13 Agustus 2010

Cerpen Saya Jadi Juara II Lomba Cerpen UKKI Unsoed Kemarin Minggu


SUKUR


Tengah malam pun akhirnya datang juga. Di atas langit, bulan yang rompal separuh lengser dari tempat duduknya, condong ke arah barat. Gumpalan awan tipis sesekali melintas menutup sinar yang dipancarkannya. Sebuah bintang jongkok tak jauh dari bulan. Itu satu-satunya bintang yang menggantung di langit malam ini.

Angin lembut perlahan berlari menuruni bukit menuju kampung. Menggoyang daun-daun pohonan bambu. Rimbunan bambu sering di jumpai di sepanjang sisi jalan setapak di kampung ini. Batu-batu yang tertata di sepanjang jalan setapak nampak basah oleh sapuan embun.
Di jalan yang kasar itu, seorang pemuda berjalan sendiri menembus kabut. Kabut tebal yang dibawa angin dari bukit membuat jarak pandang di jalan ini hanya sekitar lima meter. Untung setiap dua puluh meter di jalan setapak ini terdapat lampu bohlam 20 watt yang tergantung di batang-b atang pohon bambu.

Dia bernama Sukur. Setiap malam dia melewati jalan setapak itu. Jalan itulah satu-satunya jalan yang menghubungkan kampung ini dengan kota kecamatan. Jarak dari kampung ini ke kota kecamatan kira-kira dua jam setengah berjalan kaki.

Di kecamatan ia bekerja sebagai seorang tukang parkir sebuah rumah makan Padang. Dia berangkat dari rumahnya ke tempat kerjanya sehabis subuh dengan berjalan kaki. Kadang-kadang ia membonceng tetangganya yang hendak berangkat ke pasar kecamatan. Tapi dia lebih sering jalan kaki. Dan ketika rumah makan itu tutup pukul sepuluh malam, dia tidak serta merta langsung melangkah pulang. Namun ia lebih sering membantu membersihkan peralatan makan atau membuang sampah. Sebagai upahnya dia mendapat jatah makan sehari tiga kali. Setelah pekerjaannya selesai, barulah ia melangkah pulang.
Sesampai di rumahnya yang sedikit perabotannya, dia segera membaringkan tubuh tegapnya di atas bangku panjang di ruang tamu. Hanya sekedar melepas lelah setelah hampir dua jam setengah dia berjalan. Kira-kira satu jam dia memejamkan matanya, Bu Rohmah, ibunya keluar dari kamar tidurnya dan menghampirinya.

“Bangun le.” Tangan keriputnya mengelus pundak Sukur beberapa kali.

Setelah melihat anak semata wayangnya membukakan kedua pintu matanya, perempuan yang menginjak umur lima puluh tiga tahun tersebut segera melangkah menuju sumur di belakang rumah. Tak lama berselang, Sukur pun mengikuti jejak ibunya.

Selesai mengambil air wudlu, kedua orang tersebut masuk kembali ke rumah sederhananya. Masuk ke kamar masing-masing dan menunaikan sholat tahajud. Biasanya selesai sholat, sang ibu kembali merebahkan dirinya ke tempat tidur. Tetapi tidak untuk Sukur. Selesai berdoa, dia segera mengambil Al-Quran yang tergeletak di atas meja kecil di samping tempat tidur. Warnanya pucat coklat kekuningan. Sampulnya telah lepas. Dibukanya halaman yang telah ditandai dengan sebatang lidi. Tak lama kemudian bibirnya pun bersuara. Ayat-ayat yang dibacanya, diucapkanya dengan perlahan dan merdu. Maka, dini hari pun menjadi sejuk. Dan dia pun semakin tenggelam dalam kitabullah itu hingga azan subuh menjelang.
***
“Assalamualaikum...”

“Waalaikumsalam…” sahut bu Rohmah sembari bangkit dari bangku panjang menuju ke pintu. Dibukanya pintu perlahan. Nampak di depan pintu seorang laki-laki seumuran dia dan seorang perempuan seumuran anaknya.

“Eh, pak Rojikun, mari silahkan masuk.”

“Iya bu,” sembari melangkah mengikuti tuan rumah.

Pak Rojikun adalah salah satu orang yang cukup dikenal di kampung ini. Sebenarnya dia seorang pendatang. Kampung halamannya berada di pulau Sumatera. Dia datang ke kampung ini karena ditugaskan menjadi mantri kesehatan. Sudah hampir tiga tahun dia tinggal bersama keluarganya di kapung ini.

“Siapa ini pak?” sembari mengacungkan telunjuknya ke arah perempuan yang duduk di samping pak Rojikun.

“Oh, ini Faiqoh. Anak saya yang pertama.”

