saja. Kritik sastra menjadi genre terakhir dalam karya sastra. Literary has a relationship with the other knowledge (Helcombe: 2007). Karya sastra bukan suatu objek yang netral, melainkan sebuah objek yang eksistensinya terikat pada beberapa variebel. Setiap teks sastra terikat pada pengarang dan pembaca. (Noor: 2005:4). Keterikatan tersebut melahirkan penilaian sastra atau yang sering disebut kritik sastra.

Sedangkan menurut medianya, karya sastra terbagi menjadi dua jenis yaitu sastra ujar dan sastra tulis. Sastra ujar adalah karya sastra yang dalam penyampaiannya menggunakan mulut atau lisan berupa ucapan. Karya sastra ini antara lain berupa dongeng, fable, epos, legenda, sage, mite, dan hikayat. Sedang karya sastra tulis adalah karya sastra yang dalam penyampaiannya menggunakan tulisan. Karya sastra ini antara lain berupa puisi, prosa, dan naskah drama.

Karya sastra yang baik
Lalu karya sastra yang baik itu yang seperti apa? Karya sastra yang baik memiliki berbagai macam aspek di dalamnya yaitu:

1. Hakikat
Apakah sesungguhnya karya sastra itu? Karya sastra adalah karya yang bersifat imajinatif. Karya sastra bersifat fiktif (rekaan). Meskipun karya sastra memiliki bahan (inspirasi) dari dunia nyata namun telah diolah oleh pengarang melalui imajinasinya. Realitas dalam dunia sastra telah ditambah “sesuatu” oleh pengarang sehingga kebenaran karya sastra adalah kebenaran yang dianggap ideal oleh pengarang. Menurut Luxemburg, karya sastra adalah pencerminan masyarakat. Dalam hal ini penggamabaran kenyataan. Akan tetapi karya sastra menciptakan dunianya sendiri yaitu dunia yang lepas dari kenyataan (1984).

Menurut Redyanto Noor, hakikat karya sastra ada tiga, yaitu:
• Karya sastra merupakan struktur dunia rekaan, artinya realitas dalam karya sastra adalah realitas rekaan yang tidak sama dengan realitas dunia nyata.
• Sebagai pencerminan kehidupan tidak berarti karya sastra merupakan gambaran tentang kehidupan, akan tetapi pendapat pengarang tentang keseluruhan kehidupan.
• Karya sastra meskipun bersifat rekaan, tetapi tetap mengacu kepada realitas dalam dunia nyata.

2. Fungsi
Secara keseluruhan, karya sastra mempunyai fungsi seperti yang diungkapkan oleh filsuf Yunani, Horatius, yaitu dulce et utile (menyenangkan dan berguna). Menyenangkan karena karya sastra memberikan kenikmatan, tidak memaksa siapapun; berguna karena mengisyaratkan pada suatu yang pantas diperhatikan secara sungguh-sungguh.

Aristoteles menyatakan bahwa sastra berfungsi catharsis (pencucian emosi), yaitu membebaskan pembaca sekaligus pengarang dari tekanan emosi, batin dan perasaan.
Sastra tidak terlepas dari ilmu-ilmu lain. Sastra adalah salah satu bentuk karya seni. Sebuah karya seni yang baik adalah seni yang sebesar-besarnya bermanfaat untuk masyarakat. Karya seni diciptakan untuk tujuan kepentingan masyarakat agar dapat meningkatkan kehidupan yang lebih baik. Menurut Dr. Yusuf Qardhawi, syarat-syarat sesuatu menjadi karya seni yaitu memberi manfaat, bukannya mendatangkan madharat; membangun, bukan malah merusak (1998:22)

Bahkan Presiden John F. Kennedy mengatakan bahwa jika kekuasaan bengkok maka puisilah yang harus meluruskan. Hal ini menyatakan bahwa puisi sebagai salah satu karya sastra mempunyai peran dalam mempengaruhi seorang pemimpin dalam menjalankan pemerintahan untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang memihak kepada masyarakatnya.

3. Estetika
Estetika adalah bagian dari filsafat seni. Yakni filsafat yang menkaji nilai-nilai berkaitan dengan keindahan. Selain unsur imajinatif, unsure keindahan memiliki peran penting dalam penciptaan karya sastra. Karya sastra yang baik mempunyai nilai estetika yang tinggi.

Menurut Thomas Aquinas, keindahan memiliki syarat yaitu:
• Memiliki keutuhan (kesempurnaan).
• Memilki keselarasan (keseimbangan) bentuk.
• Memiliki sinar kejelasan.

Berdasar tiga syarat tersebut dapat disimpulkan bahwa apapun yang memberi kita rasa puas itu indah. Hal ini menjadi fitrah manusia yaitu menyukai hal-hal yang indah (Qardhawi 1998:10).

Keindahan dalam karya sastra dapat dilihat dari segi-segi intrinsik yang terkandung dalam karya tersebut.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa karya sastra yang baik itu mempunyai unsur hakikat, fungsi dan estetika. Apabila dalam sebuah karya sastra tidak ada salah satu atau semua dari unsur tersebut, maka karya saatra tersebut tidak dapat disebut sebagai karya sastra yang baik. Demikian.

* Makalah disampaikan dalam Workshop Penulisan Karya Sastra pada Workshop Anggota Baru Teater DIDIK bertempat di STAIN Purwokerto pada tanggal 3 Desember 2008.


Referensi
Eneste, Pamusuk, 1993. Proses Kreatif I & II. Jakarta: Gramedia.
Helcombe, C. John. 2007. Types of Literary Critism. Posted in . http://www.assumption.edu/users/ady/HHGateway/ Gateway/Approaches.html.
Luxemburg, Jan van, Mieke Bal & Willem G. Weststeijn. 1984. Pengantar Ilmu Sastra (diidonesiakan Dick hartoko). Jakarta: PT. Gramedia.
Noor, Redyanto. 2005. Pengkajian Sastra. Semarang: Fasindo.
Qardhawi, DR. Yusuf. 1998. Islam Bicara Seni. Solo: Era Media.

Kita Lagi Diksar Mapatra di Gunung Slamet Ya Nda?

Lagi Istirahat Pas Seminar Pariwisata di LPM

Ini Baru Ayah Nda

Buka Puasa di Ichi Bento

09 Desember 2008

Sebenarnya Berita Tahun Lalu

Ada yang terlupa. Tahun lalu pada tanggal 9 Nivember 2007, secara tidak sengaja saya menulis namaku di mesin pencari Google. Ternyata cerpenku dimuat di Batam Pos (wah jauhnya, saking jauhnya honornya belum sampai hingga sekarang, hiks hiks...). Ternyata juga, cerpen ini diposting ke Sriti.com. Cerpen tersebut adalah berikut ini

