07 Februari 2009

AKU MENGUNYAH CAHAYA BULAN: Jejak Perjalanan Dharmadi Itu Bernama Puisi

Kumpulan puisi berjudul Aku Mengunyah Cahaya Bulan, 56 Puisi Pilihan (1974-2004) (Novembar 1994) karya Dharmadi adalah suatu kumpulan jejak langkah perjalanan panjang kehidupan seorang Dharmadi yang terlahir di Semarang 30 September 1948. Jejak yang ditempuhnya selama tiga puluh tahun dalam berkarya dan bergelut di bidang sastra. Buku ketiga kumpulan puisinya setelah Kembali Ke Asal (1999) dan Dalam Kemarau (2000). Buku yang berisikan 56 puisi diawali dengan puisi berjudul Cahaya Hari (1974) dan diakhiri dengan puisi berjudul Aku Ingin Pulang (2004).

Buku ini pernah dibedah dalam acara Badah Buku Aku Mengunyah Cahaya Bulan Karya Dharmadi yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia di Kampus Program Sarjana Bahasa Dan Sastra Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto pada tanggal 26 April 2005. Dengan pembicara adalah Dharmadi sendiri dan Abdul Wachid B.S.

Ke-56 puisi karya Dharmadi ini sebagian besar adalah penggambaran kejadian-kejadian yang dirasakannya sehari-hari. Coba simak puisi Dalam Sakit berikut: di ruang operasi/suntikkan pertama/sedikit goyang/suntikan kedua/aku mengembara/sampai di suatu negeri/dalam lapisan salju/mancar cahaya/betapa megah/berjalan-jalan/menyeka marmer putih/di dinding ruangan/kembali ke alam nyata/ada lamat-lamat suara/dalam mata yang masih memberat/selintas wajah istriku/lembut tangannya/menyeka ubunku/instalasi infus/dengan jarum menggigit urat nadiku/mengalirkan cairan di tabung/aku melihat-mu/berenang di dalamnya/dan gelembung udara/dari nafas-mu/menelusup slang plastik/menyusup di denyut jantungku//1994//

Dari puisi di atas dapat kita lihat bahwa dia melukiskan keadaannya saat sakit dan pengalamannya pada saat dioperasi. Momentum-momentum lain yang dia dapatkan juga tak luput ditelurkannya lewat puisi. Seperti pada puisi Di Kuburan (1974), Di Pendopo TBS (1995), Di Sisi Jenasah di Bibir Liang Kubur (1995), Sisir Itu Masih Mengurai Rambutku yang Tak Lagi Legam (1997), Di Dalam Gerbong (1999), Pantai Permisan (2000), Menjelang Senja (2000), dan Pantai Pasir Putih (2000). Dalam puisi Bulan Bulat di Ranjang (1994), tampak bahwa dia sedang menggambarkan pengalaman romantisnya di atas ranjang bersama sang istri dan diuraikan dalam bait …jatuh di tengah ranjang / sprei berbunga-bunga / yang tidur menggeliat pelan …

Simak juga puisi Akhirnya Kini Kita Tinggal Berdua berikut: Akhirnya kini kita tinggal berdua;/Anak-anak sepertinya baru kemarin/Menjadi bagian diri kita/Satu persatu pergi/Menyusuri jaman/Mencari nasibnya/Kita sendiri terus di jalan/Usia menuju tua/Dan akhirnya kini tinggal berdua;/Mengurai dialog dalam bahasa kata/Dengan cahaya hati dan bahasa rasa/Menuliskan huruf-abjad pada syaraf/Menjelma bahasa belaian/Sesekali terucapkan; siapa yang pergi dulu/Di antara kita, saling berebut merasa/Paling banyak salah dan dosa/: kalau sudah begitu sesaat berpandangan/kemudian berangkulan seolah tak ingin perpisahan/sambil saling menyeka airmata//2001-2002//

Dalam puisi di atas tersirat makna sebuah pengalaman sedih dimana dia sudah tak lagi bersama ketiga anaknya yang mengikuti suami/istri mereka. Tinggallah dia di rumah bersama sang istri sambil menunggu datangnya malaikat maut menjemput salah satu dari mereka.

