18 Maret 2009

TAK ADA LAGI PUISI UNTUKMU


Sebuah ruang kerja. Terdapat sebuah mesin ketik di atas meja lengkap dengan kursinya. Di sebelah mesin ketik terdapat setumpuk kertas dan beberapa lembar amplop. Dan sebuah foto wanita dalam bingkai. Di tembok tergantung sebuah jam dinding. Di tengah tengah ruangan terdapat sebuah meja kecil dan sebuah kursi agak panjang. Di atas meja tersebut tergeletak sebungkus rokok, sebuah asbak dan korek api. Di lantai tampak kertas berserakan.

Seorang laki-laki kira-kira berumur tiga puluh tahun. Duduk di depan mesin ketik. Rambutnya acak-acakan dan kelihatan mulai memutih . wajahnya seperti memendam kekalutan dan kesediahan. Sebatang rokok menyala menempel di bibirnya. Dia memakai celana panjang dan kaos singlet. Dia hendak mengti sesuatu. Berfikir sejenak, lalu mulai mengetik. Tak berapa berselang, diambilnya kertas di mesin ketik tersebut dan meremasnya. Begitu berulang-ulang sampai dua kali. Dia mengetik lagi. Setelah selesai, dia bangkit dan tersenyum puas, lalu dibacanya hasil ketikannya tersebut.


Pemain :
(Berdeklamasi) Tak ada lagi puisi untukmu. Malam ini, lembar kertasku tak memutih lagi. Kelabunya mendung meruang lekat di wajahnya. Pekat indah. Tak seperti malam-malam lalu. Tak ada lagi gunanya puisi-puisi cinta untukmu yang kan tercoret di atasnya. Hanya rinai-rinai hujan yang berjatuhan di ujung pena rinduku. Perlahan gerimis gemericik melebat, membanjir bersama luka, petir lara dan air mata.

Tak ada lagi puisi untukmu. Tak puisi bagus, tak puisi jelek, tak puisi cinta, tak puisi rindu, tak puisi kasih. Tak. Semuanya tak.

Dia mencari amplop, lalu memasukkan tulisannya ke dalamnya. Setelah direkatkan dengan lidahnya, dia keluar panggung. Selang beberapa lama dia kembali masuk tanpa membawa amplop.

Pemain :
(Berteriak) Wahai merpati pengantar surat, layangkan puisi tadi untuk bunga di taman sebelah !

(Berjalan, lalu mengambil foto dan ditimangnya)
Itu tadi puisi terakhir untukmu. Setelah itu, tidak akan ada lagi puisi yang aku layangkan padamu. Akupun telah berkata kepada merpati pengirim surat untuk tak lagi berkunjung ke sini. Aku juga katakan padanya kalau ada puisi atau sesuatu dari kau untuk tak usah dia berikan padaku. Lempar saja di tengah jalan biar terbang bersama angin, atau dibuang di tong sampah biar dimakan anjing, atau juga aku suruh dia kembalikan padamu. Ya, aku pun tak sudi lagi menerima puisi-puisi darimu lagi. Mulai detik ini, antara kita tak lagi ada perasaan yang mengikat hatiku-hatimu. Maka,…… sudahlah, lebih baik kau robek-robek saja puisi-puisi yang pernah aku layangkan padamu. Robek saja, seperti kau merobek hatiku. Aku pun akan membakar semua puisimu yang hinggap di rumahku bersama seluruh rasa cintaku padamu. Biar semua menjadi abu, terbang dan lenyap ditelan angin.

(Meletakkan foto di atas meja) Cinta oh cinta. Beginilah cinta, deritanya tiada akhir . Aku memang bodoh. Mengapa aku harus mencintaimu dan sekarang aku harus terluka. Aku baru sadar, ternyata cinta itu sebuah masalah . Cinta adalah bahaya yang lekas menjadi pudar .

(Mengambil foto) Dulu, kau bilang kalau aku adalah sebuah oase di gurun Kalahari, dan kau adalah pengembara yang dahaga.
(Menirukan suara perempuan). “Basuhlah jiwaku yang meranggas dengan sejuk cintamu, agar hilang segala pedih peri . Sirami jiwaku dengan sejuk kasihmu, agar tak lagi gersang hatiku. Biar rerumput serentak menghijau dan bebunga serentak mengembang. Biar hidupku penuh warna-warni mengharumkan.”

Lebah mana yang tak silau ketika bunga warna-warni membius hidungmya dengan harum segala rupa? Akulah lebah itu. Seketika mengambangkah sayap-sayap lemahku mendengar mantra-mantra yang kau ucapkan. Kau tahu? Jiwaku melambung mengangkasa menggapai pelangi di cakrawala. Akui tak dapat mengucap kata waktu itu.