MBAH JOYO

“Dulu ketika mbah masih manjadi pejuang mbah ditempatkan di baris depan. Mbah dulu berjuang di bawah pimpinan Jenderal Soedirman. Kalian tahu siapa Jenderal Soedirman.” Tanya Mbah Joyo.
“Tahu mbah. Dia kan yang berjuang dengan cara perang gerilya,” jawabku.
“Kamu benar, cah,” dia memanggilku dengan sebutan cah, meskipun aku bukan bocah lagi. Saat ini aku duduk di bangku SMP kelas tiga. “Dia adalah sosok yang paling mbah banggakan. Orangnya gagah dan penuh dengan wibawa. Dia sangat kharismatik. Tentara Belanda dulu keder saat mendengar namanya,” lanjutnya.
“Terus mbah?”
“Mbah dulu salah satu pasukan kepercayaanya. Mbah ingat saat kami berada di hutan. Berhari-hari kami berjalan menembus hutan yang gelap. Secara bergantian kami memanggul Pak Dirman dengan tandu. Sungguh berat waktu itu cah, apa lagi jika hujan turun. Hati kami menjadi galau. Bagaimana tidak, kami harus memutuskan diantara dua pilihan. Melanjutkan perjalanan atau berhenti dan menunggu hingga hujan reda. Jika berhenti dan menunggu hujan reda, maka perjalanan kami akan semakin lama sedangkan jarak yang harus kami tempuh masih sangat jauh. Jika meneruskan perjalanan, kami kasihan terhadap Pak Dirman. Sedangkan tandu yang dinaikinya tidak seperti pertama kali kami membuatnya. Kain penutup atapnya sudah sobek di sana sini. Hujan yang deras dengan merembes dan menetesi tubuh Pak Dirman. Kami kasihan kepadanya, tubuhnya semakin lemas, apalagi dengan penyakit yang menggerogoti tubuhnya,” dia berhenti sejenak mengambil nafas.
“Di tengah kebingungan seperti itu, tiba-tiba Pak Dirman berkata untuk melanjutkan perjalanan. Luar biasa dia, dengan keadaan seperti itu semangat cinta terhadap tanah air tidak padam, malahan bertambah dan menggebu-gebu. Mendengar instruksi itu kami pun bertambah semangat dan melanjutkan perjalanan. Dengan semangat membara kami berjalan menembus hujan. Udara yang dingin tidak terasa sama ssekali karena sudah terbakar oleh semangat kami. Kami tidak peduli meskipun jalan licin dan becek. Meskipun kaki kami digerayangi dan dihisap darahnya oleh pacet. Kami terus berjalan.”
“Lalu apa yang terjadi mbah?” tanyaku penasaran. Dia tersenyum lebar.
“Sebentar,” jawabnya.
Tangannya meraih cangkir yang terbuat dari seng di depannya dan menyeruput isinya. Setelah meletakkannya kembali di atas meja kayu yang lapuk itu, kini gantian rokok kretek berlabel merah itu diambilnya. Lalu diraih korek api di sebelahnya. Dinyalakannya rokok itu. Dihisap dalam-dalam, tak berapa lama kemudian disemburkannya asap dari mulutnya. Hidungnya naik turun. Tiba-tiba dia terbatuk-batuk. Dadanya yang telanjang terlihat kembang kempis. Tubuhnya yang kurus gemetar.
Setelah batuknya berhenti dia melanjutkan ceritanya. “Kami berhenti sejenak untuk beristirahat dan membuka perbekalan kami. Kami makan sedikit sekali karena perbekalan sudah semakin menipis. Kami mengusahakan agar tetap waspada. Memang tentara sekutu tidak ada, namun di dalam hutan apa saja bisa terjadi. Siapa tahu kami diterkam binatang buas tiba-tiba atau diseruduk oleh celeng. Lalu kami melanjutkan perjalanan.” dia berhenti sejenak. Dihisapnya rokok di jari tangannya kembali. Lalu disemburkan asapnya ke arah langit. Aku masih antusias memperhatikannya dan mendengarkan ceritanya hingga selesai.
“Setelah lebih dari dua minggu kami berada di hutan, akhirnya kami sampai juga di sebuah perkampungan. Kami disambut dengan hangat oleh warga. Kami beristirahat di kampung itu untuk mengembalikan tenaga. Kami menginap di rumah kepala desa selama dua hari. Setelah merasa tenaga kami pulih, kami pun melanjutkan perjalanan. Kami memperoleh bekal yang cukup dari warga.”
“Begitu ya mbah?” kataku.
“Ya begitulah, mbah rasa segitu dulu mbah cerita. Sudah sore, sebaiknya kamu pulang, nanti mbok dicari sama ibumu. Besok kalau kamu ke sini lagi, mbah akan ceritakan banyak lagi.”
“Ya mbah, terima kasih ya mbah, saya pulang dulu. Assalamu'alaikum.”
“Wa'alaikum salam.”
Aku bangkit dari tempat duduk dan bersalaman dengan Mbah Joyo sambil mencium punggung tangannya yang sudah keriput. Lalu kulangkahkan kaki meninggalkannya. Sesekali aku menoleh ke belakang melihatnya. Di masih duduk di bangku kayu yang hampir ambruk. Pandangannya tertuju padaku memperhatikan setiap langkahku.
***
Mbah Joyo adalah salah satu orang tua yang tinggal di desa kami. Dia tinggal sendirian di rumahnya yang reot. Dia tidak memiliki anak. Dia ditinggalkan istri tercintanya sekitar lima puluh tahun yang lalu. Istrinya yang sedang hamil terpeleset di sungai saat hendak mengambil air. Akhirnya nyawa istrinya tak tertolong dan meninggal. Nama lengkapnya adalah Sastrowijoyo. Aku memanggilnya Mbah Joyo. Rumahnya tak jauh dari rumahku. Jika ditempuh dengan jalan kaki maka membutuhkan waktu sekitar lima menit.
Kini di usia senjanya dia hidup sebatang kara. Rumahnya dari gedg yang sudah terlihat reot. Jika masuk ke dalam maka tak perlu melepas alas kaki karena lantainya masih berupa tanah, bukan lantai cor atau tegel. Di ruang tamu ada satu set kursi tamu dengan mejanya yang usianya kurang lebih sama dengan usiaku.
Di tiang penyangga rumahnya yang terbuat dari kayu gluglu tergantung sebuah foto yang sudah menguning sebesar amplop. Potret dirinya waktu masih muda dulu. Dia nampak gagah dan tampan. Dia mengenakan baju tentara lengkap dengan topinya. Di lehernya melingkar slayer berwarna merah putih. Tangannya memegang senapan. Hanya foto itu yang menjadi hiasan di rumahnya selebihnya tak ada. Tak ada kaligrafi atau lukisan bunga.
***
Hari ini adalah hari Jumat tanggal 10 November. Seperti tahun-tahun yang lalu, pada tanggal itu, sekolah kami selalu mengadakan upacara bendera memperingati hari pahlawan. Aku berdiri di depan sendiri bertugas sebagai pemimpin upacara. aku melaksanakan kewajibanku sebagai pemimpin upacara dengan tanggung jawab.
Saat mendengarkan sambutan dari pembina upacara aku mendengarkannya dengan penuh hikmat. Pembina upacara memberikan wajangan tentang kepahlawanan.
“Anak-anakku, bangsa ini tidak akan seperti ini sekarang tanpa pahlawan-pahlawan kita yang telah gugur mendahului kita. Jasanya sangatlah besar terhadap negeri ini. Mereka rela mengorbankan harta, dan benda, bahkan nyawanya demi kemerdekaan dan mengusir para penjajah. Untuk itu, kita sebagai generasi muda, berkewajiban untuk menghargai perjuangan mereka. Kita tidak harus berperang mengangkat senjata seperti mereka, namun kita bangun negara kita tercinta dengan kemampuan kita.”
Saat mengheningkan cipta untuk mendoakan arwah para pahlawan, tiba-tiba aku ingat Mbah Joyo. Ya, apa jadinya negeri ini tanpa orang-orang seperti Mbah Joyo. Tetapi, meskipun negara ini sudah merdeka, Mbah Joyo seakan belum bisa menikmati hasil perjuangannya mengangkat senjata dulu. Sekarangpun dia harus masih berjuang untuk dapat hidup. Dia masih berjuang demi mendapat sesuap nasi untuk menyambung hidup. Tak ada orang yang bersimpati kepadanya. Jangankan untuk membantu perekonomiannya, untuk sekedar datang berkunjung dan mendengarkan dirinya berceritapun tidak. Seolah-olah tidak ada penghargaan sama sekali kepadanya. Apakah masyarakat hanya memberikan penghargaan kepada mereka yang gugur saja, sedangkan yang masih hidup dibiarkan begitu saja? Apakah pemerintah juga demikian? Pikirku.
Dalam hati aku berjanji terhadap para pahlawan, juga Mbah Joyo. Akan kuteruskan perjuangan mereka dengan membangun negara ini semampuku. Tiba-tiba mataku terasa berat dan tak terasa air mataku meleleh membasahi pipiku.

