07 Februari 2009

DURNA GUGAT

Malam bertambah larut, namun langit tak menampakkan wajah yang pekat. Langit terang. Alam tampak tenang. Hanya beberapa helai angin yang bergerak semilir. Berloncatan menggoyangkan reranting pohon yang diinjaknya. Tanah basah disiram embun yang memang dingin. Udara malam menusuk daging hingga tembus ke ujung-ujung tulang.

Sementara itu para niyaga masih memainkan gamelannya dengan irama rancak nan ritmis. Di tengah-tengah mereka, seorang panjuk memainkan tangan-tangannya dengan lincah menabuh permukaan kulit kendhang. Dengan penuh semangat dibuatnya tabuhan-tabuhan yang menghentak. Sementara yang lain masih me-ning... nang... ning... gung –kan alat musik jawa di hadapannya itu.

Lima orang wanita berpakaian kebaya duduk bersimpuh berjajar. Mereka masih terlihat muda meski usianya lebih dari tiga puluh. Mereka adalah para sinden. Dari helai bibir mereka yang bercat merah menyala seperti jambu air itu keluar suara-suara melengking namun merdu menyanyikan tembang alam.

Purnama hampir jatuh di setiap ubun-ubun orang-orang yang ada di tempat itu. Udara bertambah dingin. Tetapi mereka masih berdiri di tempat itu menunggu sang dalang naik ke singgasananya. Ada juga yang duduk-duduk sambil menikmati kacang kulit yang dibawanya dari rumah atau mengepulkan rokok di bibirnya. Para Kurawa pun masih berdiri menancapkan ujung-ujung jemari kakiku pada batang pohon pisang hingga tepat di bawah lutut. Tampak di samping Bisma, ada Duryudana, Durna dan Sengkuni. Di belakangnya ada Karna beserta prajurit-prajurit yang lain. Ya, ya. mereka adalah Kurawa.

Mereka masih berdiri di sebelah kiri gunungan yang berdiri gagah dan kokoh menantang langit yang gemintang.

Malam bertambah dingin.

Sinden-sinden itu masih mengeluarkan suara-suara dari mulut mereka. Menurut mereka adalah tembang yang merdu. Tapi sepintas biasa-biasa saja. Tak ubahnya dengan tangis bayi kecil yang ingin netek pada pu ting ibunya, atau seperti suara seorang nenek renta yang menegadahkan tangannya di ujung lorong Astina. Atau layaknya erangan istriku di ranjang empuk waktu kami bersenggama.

Di sebelah kiri gunungan tetancap rombongan Duryudana lengkap beserta bala Kurawanya. Ada Bisma, Durna, Sengkuni, Dursasana dan sebangainya. Terlihat mata mereka begitu tajam dan bengis.

Tampak di depan mereka, di sebelah kanan gunungan itu, sekelompok manusia kulit yang kakinya menancap pula. Mereka adalah Pandawa bersama anak, istri, kemenakan dan prajurit-prajuritnya. Puntadewa berdiri paling depan. Disusul Bima dan Arjuna. Juga Nakula dan Sadewa. Di belakangnya Kurawa di Astinadiraja.

Malam semakin berlari. Bintang-bintang di langit hilang tertutup mendung yang pekat. Tak tahu kenapa. Para niyaga memainkan alat musik seperti kesetanan. Ditabuhnya gamelan itu keras-keras. Keras, keras, keras dan cepat. Tiba-tiba petir menyambar. Kilat menjilat dan jatuh di depan panggung dan menimbulkan suara dentuman yang memecah gendang telinga. Lalu terlihat kepulan asap putih yang pekat.

Tak selang berapa lama, asap itu mulai menipis. Dari dalam asap itu nampaklah sesosok bayangan manusia. Semakin lama bayangan itu semakin jelas dan tegas. Seorang laki-laki yang sudah mulai tua namun badannya masih tegap dan kekar. Wajahnya keriput namun sorot matanya tajam. Di tubuhnya menempel pakaian kerajaan seperti di dunia wayang.

Sementara itu, seluruh yang ada di tempat itu diam dan tercengang.

Tiba-tiba dari mulutnya keluar suara, ”Wahai anak manusia, apakah kalian kaget melihatku berdiri di sini? Kalian tidak usah takut. Oh, baiklah, aku akan memperkenalkan diriku. Namaku Durna. Ya, Resi Durna.”

”Kedatanganku ke tempat ini tidak untuk menghancurkan tempat ini. Aku hanya ingin mengutarakan beberapa unek-unek yang selalu ada di otakku.”

Para manusia masih tercengang dan kaku memandang sosok itu.

“Seperti yang sudah aku katakan tadi, kedatanganku ke bumi ini adalah untuk menanyakan sesuatu kepada kalian yang aku rasa tidak adil bagiku. Sebenarnya cuma satu permasalahannya. Kenapa kalian memandangku sebagai manusia jahat? Kenapa?"

“Baik, mungkin karena aku adalah penasihat para Kurawa yang menjadi musuh Pendawa itu. Atau karena aku adalah seorang patih di Astinadiraja itu?”

“Jika aku harus memusuhi Pendawa ketika perang Baratayudha itu dikarenakan sikapku yang menjunjung tinggi kepada negaraku. Kepada tanah air dimana aku dan keluargaku hidup dan beranak pinak. Jangan kau tanyakan apa yang telah negara berikan kepadamu, tetapi tanyakan apa yang telah kamu berikan kepada negara. Kalian pernah dengar itu? Itu adalah patriotisme seorang warga negara yang baik. Right or wrong is my country. Jadi seburuk apapun itu, dia adalah negaraku, tempat aku hidup dan mencari nafkah.”

