13 Agustus 2010

Esai Ryan Rachman Di Radar Banyumas, Minggu 6 Juni 2010


MISI SEDERHANA PASUKAN BERANI BERPUISI

Aku mencoba menerobos hujan yang tak terlalu deras melanda/Tapi pikiranku terus saja berkelana/Melanjutkan mimpi-mimpi melajukan perahu generasi//Aku mencoba agar hujan tak deras menerpa/Tapi banjir mengapungkan sejuta sampah pikiran/Yang musti harus dibersihkan//Aku harus kerja bakti merapikan terpaan badai/Menata lagi brankas kerja dan menyusun lagi rencana yang porak-poranda

Itulah salah satu puisi karya Muhammad Ayatullah berjudul Pawang Hujan III yang dibacakan di suatu malam Minggu yang gerimis dalam acara Poetry at Alun-Alun beberapa waktu yang lalu. Selain dirinya, ada tujuh anak muda yang lain yang mengaku dirinya sebagai calon penyair membacakan karya-karyanya di bawah tiang bendera alun-alun Puwokerto. Mereka menamakan kelompok itu sebagai “Pasukan Berani Berpuisi”.

Selain di alun-alun, mereka juga melakukan aksi pembacaan puisi di ruang-uang publik lainnya seperti stasiun kereta api, terminal bus, pasar, perempatan lampu lalu lintas, trotoar, dan parkiran pusat perbelanjaan di Purwokerto dan Purbalingga. Dimana ada orang banyak, disitulah mereka membaca puisi. Walau mungkin dianggap tidak waras bagi sebagian orang, namun banyak pula yang duduk dan mendengarkan mereka membacakan puisi, bahkan ada yang ikut berpartisipasi tampil di depan. Sejak bergulir enam bulan lalu, paling tidak hampir seminggu sekali mereka beraksi.

Lalu sebenarnya apa yang diharapkan oleh Pasukan Berani Berpuisi ini? Tidak muluk-muluk. Menghibur masyarakat umum dan mendekatkan puisi kepada mereka, itu saja. Tidak lebih.

Tantangan

Dalam sebuah diskusi Ngobrol Bareng Sastra yang diadakan oleh Sanggar Sastra Wedang Kendhi yang bertajuk “Sastra yang Memasyarakat” terdapat permasalahan dan tantangan besar yang harus dihadapai oleh para pegiat sastra dan karyanya terutama penyair dan puisinya supaya dapat diterima oleh masyarakat.

Orang lebih suka membaca komik dari pada harus membaca puisi yang penuh dengan bahasa kias njlimet. Anak-anak muda lebih suka mendegarkan puisi yang picis dan ecek-ecek daripada mendengarkan puisi mantra, puisi mbeling atau puisi instalasi. Ini kan menjadi aneh?
Selama ini puisi memiliki hanya milik dan dinikmati oleh pegiat dan penikmat sastra. Seolah-olah puisi telah memilih eksklusifisme sebagai menara gading yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir kepala dalam suatu masyarakat. Dalam acara diskusi dan pembacaan puisi yang bisa dikatakan wow! misalnya, paling-paling acara tersebut hanya dihadiri dan dinikmati oleh orang yang itu-itu saja. Jarang sekali masyarakat awam seperti tukang becak, bakul ronde, tukang sol sepatu, tukang parkir, hingga karyawan pabrik, guru, ilmuwan, pengacara, mantri kesehatan ataupun dokter hewan datang, menikmati dan meresapi setiap puisi yang dibacakan oleh para penyair hingga acara tersebut paripurna.

Atau puisi hanya sebagai penghias surat kabar Minggu yang lebih sering tidak dimuatnya dari pada dimuatnya dan hanya dibaca oleh khalayak sepintas saja. Padahal para penyair membuat satu buah puisi harus mencurahkan pikiran hingga berdarah-darah agar puisi ciptaannya memiliki nyawa dan memenuhi estetika karya sastra.

Lalu untuk apa puisi dicipta jika hanya bisa dinikmati oleh “manusia-manusia pilihan” saja? Lalu bagaimana dengan dulce et utile dari puisi tersebut? Bagaimana masyarakat dapat mengenal dan menikmati puisi? Hal itulah yang harus menjadi pekerjaan rumah para penyair agar puisi-puisinya dapat dibaca dan dinikmati oleh “manusia-manusia seluruhnya”.

Puisi dicipta tidak hanya untuk dinikmati sendiri, berlayar di lautannya sendiri dan berlabuh di dermaganya sendiri. Para manusia “di luar pagar” itulah yang sebenarnya lautan dan dermaga itu. Sebab puisi harus berfungsi sebagai cerminan dari masyarakat “luar pagar” itu. Puisi harus mencerahkan dan menyegarkan bagi setiap orang yang membacanya. Seperti puisi Pablo Neruda yang membakar jiwa setiap orang di tiap sudut Chile. Seperti puisi Walt Whitman yang selalu berenang di darah orang Amerika Serikat hingga sekarang. Itulah fungsi puisi sebenarnya.

Penyair tidak bisa selalu duduk di “singgasana empuknya”, dia harus terjun langsung ke masyarakat dan menjadi bagian dari masyarakat itu sendiri agar karya-karyanya dapat dikenal dan dinikmati oleh masyarakat.

Berawal dari itulah “para calon penyair” ini bergerak untuk menjawab tantangan di atas. Dengan cara yang paling sederhana: membacakan puisi pada khalayak. Bukan untuk narsisme sementara dan gagah-gagahan agar disebut sebagai manusia “sakti”. Sekali lagi, hanya untuk menghibur masyarakat umum dan mendekatkan puisi kepada mereka, itu saja. Tidak lebih. Terlebih lagi apresiasi masyarakat di Purwokerto dan Purbalingga terhadap puisi sangatlah minim.

Semoga misi sederhana Pasukan Berani Berpuisi dapat terwujud dan mendapat tempat di hati masyarakat “luar pagar” dan tentunya akan terus “mengangkat senjata”, tidak akan terhenti oleh “hujan”. Klilan.

Ryan Rachman, mahasiswa jurusan Ilmu Budaya Unsoed Purwokerto

0 komentar:

Posting Komentar