03 November 2008

ARCA WISNU




sang pemelihara semesta
terbang bersama kepakan garuda
Wisnu
kulihat wajahmu ta seperi dulu
matamu yang dulu sejuk
kini sayu tergambar kesedihan
meski tak setetes air mata jatuh dan terbang
bumi yang dititipkan Brahma kepadamu
kini menggeliat dan berontak
manusia tak lagi hormat padamu
dengan otak mereka telah menciptakan
segala tekhnologi yang menghancurkan
mungkin saatnya kau istirahat
dan menyerahkan bumi kepada Syiwa

Malang, 2006

Launching Buku Puisi "PANGGUNG" karya Aliv V. Essessy


Pada tanggal 26 Oktober 2008, bertempat di Fakultas Peternakan Unsoed, Komunitas Sastra Hujan Tak Kunjung Datang mengadakan launching buku kumpulan puisi berjuduk "PANGGUNG" karya Aliv V. Essessi. Dalam kesempatan itu saya di beri kesempatan untuk membaca puisi karya-karya Aliv dan tentunya karya saya sendiri. Berhubung ambil fotonya pakai handphone jadi ya hasilnya agak bures begitu. Saya membaca puisi di bawah ini:

KEPADA SETIAP KAPAL

Kepada setiap kapal
Yang bertolak dari pelabuhan ini
Di mataku
Selalu ada puluhan malaikat mengiring di geladak
Memberi rasa percaya pada pundak nahkoda
Menggendong jiwa-jiwa bertandang ke haribaan ibunda

Namun ada puluhan banaspati
Membayang di buritan
Menyulap angin menjadi badai
Menjelma ombak menjadi monster raksasa
Mengoleng kapal
Membuta nahkoda

Kepada setiap kapal
Yang bertolak dari pelabukan ini
Dalam laut dapat diduga
Isi laut siapa terka
Ikan bisa menjelma gurita raksasa
Buih bisa menjelma pusar air mata

Seperti hutan,
Laut adalah belantara tak bertuan
Penuh tanda Tanya
Kita bisa berburu lumba-lumba
Melihatnya menari di atas karpet air
Namun bilamana
Hiu pun tak segan mengaum
Melontarkan gigi-gigi pisaunya

Kepada setiap kapal
Yang bertolak dari pelabuhan ini
Maka segera bersurat
Bila sauh tlah kau unduh

Purwokerto-Kebumen, September 2008

29 Oktober 2008

Baca Puisi di STAIN Purwokerto



Akhir September kemarin, Teater DIDIK STAIN Purwokerto memperingati bulan Ramadhan mengadakan tadarus puisi. kebetulan saya mendapat undangan untuk membaca puisi di acara tersebut. Puisi-puisi yang saya baca adalah:


RAMADAHAN 1

Langit tiada berawan
Hujan turun setiap kapan

Sanggar Sastra Wedang Kendhi, September 2007


RAMADHAN 2

Sang Maha Air
Membawa kantung-kantung hujan
Dari lemari kaca
Di beranda surga
Menaburnya dengan cinta
Pada jiwa-jiwa nasuha

Sanggar Sastra Wedang Kendhi, September 2007


TARIAN API


Api
benci
Api
luka
Api
laku
Api
dusta
Api
dosa

Api menari dalam tubuhku. Meliuk tertawa mengajak berdansa dengan irama tak bernada. Dimdamdukdestamramtiktakzigdesdugzimzamlalalalaaaaa……oooooohhhhhhh. Aku terlempar aku terkapar aku lapar aku remuk aku redam aku luka aku rindu aku pilu aku malu aku haus aku air

Air
rindu
Air
embun
Air
cahaya
Air
sejuk
Air
pintu

Robb….
Air-Mu
Kurindu


Jakarta, Juli 2007


MENDUNG

Berbahagialah!
Menjadi mendung pilihan tuhan
Berarak setiap saat
Menjadi payung bagi manusia pilihan

Mendung yang selalu menggantung
Mengemas terik meremas hujan
Ada kesejukan selalu tercipta
Bagi dia, Muhammad
Manusia paling utama

Mendung dari sublimasi salju di puncak nirwana
Tak pekat tak kelam
Putih seputih putih
Berpendar nikmat cahaya bianglala

Purwokerto, September 2008


Pada acara tersebut juga dihadiri banyak penyair muda Purwokerto, beberapa komunitas sastra dan komunitas teater

17 September 2008

RAMADHAN KALI INI


Malam ini terasa berbeda dengan beberapa malam lalu. Tadi sore selepas maghrib tidak biasanya hujan menyapa bumi membasahi tanah. Padahal Ramadhan kali ini masuk di musim kemarau. Entah mengapa tiba-tiba hujan runtuh begitu saja. Hanya sebuah kilatan terang menyambar diikuti oleh gemuruh guntur yang menggelegar. Itupun hanya sekali. Akan tetapi, tanda seperti itu dianggap hal yang biasa oleh orang-orang yang tinggal di daerah kecil di salah satu sudut kota besar ini.

Hingga waktu isya tiba, hujan masih belum reda. Malah dengan semangat, langit menambah jumlah debit air yang ditumpahkannya. Seolah di atas sana terdapat sebuah cawan raksasa sebasar danau yang tak pernah habis airnya untuk dituangkan ke bumi.
Dan hujan seperti ini membuat orang yang berangkat untuk shalat isya dan tarawih berjamaah di mushola hanya dapat dihitung dengan jari saja. Tidak lebih dari delapan orang. Mereka yang datang adalah orang yang rumahnya dekat dengan mushola kecil itu. Paling jauh sekitar dua ratus kaki. Yang lain memilih tinggal di rumah masing-masing.
Setelah salat tarawih selesai, hujan belum juga reda. Sebagian dari mereka yang shalat berjamaah langsung pulang ke rumah masing-masing menggunakan payung yang berwarna-warni. Ada juga yang langsung berlari tanpa menggunakan payung atau jas hujan menembus pekatnya air yang turun tak peduli pakaian mereka basah.

Di antara delapan orang yang ada hanya tinggal dua orang yang tertinggal di mushola ini. Salah satunya adalah Pak Alwi.

Pak Alwi adalah imam di mushola ini. Dia asli penduduk daerah ini. Mushola ini dibangun oleh kakeknya sekitar delapan puluh tahun yang lalu. Setelah orang tuanya meninggal, dia dipercaya untuk mengurus dan menjadi imam di mushola ini. Selain itu, dia juga mengajar mengaji kepada orang-orang di sekitar terutama anak-anak. Dia belum terlalu tua. Ya, kalau ditaksir sekitar dua puluh tahun lebih tua dari aku. Orangnya sederhana, bersahaja, dan ramah kepada siapapun. Dia sangat dihormati di daerah ini. Karena hal itulah, akhirnya dia dipercaya sebagai penasihat di daerah ini.

Dia masih duduk bersila di tempat pengimaman. Terlihat matanya terpejam. Di tangan kanannya terdapat butiran-butiran berwarna putih susu yang dirangkai dengan benang menyerupai kalung mutiara yang terpajang di etalase toko perhiasan. Bibirnya bergerak-gerak naik turun. Terdengar dari mulutnya suara zikir mangalun. Bersamaan dengan suara zikir, dipilinnya rangkaian tasbih itu hingga memutar. Begitu seterusnya hingga malam mulai larut.

Dan orang lain yang berada di mushola yang cat temboknya mulai mengelupas adalah aku. Aku pun belum bisa menerima kenyataan mengapa malam ini aku bisa berada di tempat ini hingga begitu larut.

Pada awalnya aku sedang dalam perjalanan pulang dalam keadaan yang luar biasa letih. Selesai bermain dadu aku, sebelum pulang aku mampir dulu di sebuah rumah remang-remang. Setelah itu aku baru melangkah ke rumah. Dalam perjalanan aku bertemu dengan sekawanan hujan yang turun begitu saja tanpa permisi. Dari pada basah kuyup, maka aku pun berteduh di sebuah rumah.

Tak lama berselang, terdengar suara azan dari mushola kecil yang berada tak jauh dari tempaku berteduh. Meskipun hujan turun dengan derasnya, namun suara azan itu terasa nikmat di telinga. Suara muazin yang keluar dari speaker berpadu dengan gemerujug hujan hingga menjelma obat bius yang terbang menelusup telingaku.

Tubuhku terbius. Tanpa sadar kakiku melangkah menembus hujan menuju asal suara itu. Aku berjalan tanpa risau akan kuyup. Lalu aku berdiri tepat di pintu masuk mushola itu. Aku berdiri mematung menikmati lantunan azan.

