11 Oktober 2010

Puisi Ryan Rachman Di Koran Merapi, Minggu Legi, 10 Oktober 2010



Pulang 1

Debu-debu yang melekat
di lantai rumah telah menunggu

Menunggu dengan senyum lapang
seluas halaman berbatu


Pulang 2

Ini malam yang sama dengan tempo lalu
Aspal dingin yang kukendarai pulang
Kursi empuk, udara gunung
Dan suara parau para biduan tarkam yang keluar dari speaker VCD player
Manusia-manusia yang lelap di atas mimpi
Mimpi yang sama dengan mimpiku:
Pulang


Kepada Kertas dan Pena

Berapa purnama kita tak bersua sayang? Dari purnama beranak sabit. Sabit beranak gerhana. Gerhana berpinak purnama. Bulan yang kau tatap di langit itu tak satupun beranak puisi. Hanya meninggalkan jejak-jejak tak terbaca mata

Berapa purnama kita tak bersua sayang? Angin yang berjingkat lewat jendela berdebu membawa aroma musim panen dari laut, dari gunung, dari purnama. Angin kemuning menerbangkan wajah putihmu. MEmbawa ke dasar laut tak bertuan. Angin beraroma susu yang siap perah itu tak meninggalkan jejak apappun di wajahmu. Tidak juga puisi

Berapa purnama kita tak bersua sayang? Berkali-kali kau telepon diriku hingga habis malam, namun taj pernah sempat kuangkat gagang telepon itu. Tak pernah sempat kucecap halo padamu

Berapa purnama kita tak bersua sayang? Aku rindu padamu, sepasang kekasih abadi. Gemulai jemari pena dan lembut wajah putih kertas. Aku rindu percintanmu. Aku rindu menulis puisi sayang

Ryan Rachman, penyair. Kumpulan Puisinya "Senandung Kupu-Kupu" sedang dalam proses penerbitan. Wartawan Suara Merdeka. Tinggal di Purwokerto.

26 September 2010

Puisi Ryan Rachman di Minggu Pagi No 23 Minggu I September 2010

Wisnu

Pemelihara semesta terbang bersama kepakan garuda. Wajahmu tak seperti dulu. Matamu yang sejuk kini sayu. Tergambar duka meski tak setetes air mata jatuh. Bumi yang dititipkan Brahma kepadamu, kini menggeliat. Manusia tak lagi hormat padamu. Dengan otak mereka telah menciptakan teknologi yang menghancurkan

Wisnu, mungkin saatnya kau istirah dan menyerahkan bumi kepada Syiwa


Pagi, Meja Makan, Ini Kali


Kembali secangkir kopi hangat membawa kita dengan kereta senyum terbang ke atas mega-mega (ini kopi terasa sangat manis)

Dan sebungkus rokok bikinan Paman Sam masih berpijar mengepulkan kotak-kotak mimpi yang sempat tertinggal di ujung persenggamaan semalam

Aha...!

Alangkah asyiknya bila kita sarapan. Baru kita lanjutkan percakapan kita. Nikmati saja bilur-bilur matahari itu. Biar kehangatan meruang di meja makan ini. Sebab esok belum tentu kita seperti ini


Dan Aku Masih Menuggu Mendung

Dan aku masih menunggu mendung datang selimuti langit menantang matahari meneteskan hujan ke muka bumi

Biar semua menyublim menjelma gugusan bianglala seiring mekarnya bebunga di taman hati yang sekian waktu kering meranggas dalam pelukan enggan


Ryan Rachman penyair, wartawan Suara Merdeka. Buku puisinya Senandung Kupu-Kupu dalam proses penerbitan

13 Agustus 2010

PUISI RYAN RACHMAN DI SUMUT POS, MINGGU, 1 AGUSTUS 2010

LAHIRLAH PUISI

Kirimkan aku kertas dari lembar-lembar awan memutih. Selipkan di antara helai rambutnya tinta dari sublimasi segala rupa halimun yang berenang di setiap telaga. Biar kunikahi keduanya dalam satu ikatan pita dengan kata-kata dan doa yang paling memabukkan. Maka biar menjadi sepasang kekasih yang paling kasih. Dan setiap malam berdentang, upacara sanggama kan selalu territuas. Dan dari rahimnya akan lahir ribuan puisi terindah. Puisi lincah seperti anak-anak kucing yang berenang dengan bola karetnya


KASUR

Lalu kuletakkan tubuh kayuku di atas kasur ini. Kasur merah bata berisi kapuk randu. Bukan busa. Kasur yang jarang sekali mengenyam sengat matahari dan embus angin. Tubuhku serta merta tenggelam dalam kubur tanpa liang. Kasur memakanku hidup-hidup. Membunuh tapi tak mematikan. Aku berenang di sungai yang (aku rasa) hanya mengalir pada setiap musim kawin. Air bergerak serempak seperti mata kucing yang berlari terbirit dikejar tikus yang besar sekali. Sungai kerontang ketika bulan sabit menyelinap dan memapas tangkai daun pisang di sepanjang tepiannya. Sungai yang membuat jalur lurus seperti motif garis pada sprei pembalut kasur. Dan karena aku tak bisa berenang, maka tubuh kayuku pun hanyut mengikuti kemana perginya. Sesekali tubuhku ditandu oleh ribuan kepiting bercapit catut. Sesekali tubuhku terantuk batu sebesar gajah berwarna hitam yang jongkok mengintip udang kawin di dasar sungai.

Aku hanyut. Nurut. Kadang aku tak habis pikir. Mengapa ada sungai di kasurku? Apakah aku bermimpi? Sedangkan kasurku beserta bantal-bantalnya, spreinya, gulingnya, kapuknya, selimutnya tak pernah membuatku tidur. Aku tak pernah tidur. Berpikir. Berpikir! Berpikirlah! Aku pun memutar otak. Berpikir. Seperti para filsuf berkepala botak, berjanggut dan berkumis tebal menjuntai langit serta berkacamata jengkol. Tidak mempercayai apa yang kusaksikan. Aku berpikir mencari kebenaran hakiki tentang sungai dalam kasurku. Apakah ada mata air yang menyembur? Tapi menyembur di mana? Sedangkan di kasurku tak tumbuh gunung. Aku pun hanyut dalam pikirku. Seperti hanyut dalam sungai kasur. Hanyut tanpa sampan, tanpa kayuh, tanpa layar. Hingga kudapati muara yang menjadi jembatan antara sungai dan laut. Laut? Bukan laut. Tepatnya lautan. Kubiarkan tubuh sampanku tersedot gelombang lautan. Gelombang lautan yang berwarna merah bata bermotif garis seperti kasurku. Dan aku berlayar tanpa nahkoda, tanpa peta, tanpa kompas di tengah lautan kasur


AMPLOP MERAH

Amplop ini kutemukan di beranda cakrawala memerah. Di sampulnya tertulis namamu dengan tinta merah. Perlahan kubuka, kutemukan wajahmu memerah seraya menumbuhkan air mata merah dari mata merahmu. Dan hidung merahmu menetes aroma menusuk udara. Dan bibir merahmu tumbuh bola sebesar bunga mawar merah di taman belakang stasiun kota. Aku hanya menemukan wajah merahmu tanpa tubuh, tanpa tangan, tanpa kaki, tanpa kelamin.

Tanganku pun memerah teriris amplop berisi wajah merahmu. Maka segera kuremas amplop merah menjadi burung nasar dan kulempar sejauh mataku memandang. Kubiarkan kau terbang di langit merah menuju bulan merah, planet merah, dan rumah para alien berkepala merah

Ketika kubuka tubuhku, kudengar teriak ayam jantan bersuara merah. Berteriak memanggil namamu. Seluruh binatang pagi berkicau memanggil namamu dengan suara yang memerah. Dan kubuka jendela, kutatap langit pagi berbalur merah. Di balik awan yang memerah, ribuan burung nasar merah yang kuremas tadi malam terbang dengan kecepatan supersonic membentuk formasi tempur 4-4-2. Terbang melesat ke arahku. Satu persatu menembak tubuhku lalu mencincangnya. Dan kepalaku dipungutnya lalu diselipkan ke dalam amplop berwarna merah. Semerah cakrawala. Semerah wajahmu


AKU BERTANYA KEPADA API

Aku bertanya kepada api tentang malam yang hijau kering. Malam bergaun renda penuh manik-manik berkelip tertempel di tiap petaknya. Malam yang lukakah dia?

Api gemuruh lidahnya. Melata menyembur racun kuning kemerahbiruan. Mulutnya tercekat oleh pohon-pohon bercabang ular yang tumbang karena pujian perawan penjaga hutan

CERPEN RYAN RACHMAN DI SUMUT POS, MINGGU, 25 JULI 2010

WONG PINTER

Biru sedang mengguyur langit pagi itu. Beberapa ekor burung gereja berkejaran menaiki kereta angin lalu hinggap di sebuah kawat listrik. Angin berhembus syahdu. Ranting pohon nagka yang derdiri di depan rumah bergoyang-goyang. Beberapa lembar danunnya yang sudah menguning patah dan terombang-ambing dan jatuh ke tanah.

