24 Februari 2009

API



Mencari-cari ke setiap pojok panggung/segala arah.
Berhenti.
Mencari-cari lagi.
Berhenti.
Mencari-cari lagi

Dimana? Dimana?

Berhenti.

Api. Aku mencari api.

Mencari-cari lagi.


Dimana api itu sekarang?
Siapa yang membawanya?
Kemana perginya?

Berhenti, kelelahan.

Tidak ada. Tidak ada jejaknya. Dia telah pergi jauh entah kemana. Aku tak dapat menemukannya. Apiku. Api kami.

Musik sendu

Dia telah pergi. Dia telah pergi. Dia pergi dibawa angin entah kemana. Dia telah padam. Hujan yang turun telah memadamkannya.

Diam

Api itu. Ya, aku masih ingat betul. Dulu, waktu dia masih kecil, saat dia masih berupa percik. Dia memercik setiap saa pada hatiku, pada hati kami. Ya, kami, pemuda-pemuda yang tinggal di rumah ini. Dia memberi kehangatan dalam dingin. Dia memberi cahaya dalam gelap.

Melihat sekeliling ruangan.

Rumah ini. Dulu di rumah ini, orang tua kami, kakek buyut kami, dan para pendahulu kami hidup dalam dingin dan kegelapan. Kedinginan dan kegelapan yang begitu lama. Ya, lama sekali. Kedinginan yang menusuk tulang, membekukan tubuh kurus kami dan mematikan hati kami. Kegelapan yang mencekam, menakutkan. Kegelapan yang menghancurkan masa depan kami. Kemiskinan, kebdohan, keterbelakangan, penyiksaan, perbudakan, dan penderitaan. Kegelapan yang memusnahkan jiwa kami.
Diam.

Raut muka berubah menjadi agak gembira

Lalu, tiba-tiba dia lahir. Dia memercik di hati dan jiwa kami. dia memberikan kami pengharapan tentang matahari esok pagi. Dia memberikan semangat kepada kami untuk lepas dari dingin dan kelar dari kegelapan yang meurung kami berabad-abad lamanya. Jiwa kami mulai tergerak. Hati kami mulai tergugah. Kita harus lepas dari belengu itu.

Hening.


Dia telah pergi. Dia telah pergi. Dia pergi dibawa angin entah kemana. Dia telah padam. Hujan yang turun telah memadamkannya.

Diam.

Masih jelas di otakku. Dia. Tak perlu waktu yang lama, dia telah menjadi dewasa. Dia tak lagi memercik. Dia menyala. Dia mulai membara. Lidah-lidahnya menjilat kesana-kemari tak pernah berhenti. Membakar jiwa-jiwa pemuda yang menghuni rumah ini. Dia terus membara dan menyatukan semangat kami semua. Api itu berteriak kepada jiwa-jiwa muda kami. dia selalu berteriak lantang.

“Kalian adalah satu. Tak ada perbedaan dalam diri kalian. Tak ada pemuda Sumatra, pemuda Jawa, pemuda Ambon, pemuda Kalimantan, pemuda Sulawesi. Kalian adalah pemuda Indonesia. Kalian adalah bangsa Indonesia. Rumah kalian adalah tanah air Indonesia. Bahasa kalian adalah bahasa Indonsia!!!”

Dia teru berteriak, terus, terus, dan terus. Tubuh kami terbakar, hati kami terbakar, jiwa kami terbakar. Kami tak tahan lagi dengan kegelapan yang mengurung kami. kami berteriak.

Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, menjundjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Api itu menyatukan kami menjadi bangsa Indonesia. Dia semakin besar dan sangat besar. Dia membakar seluruh jiwa pemuda yang ada di rumah ini. Indonesia. Untuk segera lepas dari cengkraman dingin dan kegelapan.

Kami pun berjuang tanpa mengenal lelah untuk mewujudkan mimpi-mimpi ami yang cerah di masa depan. Kami tak ingin anak-anak kami mengalami hal ang sama dengan kami.

Dan api itu benar-benar membakar seluruh semangat jiwa kami. kami terbakar, kami berteriak, bergerak, mengerang, menerjang, dan melawan.

Akhirnya kami terlepas dari dingin dan gelap yang telah lama mengurung kami. dingin dan gelap itu pergi menjauh dari rumah kami. habis gelap terbitlah terang. Matahari yang cerah terbit juga. Sinarnya masuk ke dalam rumah kami, ke dalam jiwa kami. kami benar-benar telah lepas dari belenggu itu. Kami merdeka.

Lalu kami mengisi rumah kami dengan hiasan-hiasan warna-warni. Dengan cat warnawarni, dengan bunga segala rupa, dengan ornamen-ornamen, dan dengan pernak-pernik lucu. Kami jadikan rumah kami penuh kesejukkan, kenyamanan, keindahan dan kesejukkan. Kami jadikan anak-anak kami lebih kerasan di sini, kami jadikan mereka lebih nyaman. Dan kami tularkan api-api yang membakar semangat kami ke dalam jiwa-jiwa mereka. Agar mereka tidak lena.

Diam
Raut muka berubah marah.

Tapi kini apa yang terjadi? Anak-anak kami ternyata tak tahu diri. Mereka asyik dengan rumah yang nyaman. Mereka tak tahu bagaimana perjuangan kami untuk lepas dari belenggu kegelapan. Untukmembuat rumah ini menjadi nyaman. Mereka tak peduli. Mereka asyik bermain-main. Mereka lena. Membiarkan api di jiwa-jiwa mereka. Mereka., anak-anakku, anak-anak kami.

Diam.
Tiba-tiba tergengar suara angin berhembus kencang, lalu suara hujan turun.
Suasana redup.


Api itu. Dia telah pergi. Dia telah pergi. Dia pergi dibawa angin entah kemana. Dia telah padam. Hujan yang turun telah memadamkannya. Kini, rumah ini tak seprti kemarin. Telah berubah. Gelap dan dingin.

Lampu mati.

SELESAI

0 komentar:

Posting Komentar