Meskipun azan telah selesai, aku masih berdiri tak dapat melangkahkan kaki. Tiba-tiba seorang kali-laki keluar dari mushola itu dan menghampiriku. Dia Pak Alwi. Aku mengenalnya. Dia mengajakku untuk shalat isya berjamaah. Setelah setelah selesai berwudlu aku masuk ke dalam mushola mengikuti laki-laki itu.

Ada sesuatu yang tidak dapat aku terima di nalarku. Aku merasakan semata-mata bahwa tadi aku berjalan menembus hujan yang turun seperti air bah itu. Tetapi kurasakan pakaian yang kukenakan tidak basah sama sekali oleh air hujan. Tubuhku yang tadi terasa letih saat ini kurasakan segar kembali setelah dibasuh oleh air wudlu tadi.
Hujan tidak turun berupa air saja, namun disertai angin yang berlari membawa sejuta dingin dari ujung gunung membuat udara membeku menjelma jarum jahit. Tajam menembus ruang-ruang sempit di kulit dan daging hingga ke lapisan tulang bagi siapa saja yang berani menerobos hujan itu.

Akan tetapi bukan itu satu-satunya alasan mengapa aku masih berada di mushola yang sederhana ini. ada sesuatu hal yang menarikku untuk tetap berada di mushola ini menemani Pak Alwi berzikir. Aku merasa ada sebuah hawa aneh menyelimuti mushola yang berumur empat kali lipat umurku. Bukan hawa yang seperti biasanya. Sebuah hawa berwarna hangat, nikmat dan menyegarkan jiwa dan pikiran.

Mataku menjelajah ke segala arah. Kusapu segala sudut hingga tak tersisa. Entah mengapa tiba-tiba mataku tertumbuk pada sebuah lemari kayu kecil tanpa daun pintu bercat hitam kusam yang sudah miring ke kiri hampir rubuh. di dalamnya terdapat sejilid kertas yang terbuka di tengah-tengahnya. Tanpa perintah aku segera bangkit dari dudukku menghampiri lemari itu. terlihat jelas di mataku bahwa sejilid kertas itu adalah Al-Quran yang kertasnya sudah tua berwarna kuning kecoklatan. Tanganku seketika meraihnya seperti terserap oleh kumpulan wahyu Sang Maha Dzat itu. Tanganku menjelma besi tua karatan yang terhisap oleh magnet super kuat.

Dan aku merasa kakiku tak memiliki daya lagi untuk berdiri. Aku jatuh duduk menyila. Aku dapat merasakan rangkaian huruf hijaiyah yang tercetak di depan mataku tiba-tiba lepas masuk ke dalam mataku menembus otak kecil dibelakang kepalaku. Menghantam syaraf-syaraf motrikku.

“Dang! Dang! Dang!!!”

Seketika aku melihat seorang laki-laki muda menodongkan tangan meminta segepok uang untuk bermain dadu sambil berteriak keras mengeluarkan segala macam sumpah serapah kepada ibunya. Aku melihat ibu menangis meronta tanpa mengeluarkan air mata menolak keinginan anak itu. Dia masuk ke dalam kamar dan menggeledah isi lemari kayu. Mencari uang atau barang berharga yang disimpan ibu. Dia segera berlari dengan senyum kemengan dan sejumlah uang di tangan. Dan aku masih bisa melihat ibunya meratap tak berdaya sembil memegangi dadanya.

Dia berlari menuju sebuah tempat di sudut pasar tak jauh dari kecamatan. Kulemparkan uang yang ada di genggaman ke atas meja bertuliskan sebuah angka. Betapa bahagianya dia ketika dadu yang dilempar oleh bandar menunjukkan angka yang sama dengan angka di bawah uang yang dilemparkannya di atas meja taruhan tadi. Dai tertawa tak terkira sambil membawa segepok uang hasil kemenangan tadi.

“Dang! Dang! Dang!!” Huruf-huruf arab itu kembali memukul-mukul otak kecilku.

Aku melihat laki-laki itu duduk di sebuah kursi empuk dengan wajah mendongak ke atas dengan mulut terbuka. Kedua buah tangannya menyirami berbagai macam minuman beralkohol ke dalam liang mulutnya. Dan dia tertawa lepas hingga tak dapat berdiri lagi.

“Dang! Dang! Dang!!” Kembali, huruf-huruf arab itu memukul-mukul otak kecilku.

Aku masih melihat laki-laki itu berada sebuah rumah di sebuah gang kecil dihiasi temaram dan lampu lima watt yang menyala remang. Aku melihat dirinya dengan tubuh tanpa terbungkus kain sedang terlentang disemuti para wanita yang sama keadaannya seperti dirinya. Telanjang. Bersenggama, tertawa, mengaduh, mengeluh.

“Dang! Dang! Dang! Dang! Dang! Dang!!!!!” Kali ini huruf-huruf arab itu memukul-mukul otak kecilku lebih keras.

Aku melihat sosok seorang wanita sedang meronta menangis dan merintih kesakitan. Dia dikelilingi oleh beberapa manusia berbaju putih. Wanita ea rah s berteriak, meronta sambil menahan sakit. Tak selang kemudian terdengarlah sebuah tangisan dari antara kedua paha wanita itu. Wanita itu kemudian tersenyum bahagia. Seorang laki-laki kecil telah keluar dari pintu rahimnya setelah berdiam di rahimnya selama sembilan bulan.
Diasuhnya laki-laki kecil itu dengan segala bentuk kasih sayang yang paling indah agar tumbuh besar menjadi manusia yang berguna bagi bangsa dan agamanya. Memberinya kebanggaan yang tiada tara kelak.

Aku melihat laki-laki kecil itu tumbuh menjadi manusia dewasa yang ternyata kini durhaka pada ibunya. Aku melihat laki-laki durhaka itu menjelma diriku.

Tiba-tiba kurasakan huruf-huruf suci tadi keluar begitu saja dari liang mulutku dan terdengar begitu merdu di telinnga. Aku pun merasakan air mataku jatuh menetes dan hilang terserap kain sarung yang kukenakan.

“Ya Allah ya Rabbi, ampunilah hambamu yang telah durhaka ini,” dalam hatiku berucap memohon ampunan dari Sang Maha Pengampun. Terus seperti itu dan seperti itu. Aku merasa menjadi manusia paling hina di dunia.

Hujan yang turun deras jatuh perlahan mereda. Gerimis yang menimpa atap mushola yang terbuat dari seng membuat nada-nada ritmis terus menerus yang terdengar nikmat di telinga lebarku. Dan tak selang berapa lama hujan berhentilah.

Kulempar mataku ke jendela tanpa kaca di samping kananku. Tembus ea rah langit. Mendung telah berlari pergi entah kemana. Hanya ribuan bintang berkedip-kedap di langit dini hari. Langit benar-benar bersih saat ini. Baru kulihat langit seindah itu seumur hidup.

Angin berhembus lembut, namun dia membawa kehangatan yang luar biasa nyaman. Udara kurasakan luar biasa nikmat merasuk ke dalam tubuh hingga sel-sel yang paling terkecil.

Kulihat Pak Alwi masih duduk bersila menghadap kiblat sambil berkomat-kamit melafazkan dzikir kepada Allah. Kulihat jam dinding yang tergantung di tembok tepat di atasnya menunjukan pukul satu lebih dua puluh menit dini hari.

Lalu Pak Alwi bangkit dari duduknya. Dia berjalan menghampiriku sambil tersenyum mesra kepadaku. Senyuman yang paling nikmat dirasakan selain senyuman ibuku. dia terus mendekat. Dia terus berjalan mendekatiku. Dari tubuhnya tiba-tiba memancar cahaya yang indah. Berkialuan seperti permata manikam tersulut cahaya matahari. Cahaya itu bergerak naik turun perlahan. Lalu menjelma menjadi sepasang sayap indah yang bercahaya.

“Apakah dia seorang malaikat?!”

Kaki-kakiku tertambat.

Dia mendekat dan berdiri di atas kepalaku tepat.

Mulutku tercekat. Aku tak sanggup berkata, bahkan berbisik. Dia begitu indah.