Tiba-tiba sebuah sedan hitam buatan Korea berhenti di depan rumah. Lalu keluar seorang lelaki berpeci miring dari pintu sebelah ruang kemudi. Berlari kecil mengitari sedan lalu membukakan pintu belakang. Tampak seorang bepenampilan perlente keluar dari sedan itu. Tubuhnya gemuk, mukanya bulat, pakaiannya necis. Kelihatannya orang kaya. Lama saya amati. Dia mirip dengan orang yang gambarnya terpampang di koran. Ya benar. Dia adalah salah satu dari calon bupati yang akan dipilih pada pilkada bulan depan.

Saya persilahkan dia masuk ke ruangan kerja saya. Dengan ramah dia berbicara. Ternyata dia enak juga diajak bicara. Setelah menikmati teh hangat bikinan istriku, dia mulai mengutarakan maksud kedatangannya. Dia meminta bantuan saya untuk didoakan agar terpilih menjadi bupati. Dan dia ingin lawan satu-satunya kalah dalam pilkada mendatang.

Saya menyanggupinya.

Setelah itu, dia bangkit dan pamit. Tidak lupa, sebelum keluar dari ruang kerja saya, dia memberikan sebuah amplop kepada saya sebagai tanda terimakasih sambil senyum kemenangan mengembang di bibirnya. Saya pun mengantarnya hingga halaman depan.

Setelah sedan itu berjalan dan tidak terlihat lagi, saya segera masuk ke rumah dan membuka amplop pemberiannya. Dua juta rupiah. Saya kira itu jumlah yang lumayan banyak sebagai imbalan untuk pekerjaan saya.

Langit yang sama, burung yang sama, angin yang sama dan dua setengah jam dari waktu yang sama seperti kemarin. Sebuah mobil bercat metalik. Kali ini buatan Jerman. Berhenti di depan rumah. Kali ini supirnya tidak keluar membukakan pintu pemiliknya. Kali ini pemiliknya sendiri yang keluar tanpa ditemani supir. Tubuhnya tegap, berjanggut dan berkumis tipis. Dengan gagah dia berjalan menuju ke arah saya. Setelah saya amati ternyata dia juga salah satu calon bupati untuk pilkada yang akan datang. Benar. Dia adalah lawan dari calon yang kemarin datang ke rumah saya. Mau apa gerangan dia?

Setelah bersalaman, saya persilahkan dia masuk ke ruang kerja saya. Setelah minum –kali ini bukan teh hangat melainkan kopi dan masih bikinan istri tercinta- dia mengutarakan maksud kedatangannya ke tempat saya. Ternyata tujuannya sama dengan tujuan orang yang datang kemarin. Dia menginginkan kemenangan pada pilkada besok sehingga dia meminta bantuan saya untuk didoakan. Dia juga ingin agar lawan satu-satunya nanti kalah.

Saya bimbang. Kenapa dua orang calon bupati meminta bantuan saya agar mudah memenangkan pada pilkada nanti. Akhirnya dengan terpaksa saya menyanggupi keinginan orang itu.

Begitu mendengar jawaban saya yang menggembirakan hatinya, dia segera bangkit dan minta pamit. Katanya dia masih harus mengurus persiapan untuk kampanye nanti sore. Saya pun tersenyum menanggapinya. Lalu dikeluarkannya amplop dari sakunya. Sambil menyalami saya dia mengucapkan terima kasih kepada saya. Lalu saya antar dia hingga halaman depan.

Setelah itu mobilnya mulai bergerak dan menjauh dari saya. Lalu saya masuk ke rumah dan segera membuka amplop yang diberikan oleh orang tadi. Dua juta. Jumlah yang sama dengan uang yang diberi oleh orang yang kemarin.

Dua orang calon bupati datang meminta bantuan kepada saya agar dimenangkan dalam pilkada nanti. Keduanya sama-sama kandidat yang kuat dan sama-sama memiliki masa yang banyak. Keduanya memberikan imbalan dengan jumlah yang sama kepada saya, Mbah Marno, yang kata orang saya adalah orang yang pintar dan terkenal di kabupaten ini. Dan saya mengatakan ya kepada keduanya.
***
Masyarakat di kota ini mentasbih diriku sebagai wong pinter. Mereka menganggap aku sebagai seorang yang memiliki kesaktian seperti wali bisa membuat keinginan seseorang terwujud. Padahal aku merasa biasa-biasa saja. Aku adalah manusia normal seperti mereka. Jika perutku lapar aku harus makan seperti mereka. Jika tenggorokkanku kering aku harus minum air sama seperti mereka. Jika aku lelah dan mengantuk aku pun harus membaringkan tubuh dan memejamkan mata seperti mereka. Aku juga bekerja mencari uang untuk menafkahi istri dan ketiga anakku.

Aku lebih suka disebut sebagai seorang yang pintar karena memang kegemaranku membaca buku. Buku apa saja. Buku tentang agama terutama Islam, tafsir, hadist, dan sejenisnya yang sebagian besar bertuliskan huruf arab gundul. Selain itu, buku tentang ekonomi, politik, sejarah, sastra, kesehatan, hingga berkebun, merawat kelinci, dan resep masakan.

Memang, suatu ketika, beberapa tahun lalu bibirku tak sengaja pernah berucap pada salah seorang tetanggaku tentang keberuntungan. Tetaggaku tersebut curhat kepadaku saat pulang dari mushola. Dia sedang bingung karena terlilit hutang yang lumayan banyak. Karena aku tak memiliki uang sebayak itu, aku hanya bisa memberikan doa semoga tetanggaku tersebut diberi jalan dan kemudahan agar bisa membayar hutangnya. Tak selang berapa hari, tetanggaku tersebut datang kepadaku membawakan bungkusan berisi makanan dan sejumlah uang did lam amplop kecil. Katanya, dia baru saja mendapat rezeki dari Allah. Dia baru saja memenangkan undian seratus juta dari bank tempatnya dia menabung.
Mungkin sejak itulah namaku mulai menjadi buah bibir di masyarakat ini sebagai wong pinter. Ditambah lagi latar belakangku yang seorang alumni pondok pesantren terkenal di Jawa Timur dimana salah satu santrinya pernah menjadi pemimpin di negeri ini menambah bumbu akan pentasbihan sebagai wong pinter.

Namun tujuan sebenarnya aku mondok bukan untuk menjadi wong pinter, namun semata-mata hanya ingin belajar lebih dalam tentang agamaku dan tentunya aku akan lebih dekat dengan penciptaku. Itu saja, tidak lebih.
***

Malam hari menjelang. Langit tampak bersih dari mendung. Yang ada hanya sebuah bulan yang nampak bundar seperti loyang raksasa dan bintang-bintang yang berkeliaran tak tentu arah. Suara binatang malam bersahut tak henti-hentinya tak ubah sebuah alunan simponi yang harmonis menyanyikan tentang malam. Pilkada berlangsung besok pagi. Sekarang pukul sembilan malam. Segera setelah selesai menonton sinetron yang sudah lebih dari tiga kali dibuat sekuelnya dan membosankan, saya melangkahkan kaki menuju sumur untuk mengambil air wudu dan menjalankan salat Isya. Setelah selesai salat, dalam remang saya berdoa agar pilkada besok pagi bejalan dengan baik dan lancar. Tidak ada kecurangan dan manipulasi. Tidak peduli siapa yang nati terpilih menjadi bupati, apakah calon yang gendut itu atau calon yang tegap itu. Yang jelas, jika sudah menjadi orang nomor satu di daerah ini, janganlah dia lupa terhadap janji-janji yang diucapkan pada saat kampanye. Jangan membohongi rakyatnya.

Saya akhiri doa saya dengan bacaan Al-Fatihah. Dengan begitu saya, si wong pinter, telah mendoakan kedua calon bupati tanpa pilih kasih. Lalu saya bangkit dan menuju ke tempat tidur untuk istirahat. Di sana telah terbaring sesosok perempuan cantik dengan senyum mengembang di bibirnya. Lalu aku berbaring di sebelahnya dan mengahiri hari dengan mimpi.