“Kenapa kalian masih mematung seperti itu? Apa penjelasan itu kurang cukup bagi kalian?”

“Baik, coba kalian dengarkan. Dulu ketika aku hendak mencari Sucitra, saudara seperguruanku di tanah Jawa, untuk dapat menemuinya aku harus menyeberang lautan, lalu aku berdoa kepada dewa agar diberi kemudahan kepada dewa supaya dapat menyeberang lautan itu. Lalu dewa megabulkan doaku, dia mengirimkan seekor kuda, dengan naik kuda itu akhirnya aku bisa menyeberang lautan. Di tengah lautan aku menyadari bahwa kuda itu adalah betina. Nafsu hebat menguasaiku hingga aku lupa diri. Di suatu tempat terpencil, aku meelakukan hubungan seksual dengan kuda itu hingga dia hamil. Tak lama kemudian lahir seorang bocah yang elok rupanya hanya saja kakinya cacat. Dia diberi nama Aswataman. Kalian pernah mendengar cerita itu bukan? Benar itu adalah cerita yang dibuat-buat oleh Gathutkaca. Itu hanya bohong belaka. Dia, Gathutkaca hanya membual.”

“Memang benar jika aku menghamili seekor kuda, namun bukan karena alasan nafsu berahi. Itu karena aku menjunjung tinggi sikap bawalaksana sebagai seorang ksatria. Ketika itu aku bersumpah kepada siapa saja yang dapat menyeberangkan aku ke tanah Jawa, maka kalau laki-laki akan aku angkat sebagai sedhulursinarawedhi dan kalau perempuan akan aku ambil sebagai istri. Untuk mengujiku, dewa mengirimkan kuda betina kepadaku dan menyatakan keanggupannya untuk membawaku menyeberang ke tanah Jawa. Karena aku sudah bersumpah, maka aku pun menerima uluran tangan kuda betina itu.”

”Karena aku seorang ksatria, maka konsekuensinya aku harus menikahi kuda betina itu. Dan perkawinan itu tidak hanya di formalitas saja. Aku pun wajib memperlakukannya layaknya seorang istri. Dan aku beri tahu kepada kalian, bahwasanya kuda itu adalah jelmaan dari Bethari Wilutama, seorang bidadari. Itulah kenyataannya.”

”Kenapa kalian tetap saja diam, apa penjelasanku kurang jelas?”

”Apa alasan itu tidak membuat kalian berubah pikiran?”

”O, mungkin kalian belum bisa terima akan sifatku yang picik terhadap Bima? Tidak, aku tidak sepicik yang kau kira. Aku menyuruh Bima untuk mencari air suci di Tirtapawitra bukan untuk menjauhkan Bima dari saudara-saudaranya. Memang air suci itu bukanlah air yang mempunyai kekuatan seperti para penyihir, namun air suci itu adalah alam raya seutuhnya. Dari perjalanan itu Bima dapat mengerti apa arti sebuah perjuangan dan pengorbanan. Meskipaun dia tak berhasil menemukan air suci itu, namun dia dapat bertemu dengan Dewa Ruci yang agung. Darinya dia dapat belajar betapa kecilnya manusia dihadapan Sang Zat. Itulah sebenarnya tujuanku menyuruh Bima untuk berkelana mencari air suci.”

”Aku rasa dari cerita di atas kalian dapat mengerti betapa aku tidaklah pantas dimasukkan ke dalam golongan jahat.”

Sunyi.

Tiba-tiba Durna terdiam, lalu menitikkan air mata.

”Dan satu lagi yang membuatku sangat terluka. Dulu di negeri ini pada masa Orde Lama ada seseorang yang sangat dibenci oleh masyarakat, dia diberi julukan Durna. Itu, itu yang sangat menyesakkan hatiku.”

Air matanya tak lagi menitik, namun kini berubah seperti hujan lebat di malam hari. Isaknya bertambah keras dan semakin keras. Tertunduk dia dan memasukkan mukanya ke telungkup tangannya.

Tiba-tiba angin bertambah kencang, langit menjadi mendung, pekat menutup gemintang. Gemuruh suara langit membahama. Lalu selarik kilat turun ke bumi menyambar sosok itu. Tak selang berapa lama sosok yang mengaku Durna itu lenyap bersama lenyapnya kilat.

Kemudian tawa pecah dari setiap mulut yang berada di tempat itu. Mereka seakan tidak mau tahu tetang apa yang telah dialaminya. Gamelan mulai ditabuh lagi. Sinden mulai menyanyikan tembangnya. Dalang pun mengangkat gunungan di hadapannya dan segera memulai pertunjukkan itu. Dan tetap menempatkan Durna di tempat sebelah kiri bersama para Kurawa.

Sanggar Sastra Wedhang Kendi, Agustus-September 2006

*Ini cerpen yang luar biasa, sebab cerpen ini menjadi juara harapan I pada Peksiminas di Jambi kemarin. Akan tetapi, saya tidak mendapat hadiah sepeserpun dari panitia kampus, panitia daerah, maupun panitia pusat. Hiks...hiks...

0 komentar:

Posting Komentar