“Pulanglah kau nak, bersimpuhlah di bawah kaki ibumu. Minta maaflah kau kepadanya.” Ucapannya menggelegar, namun terasa halus dan nikmat ditelinga.

Diusapnya kepalaku dengan tangannya. Oh, betapa lembutnya. Betapa nyamannya. Bagai sentuhan tangan ibu yang meninabobokanku ketika kecilku dulu. Lalu kucium tangannya. Tangan yang berbau harum paduan antara sari-sari bunga surga. Mataku terpejam.

Tiba-tiba kudengar suara laki-laki memanggilku.

Mataku pun terbuka. Kulihatnya sosok Pak Alwi tersenyum kepadaku.

“Subhanallah. Berbahagialah engkau nak, Allah memang tak pernah pilih kasih dalam memberikan hidayah-Nya.”

Aku segara berhambur keluar menuju rumah.

Sesampai di rumah, kudapati ibu sedang duduk bersimpuh merapikan mukenanya. Sepertinya dia baru saja shalat malam.

Aku pun segera bersimpuh di hadapannya memohon ampunan atas segala perlakuanku dulu.
Dan ibu hanya tersenyum sambil mencium keningku.

Purwokerto, September 2008

Puisiku Dimuat di Sinar Harapan

Pada awalnya aku lagi nunggu nda kuliah. Aku iseng buka laptop dan segera buka mesin pencari yahoo. Ku ketik namaku. Tak selang berapa lama, namaku muncul di sebuah situs koran Sinar Harapan. Ternyata tiga buah puisiku muncul di situ. Alhamdulillah. Berikut Puisinya:

Di Stasiun

Lokomotif yang berdendang
Melengking memekak
Anggap saja itu nyanyian termerdu
Yang tersenandung di penghujung
Rindunya malam ini

Manusia yang berkemas
Berjejal penuhi larikan gerbong
Nan kelam dan luka
Bersama rerimbun pedangan asongan
Berteriak jajakan mimpi dan rasa
Bilakah seseorang memuaskan rindu perutnya
Kepada makanan atau permen murah yang dijual mahal

Saat peluit bersiul
Saat mesin menderu haru
Dan rel yang memanjang kaku
Tergilas roda-roda besi
Perlahan dan menghilang
Ada cemas menyangkut
Di ujung kepala botak lokomotif

Purwokerto, Maret 2007


Ziarah Angin

Ziarahku kepada angin
Angin senja yang bernafas pada setiap
lekuk tarian kata-kata
Angin senja yang berdesir pada setiap
desah sajak-sajak
Angin senja yang membakar percik-percik
api dalam jiwa resah penyair

O berhembuslah hembus demi sajak
O menarilah desau demi sajak
O meradanglah sajak demi sajak
O gelisahlah penyair demi sajak

Ziarahku kepada angin
Angin berdesing
Sajak berdesing
Penyair berdesing
Desing berdesing
Membawa keping-keping matahari
dari rinai-rinai darah pada tubuh luka
pada jiwa samsara.
Membawa helai-helai langit
dari tangkai-tangkai rupa pada wajah resah
pada mata basah

Ziarahku pada angin
Yang menggoyang ilalang membawa ribuan sajak
yang menempel pada setiap dahannya


Tengah Malam

I
Aku tak mampu lagi
Mengangkat pena
Untuk sebuah sajak panjang

II
Hujan sudah lelah lima belas menit lalu
Setelah seharian memandikan bumi
Tak terdengar lagi tetes di atap
Senyap
Selain ringkikan serangga malam
Mainkan alunan orkestra dalam sebuah opera kehidupan

III
Tak ada puisi ini kali

IV
Dan seketika bulan menghilang separuh


Sanggar Sastra Wedang Kendhi, 2006

Selamat, selamat

09 September 2008

AULIOREMINOPHEIA

Malam muncak tengadah
Jiwa mendesah gelisah
Kepala tak henti jemput arah
Namun tak sejumput sajak terdedah

Benar-benar malam yang celaka!

Sanggar Sastra Wedang Kendhi, Maret 2008

YOGYA, SUATU MALAM 1


Tak ada kata dalam pena
Tak ada rima dalam tinta
Tak ada puisi bagus tercipta
Dalam remuk tubuh
Di tepi aspal Yogya yang beku
Dalam waktu yang menunggu

Yogyakarta, Juni 2007

YOGYA, SUATU MALAM 2

Di sini kita berhenti sejenak
Setelah kaki-kaki kita menapak
Waktu dan jarak
Di emper toko ini kita diam
Khusuk dengan nafas tembakau
Yang kita pilin bersama letih
Setelah jiwa-jiwa banal kita
Diguyur gegap gempita masa
Tak ada nyawa yang sempurna
Apalagi jarak masih menganga

Yogyakarta, Juni 2007

02 September 2008

ZIKIR POHON

Kucari tebaran lafaz-Mu
Diantara tanah dan air
Kupungu satu persatu
Degan tangkai-tangkai akar yang menggelepar
Lalu kubawa kererimbun daun
Dengan kereta kayu yang kokoh
Kurawat lafaz-Mu dengan cinta
Dan kujadikan sebagai sari
Yang menghidupkan jiwa raga
Segala seluruh

Sanggar Sastrra Wedang Kendhi, April 2007

TARIAN API

Api
benci
Api
luka
Api
laku
Api
dusta
Api
dosa

Api menari dalam tubuhku. Meliuk tertawa mengajak berdansa dengan irama tak bernada. Dimdamdukdestamramtiktakzigdesdugzimzamlalalalaaaaa……oooooohhhhhhh. Aku terlempar aku terkapar aku lapar aku remuk aku redam aku luka aku rindu aku pilu aku malu aku haus aku air

Air
rindu
Air
embun
Air
cahaya
Air
sejuk
Air
pintu

Robb….
Air-Mu
Kurindu


Jakarta, Juli 2007

ZIKIR BUNGA

Kulafaz nama-Mu
Di dalam serbuk sari
Yang menyentuh sukma putik
Ketika kelopak mengumandangkan
Ayat-ayat suci-Mu