Puisi Ryan Rachman Di Harian Bali Bicara, Senin, 11 Juli 2010

Bantal Berbentuk Hati

maka kau pun bertualang
berlayar di langit wangi aromaterapi
di awan merah jambu
menjadi Odipus
ah bukan
menjadi Aprodhite
mencari labuhan
bagi hati yang ditumbuhi bunga-bunga

aku bahagia
menatap senyum di wajahmu
di kepala yang kau rebahkan
di atas lembut bantal berbentuk hati

dan kau terus berlayar

Purwokerto, Maret 2009



Janji Hujan

aku percaya pada ucapan bibirmu senja itu, ketika kita
berlari berkendara hujan. dan tak ada petir
bergemuruh di langit bermendung ketika janjimu terucap. tapi
di sini, di dadaku gemuruh itu berjingkat
tiada bertepi. seperti bising ombak menabur debur di tepian atol
dan sore ini hujan berkunjung lagi
di pelataran rumahmu. hujan pertama
di musim kelima, sejak kau bisikkan janji itu.
janji kepadaku. janji kepad hujan. janji kepada senja

aku berdiri membeku menjadi tugu di bawah hujan. menanti angin
mengantar surat memberi kabar tentangmu
dan hari-hari manismu tanpaku di situ. di titik tak terpetakan

aku percaya pada janjimu

Kebumen, Februari 2009


Pulang 2

Debu-debu yang melekat
di lantai rumah telah menungguku
Menunggu dengan senyum lapang
seluas halaman berbatu

Gombong, September 2009



Pulang 3


Ini malam yang sama dengan tempo lalu
Aspal dingin yang kukendarai pulang
Kursi empuk, udara gunung
Dan suara parau para biduan tarkam yang keluar dari speaker
Manusia-manusia yang lelap di atas mimpinya
Mimpi yang sama dengan mimpiku:
Pulang

Soka, September 2009


Pulang 4


Maka kulaju kaki-kaki jalang
Menuju titik langit penuh bintang
Menuju titik langit bulan sabit terpancang
Di bawahnyalah rumahku mengerang

Kebumen, September 2009

Puisi-Puisi Ryan Rachman Di Sumut Pos, Minggu 20 Juni 2010

TANGAN KANAN

Tiba-tiba saja tangan kananku lenyap tanpa rasa
Padahal ada sekotak sajak yang harus terjejak
Sajak yang telah lama tak datang berkunjung
Pada setiap separuh malam-malamku

Kemana aku harus menemu tangan kananku
Pada separuh malam?
Atau pada sajak-sajak yang belum terjejak?
Padahal separuh malam berikutnya telah menganga
Padahal kertas-kertas pena-pena telah mendera

Aku pun terdiam
Mengutuk waktu
Mengutuk siapa saja yang mencuri tangan kananku

Dan sajak kembali tak dapat terjejak


MAKA KAN KUJELMA KAU

Panggil aku malam
Maka kan kujelma kau serupa gemintang
Pijar menerang di wajah jiwa

Panggil aku pohon
Maka kan kujelma kau selaksa daun
Hijau menyejuk di relung dada

Panggil aku lelap
Maka kan kujelma kau sewajah tawa
Renyah mewarna di ruang mimpi

Panggil aku cinta
Maka kan kujelma kau sebagai kekasih
Damai mengalir di ulu hati



JENDELA

Kugantung retina mata elangku
Di balik kaca jendela kamarmu
Biar kubaca rahasiamu
Membaca malam-malammu

Seperti bintang yang kau tatap dari balik jendela
Aku melempar padma dari jiwa
Sebagai lentera yang tergantung di tanganmu
Menerang gelap
Menerang lelap


EDELWEISS

Tersenyumlah padaku o bunga keabadian
Berikan warna terputih di kelopak wajahmu
Pada jiwa resah pada tubuh lelah

Telah kurunut peta buta
Kurayap puncak tertinggi
Kusibak udara terbeku
Mencari jejakmu

Di puncak kesunyian
Abadi kau bersemayam
Menatap matahari datang dan hilang
Mendekap dingin yang paling kering

Tersenyumlah padaku o bunga keabadian
Tak kupetik kau tak
Biar terpatri warnamu

Seperti gunung sahajamu tersunting
Seperti lembah sunyimu terpatri
Seperti permata abadimu tersemat

Maka tersenyumlah padaku o bunga keabadian


Ryan Rachman, mahasiswa FISIP Jurusan Ilmu Budaya Unsoed Purwokerto

Cerpen Saya Jadi Juara II Lomba Cerpen UKKI Unsoed Kemarin Minggu


SUKUR


Tengah malam pun akhirnya datang juga. Di atas langit, bulan yang rompal separuh lengser dari tempat duduknya, condong ke arah barat. Gumpalan awan tipis sesekali melintas menutup sinar yang dipancarkannya. Sebuah bintang jongkok tak jauh dari bulan. Itu satu-satunya bintang yang menggantung di langit malam ini.

Angin lembut perlahan berlari menuruni bukit menuju kampung. Menggoyang daun-daun pohonan bambu. Rimbunan bambu sering di jumpai di sepanjang sisi jalan setapak di kampung ini. Batu-batu yang tertata di sepanjang jalan setapak nampak basah oleh sapuan embun.
Di jalan yang kasar itu, seorang pemuda berjalan sendiri menembus kabut. Kabut tebal yang dibawa angin dari bukit membuat jarak pandang di jalan ini hanya sekitar lima meter. Untung setiap dua puluh meter di jalan setapak ini terdapat lampu bohlam 20 watt yang tergantung di batang-b atang pohon bambu.

Dia bernama Sukur. Setiap malam dia melewati jalan setapak itu. Jalan itulah satu-satunya jalan yang menghubungkan kampung ini dengan kota kecamatan. Jarak dari kampung ini ke kota kecamatan kira-kira dua jam setengah berjalan kaki.

Di kecamatan ia bekerja sebagai seorang tukang parkir sebuah rumah makan Padang. Dia berangkat dari rumahnya ke tempat kerjanya sehabis subuh dengan berjalan kaki. Kadang-kadang ia membonceng tetangganya yang hendak berangkat ke pasar kecamatan. Tapi dia lebih sering jalan kaki. Dan ketika rumah makan itu tutup pukul sepuluh malam, dia tidak serta merta langsung melangkah pulang. Namun ia lebih sering membantu membersihkan peralatan makan atau membuang sampah. Sebagai upahnya dia mendapat jatah makan sehari tiga kali. Setelah pekerjaannya selesai, barulah ia melangkah pulang.
Sesampai di rumahnya yang sedikit perabotannya, dia segera membaringkan tubuh tegapnya di atas bangku panjang di ruang tamu. Hanya sekedar melepas lelah setelah hampir dua jam setengah dia berjalan. Kira-kira satu jam dia memejamkan matanya, Bu Rohmah, ibunya keluar dari kamar tidurnya dan menghampirinya.

“Bangun le.” Tangan keriputnya mengelus pundak Sukur beberapa kali.

Setelah melihat anak semata wayangnya membukakan kedua pintu matanya, perempuan yang menginjak umur lima puluh tiga tahun tersebut segera melangkah menuju sumur di belakang rumah. Tak lama berselang, Sukur pun mengikuti jejak ibunya.

Selesai mengambil air wudlu, kedua orang tersebut masuk kembali ke rumah sederhananya. Masuk ke kamar masing-masing dan menunaikan sholat tahajud. Biasanya selesai sholat, sang ibu kembali merebahkan dirinya ke tempat tidur. Tetapi tidak untuk Sukur. Selesai berdoa, dia segera mengambil Al-Quran yang tergeletak di atas meja kecil di samping tempat tidur. Warnanya pucat coklat kekuningan. Sampulnya telah lepas. Dibukanya halaman yang telah ditandai dengan sebatang lidi. Tak lama kemudian bibirnya pun bersuara. Ayat-ayat yang dibacanya, diucapkanya dengan perlahan dan merdu. Maka, dini hari pun menjadi sejuk. Dan dia pun semakin tenggelam dalam kitabullah itu hingga azan subuh menjelang.
***
“Assalamualaikum...”

“Waalaikumsalam…” sahut bu Rohmah sembari bangkit dari bangku panjang menuju ke pintu. Dibukanya pintu perlahan. Nampak di depan pintu seorang laki-laki seumuran dia dan seorang perempuan seumuran anaknya.

“Eh, pak Rojikun, mari silahkan masuk.”

“Iya bu,” sembari melangkah mengikuti tuan rumah.

Pak Rojikun adalah salah satu orang yang cukup dikenal di kampung ini. Sebenarnya dia seorang pendatang. Kampung halamannya berada di pulau Sumatera. Dia datang ke kampung ini karena ditugaskan menjadi mantri kesehatan. Sudah hampir tiga tahun dia tinggal bersama keluarganya di kapung ini.

“Siapa ini pak?” sembari mengacungkan telunjuknya ke arah perempuan yang duduk di samping pak Rojikun.

“Oh, ini Faiqoh. Anak saya yang pertama.”

“Kok selama ini dia tidak pernah kelihatan?”

“Iya. Dia tidak mau ikut pindah ke kampung ini. Dia kuliah di Universitas Sumatera Utara. Setelah selesai, barulah ia menyusul kami di sini.”

Perempuan berjilbab biru langit itu tersenyum sambil memandang bu Rohmah. Bu Rohmah pun membalas dengan senyuman.

“Lho ada tamu?” Sukur tiba-tiba keluar dari dalam dan menghampiri mereka bertiga.

“Kamu tidak ke kota Kur?” tanya pak Rojikun.

“Tidak pak, rumah makannya tutup. Jadi saya ya di rumah. Ada apa to pak, kok tumben sowan kemari?”

“Begini Kur,” pak Rojikun membetulkan kaca matanya. “ Ini anak saya. Faiqoh. Dia baru datang satu minggu yang lalu dari Sumatera.”

Faiqoh tersenyum kepada Sukur lalu menundukkan wajahnya.

“Sejak dia di kampung ini, setiap tengah malam ia selalu terbangun. Bukan karena takut atau karena lapar, namun karena ia mendengar suara orang yang membaca Al-Quran. Setiap malam ia selalu mendengarkannya hingga orang tersebut selesai membacanya. Setiap dia mendengar suara itu, hatinya selalu bergetar. Dia selalu penasaran dengan orang yang membaca kalamullah itu dengan begitu merdunya. Dia ingin sekali mengenalnya dan belajar membaca dari orang itu.”