Seperti kau yang merindu datangnya kekasih, pun halnya diriku. Aku adalah siang yang merindu terang segera dating melenggang. Agar aku tetap menjadi siang. Dan kau tahu? Segala terang terpatri dalam jiwamu. Aku ini binatang jalang yang merindu datangnya wanita membasuh jiwa sepiku. Kau dating dengan terang, menghapus malam dan segala jejaknya. Buatku tetap menjadi seorang siang.

(Meletakkan foto, lalu berjalan kearah jam dinding) Kau ingat berapa kali jam berdentang menemani langkah kita? Ya, banyak, tak terhitung angka. Seperti itu pula puisi-puisi kita yang hinggap di kotak surat di depan rumah kita masing-masing. Aku ingat puisi yang kau berikan padaku beberapa purnama lalu.

(Berdeklamasi) “Aku-kau bagai pengantin ratu, jangan dipisahkan oleh ruang dan waktu. Jadikan aku kakitanganmu dalam gerak kehendakmu. Dengan apa adanya, aku ingin mencintaimu yang sebenarnya. Bacalah isi hatiku, betapa merindukanmu. Dimana kau bersembunyi, kucari hatimu unmtuk kucium dan kuajak bercumbu dalam percintaan sejati. Aku tak peduli dengan basah tubuhku dalam hujan yang bertubi-tubi diruntuhkan langit. Sebab hangat tubuhmu telah menyelimuti dingin hatiku . Aku berombang bersama nafasmu, merajut cinta dasar yang tak ada. Batinmu mengandali. Bisik lembut runtuhkan batu pembatas pagar maya engkau dan aku .”

Ya, ya… kita sedang dijerat asmara cinta. Hari-hari menjadi sok puitis. Makan tak enak, tidurpun tak nyenyak . Kita sedang diracun asmara kembaradan terbang di langit sandhikala. Patahkan sayap-sayap tipisnya. Biar tak dapat kita kemana tempat .

Kau ingat berapa lama jam berdetak menemani langkah kita? Ya la, lama sekali. Selama itu pula kelopakmu mengetuk mimpi malam-malamku. Dan selama itu pula aku menjadi laut yang setia menerima datangnya air yang bermuara dari sungai-sungai segala rupa. Aku menjadi tanah yang selalu rela menerima bila hujan turun tanpa rencana . Aku setia belajar menjadi kekasih yang setia! Kupercaya cintamu bagai bunga yang kering mengharap turunnya hujan . (menunjuk ke arah foto) Lalu mengapa kau tanyakan tentang kesetiaan!? Kenapa kau sangsikan!!??

Kau tahu, aku rela menjadi remah-remah ranting kering agar kau tetap menyala. Aku rela menjadi daun hijau yang selalu tersaji dalam setiap perjamuan makan malam-malammu agar perutmu kenyang nanti dalam meditasimu saat hendak menjadi kupu-kupu. Aku tak berontak, menjadi bunga yang selalu kau hisap sari-sari pelangi di kelopaknya. Aku selalu senang menjadi air agar kau leluasa berenang merunuti masa depan. Aku rela menjadi apapun yang inginkan . aku rela. Aku rela. Lalu mengapa kau tanyakan tentang kesetiaan!!?

Lalu dimana kau saat aku menjadi batu? Dimana saat aku menjadi lebah? Belum sempat kita berbulan madu wujudkan mimpi tentang masa depan dan anak-anak, kau biarkan kumbang itu datang menjemputmu ke taman hati yang lebih indah. Kau asyik bercinta di ranjang empuk dengannya. Kau tertawa membiarkan serbuk sarimu terbang dihisap olehnya. Seperti itu masih kau tanyakan tentang kesetiaan kepadaku? Lalu apakah kau setia? Katakan, katakan. (sambil mengambil foto lalu membantingnya ke lantai) katakan!!! (menangis) katakan…

(Mengambil lembaran foto dari bingkai yang pecah) Pergilah. Pergilah dengan kumbang perkasamu. Aku telah merelakanmu walau sembilu menyayat hati. Takperlu kau meminta maaf padaku. Tak usah kau layangkan lagi puisi-puisi untukku. Jendela rumahku telah kututup. Kotak surat di halaman rumahku telah kubakar. (Mengambil korek api) Akan kulupakan semua tentangmu. Akan kubakar semua tentang kita di hatiku. (Membakar foto) aku akan menghapus jejakmu di jiwaku. Ini kali, tak ada lagi puisi untukmu.

Selesai

0 komentar:

Posting Komentar