Sanggar Sastra Wedang Kendhi, Januari 2007

06 Agustus 2008

PINTU KAMAR SELALU MENANTI UNTUK DIBUKA

Sungguh kasihan Bayu Murdiyanto!
Kenapa saya berkata begitu? Suatu ketika saya membaca tulisannya dalam bulletin sastra DIKSI edisi 2 November 2007 yang berjudul “Ada Apa dengan Sejarah dan Penulis Kamar?”
Di situ tertulis seperti ini:”Yah… gagal dimuat lagi…”. kata-kata semacam ini sering kali tercetus dari bibir-bibir penulis ketika karya-karya mereka lagi-lagi tidak nongol di media. Alas an itu pula yang terucap bila mereka ditanyai alas an mengapa mereka tidak mengirimkan karyanya ke media massa.
Saya jadi bertanya-tanya, apakah alasan di atas pula yang membuat Bayu Murdiyanto enggan mengirimkan karya-karyanya ke media massa? Jika iya, saya jadi bertambah penasaran, apakah dia benar-benar serius dan intens mengirimkan karya-karyanya ke mendia massa? Jika iya, bisa dimaklumi bila dia menulis artikel seperti itu. Jika tidak, maka betapa piciknya dia. Mengapa demikian?
Dalam tulisanya, dia juga menyebutkan bahwa dia adalah seorang penulis kamar yang ingin menjadi sejarah, namun ketika dia baru berjuang selama dua bulan melempar karya-karyanya ke media massa dan ketika mendapat hasil yang nihil, dia menyeah dan kalah.
Tidak hanya dia, namun juga penulis-penulis pemula yang ingin menunjukkan eksistensinya namun memiliki sifat yang sama dengan seorang Bayu Murdiyanto.
***
Tidak dapat kita pungkiri bahwa media massa memiliki peran penting dan merupakan senjata paling ampuh bagi penulis (sastrawan) selain penerbit untuk mempublikasikan karya-karyanya, memperkenalkan dirinya kepada khalayak, serta mengikutsertakan dirinya dalam sejarah. Hampir seluruh sastrawan di Idonesia besar oleh media massa.
Apakah sastrawan sekaliber Sutardji Calzoum Bachrie, Umbu Landu Paranggi, Taufiq Ismail, Ahmad Tohari, Idrus, Toto Sudarto Bachtiar, D. Zawawi Imron, dan lainnya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, besar dan dikenal sejarah kesusastraan Indonesia dengan begitu saja mudahnya?
Jawabnya tidak. Sebelum nama mereka dikenal sejarah sastra, mereka terlebih dahulu berjuang untuk mempublikasikan karya-karyanya. Tidak hanya seminggu, dua minggu, atau sebulan dua bulan, namun berbulan-bulan, bahkan ada yang beberapa tahun. Meski karya mereka belum dimuat oleh media massa yang diinginkan, namun mereka tidak lelah untuk terus melempar karya mereka ke media massa tersebut. Seorang penyair bahkan sempat berkata jika ingin karya anda dimuat di meda massa, maka kirimkan karya anda seperti membuang ke tong sampah dan tidak usah diingat-ingat sudah berapa kali anda mengirimkannya.
Jadi kita tidak dapat berprasangka buruk kepada redaktur ketika mereka memuat karya-karya penulis yang memang sudah memiliki nama seperti yang saya sebutkan di atas. Redaktur memiliki pertimbangan sendiri kenapa karya penulis-penulis itu lagi yang kembali di media massanya. Yang jelas, satu pertimbangan besar adalah bentuk penghargaan atas perjuangan penulis-penulis tersebut sebelum nama mereka besar seperti sekarang ini.
Jika ada nama-nama penulis baru yang muncul, itu merupakan hal yang luar biasa. Itupun pastilah redaktur memiliki alas an dan pertimbangan yang khusus untuk memuat karya dari penulis-penulis baru. Alas an tersebut bisa karena karya mereka benar-benar bagus, bahkan fenomenal, bisa juga karena penulis tersebut penuh dengan sensasi, atau mungkin mereka adalah orang yang memang sudah terkenal di jalur lain seperti artis, pengusaha, politikus, atau pejabat yang menoba jalur baru yaitu dunia tulis menulis (sastra).
***
Kembali kepada Bayu Murdiyanto. Dari awal sudah terlihat sikap provokatifnya bagi para penulis pemula untuk menyerah saja ketika hendak mengirimkan karya-karyanya ke media massa. Dalam hal ini bisa dikatakan seperti berikut: “Menyerahlah sebelum bertanding, sebab, kalian pasti kalah.”
Tidak hanya itu, ternyata dia tidak konsisten dengan penyataannya sendiri. Coba baca lagi ttlisannya dengan telitihingga paragrf terakhir. Di penutup tulisannya dia malah berbalik untuk pantang menyerah untuk mempublikasikan karya-karya penulis pemula. Meskipun melalui media alternatif yang bersifat indie.
Memang benar, media alternatif yang bersifat indie merupakan jalan lain untuk memperkenalkan karya-karya penulis pemula ke khalayak. Media tersebut bisa berupa bookle, bulletin, selebaran, dan buku-buku indie. Media-media seperti itu biasanya diterbitkan oleh komunitas-komunitas sastra. Selain itu, internet juga menjadi tren baru untuk mempublikasikn karya sastra atau yang sering kita sebut cybersastra atau sastra cyber. Bahkan seorang Saut Situmorang mati-matian mengangkat sastra cyber untuk disamakan derajatnya dengan sastra koran.
Bukannya saya di sini mengatakan bahwa media alternatif itu tidak baik, bukan. Saya senang jika sekarang banyak sekali media alternatif yang berkeliaran. Namun janganlah media alternatif tersebut (dalam hal ini bulletin) dijadikan sebagai satu-satunya pilihan terhakhir. Namun alangkah bijak bagi para penulis pemula yang karya-karyanya sudah sering dimuat di media alternatif untuk tidak lupa dengan media massa (Koran).
Jika para penulis pemula terus-terusan mempublikasikan karyanya melalui bulletin kapan dia akan menjadi lebih dikenal oleh sejarah? Sebab, untuk saat ini kita (penulis) tidak dapat lepas dari media massa (Koran).
Jadi bagi para penulis pemula, tetaplah kalian menulis, dan jangan putus asa untuk tetap mengirimkan karya-karya kalian ke segala macam media, baik itu media cetak (Koran) maupn media alternatif. Jika kalian hanya mengandalkan media alternatif, maka kalian hanya akan menjadi penulis kamar yang tidak dapat iktu dalam sejarah seperti Bayu Murdiyanto. Saatnya kita berjuang untuk keluar dari kamar.

Purwokerto, Nov 07

ALUN-ALUN YANG UNIK ITU KINI TELAH HILANG

Beberapa hari lalu, bertempat di sekre Komunitas Sastra Alam, di sela-sela acara Ngobrol Bareng Sastra (Ngobras), saya melontarkan masalah penataan alun-alun Purwokerto kepada beberapa kawan sastrawan. Salah satu kawan saya, Mohammad Ayatullah mengatakan bahwa salah satu kelebihan Purwokerto dibanding dengan kota-kota yang lain adalah terletak pada alun-alunnya.
Alun-alun di kota kebanyakan berupa sebuah alun-alun besar yang memiliki sebuah pohon wringin kurung yang terletak di tengahnya. Berbeda dengan yang lain, alun-alun Purwokerto memiliki dua buah alun-alun kecil yang terpisah oleh jalan raya dan juga memiliki dua buah pohon wringin kurung dua buah di sebelah barat dan di sebelah timur.
Keunikan itulah yang menjadi ciri khas alun-alun Purwokerto yang tidak dimiliki oleh alun-alun di kota lain kecuali Cilacap. Tetapi kini keunikan tersebut telah hilang dikarenakan adanya program kerja 100 hari Bupati dan Wakil Bupati Banyumas
Penataan alun-alun Purwokerto merupakan salah satu program kerja 100 hari sejak dilantiknya Marjoko menjadi bupati Banyumas periode 2008-2013. Penataan alun-alun tersebut berupa penyatuan alun-alun sebelah barat dan sebelah timur dengan cara membongkar jalan aspal yang berada di antara keduanya dan mengganti wringin kurung dengan yang baru.
Tetapi keputusan bupati untuk merombak alun-alun tersebut mendapat protes keras dari masyarakat terutama dari kalangan seniman, budayawan, dan mahasiswa. Berbagai macam aksi dilakukan untuk menceegah pembongkaran alun-alun. Seperti melakukan demo, aksi teaterikal di atas eskavator, mendatangi DPRD, dan mengeluarkan tulisan berupa kritik di surat kabar.
Mereka sepakat bahwa pembongkaran alun-alun merupakan tindakan pengrusakan terhadap benda cagar budaya (BCB).
Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 ayat 1a menyebutkan bahwa, suatu benda buatan manusia harus berumur sekurang-kurangnya berumur 50 tahun agar bisa dikategorikan sebagai benda cagar budaya.
Menilik undang-undang di atas, sudah cukup jelas jika alun-alun Purwokerto merupakan sebuah benda cagar budaya. Dan konsekuensi kita adalah melindungi dan menjaga keasliannya.
Di lain pihak, Bupati Marjoko bersikukuh melakukan pembongkaran terhadap alun-alun dengan alasan pembenahan dan penertiban. Dia juga menambahkan bahwa dirinya telah berkonsultasi dahulu dengan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah.
Sedangkan dalam pasal lain menyebutkan bahwa perbuatan pencemaran BCB termasuk di dalamnya adalah tindakan pengrusakan, pengambilan atau memindahkan benda sebagian atau keseluruhan, mengubah bentuk dan atau warna, memugar dan memisahkan dari kesatuannya.
Hal ini jelas bahwa pembongkaran alun-alun Purwokerto merupakan pelanggaran terhadap undang-undang.
Dalam surat dari BP3 Jawa Tengah tentang alun-alun Purwokerto menyebutkan bahwa (1) Alun-alun Purwokerto Kabupaten Banyumas merupakan Benda Cagar Budaya yang dilindungi UU No 5/1992 sehingga dalam upaya revitalisasinya memperhatikan nilai penting sebagai simbolisme religius, nilai penting kota bersejarah, dan nilai penting sebagai landmark kota. (2) Revitalisasi alun-alun dapat dilaksanakan sesuai gambar perencanaan landscape alun-alun Purwokerto Kabupaten Banyumas Tahun 2008 dengan memperhatikan: a. Jalan aspal ditengah alun-alun dihilangkan dan dapat dibuat akses tapak jalan dari coneblock dengan ketinggian yang selaras dengan lahan alun-alun; b. Pohon beringin kurung dan beringin batur tetap dipertahankan, dalam arti beringin kurung yang mati diganti baru; c. Pagar beringin kurung dapat diganti dengan bentuk yang dikonsultasikan lebih dahulu dengan BP3 Jateng; d. Jika ada perubahan-perubahan dari rencana supaya dikonsultasikan dengan BP3 Jateng.
Dari surat keputusan BP3 tersebut, kita tidak dapat menyatakan bahwa keputusan Bupati Marjoko untuk membongkar jalan aspal yang berada di tengah alun-alun Purwokerto dan mengganti beringin kurung dengan yang baru adalah salah.
Yang salah adalah caranya. Bupati Marjoko terlalu memaksa dan ceroboh. Betapa tidak. Sejak awal, rencana pembongkaran alun-alun tidak diberitahukan terlebih dahulu kepada masyarakat secara jelas dan transparan. Bupati tidak melakukan dialog dengan beberapa elemen masyarakat tentang pembongkaran tersebut. Juga tidak melibatkan DPRD dalam mengambil keputusan. Kecerobohan lain ketika bupati melakukan pembongkaran terhadap alun-alun sebelum surat keputusan dari BP3 turun.
Yang paling memalukan adalah pembohongan terhadap anggota Komisi B DPRD. Ketika anggota Komisi B mendatangi lokasi dan meminta pekerja dan pimpinan proyek menghentikan kegiatannya, perintah tersebut ditanggapi dengan baik dan seketika itu pula mereka menghentikan pekerjaanya. Tetapi ketika anggota dewan meninggalkan lokasi pekerja melanjutkan lagi pekerjaannya.
Apabila rencana pembongkaran alun-alun diberitahukan dahulu kepada masyarakat dengan jelas dan transparan dengan cara menunjukkan surat dari BP3 serta diadakan dialog dengan baik-baik, saya kira Bupati Marjoko tidak akan mendapatkan kritikan dari masyarakat sederas saat ini.
Sebab jika masyarakat telah mengetahui terlebih dahulu rencana pembongkaran alun-alun dan hal itu diperbolehkan oleh yang lebih berkompeten dengan surat keputusan dari BP3, pastilah masyarakat mau menerima dengan hati legawa. Begitu.
Tabik.