Bu Rohmah dan Sukur memperhatikan dengan seksama apa yang diucapkan oleh pak Rojikun.
“Lalu ia bertanya kepada saya siapa orang yang selalu membaca Al-Quran dengan indah di setiap malam. Saya pun bilang kalau itu kamu Kur. Lantas ia meminta saya untuk mengantarkannya ke kamu. Dia ingin sekali belajar darimu.”

“Ah, anda terlalu memuji pak. Saya tidak pernah merasa bahwa saya bagus dalam membaca Al-Quran. Saya hanya membaca sesuai pa yang diajarkan oleh guru ngaji saya dulu.” Kilah Sukur.

“Tapi apa salahnya si Kur kalau kau mengajari anak saya membaca Al-Quran.”

“Saya senang sekali jika saya bisa mengajari putri bapak. Tapi saya kan bekerja setiap hari. Sedangkan saya pulang sampai rumah paling tidak tengah malam.”

Nampak wajah Faiqoh berubah kecewa. Pak Rojikun pun nampak bingung melihat raut muka anaknya.

“Begini saja. Bagaimana kalau kau berhenti jadi tukang parkir. Kau bekerja padaku saja sebagai guru ngaji anakku. Kubayar dua kali lipat dari penghasilanmu sekarang.”

“Maaf pak, seandainya pun saya ada waktu untuk mengajari putri bapak ngaji, saya tidak meminta imbalan apapun.”

Wajah Faiqoh bertambah kelabu.

Pak Rojikun semakin kebingungan. Dengan sedikit bimbang, akhirnya ia pun berkata, “Bagaimana kalau kau kunikahkan dengan anakku?”

Kata-kata yang terlontar dari mulut pak Rojikun membuat orang seisi rumah itu pun tersentak.

“Ah bapak ini mengada-ada. Mana mungkin saya pantas menjadi suami putri bapak. Saya hanya seorang tukang parkir pak.” Sanggah Sukur.

“Iya Pak. Anak saya hanya seorang tukang parkir. Sedang putri bapak seorang sarjana.” Bu Rohmah mengamini.

“Saya tidak main-main Kur. Saya berkata itu punya dasar yang kuat. Dan saya yakin anak saya akan bahagia hidup bersamamu.”

“Maksud bapak?”

“Kau orang yang jujur, sederhana dan selalu membaca Al-Quran setiap malam. Saya percaya jika kau tidak hanya membacanya saja. Kau juga mengamalkannya. Dan saya percaya bahwa orang yang selalu berpedomankan Al-Quran, dia akan menjadi seorang pemimpin yang baik, termasuk pemimpin bagi anakku. Dan saya percaya jika kaulah orang yang tepat.”

Sukur terdiam.

“Bagaimana Kur? Kau mau. Soal pekerjan, nanti bisa dicari.”

Sukur masih belum berkata-kata. Dia tidak percaya atas apa yang di alaminya baru saja. Bu Rohmah pun hanya bisa menelan ludah.

Sementara itu Faiqoh tersenyum senang. Cita-citanya memiliki seorang suami yang pintar mengaji hampir tercapai.


Ryan Rachman, mahasiswa Fakultas ISIP Unsoed Jurusan Ilmu Budaya

Esai Ryan Rachman Di Radar Banyumas, Minggu 6 Juni 2010


MISI SEDERHANA PASUKAN BERANI BERPUISI

Aku mencoba menerobos hujan yang tak terlalu deras melanda/Tapi pikiranku terus saja berkelana/Melanjutkan mimpi-mimpi melajukan perahu generasi//Aku mencoba agar hujan tak deras menerpa/Tapi banjir mengapungkan sejuta sampah pikiran/Yang musti harus dibersihkan//Aku harus kerja bakti merapikan terpaan badai/Menata lagi brankas kerja dan menyusun lagi rencana yang porak-poranda

Itulah salah satu puisi karya Muhammad Ayatullah berjudul Pawang Hujan III yang dibacakan di suatu malam Minggu yang gerimis dalam acara Poetry at Alun-Alun beberapa waktu yang lalu. Selain dirinya, ada tujuh anak muda yang lain yang mengaku dirinya sebagai calon penyair membacakan karya-karyanya di bawah tiang bendera alun-alun Puwokerto. Mereka menamakan kelompok itu sebagai “Pasukan Berani Berpuisi”.

Selain di alun-alun, mereka juga melakukan aksi pembacaan puisi di ruang-uang publik lainnya seperti stasiun kereta api, terminal bus, pasar, perempatan lampu lalu lintas, trotoar, dan parkiran pusat perbelanjaan di Purwokerto dan Purbalingga. Dimana ada orang banyak, disitulah mereka membaca puisi. Walau mungkin dianggap tidak waras bagi sebagian orang, namun banyak pula yang duduk dan mendengarkan mereka membacakan puisi, bahkan ada yang ikut berpartisipasi tampil di depan. Sejak bergulir enam bulan lalu, paling tidak hampir seminggu sekali mereka beraksi.

Lalu sebenarnya apa yang diharapkan oleh Pasukan Berani Berpuisi ini? Tidak muluk-muluk. Menghibur masyarakat umum dan mendekatkan puisi kepada mereka, itu saja. Tidak lebih.

Tantangan

Dalam sebuah diskusi Ngobrol Bareng Sastra yang diadakan oleh Sanggar Sastra Wedang Kendhi yang bertajuk “Sastra yang Memasyarakat” terdapat permasalahan dan tantangan besar yang harus dihadapai oleh para pegiat sastra dan karyanya terutama penyair dan puisinya supaya dapat diterima oleh masyarakat.

Orang lebih suka membaca komik dari pada harus membaca puisi yang penuh dengan bahasa kias njlimet. Anak-anak muda lebih suka mendegarkan puisi yang picis dan ecek-ecek daripada mendengarkan puisi mantra, puisi mbeling atau puisi instalasi. Ini kan menjadi aneh?
Selama ini puisi memiliki hanya milik dan dinikmati oleh pegiat dan penikmat sastra. Seolah-olah puisi telah memilih eksklusifisme sebagai menara gading yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir kepala dalam suatu masyarakat. Dalam acara diskusi dan pembacaan puisi yang bisa dikatakan wow! misalnya, paling-paling acara tersebut hanya dihadiri dan dinikmati oleh orang yang itu-itu saja. Jarang sekali masyarakat awam seperti tukang becak, bakul ronde, tukang sol sepatu, tukang parkir, hingga karyawan pabrik, guru, ilmuwan, pengacara, mantri kesehatan ataupun dokter hewan datang, menikmati dan meresapi setiap puisi yang dibacakan oleh para penyair hingga acara tersebut paripurna.

Atau puisi hanya sebagai penghias surat kabar Minggu yang lebih sering tidak dimuatnya dari pada dimuatnya dan hanya dibaca oleh khalayak sepintas saja. Padahal para penyair membuat satu buah puisi harus mencurahkan pikiran hingga berdarah-darah agar puisi ciptaannya memiliki nyawa dan memenuhi estetika karya sastra.

Lalu untuk apa puisi dicipta jika hanya bisa dinikmati oleh “manusia-manusia pilihan” saja? Lalu bagaimana dengan dulce et utile dari puisi tersebut? Bagaimana masyarakat dapat mengenal dan menikmati puisi? Hal itulah yang harus menjadi pekerjaan rumah para penyair agar puisi-puisinya dapat dibaca dan dinikmati oleh “manusia-manusia seluruhnya”.

Puisi dicipta tidak hanya untuk dinikmati sendiri, berlayar di lautannya sendiri dan berlabuh di dermaganya sendiri. Para manusia “di luar pagar” itulah yang sebenarnya lautan dan dermaga itu. Sebab puisi harus berfungsi sebagai cerminan dari masyarakat “luar pagar” itu. Puisi harus mencerahkan dan menyegarkan bagi setiap orang yang membacanya. Seperti puisi Pablo Neruda yang membakar jiwa setiap orang di tiap sudut Chile. Seperti puisi Walt Whitman yang selalu berenang di darah orang Amerika Serikat hingga sekarang. Itulah fungsi puisi sebenarnya.

Penyair tidak bisa selalu duduk di “singgasana empuknya”, dia harus terjun langsung ke masyarakat dan menjadi bagian dari masyarakat itu sendiri agar karya-karyanya dapat dikenal dan dinikmati oleh masyarakat.

Berawal dari itulah “para calon penyair” ini bergerak untuk menjawab tantangan di atas. Dengan cara yang paling sederhana: membacakan puisi pada khalayak. Bukan untuk narsisme sementara dan gagah-gagahan agar disebut sebagai manusia “sakti”. Sekali lagi, hanya untuk menghibur masyarakat umum dan mendekatkan puisi kepada mereka, itu saja. Tidak lebih. Terlebih lagi apresiasi masyarakat di Purwokerto dan Purbalingga terhadap puisi sangatlah minim.

Semoga misi sederhana Pasukan Berani Berpuisi dapat terwujud dan mendapat tempat di hati masyarakat “luar pagar” dan tentunya akan terus “mengangkat senjata”, tidak akan terhenti oleh “hujan”. Klilan.