Banyak memang, tema-tema yang diangkat adalah hal-hal yang biasa kita lihat dengan mata telanjang. Itu dapat kita lihat dalam puisi Gerimis Pagi (1995), Sungai-sungai (1999), Sajak Batu (1999-2004), Sebiji Beringin (2000), dan Selembar Daun (2001).
Puisinya juga berisikan suatu keadaan yang sesuai dengan keinginkannya. Pada puisi pertamanya; Cahaya Hari/hari, taburkan di sini/di pilar-pilar cuaca/cahaya hari/yang serbuk-serbuknya/di kantung langit//1974//

Sebuah puisi yang cukup singkat yang menggambarkan suatu keinginan sebuah awal yang baik, sebuah awal yang indah dalam menjajaki perjalanan hidupnya dalam berkarya. Sebuah keinginan untuk berumah tangga lagi setelah ditinggal mati oleh istrinya terefleksikan pada puisi Di Puncak Kemarau (1999-2000) pada bait terakhir, …aku percaya, aku percaya, pasti engkau akan menidurkanku dengan belaian sambil mendendangkan tembang tentang rahasia malam. Betapa dia sangat kesepiannya hingga dia memerlukan seorang sosok perempuan yang dapat mengurus hidupnya dan menemani hari-harinya. Dan kebetulan keinginannya tersebut terlaksana dengan sukses.

Coba kita simak puisi Aku Mengunyah Cahaya Bulan berikut: kukekalkan sebutir embun kehidupan/ada selembar daun hatiku kurambatkanfantasi lewat rentang kawat telepon/dan puncak tiang-tiangnya mengitarkan/ke langit dalam malamku/bulan memainkan cahaya/lewat serpihan kabut/menggugurkan suara gaduh/perjalananku/ada yang menimang resah hatiku di sana/betapa nikmat meneguk kedamaian meski sesaat/biarkan aku diam dalam mengunyah cahaya bulan/yang terlempar di sana//1995//

Sebuah puisi yang dijadikan sebagai judul buku ini. Memang benar apa yang dikatakan oleh Yudiono KS dalam pengantar buku ini. Tidak ada kejelasan apa yang hendak dinyatakan oleh sajak ini jika pemahaman dan penafsirannya diurutkan berdasarkan logika. Memang dalam sajak ini simbol-simbol yang ada tidak memiliki keterkaitan satu sama lain. Seperti cahaya bulan, suara gaduh, kawat telepon dan embun kehidupan. Mungkin inilah yang jadi pertanyaan. Tetapi menurut saya, Dharmadi memilih sajak ini sebagai judul bukunya memiliki sebuah tujuan. Dia menginginkan membawa pembaca ke dalam dunia tanya yang simbolik. Sehingga pembaca akan merasakan suatu kenikmatan terhadap rasa penasaran.

Ada yang menarik pada beberapa sajak di sini. Dalam puisi Sajak Jarum Jam (1993) …jarum jam menyimpan-mu…, Dalam Sakit (1994) …dari nafas-mu…, dan Sajak Dua Belasku (2002) …jadikan aku kakitangan-mu/dalam gerak kehendak-mu…. Jika kita cermati, maka ada penggunaan kata –mu menggunakan huruf m dengan huruf kecil. Sedangkan kita tahu, dalam kaidah bahasa Indonesia yang benar, penggunaan kata –mu dalam hal ini berarti tuhan, maka penulisan yang baik adalah menggunakan huruf m besar yaitu –Mu. Hal ini sempat menjadi pertanyaan dari rekan saya sesama mahasiswa. Bisa jadi, Dharmadi menggunakan kata tersebut, dapat disinyalir dia adalah seorang penganut paham manunggaling kawulo gusti. Tetapi hal itu tidak menjadi suatu hal yang perlu dipermasalahkan.

Dari keseluruhan puisi-puisinya, puisi Orang-orang Telah Kehilangan Sunyi adalah sebuah puisi yang merupakan kritik sosial terhadap keadaan umat manusia pada masa sekarang. …malam telah kehilangan sunyi/telah disulap dengan keramaian/malam telah kehilangan sunyi/telah disulap menjadi kenikmatan/malam telah kehilangan sunyi /telah disulap menjadi ajang pengkhianatan…. Tetapi dari keseluruhan puisinya adalah puisi-puisi perenungan. Kalau boleh saya menyebut, puisi-puisi Dharmadi adalah puisi romantis. Romantis di sini bukan berarti picisan, namun romantis di sini adalah puisi yang menghanyutkan. Buku ini di akhiri dengan puisi Aku Ingin Pulang (2004) …aku ingin pulang letih bertualang/terombang-ambing gelombang/gaduh dunia…. Sebuah bait yang menyatakan keinginannya untuk beristirahat setelah menempuh “perjalanan” yang melelahkan.

Purwokerto, 3 April 2006

0 komentar:

Posting Komentar