29 Juli 2008

LELAKI YANG MASIH MEMANDANGI LAUT

Lelaki itu duduk di balik jendela. Wajah suram. Rambutnya bergerak tak karuan tertiup angin. Matanya cekung dan sayu. Tubuhnya kurus terbungkus kaos singlet putih dan celana pendek berwarna biru tua. Dia tampak tua, tetapi sebenarnya dia masih muda, umurnya baru empat puluh tiga tahun.
Dilemparkan pandangannya jauh ke arah laut.
Sudah empat jam dia duduk di situ..

Angin berhembus lembut sore itu merayu nyiur yang berdiri lantang di bilik pantai untuk sekedar melambaikan jemari-jemarinya. Angin setia menggiring air laut, membuat suatu formasi ombak yang mengalun perlahan menuju bibir pantai. Sebuah percintaan yang harmonis antara pantai dan ombak. Pasir bermain dengan angin ikut memeriahkan suasana. Mereka berterbangan kesana kemari mencari tempat nyaman untuk hinggap. Angin juga membuat suara-suara yang khas saat menghantam benda-benda yang menghalanginya. Membuat sebuah harmonisasi nada-nada melagukan suara alam. Sebuah perahu berayun-ayun mengikuti irama ombak. Dan angin masih setia berlari-lari mengisi waktu di pelabuhan sore itu.

Dia masih memandangi laut. Dihabiskannya sore itu hingga menjelang malam. Beberapa puluh menit setelah matahari lenyap ditelan oleh air laut. Tidak hanya sore itu saja dia habiskan seperti itu. Sore-sore yang telah lalu pun ia lewati dengan cara yang sama. Dia tidak peduli apakah sore itu cuaca sedang berbaik hati atau sedang bersikap kasar.

Lelaki itu bernama Irman Surahman. Seorang pemuda yang sedang dilanda duka mendalam karena mengabdikan seluruh hidupnya pada cinta. Dia adalah sosok pecinta sejati. Dia masih memandangi laut dengan harapan sebuah kapal berlabuh membawa kekasih yang sangat dicintai dalam setiap hembusan nafasnya pulang menemuinya. Wanita itu bernama Lis Maulani.

Mereka berdua telah menjalin kisah sejak Irman berumur delapan belas. Sepasang muda-mudi yang dilanda mabuk asmara. Mereka berdua adalah pasangan yang cocok dari segala hal. Irman adalah seorang pemuda yang tinggi, gagah dan cakap, sedangkan Lis adalah seorang gadis yang mungil dan cantik. Keduanya sama-sama anak dari orang kaya dan terpandang di daerahnya. Mereka juga alim dan pandai mengaji. Apabila mereka berjalan berdua, maka orang akan teringat akan Layla dan Majnun. Namun, orang tak tahu apakah kisah mereka akan berakhir sama dengan cerita tersebut.

Kalian tahu, sumpah apa yang mereka berdua ucapkan? Apapun yang terjadi kita akan tetap bersatu, walau maut memisahkan aku akan selalu ada untukmu. Dan aku adalah milikmu selamanya. Begitulah sumpah mereka, sungguh indah terdengar bukan? Seperti sumpah bintang kepada bulan.

Sehabis hari raya, Irman dan orangtuanya datang ke rumah Lis untuk melamarnya. Tanpa urusan yang berbelit-belit, orang tua Lis pun setuju untuk mengambil Irman sebagai menantu. Mereka pun sudah menetapkan acara pernikahan kedua anaknya. Rencananya setelah hari raya haji yang akan datang.
Undangan telah disebar, seminggu sebelum pernikahan dilaksanakan. Rencananya pernikahan akan dilangsungkan di rumah Lis. Rumah Lis sudah menampakkan tanda-tanda kesibukkan yang luar biasa. Segala sesuatunya telah disiapkan dan direncanakan dengan matang dan sesempurna mungkin. Dari makanan yang akan dihidangkan, baju pengantin yang akan dipakai kedua mempelai, hingga mengundang kyai untuk pengajian.

Dua hari menjelang hari H, Lis dan orang tuanya pergi ke seberang untuk meminta doa restu kepada kakek dan neneknya. Dengan kapal mereka menyeberang selat menuju pulau seberang. Perjalanan menentang laut itu sekitar dua jam dari pelabuhan. Langit cerah, tak menunjukkan kegelisahan sedikitpun. Angin tampak bersahabat. Ombak mengalun tenang berirama. Kapal pun bertolak dari pelabuhan menuju tengah laut.

Angin yang tadinya lembut entah mengapa tiba-tiba berubah menjadi kencang. Ombak yang tadinya merdu berubah menjadi besar dan ganas. Alam sepertinya murka. Kapal oleng, seluruh penumpang panik. Dan kepanikan mereka berhenti setelah ombak besar datang dan menelan mereka.

Tak ada yang selamat.

Suasana rumah Lis masih menunjukkan kesibukkannya. Mereka tak tahu hal yang menimpa Lis dan keluarganya. Irman memang tak ikut untuk meminta doa restu ke seberang karena menjadi ketua panitia resepsi pernikahannya. Dia yang mengatur segala keperluan untuk pernikahannya.
Hari itu adalah hari dimana pernikahan Irman dan Lis diadakan. Tapi Lis belum pulang dari seberang. Irman panik dan bingung. Semua panik. Undangan panik. Mereka tak tahu apa yang terjadi pada Lis dan kelurga. Akhirnya pernikahanpun gagal. Undangan pulang ke rumah masing-masing dengan menyimpan pertanyaan di hati mereka. Ada apa gerangan?
***

Irman duduk di balik jendela memandang ke arah laut dengan wajah yang suram. Rambutnya bergerak tak karuan tertiup angin. Matanya cekung dan sayu. Tubuhnya tampak kurus terbungkus oleh singlet putih dan celana kolor pendek berwarna biru tua. Dia tampak tua, tetapi sebenarnya dia masih muda. Umurnya baru empat puluh tiga tahun.