Ryan Rachman, mahasiswa jurusan Ilmu Budaya Unsoed Purwokerto

Esai Ryan Rachman di Koran Minggu Pagi, Edisi Minggu II Mei 2010


MENDAMBA PUSAT DOKUMENTASI TEATER DI BANYUMAS
Oleh: Ryan Rachman


Dalam diskusi tentang teater Banyumas yang diadakan dalam salah satu rangkaian acara budaya Sokaraja Mbigar (27/12/2009), Iank, salah seorang pegiat teater Senthir menanyakan bagaimanakan sebenarnya teater di Banyumas, atau jangan-jangan teater di Banyumas memang tidak ada?

Pertanyaan tersebut memang cukup membuat terkejut para pegiat teater di Banyumas yang hadir pada malam itu terutama bagi mereka yang sudah lama terjun di dunia panggung tersebut.

Para pegiat teater di Banyumas sekarang ini tidak mengetahui secara persis kali pertama teater modern berdiri dan berkembang di Banyumas. Apa nama teater tersebut, siapa yang membawanya, naskah apa yang pertama kali dipentaskan, atau siapa saja aktornya. Selama ini kita meraba-raba akan hal tersebut. Ada yang mengatakan bahwa kali pertama teater modern dibawa dari Yogyakarta ke Banyumas pada dekade 70an oleh Saeran Sasmidi. Atau mungkin ada versi lain?

Selama ini kita kesulitan mencari data yang otentik tentang sejarah teater di Banyumas. Miminnya dokumentasi terutama dokumentasi pementasan baik berupa foto maupun kepingan VCD serta ulasan dan autokritik pementasan terutama yang ditulis di media masa. Selain itu juga sulitnya dicari dokumentasi naskah drama terutama hasil karya para penulis lokal Banyumas itu sendiri. Hal tersebut menyebabkan kita menjadi gamang untuk mengetahui sejarah dan sejauh mana teater di Banyumas berkembang serta kontribusinya secara lokal maupun nasional.

Hingga saat ini jika dihitung, jumlah kelompok teater yang ada di Banyumas lebih dari empat puluh buah yang terdiri dari teater umum seperti teater Tubuh, Senthir, Gethek; teater kampus seperti teater Perisai, Didik, Teksas; dan teater pelajar seperti teater Karang, Dahana, Sakristi. Masing-masing memiliki ciri dan ideologi dalam berkarya. Akan tetapi, mereka sangat tidak memperhatikan pendokumentasian secara baik. Apalagi bagi mereka kelompok teater yang sudah tidak eksis lagi. Seperti misal, dari sepuluh kali pementasan mereka hanya memiliki empat buah dokumentasi pementasan dalam bentuk kepingan VCD. Sisanya berupa foto yang tidak terarsip secara rapih. Hal ini sangat ironis mengingat pementasan merupakan bagian dari sejarah perjalan kelompok teater itu sendiri.

Pusat Dokumentasi
Untuk menjawab pertanyaan di atas, Banyumas perlu membuat pusat dokumentasi teater apapun itu namanya. Di tempat tersebut tersedia berbagai macam bentuk dokumentasi setiap kelompok teater yang ada di Banyumas. Seperti berupa rekaman dalam bentuk VCD maupun foto, serta ulasan dan kritik pementasan yang ditulis di media masa. Selain itu juga terdapat dokumentasi naskah drama serta artikel-artikel tentang teater di Banyumas yang ditulis di media massa.

Pada dasarnya, untuk mewujudkan berdirinya pusat dokumentasi teater di Banyumas merupakan tugas pemerintah melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan dengan Dewan Keseniaan Banyumasnya (DKKB). Melalui divisi teater, mereka harus bersedia bekerja ekstra untuk mendata kembali jumlah teater baik yang masih eksis maupun sudah vakum serta mendata masing-masing dokumen dari komunitas tersebut.

Ini sangat penting. Selain sebagai pusat dokumentasi, tempat tersebut nantinya juga merupakan tempat bertukarnya informasi antar teater di Banyumas. Seperti informasi pementasan misalnya. Selama ini sering terjadinya kesimpangsiuran informasi pementasan bahkan jadwal pementasan yang sering bentrok. Di dalam strukturnya nanti terdapat beberapa perwakilan dari teater umum, kampus, dan pelajar dan menjadi koordinator sirkulasi informasi.

Selain itu diperlukan juga dari kelompok teater yang bergerak di Banyumas baik teater umum, kampus, maupun pelajar untuk tidak mengedepankan egoisme ideologi sehingga menjadi apatis terhadap masalah ini. Jika pusat dokumentasi teater tersebut dapat terwujud, maka sejarah teater di Banyumas akan jelas, tidak mengambang seperti sekarang ini.

Ryan Rachman, Penyair, bergiat di Sanggar Sastra Wedang Kendhi Purwokerto

02 Maret 2010

Puisi Ryan Rachman di Bangka Pos, Minggu, 7 Februari 2010

DI PEMBERHENTIAN INI AKU TAK LAGI MELANGKAH

pengembaraanku berhenti di sini
di atas batu batu zaman dan kerikil masa
tumpuan tubuhku telah lelah untuk tegak
berdarah mengucur dan membusuk
di setiap luka sayatan sembilu dan ilalang

pengembaraanku berhenti di sini
di ujung bibir malam tak gemintang
kulitku telah legam kering sayu
keringat telah habis menetes jatuh ke liang peradaban
jatuh dan tertingal
membentuk mozaik mozaik jejak buram

pengembaraanku berhenti di sini
di tepian endapan kopi dalam gelas plastik
jemariku telah lunglai menggenggam
labirin labirin waktu masa depan menjauh
dan menghilang tanpa salam perpisahan
hilang dicuri angin laut

pengembaraanku berhenti di sini
berakhir dengan senyum terurai menghias lesung pipit
aku telah menemukan sunyi
takkan ada langkah lagi

Kebumen, 2005

TEPI LAUT

Ada rasa bergelayut di bibir malam
Seperti gemintang yang berenang
Mengepakkan lengan-lengannya
Di tangkai-tangkai laut
Berkecipak bersenandung
Melafazkan sejuta kuah angin pasang

Wajah siapa yang menempel
Di layar perahu kertas?

Purwokerto, Maret 2007



MENJEMPUT MIMPI


Mari kita menjemput mimpi
Tentang kupu-kupu
Yang terbang mengitari
Halaman hijau rumah kita

Mari kita menjemput mimpi
Tentang gerimis pagi
Yang turun riwis
Di wajah bunga-bunga

Mari kita menjemput mimpi
Tentang masa depan pasti
Bumi yang berseri
Memberi tentram pada jiwa

Sanggar Sastra Wedang Kendhi, Februari 2009



AKU DATANG KALI INI


aku pun datang kali ini
memenuhi janji jari manisku padamu
membawa tangis terharu ribuan kunang-kunang
menjemput kata-kata termakna yang tertata pada setiap jalan

ratusan malam berjingkat
tanpa menanda kemana lalunya
tak ada jejak terbaca di buta mata fajar
hingga tak kutahu stasiun mana tempatmu menunggu waktu

aku datang kali ini
membawa bunga-bunga terindah
dalam sajak-sajakku

Sanggar Sastra Wedang Kendhi, Feburari 2009



JANJI HUJAN

aku percaya pada ucapan bibirmu senja itu, ketika kita
berlari berkendara hujan. dan tak ada petir
bergemuruh di langit bermendung ketika janjimu terucap. tapi
di sini, di dadaku gemuruh itu berjingkat
tiada bertepi. seperti bising ombak menabur debur di tepian atol

dan sore ini hujan berkunjung lagi
di pelataran rumahmu. hujan pertama
di musim kelima, sejak kau bisikkan janji itu.
janji kepadaku. janji kepad hujan. janji kepada senja

aku berdiri membeku menjadi tugu di bawah hujan. menanti angin
mengantar surat memberi kabar tentangmu
dan hari-hari manismu tanpaku di situ. di titik tak terpetakan

aku percaya pada janjimu

Kebumen, Februari 2009

08 Februari 2010

Esai Ryan Rachman Di Minggu Pagi, Minggu I, Januari 2010

MEMBUAT SEJARAH BARU SASTRA BANYUMAS

Banyumas telah menjadi salah satu sejarah dalam peta kesusastraan di Indonesia. Para pelaku sastra terdahulu telah mencatatkan namanya dalam sejarah sastra Indonesia bahkan internasional.

Kita mengenal Ahmad Tohari, Dharmadi, Badrudin Emce, Haryono Soekiran, Ansar Basuki Balasikh, Nanang Anna Noor, Tirto Wanto, Edi Romadhon, Sutarno Jayadiatma, Herman Affandi, Mas’ut, Ahita, Bambang Set, dan beberapa lagi yang terlebih dahulu berkarya.
Dulu mungkin kita juga pernah mendengar nama komunitas-komunitas sastra seperti Sanggar Pelangi, Himpunan Penulis Muda (HPM), Lingkar Seni dan Budaya, dan Kancah Budaya Merdeka yang aktif berkegiatan membangun geliat kesusastraan di Banyumas.
Sayangnya dokumentasi-dokumentasi karya mereka dan dokumentasi kegiatan mereka, antara yang tertata dengan rapih dengan yang tidak terdokumentasi lebih banyak yang tidak terdokumentasi. Tidak ada seseorang atau pihak tertentu yang mendokumentasikannya. Komunitas-komunitas di atas juga hingga saat ini tidak lagi terdengar suaranya dan tidak diketahui apakah mereka menyimpan dokumentasi karya dan kegiatan kesusastraan yang mereka lakukan.