“Kok selama ini dia tidak pernah kelihatan?”

“Iya. Dia tidak mau ikut pindah ke kampung ini. Dia kuliah di Universitas Sumatera Utara. Setelah selesai, barulah ia menyusul kami di sini.”

Perempuan berjilbab biru langit itu tersenyum sambil memandang bu Rohmah. Bu Rohmah pun membalas dengan senyuman.

“Lho ada tamu?” Sukur tiba-tiba keluar dari dalam dan menghampiri mereka bertiga.

“Kamu tidak ke kota Kur?” tanya pak Rojikun.

“Tidak pak, rumah makannya tutup. Jadi saya ya di rumah. Ada apa to pak, kok tumben sowan kemari?”

“Begini Kur,” pak Rojikun membetulkan kaca matanya. “ Ini anak saya. Faiqoh. Dia baru datang satu minggu yang lalu dari Sumatera.”

Faiqoh tersenyum kepada Sukur lalu menundukkan wajahnya.

“Sejak dia di kampung ini, setiap tengah malam ia selalu terbangun. Bukan karena takut atau karena lapar, namun karena ia mendengar suara orang yang membaca Al-Quran. Setiap malam ia selalu mendengarkannya hingga orang tersebut selesai membacanya. Setiap dia mendengar suara itu, hatinya selalu bergetar. Dia selalu penasaran dengan orang yang membaca kalamullah itu dengan begitu merdunya. Dia ingin sekali mengenalnya dan belajar membaca dari orang itu.”

Bu Rohmah dan Sukur memperhatikan dengan seksama apa yang diucapkan oleh pak Rojikun.
“Lalu ia bertanya kepada saya siapa orang yang selalu membaca Al-Quran dengan indah di setiap malam. Saya pun bilang kalau itu kamu Kur. Lantas ia meminta saya untuk mengantarkannya ke kamu. Dia ingin sekali belajar darimu.”

“Ah, anda terlalu memuji pak. Saya tidak pernah merasa bahwa saya bagus dalam membaca Al-Quran. Saya hanya membaca sesuai pa yang diajarkan oleh guru ngaji saya dulu.” Kilah Sukur.

“Tapi apa salahnya si Kur kalau kau mengajari anak saya membaca Al-Quran.”

“Saya senang sekali jika saya bisa mengajari putri bapak. Tapi saya kan bekerja setiap hari. Sedangkan saya pulang sampai rumah paling tidak tengah malam.”

Nampak wajah Faiqoh berubah kecewa. Pak Rojikun pun nampak bingung melihat raut muka anaknya.

“Begini saja. Bagaimana kalau kau berhenti jadi tukang parkir. Kau bekerja padaku saja sebagai guru ngaji anakku. Kubayar dua kali lipat dari penghasilanmu sekarang.”

“Maaf pak, seandainya pun saya ada waktu untuk mengajari putri bapak ngaji, saya tidak meminta imbalan apapun.”

Wajah Faiqoh bertambah kelabu.

Pak Rojikun semakin kebingungan. Dengan sedikit bimbang, akhirnya ia pun berkata, “Bagaimana kalau kau kunikahkan dengan anakku?”

Kata-kata yang terlontar dari mulut pak Rojikun membuat orang seisi rumah itu pun tersentak.

“Ah bapak ini mengada-ada. Mana mungkin saya pantas menjadi suami putri bapak. Saya hanya seorang tukang parkir pak.” Sanggah Sukur.

“Iya Pak. Anak saya hanya seorang tukang parkir. Sedang putri bapak seorang sarjana.” Bu Rohmah mengamini.

“Saya tidak main-main Kur. Saya berkata itu punya dasar yang kuat. Dan saya yakin anak saya akan bahagia hidup bersamamu.”

“Maksud bapak?”

“Kau orang yang jujur, sederhana dan selalu membaca Al-Quran setiap malam. Saya percaya jika kau tidak hanya membacanya saja. Kau juga mengamalkannya. Dan saya percaya bahwa orang yang selalu berpedomankan Al-Quran, dia akan menjadi seorang pemimpin yang baik, termasuk pemimpin bagi anakku. Dan saya percaya jika kaulah orang yang tepat.”

Sukur terdiam.

“Bagaimana Kur? Kau mau. Soal pekerjan, nanti bisa dicari.”

Sukur masih belum berkata-kata. Dia tidak percaya atas apa yang di alaminya baru saja. Bu Rohmah pun hanya bisa menelan ludah.

Sementara itu Faiqoh tersenyum senang. Cita-citanya memiliki seorang suami yang pintar mengaji hampir tercapai.


Ryan Rachman, mahasiswa Fakultas ISIP Unsoed Jurusan Ilmu Budaya

0 komentar:

Posting Komentar