Angin masih berhembus lembut sore itu. Merayu nyiur yang berdiri lantang di bilik pantai untuk melambaikan jemari-jemarinya. Angin juga masih setia menggiring air laut, membuat suatu formasi ombak yang mengalun perlahan menuju bibir pantai. Pasir pun ikut bermain sekedar memeriahkan suasana. Mereka berterbangan mencari tempat nyaman untuk hinggap. Angin juga masih membuat suara-suara yang khas saat menghantam benda-benda yang menghalanginya. Membuat sebuah harmonisasi nada-nada seperti melagukan suara alam. Perahu itu masih berayun-ayun mengikuti irama ombak. Dan angin masih setia berlari-lari mengisi waktu di pelabuhan sore itu.

Sudah empat jam dia duduk di situ dan memandangi laut.

Dia masih memandangi laut. Kali ini dia tidak menghabiskan sore seperti biasanya. Kali ini dia tidak beranjak dari tempat duduknya sama sekali. Walau senja telah berganti gelap, dia tidah bergerak sedikitpun. Matanya tetap menuju ke arah laut, tajam mengiris ombak.

Langit tiba-tiba berubah menjadi pekat dan bintang lenyap sama sekali. Angin yang tadinya membuat nada-nada merdu tiba-tiba menganti irama menjadi musik cadas yang menghentak tak beraturan. Ombak yang tadinya lembut perlahan menjadi ganas dan liar tak beraturan. Langit pun secara serentak mencurahkan air matanya ke bumi. Hujan sangat lebat dan deras. Badai datang mengamuk di laut.

Irman masih menatap laut dengan tajam dengan matanya yang cekung dan sayu. Ditatapnya langit, angin, ombak, hujan, dan badai itu. Seolah dia melihat sesuatu di tengah laut, di dalam kepungan badai. Dia mendengar suara jerit dan tangis seorang wanita dari tengah laut. Suara itu menjadi keras, keras, dan keras memanggil-manggil seseorang.

Kang Irman...
Kang Irman...
Kang Irman...

Suara itu terus bergaung di telinga Irman. Suara itu seperti suara Lis. Ya, itu adalah suara Lis.
Irman melompat dari tempat duduknya dan berlari menuju pantai menuju suara itu. Dilihatnya Lis berdiri di tengah lautan. Mulutnya bersuara jeritan-jeritan memilukan memanggil namanya. Irman berlari menuju tengah laut. Menghampiri kekasihnya. Dia berlari, berlari dan terus berlari menembus air hingga ombak menelannya.

Dan dia masih terus berlari..........

Purwokerto, 2 April 2006

23 Juli 2008

SURAT

Dalam kotak mimpiku surat ilalang tanpa sayap darimu hinggap. Sejuta kata terpahat di dalamnya diantara ruas dan ruas. “Bawakan aku fajar sebelum matahari menggelinding mengoyak-moyak anyelir-anyelir yang mengungup di pelataran kalbu perempuan kabut memekat”, tulismu.

Maka segera kucari matahari di segala sudut kota, di pertokoan, di warung remang-remang, di stasiun, di kotak surat, di bawah bantal, di balik awan, di daun rumputan, di rinai hujan, di pekik kelelawar, di atas menara, di arca-arca dewata, di mata pena, di saku celana, di telaga warna. Aku mencari. Tak nampak jua batang hidungmya.

Aku malah menemukan bulan sabit terikat di dalam sajak-sajakku. Bibir tanpa gincunya mendesis binal seperti ular. Menelusuri saluran-saluran air mencari serumpun makan malam. Hendak ku bawa bulan ke pangkuan jemari-jemari kayumu yang menelungkup, lalu apakah jemarimu kan terlentang? Lalu kau semakin mengerang?

Tintaku seketika membeku menjadi abu lalu terbang bersana kepak lembut sayap-sayap malam. Mata penaku seketika pecah ujungnya membuat mozaik-mozaik air mataku air matamu di daun langit

14 Juli 2008

MENCARIMU DINDA

MENCARIMU DINDA
-Rahayu Puji Utami-

Baru saja hujan lewat di pelataran bumi depan rumah kita. Tak lama memang. Seperti Senja Utama yang hanya meniupkan asap putih di stasiun kecil kota kita. Dalam rinai-rinai jiwaku kuumbar mencari wajahmu
dinda

Di udara yang basah jiwaku mendaki pelangi. Membuka satu persatu kamar. Mengurai satu persatu warna. Mencari tubuhmu
dinda

Jiwaku masih menyusuri wangi pohon yang basah di tengah belantara senja. Kuketuk setiap daun-daun. Kuketuk setiap bunga-bunga. Mencari jiwamu
dinda

Kutuntun jiwaku menuruni bukit berbaris. Kuarahkan jiwaku menyibak ilalang sabana. Kuperintahkan jiwaku memecah batu karang yang meregang. Kupapah jiwaku menyelam seribu laut dank kabut untuk mencari hatimu
dinda

Meski jiwaku lelah. Walau tubuhku remah. Aku terus meradang. Aku tetap memburu mencari cintamu
dinda

Dinda, saat ini aku jatuh cinta lagi padamu

Sanggar Sastra Wedang Kendhi, Agustus 2007

MEMBACA MALAM

Membaca malam tanpa bintang yang berenang di laut ilalang dini hari. Batu-batu yang beku terbunuh sunyi. Daun-daun menguning kering jatuh perlahan bergoyang tanpa angin yang menyalak. Tanah yang lemban mengatupkan kelopaknya

Membaca malam tanpa dednyut waktu yang mengerang. Perawan tua menyelam di sungai mimpi di atas tubuh keringnya. Adalah momentum sunyi bagi jiwanya yang telah letih oleh segala peluh dunia siang

Membaca malam dalam seribu sepi yang membakar degub langit. Penyair tua bergetar jiwa binalnya. Memungut memoria lalu yang tercecer di ujung-ujung jarum jam yang menggantung di dadanya. Merunut futura yang menempel di setiap lembar cakrawala yang menganga di kotak-kotak zenit. Seperti pendulum tukang sulap, berpusing tak pernah jera. Membongkar wajah dan mata maya

Membaca malam di wajah bumi. Malam tak akan mati

Sanggar Sastra Wedang Kendhi, September 2007

STANZA PENCARIAN

Malam memang tak pernah mengaso sejenak
Dingin dan sunyi selalu mengajak berlari
Menggiring nafasku mendeeru merunut almanak
Dan jiwa binalku selalu resah tak terperi
Mengeja jejak malam yang tertinggal di laci almari
Lalu menggntungnya di beranda buku-buku
Seperti para penyair rindu membunuh hari
Aku menjelma serangga kecil mengitari lampu
Tenggelam dalam sajak-sajak batu

Purwokerto, April 2008

09 Juli 2008

SEBAB KAWAN ADALAH TEMAN YANG BERJIWA SAHABAT

Sebab kawan adalah teman yang berjiwa sahabat
Maka kutulis sajak ini

Pernahkah kalian berpikir jika pertemuan tadi adalah
perjamuan terakhir bagi kita?
Maka ini kali tak tersedia tawa pecah dari urat urat
pusaran mulut kita
Tak terhidang senyum terbang dari ruas ruas sabit
bibir kita pula
Atau tersaji air mata pasir dari sekat sekat pipih
mata kalian
Juga buncahan peluk rindu kangen haru biru dari sayap
sayap kokoh tangan kita

Karena aku tak terbesit dalam sirat dan surat palung
jantung otakku terpikir perjamuan itu

Sebab kawan adalah teman yang berjiwa sahabat
Maka kutulis sajak ini

Rumah Cinta, Kbm’130806