Saat ini, untuk mendokumentasikan karya-karya para sastrawan terdahulu diperlukan sesuatu yang ekstra. Tenaga yang ekstra, waktu yang ekstra, dan tentunya biaya yang ekstra pula. Selain itu juga diperlukan orang-orang yang benar-benar bersedia dan rela untuk melakukan hal tersebut seperti H B. Jassin, atau Korrie Layun Rampan. Sebab, jika kita mengingingkan pemerintah daerah atau dewan kesenian yang melakukan hal tersebut sudah pasti kedua intitusi tersebut tidaklah bersedia melakukannya. Jadi jika kita dalam hal ini kaum muda mencari peta sejarah kesusastraan Banyumas pada kedua intitusi tersebut di atas sudah pasti akan nihil.

Sejarah memberikan sesuatu yang berharga bagi kita. Dari sejarah, kita dapat mengambil pelajaran tentang keburukan, kejelekan, dan kegagalan di masa lampau. Dari sejarah, kita dapat mencari sesuatu yang baru agar hal tersebut tidak terulang lagi di masa kini dan masa yang akan datang. Apapun bidang dan bentuknya. Apakah itu politik, ekonomi, sosial, budaya dan tentunya sastra dalam konteks ini.

Lalu bagaimana jadinya jika kita buta akan sejarah? Atau sejarah itu memang tidak ada? Kita tidak tahu sejarah kesusastraan Banyumas, dimana dokumen-dokumen kesusastraan berupa karya-karya para sastrawan Banyumas terdahulu atau dokumentasi kegiatan berkesusastraan terdahulu tidak tersimpan rapi? Maksudnya, kita sebagai sastrawan muda memang benar-benar tidak tahu atau katakanlah samar-samar mengetahui sejarah kesusastraan Banyumas.

Apakah kita akan mengarang dan mengira-ngira bagaimana perkembangan kesusastraan di Banyumas pada waktu dulu?

Tentunya kita tidak bisa begitu. Kita tidak bisa seenaknya saja mengarang sejarah kesusastraan Banyumas dahulu. Kita tidak bisa membuat kepalsuan terhadap sejarah kesusastraan terdahulu. Entah itu nama atau karya-karya sastrawan terdahulu.
Cara yang paling tepat adalah bagaimana kita, kaum muda, membuat saat ini sebagai sejarah yang dapat dikenang kelak. Itulah “pekerjaan rumah” yang harus kita pikirkan dan kerjakan sebaik mungkin. Dan tentunya sejarah yang kita buat haruslah lebih bagus dari pada sejarah terdahulu yang kita samar mengetahui kepastiannya.

Perkembangan sastra di Banyumas saat ini sangatlah luar biasa. Jika beberapa waktu baru dikatakan bergeliat, saat ini sudah bisa dikatakan bergerak dan hampir berlari. Di berapa tempat muncul kantong-kantong sastra yang selalu aktif bergerak dan berkarya menghidupkan sastra. Berbagai macam kegiatan apresiasi sastra dilakukan seperti dikusi, peluncuran buku sastra, pembuatan buletin sastra, bedah buku, hingga berkolaborasi dengan displin seni lain seperti lukis, musik, tari, patung, instalasi, dan teater.

Kantong-kantong sastra atau –lebih enaknya disebut sebagai- komunitas tersebut digawangi oleh para sastrawan muda.Dan dari situlah lahir penulis-penulis (sastrawan)muda yang karyanya tidak kalah dahsyat dengan para sastrawan Banyumas terdahulu. Karya-karya mereka telah mampu menembus berbagai media masa baik lokal maupun nasional serta tergabung dalam antologi bersama yang sifatnya nasional.
Di tangan-tangan gelisah mereka dan kawan-kawan sastrawan muda yang lainlah lahir karya-karya yang monumental yang nantinya akan menjadi sejarah bagi sastra Banyumas dan bagian dari sejarah kesusastraan Indonesia. Sebab kita sebagai generasi muda tidak perlu lagi mengagung-agungkan generasi tua. Meminjam kata teman saya, “Lampaui generasi tua yang manja dan malas…”

Bukan munafik atau berprasangka yang tidak-tidak, sebab masa depan sastra Banyumas ya terletak pada siapa lagi selain diri kita sendiri selaku generasi muda dan bukan pada nama-nama generasi tua yang sudah lupa bagaimana berkarya. Ya mbok?

Klilan.


Sanggar Sastra Wedang Kendhi, Februari 2009

03 Februari 2010

PENATUSAN, EMPAT PULUH TIGA

Ini rumahku yang ketiga. Rumah bercat hijau phosphor yang bersembunyi di sela gang Penas yang sempit dan penuh polisi tidur di salah satu ruas jalan Penatusan. Rumahku,
ah mungkin hanya anggapanku saja. Rumah kalian tentunya

Rahma, pernah kau lihat teriak memekak dari salah satu mulut kawanmu? Atau tangis yang sesekali di pipi, Yuni? Atau tawa tergelak di langit-langit putih, Ani? Atau
ketakutan yang menghantui di setiap sudut kamar, Eka? Dan cinta yang bersemayam dihatimu, Ayu?

Ah ini rumah kalian, tentunya. Bukan rumahku

Purwokerto, Mei 2009

01 Februari 2010

Tulisan ini dimuat di Suara Merdeka 28 Januari 2010


ROMANTISME SOKARAJA MBIGAR

* Oleh Ryan Rachman

AKHIR Desember hingga awal Januari lalu, selama sepekan, sebuah event budaya digelar di Sokaraja, wilayah di Kabupaten Banyumas yang terkenal dengan sroto (soto) dan getuk gorengnya. Berbagai pertunjukan kesenian ditampilkan seperti pameran lukisan, instalasi, batik, teater, musik, dan film.

Kegiatan tersebut dibuka dengan orasi budaya oleh budayawan Banyumas Ahmad Tohari dengan tajuk ‘’Sokaraja punya!’’. Dalam orasinya, penulis novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk tersebut menyebutkan bahwa pada awalnya Sokaraja merupakan pusat kesenian di Banyumas terutama seni lukis yang terkenal hingga luar negeri. Selain itu, juga punya batik bercorak berbeda dari batik pada umumnya.

Pameran lukisan, instalasi, dan batik diikuti oleh 15 perupa dari Sokaraja, Purwokerto, Purbalingga, dan Yogyakarta yang juga menampilkan beberapa karya lama maestro perupa Sokaraja. Pertunjukkan teater menampilkan kelompok teater kampus seperti Teksas, Asal ,dan Corak dari Unsoed, teater Perisai dari UMP, UKMS, dari Unwiku, dan teater Parkir Indokom, serta teater Tanam Indonesia dari Pemalang.

Pemutaran film menampilkan karya-karya film indie dari Jaringan Kerja Film Banyumas (JFKB). Sedangkan pertunjukkan musik menampilkan perpaduan musik jalanan dari Song Strugle, underground dari Soul Saver, dan a musik puisi dari Kamu Ajo.

Selain itu juga mengadakan diskusi seni rupa yang menampilkan kurator seni rupa Kus Indarto, perupa Hadi Wijaya dan Drs Kamto, serta Dimas dari France Central Culture Jakarta. Adapun diskusi teater menampilkan Dosen Drama Turgi STAIN Purwokerto Arif Hidayat dan pegiat teater Rengganis.

Awalnya, para perupa Sokaraja membuat lukisan hanya sebagai hadiah kepada para meneer Belanda terutama mereka para pemilik pabrik gula Kalibagor, yang masih berdiri pada waktu itu. Tak heran jika lukisan Sokaraja sudah banyak yang tergantung di museum-museum Eropa, terutama di Belanda.

Setelah pabrik gula Kalibagor ditutup, lukisan Sokaraja terus berkembang pesat. Pada era 70-80an, Sokaraja menjelma menjadi sebuah pasar seni rupa yang terkenal hingga ke mancanegara.

Sepanjang ruas jalan Sokaraja banyak dijumpai lukisan yang berjajar sehingga pada waktu itu Sokaraja dinobatkan sebagai galeri lukisan terpanjang se-Asia Tenggara.

Secara keseluruhan lukisan yang dibuat oleh perupa Sokaraja memiliki kesamaan corak yang khas yaitu berupa pemandangan alam.

Lukisannya selalu menampilkan panorama alam seperti sawah, pegunungan, hutan, serta laut. Lukisan khas Sokaraja lebih dikenal dengan sebutan moii indie yang dalam bahasa Belanda berarti keindahan alam.
Bertahan Dalam kata lain, sejenis lukisan yang enak dipandang lebih pada sisi natural atau realis. Corak lukisan ini kemudian dibawa oleh para perupa di Jalan Braga Bandung dan bertahan hingga sekarang.

Tetapi hampir dua dasawarsa ini, lukisan tersebut seolah lenyap ditelan zaman seiring berkembangnya Sokaraja menjadi daerah perdagangan yang cukup ramai yang merupakan daerah satelit dari Purwokerto selaku ibu kota kabupaten.

