TANGAN KANAN
Tiba-tiba saja tangan kananku lenyap tanpa rasa
Padahal ada sekotak sajak yang harus terjejak
Sajak yang telah lama tak datang berkunjung
Pada setiap separuh malam-malamku
Kemana aku harus menemu tangan kananku
Pada separuh malam?
Atau pada sajak-sajak yang belum terjejak?
Padahal separuh malam berikutnya telah menganga
Padahal kertas-kertas pena-pena telah mendera
Aku pun terdiam
Mengutuk waktu
Mengutuk siapa saja yang mencuri tangan kananku
Dan sajak kembali tak dapat terjejak
MAKA KAN KUJELMA KAU
Panggil aku malam
Maka kan kujelma kau serupa gemintang
Pijar menerang di wajah jiwa
Panggil aku pohon
Maka kan kujelma kau selaksa daun
Hijau menyejuk di relung dada
Panggil aku lelap
Maka kan kujelma kau sewajah tawa
Renyah mewarna di ruang mimpi
Panggil aku cinta
Maka kan kujelma kau sebagai kekasih
Damai mengalir di ulu hati
JENDELA
Kugantung retina mata elangku
Di balik kaca jendela kamarmu
Biar kubaca rahasiamu
Membaca malam-malammu
Seperti bintang yang kau tatap dari balik jendela
Aku melempar padma dari jiwa
Sebagai lentera yang tergantung di tanganmu
Menerang gelap
Menerang lelap
EDELWEISS
Tersenyumlah padaku o bunga keabadian
Berikan warna terputih di kelopak wajahmu
Pada jiwa resah pada tubuh lelah
Telah kurunut peta buta
Kurayap puncak tertinggi
Kusibak udara terbeku
Mencari jejakmu
Di puncak kesunyian
Abadi kau bersemayam
Menatap matahari datang dan hilang
Mendekap dingin yang paling kering
Tersenyumlah padaku o bunga keabadian
Tak kupetik kau tak
Biar terpatri warnamu
Seperti gunung sahajamu tersunting
Seperti lembah sunyimu terpatri
Seperti permata abadimu tersemat
Maka tersenyumlah padaku o bunga keabadian
Ryan Rachman, mahasiswa FISIP Jurusan Ilmu Budaya Unsoed Purwokerto
13 Agustus 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar