06 Agustus 2008

ALUN-ALUN YANG UNIK ITU KINI TELAH HILANG

Beberapa hari lalu, bertempat di sekre Komunitas Sastra Alam, di sela-sela acara Ngobrol Bareng Sastra (Ngobras), saya melontarkan masalah penataan alun-alun Purwokerto kepada beberapa kawan sastrawan. Salah satu kawan saya, Mohammad Ayatullah mengatakan bahwa salah satu kelebihan Purwokerto dibanding dengan kota-kota yang lain adalah terletak pada alun-alunnya.
Alun-alun di kota kebanyakan berupa sebuah alun-alun besar yang memiliki sebuah pohon wringin kurung yang terletak di tengahnya. Berbeda dengan yang lain, alun-alun Purwokerto memiliki dua buah alun-alun kecil yang terpisah oleh jalan raya dan juga memiliki dua buah pohon wringin kurung dua buah di sebelah barat dan di sebelah timur.
Keunikan itulah yang menjadi ciri khas alun-alun Purwokerto yang tidak dimiliki oleh alun-alun di kota lain kecuali Cilacap. Tetapi kini keunikan tersebut telah hilang dikarenakan adanya program kerja 100 hari Bupati dan Wakil Bupati Banyumas
Penataan alun-alun Purwokerto merupakan salah satu program kerja 100 hari sejak dilantiknya Marjoko menjadi bupati Banyumas periode 2008-2013. Penataan alun-alun tersebut berupa penyatuan alun-alun sebelah barat dan sebelah timur dengan cara membongkar jalan aspal yang berada di antara keduanya dan mengganti wringin kurung dengan yang baru.
Tetapi keputusan bupati untuk merombak alun-alun tersebut mendapat protes keras dari masyarakat terutama dari kalangan seniman, budayawan, dan mahasiswa. Berbagai macam aksi dilakukan untuk menceegah pembongkaran alun-alun. Seperti melakukan demo, aksi teaterikal di atas eskavator, mendatangi DPRD, dan mengeluarkan tulisan berupa kritik di surat kabar.
Mereka sepakat bahwa pembongkaran alun-alun merupakan tindakan pengrusakan terhadap benda cagar budaya (BCB).
Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 ayat 1a menyebutkan bahwa, suatu benda buatan manusia harus berumur sekurang-kurangnya berumur 50 tahun agar bisa dikategorikan sebagai benda cagar budaya.
Menilik undang-undang di atas, sudah cukup jelas jika alun-alun Purwokerto merupakan sebuah benda cagar budaya. Dan konsekuensi kita adalah melindungi dan menjaga keasliannya.
Di lain pihak, Bupati Marjoko bersikukuh melakukan pembongkaran terhadap alun-alun dengan alasan pembenahan dan penertiban. Dia juga menambahkan bahwa dirinya telah berkonsultasi dahulu dengan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah.
Sedangkan dalam pasal lain menyebutkan bahwa perbuatan pencemaran BCB termasuk di dalamnya adalah tindakan pengrusakan, pengambilan atau memindahkan benda sebagian atau keseluruhan, mengubah bentuk dan atau warna, memugar dan memisahkan dari kesatuannya.
Hal ini jelas bahwa pembongkaran alun-alun Purwokerto merupakan pelanggaran terhadap undang-undang.
Dalam surat dari BP3 Jawa Tengah tentang alun-alun Purwokerto menyebutkan bahwa (1) Alun-alun Purwokerto Kabupaten Banyumas merupakan Benda Cagar Budaya yang dilindungi UU No 5/1992 sehingga dalam upaya revitalisasinya memperhatikan nilai penting sebagai simbolisme religius, nilai penting kota bersejarah, dan nilai penting sebagai landmark kota. (2) Revitalisasi alun-alun dapat dilaksanakan sesuai gambar perencanaan landscape alun-alun Purwokerto Kabupaten Banyumas Tahun 2008 dengan memperhatikan: a. Jalan aspal ditengah alun-alun dihilangkan dan dapat dibuat akses tapak jalan dari coneblock dengan ketinggian yang selaras dengan lahan alun-alun; b. Pohon beringin kurung dan beringin batur tetap dipertahankan, dalam arti beringin kurung yang mati diganti baru; c. Pagar beringin kurung dapat diganti dengan bentuk yang dikonsultasikan lebih dahulu dengan BP3 Jateng; d. Jika ada perubahan-perubahan dari rencana supaya dikonsultasikan dengan BP3 Jateng.
Dari surat keputusan BP3 tersebut, kita tidak dapat menyatakan bahwa keputusan Bupati Marjoko untuk membongkar jalan aspal yang berada di tengah alun-alun Purwokerto dan mengganti beringin kurung dengan yang baru adalah salah.
Yang salah adalah caranya. Bupati Marjoko terlalu memaksa dan ceroboh. Betapa tidak. Sejak awal, rencana pembongkaran alun-alun tidak diberitahukan terlebih dahulu kepada masyarakat secara jelas dan transparan. Bupati tidak melakukan dialog dengan beberapa elemen masyarakat tentang pembongkaran tersebut. Juga tidak melibatkan DPRD dalam mengambil keputusan. Kecerobohan lain ketika bupati melakukan pembongkaran terhadap alun-alun sebelum surat keputusan dari BP3 turun.
Yang paling memalukan adalah pembohongan terhadap anggota Komisi B DPRD. Ketika anggota Komisi B mendatangi lokasi dan meminta pekerja dan pimpinan proyek menghentikan kegiatannya, perintah tersebut ditanggapi dengan baik dan seketika itu pula mereka menghentikan pekerjaanya. Tetapi ketika anggota dewan meninggalkan lokasi pekerja melanjutkan lagi pekerjaannya.
Apabila rencana pembongkaran alun-alun diberitahukan dahulu kepada masyarakat dengan jelas dan transparan dengan cara menunjukkan surat dari BP3 serta diadakan dialog dengan baik-baik, saya kira Bupati Marjoko tidak akan mendapatkan kritikan dari masyarakat sederas saat ini.
Sebab jika masyarakat telah mengetahui terlebih dahulu rencana pembongkaran alun-alun dan hal itu diperbolehkan oleh yang lebih berkompeten dengan surat keputusan dari BP3, pastilah masyarakat mau menerima dengan hati legawa. Begitu.
Tabik.

0 komentar:

Posting Komentar