Tercatat hanya dua buah galeri kecil di sepanjang jalan Sokaraja yang masih menampilkan lukisan-lukisan moii indie tersebut.

Lantas mengapa mbigar? Dalam bahasa jawa banyumasan mbigar bermakna liar, trengginas, gelisah, berahi, bergairah, dan sejenisnya.

Mengambil dari filosofi itulah para seniman muda Sokaraja mengadakan sebuah kegiatan sebagai wadah yang menampung luapan kegelisahan eksperimentalis dan kegairahan kreativitas mereka yang liar.

Sokaraja mbigar terasa berbeda dari event budaya yang sering diadakan di Banyumas pada umumnya. Dalam event ini menampilkan fusion antara berbagai macam seni kreatif dari berbagai genre.

Seperti misal memadukan antara seni rupa dengan musik underground atau teater modern dengan musik gamelan sehingga menghasilkan aroma yang mbigar.

Sokaraja mbigar merupakan serentetan gerakan kultural untuk berbagi kegembiraan dan kesenangan meski gerakan kultural masyarakat yang saat ini terus melemah dan menipis.

Selain itu, kegiatan tersebut merupakan sebuah tali silaturahmi antarseniman, baik di wilayah Banyumas maupun di luar wilayah Banyumas, dan mereka salng berdialektika bersama dalam ranah diskusi seni.

Selain sebagai menjadi titik balik atas romantisme sejarah Sokaraja sebagai pasar seni seperti era 70-80-an, Sokaraja mbigar juga sebagai bentuk semangat baru serta kegelisahan para seniman muda dalam menghadapi ingar- bingar kehidupan masyarakat.

Ke depannya, seperti Festival Kebudayaan Yogyakarta atau Festival Kesenian Cak Durasim di Jawa Timur, Sokaraja mbigar akan menjadi salah satu cultural development barometer di Banyumas sebagai sebuah eksistensi budaya yang dinamis yang akan mengembalikan kejayaan Sokaraja sebagai pasar seni yang tidak bisa dipandang sebelah mata.

Nantinya daerah ini tidak hanya terkenal dengan sroto dan getuk gorengnya, tetapi juga merupakan salah satu pusat kesenian di Banyumas pada khususnya dan di Indonesia pada umumnya. (10)

Ryan Rachman, penyair, bergiat di Sanggar Sastra Wedang Kendhi Purwokerto

Tulisan ini dimuat di Suara Merdeka 28 Januari 2010

27 Januari 2010

Retorika

Kau pernah bertanya
pada tiang antena televisi
yang berdiri di depan pintu kamarmu
tentang gelombang cinta
yang selalu terangkum
oleh indra ciumnya?

Purwokerto, Januari 2009

07 Januari 2010

KALAU INI CERPEN YANG DI RADAR BANYUMAS

Radar Banyumas, Minggu, 3 Jnauari 2010


DEMI ISTRI TERCINTA


Sudah satu minggu ini kampungku menjadi gempar. Kampung yang biasanya tenteram di setiap harinya dan tenang di setiap malamnya. Kampung yang setiap penduduknya selalu ramah satu sama lain. Tiba-tiba menjadi ramai, sejak tersiarnya kabar bahwa munculnya pencuri yang selalu mengambil ternak milik warga.

Sudah dua kasus pencurian dalam minggu ini. Pertama terjadi pada malam Selasa. Kejadian itu terjadi di rumah Kang Parlan. Senin sore, Kang Parlan baru saja memberi makan pada ketiga ekor ayam bangkoknya dan memasukkan ke dalam kandang. Memang ayam-ayam bangkok Kang Parlan terkenal jawara dalam setiap adu ayam. Paginya ketika dia bangun untuk salat subuh, dia merasakan hal yang aneh. Tidak seperti biasanya subuh itu ayam-ayamnya tidak berkokok.

Kang Parlan heran, bertanya dia dalam hati, apa gerangan yang terjadi dengan ayam-ayamnya. Lalu dia keluar untuk memastikan keadaan ayam-ayamnya. Ternyata apa yang terjadi? Didapatinya pintu kandang telah terbuka, gemboknya tergeletak di tanah dekat pintu. Padahal dia sudah menggembok pintunya kemarin sore. Dan ketiga ayam bangkok kesayangannya raib tanpa bekas tanpa jejak.

Selang dua hari kejadian itu terjadi lagi. Kali ini dialami oleh Mbah Warjo. Dua ekor ayam betina yang dipeliharanya selama satu tahun lenyap. Entah mimpi apa dia semalam. Babon yang selama ini dia pelihara dengan penuh kasih sayang, babon yang sejak masih kecil-kecil diberinya makan dengan teliti hingga besar raib. Padahal sehari sebelumya, Mbah Warjo bercerita kalau dia akan menjual kedua ayamnya di pasar untuk membeli beras. Kini Mbah Warjo hanya bisa meratapi nasibnya dengan hati kecewa. Sungguh kasihan Mbah Warjo. Sungguh kurang ajar pencuri itu.

Dulu kampungku adalah kampung yang aman. Kampung yang tertib. Kampung yang dimana pada setiap malamnya anak-anak bermain petak umpet di pelataran. Kampung yang warganya ramah dan selalu tegur sapa. Tapi sejak kejadian pencurian itu kampung tidak seperti dulu agi. Setiap orang selalu was-was kalau-kalau rumahnya disatroni pencuri. Setiap orang menjadi saling curiga kalau-kalau orang yang ditemuinya adalah pencuri yang selama ini meresahkan.

Akhirnya pada sebuah rapat di rumah Pak RT disepakati jika program siskamling yang sempat vakum digiatkan kembali. Kalau dulu yang ronda hanya dua orang kini ditingkatkan tiga kali lipat. Poskamling yang dulu pada setiap malamnya sepi, kini dioptimalkan kembali. Pokoknya keamanan ditingkatkan kembali. Dan warga diminta selalu waspada setiap saat.

Dan malam harinya, hasil rapat tersebut segera direalisasikan. Enam orang warga melakukan ronda termasuk aku. Kami kumpul di poskamling pukul sembilan. Sebelum keliling kami ngobrol sejenak tentang kejadian pencurian yang terjadi selama ini sambil menikmati rokok dan ubi rebus.

Pukul sebelas kami pun bersiap-siap untuk keliling. Kami membagi tugas. Dua orang ke arah timur, dua orang ke arah barat, dan sisanya bertugas menjaga pos. Masing-masing kelompok membawa kentongan, dan lampu baterei.

Baru seperempat jam berjalan aku melihat seseorang dengan pakaian serba hitam dan mukanya ditutupi dengan sarung seperti ninja, gerak-geriknya mencurigakan. Tangan kirinya memegang sesuatu seperti ayam, ya ayam. Aku beri tahu kawanku tentang hal itu dan menyuruhnya untuk memperhatikannya dengan seksama. Orang yang tersebut terlihat akan masuk rumah Pak RT melalui jendela. Spontanitas, kami berteriak sambil berlari.

“Maling….maling…!!”

Karena mendengar teriakkan, pencuri itu pun kelabakan dan lari. Apalagi warga banyak yang keluar dari rumah mereka dan ikut bersama kami mengejarnya. Sampai di kebon pisang, kami kehilangan jejak. Dia bersembunyi di sana. Kami pun mengadakan proses pencarian.

Tidaklah diperlukan waktu yang lama untuk mendapatkan apa yang kami inginkan. Dengan personel yang ada, sekitar seperempat jam akhirnya kami menemukannya. Pencuri itu sedang bersembunyi di bawah sela-sela batang pohon pisang dengan seekor ayam di tangan kirinya. Tanpa komando, warga pun segera mengepung dan menghujaninya dengan pukulan dan tendangan hingga babak belur, terkapar tak berdaya.

Melihat kejadian itu, aku pun segera mengambil tindakan untuk menghentikannya.

“Hentikan…hentikan saudara-saudara…!”

Mereka pun menghentikan kegiatan mereka.

“Kita tidak boleh main hakim sendiri. Dia sudah tidak berdaya, lebih baik kita bawa ke kantor polisi, biar aparat keamanan yang menanganinya. Coba kita lihat siapa sebenarnya pencuri yang telah meresahkan warga ini.”

Aku pun membuka kain sarung yang menutupi wajahnya. Betapa terkejutnya kami. Tidak bisa dipercaya. Ternyata orang yang selama ini meresahkan warga dan membuat kampung tidak tenang adalah Pak RT. Setelah di interograsi oleh warga kenapa dia mencuri, ternyata masalahnya cuma sepele tetapi tidak bisa di anggap remeh. Istrinya yang sedang hamil tua ngidam ingin makan ayam goreng, namun ayam itu harus didapatkan dengan cara mencuri. Jika tidak, dia tidak mau makan apapun.

Kini Pak RT harus menginap di kantor polisi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dan istrinya tidak bisa memenuhi keinginan si jabang bayi.

Tulisan Ryan Rachman di Koran Merapi

Berikut ini adalah esaiku yang di Koran Merapi, Minggu 23 Agustus 2009:

Komunitas Dan Perkembangan Kesusastraan Di Purwokerto

Beberapa bulan lalu saya mendapat undangan peluncuran buku antologi puisi Penyair Bengal karya Muhammad Mayat Ayatullah dan mendapat kehormatan untuk menjadi pembedah buku tersebut dalam buku tersebut. Acara tersebut merupakan salah satu rangkaian dari acara yang diadakan oleh komunitas sastra Hujan Tak Kunjung Padam (HTKP) yang bertajuk Peluncuran Antologi Puisi Pendiri HTKP. Selain Muhammad Ayatullah, masih ada empat penyair lagi yang meluncurkan karyanya yaitu; Aliv V. Essessi, Ari Bledeg Purnomo, Agustav Triono, dan Yudhistira Sibir Jati.
Dewasa ini, di Banyumas dalam hal ini Purwokerto, sering diadakan kegiatan kesusastraan yang dimotori oleh kaum muda yang tergabung dalam komunitas sastra. Terhitung ada beberapa komunitas sastra yang eksis melahirkan penulis-penulis muda berbakat dan mencantumkan nama mereka di beberapa media masa lokal maupun nasional.
Selain komunitas sastra HTKP masih ada beberapa nama yang meramaikan geliat kesusastraan Purwokerto, antara lain; Komunitas Sastra Alam (SALAM), Komunitas Sastra Dukuh Waluh, Bunga Pustaka, Sanggar Sastra Wedang Kendhi (SSWK), Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Cab. Purwokerto, Komunitas Lentera, dan Purwokerto Literary Community (PLC).
Munculnya komunitas sastra di Purwokerto tidak terlepas dari pengaruh dari kota lain seperti Yogyakarta, Solo, Semarang dan Jakarta yang terlebih dahulu ada dan terbukti memebesarkan sastrawan-sastrawan di kota tersebut.

Sejarah
Jika kita menilik ke masa lalu, komunitas sastra di Purwkoerto telah ada sejak tahun 1971. Pada waktu itu berdiri Sanggar Pelangi yang dimotori oleh Dharmadi dan kawan-kawan. Lalu pada tahun 1974 lahir Himpunan Penulis Muda (HPM); dan diikuti oleh berdirinya Lingkar Seni dan Budaya pada tahun 1986; dan kancah Budaya Merdeka pada tahun 1993.
Dari komunitas-komunitas tersebut lahir beberapa nama antara lain Mas’ut, Bambang Set, Dharmadi, Surya Esa, Herman Affandi, Ahita, Edi Romadhon, dan Nanang Anna Noor.


Peranan Komunitas Sastra
Komunitas sastra adalah sekelompok individu yang cinta dan aktif berkegiatan mengapresiasikan sastra secara bersama-sama. Kegiatan tersebut tentunya memiliki tujuan mengembangkan kesusastraan. Sedangkan kegiatan pengapresisasian sastra dari komunitas tersebut antara lain: penulisan karya sastra, pembacaan karya sastra, diskusi, penerbitan karya dan sebagainya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa komunitas sastra memiliki peran yang cukup besar bagi perkembangan sastra terutama di daerah. Setiap komunitas sastra memeiliki ikatan yang kuat dengan komunitas lain. Dalam perkembangannya terjadi sistem jaringan yang kuat yang saling bahu-membahu memeperkenalkan karya sastra kepada komunitas lain.
Komunitas sastra juga berperan dalam mengangkat nama individu. Individu tersebut akan lebih mudah dikenali jika mereka membawa nama komunitas tempat mereka aktif bersastra.
Selain itu, komunitas sastra juga berperan sebagai motor penggerak geliat kesusastraan di suatu wilayah. Semakin banyak komunitas sastra yang ada di suatu daerah, kegiatan bersastra di daerah tersebut pun semakin sering dan beragam.

Peran Komunitas Sastra di Purwokerto
Sejak semakin sedikitnya sastrawan senior di Purwokerto yang masih aktif berkarya dan berkegiatan sastra, maka komunitas sastra yang dimotori oleh anak-anak muda tersebut yang kembali menggeliatkan kegiatan berkesusastraan di kota mendoan ini.
Berbagai macam kegiatan dilakukan oleh komunitas tersebut. Seperti misal acara Ngobras atau Ngobrol Bareng Sastra yang diadakan oleh antar komunitas yaitu SSWK, SALAM, dan HTKP, diskusi setiap malam Kamis oleh Bunga Pustaka, dan diskusi Rabu malam oleh PLC. Penerbitan Buletin Kakawin oleh Komunitas SALAM, Buletin Wedang Kendhi oleh SSWK. Juga mengadakan lomba menulis cerpen Islami hasil kerja sama KSI Cab. Purwokerto dan UKM ICOOL Fakultas Ilmu Budaya UNSOED Purwokerto.
Selain itu juga penerbitan buku oleh komunitas sastra tersebut. Penerbitan tersebut antara lain antologi puisi Desire Dia yang Terlupakan, Terimakasih, dan novel Habis Terang Terbitlah Gelap (SALAM), antologi puisi Jejak Tapak Langkah, CPNS Calon Penyair Negeri Sastra, Penyair Bengal, Sajak Sampah, Berkawan Hujan, Panggung, Dalam Asap Kata-Kata, Mata Malam, antologi cerpen “Banyumas” (Banyumas dalam Tanda Kutip), kumpulan naskah drama Bangka, dan kumpulan naskah monolog Orang-Orang Tak Terkenal (HTKP), antologi puisi Makan Malam, Sepotong Cinta Di Ujung Sepatu, dan Belajar Menulis Sajak Cinta (SSWK).

Teater
Selain komunitas sastra, kegiatan kesusastraan di Purwoketo juga tidak lepas dari peran komunitas teater. Hal ini disebabkan adanya keterikatan batin antara sastra dengan teater. Komunitas teater mengapresiasikan sastra ke atas panggung dalam wujud pementasan.
Di sela-sela berteater, mereka biasanya mengadakan acara yang berbasis sastra seperti malam apresiasi puisi, peringatan Chairil Anwar, tadarus puisi, lomba baca puisi, lomba penulisan cerpen, seminar sastra, dan sebagainya.

Puisi Ryan Rachman di Minggu Pagi

Dimuat di Minggu Pagi Minggu III Desember 2009

KAMBOJA
-Edi Romadon

bukankah ia akan selalu berguguran menimbun tanah basah
di pelataran rumah? berguguran seperti sayap laron-laron yang tak
mampu menahan panas lampu penerang jalan raya
di awal musim hujan. di pelataran rumah. rumah tanpa jendela kaca
atau ventilasi untuk sirkulasi. rumah masa depan. rumahku,
rumahmu, rumah kalian, rumah kita

dia akan selalu berguguran. menebar aroma kematian yang amboi
seramnya, yang amboi cekamnya. aroma kematian pada jiwa-jiwa yang
tak kutahu rimbanya. seperti angin yang berkelana tak tentu mata angin

dan kita hanya bias merangkai kamboja yang berguguran menjadi origami
doa dan doa, supaya aroma kematian yang menakutkan itu berganti
wajah menjadi aroma kematian yang amboi asyiknya, yang duhai
nikmatnya. yang ah lembutnya. seasyik permainan playstation, senikmat
matahari, selembut kue bolu kukus. seindah kematian

Purwokerto, Mei 2009




AKU PUN PULANG

Aku pun pulang
Berkendara malam dan deru aspal beku
Pulang menjemput rindu
Pada aroma bunga yang ditanam ibu di depan rumah
Pada bisik pasir yang diramu bapak menjadi istana
Pada lengking yang tersiar dari bibir adik-adikku

Dan aku pulang
Sebab aku hampir lupa
Bagaimana cara melelapkan mata pada kasur busa
Dan malam semakin basah

Sumpyuh, November 2008

AMPLOP MERAH


Amplop ini kutemukan di beranda cakrawala yang memerah. Di sampulnya tertulis namau dengan tinta merah. Ketika perlahan kubuka, kutemukan wajahmu memerah seraya menumbuhkan air mata merah dari mata merahmu. Dan hisung merahmu meenetes aroma menusuk udara. Dan bibir merahmu tumbuh bola sebesar bunga mawar merah di taman belakang stasiun kota. Aku hanya menemukan wajah merahmu tanpa tubuh, tanpa tangan, tanpa kaki, tanpa kelamin. Wajah merahmu saja

Langit berjalan menjadi merah. Malam yang merah semerah wajahmu. Tanganku pun memerah teriris amplop berisi wajah merahmu. Maka segera kuremas amplop merah itu menjadi burung nasar dan kulempar sejauh mataku memandang. Kubiarkan kau terbang di langit merah menuju bulan merah, planet merah, dan rumah para alien berkepala merah

Aku pun masuk ke kedalaman tempat tidurku mengantar tubuh menjemput pagi. Ketika kubuka tubuhku, kudengar teriak ayam jantan bersuara merah. Berteriak memanggil namamu. Seluruh binatang pagi berkicau memanggil namau dengan suara yang memerah. Dan kubuka jendela, kutatap langit pagi berbalur merah. Di balik awan yang memerah, ribuan burung nasar merah yang kuremas tadi malam terbang dengan kecepatan supersonic membentuk formasi tempur 4-4-2. Terbang melesat ke arahku. Satu persatu menembak tubuhku lalu mencincangnya. Dan kepalaku dipungutnya lalu diselipkan ke dalam amplop berwarna merah. Semerah cakrawala. Semerah wajahmu

Purbalingga, 23 Juni 2009