09 Desember 2008

Sebenarnya Berita Tahun Lalu

Ada yang terlupa. Tahun lalu pada tanggal 9 Nivember 2007, secara tidak sengaja saya menulis namaku di mesin pencari Google. Ternyata cerpenku dimuat di Batam Pos (wah jauhnya, saking jauhnya honornya belum sampai hingga sekarang, hiks hiks...). Ternyata juga, cerpen ini diposting ke Sriti.com. Cerpen tersebut adalah berikut ini

MBAH JOYO

“Dulu ketika mbah masih manjadi pejuang mbah ditempatkan di baris depan. Mbah dulu berjuang di bawah pimpinan Jenderal Soedirman. Kalian tahu siapa Jenderal Soedirman.” Tanya Mbah Joyo.
“Tahu mbah. Dia kan yang berjuang dengan cara perang gerilya,” jawabku.
“Kamu benar, cah,” dia memanggilku dengan sebutan cah, meskipun aku bukan bocah lagi. Saat ini aku duduk di bangku SMP kelas tiga. “Dia adalah sosok yang paling mbah banggakan. Orangnya gagah dan penuh dengan wibawa. Dia sangat kharismatik. Tentara Belanda dulu keder saat mendengar namanya,” lanjutnya.
“Terus mbah?”
“Mbah dulu salah satu pasukan kepercayaanya. Mbah ingat saat kami berada di hutan. Berhari-hari kami berjalan menembus hutan yang gelap. Secara bergantian kami memanggul Pak Dirman dengan tandu. Sungguh berat waktu itu cah, apa lagi jika hujan turun. Hati kami menjadi galau. Bagaimana tidak, kami harus memutuskan diantara dua pilihan. Melanjutkan perjalanan atau berhenti dan menunggu hingga hujan reda. Jika berhenti dan menunggu hujan reda, maka perjalanan kami akan semakin lama sedangkan jarak yang harus kami tempuh masih sangat jauh. Jika meneruskan perjalanan, kami kasihan terhadap Pak Dirman. Sedangkan tandu yang dinaikinya tidak seperti pertama kali kami membuatnya. Kain penutup atapnya sudah sobek di sana sini. Hujan yang deras dengan merembes dan menetesi tubuh Pak Dirman. Kami kasihan kepadanya, tubuhnya semakin lemas, apalagi dengan penyakit yang menggerogoti tubuhnya,” dia berhenti sejenak mengambil nafas.
“Di tengah kebingungan seperti itu, tiba-tiba Pak Dirman berkata untuk melanjutkan perjalanan. Luar biasa dia, dengan keadaan seperti itu semangat cinta terhadap tanah air tidak padam, malahan bertambah dan menggebu-gebu. Mendengar instruksi itu kami pun bertambah semangat dan melanjutkan perjalanan. Dengan semangat membara kami berjalan menembus hujan. Udara yang dingin tidak terasa sama ssekali karena sudah terbakar oleh semangat kami. Kami tidak peduli meskipun jalan licin dan becek. Meskipun kaki kami digerayangi dan dihisap darahnya oleh pacet. Kami terus berjalan.”
“Lalu apa yang terjadi mbah?” tanyaku penasaran. Dia tersenyum lebar.
“Sebentar,” jawabnya.
Tangannya meraih cangkir yang terbuat dari seng di depannya dan menyeruput isinya. Setelah meletakkannya kembali di atas meja kayu yang lapuk itu, kini gantian rokok kretek berlabel merah itu diambilnya. Lalu diraih korek api di sebelahnya. Dinyalakannya rokok itu. Dihisap dalam-dalam, tak berapa lama kemudian disemburkannya asap dari mulutnya. Hidungnya naik turun. Tiba-tiba dia terbatuk-batuk. Dadanya yang telanjang terlihat kembang kempis. Tubuhnya yang kurus gemetar.
Setelah batuknya berhenti dia melanjutkan ceritanya. “Kami berhenti sejenak untuk beristirahat dan membuka perbekalan kami. Kami makan sedikit sekali karena perbekalan sudah semakin menipis. Kami mengusahakan agar tetap waspada. Memang tentara sekutu tidak ada, namun di dalam hutan apa saja bisa terjadi. Siapa tahu kami diterkam binatang buas tiba-tiba atau diseruduk oleh celeng. Lalu kami melanjutkan perjalanan.” dia berhenti sejenak. Dihisapnya rokok di jari tangannya kembali. Lalu disemburkan asapnya ke arah langit. Aku masih antusias memperhatikannya dan mendengarkan ceritanya hingga selesai.
“Setelah lebih dari dua minggu kami berada di hutan, akhirnya kami sampai juga di sebuah perkampungan. Kami disambut dengan hangat oleh warga. Kami beristirahat di kampung itu untuk mengembalikan tenaga. Kami menginap di rumah kepala desa selama dua hari. Setelah merasa tenaga kami pulih, kami pun melanjutkan perjalanan. Kami memperoleh bekal yang cukup dari warga.”
“Begitu ya mbah?” kataku.
“Ya begitulah, mbah rasa segitu dulu mbah cerita. Sudah sore, sebaiknya kamu pulang, nanti mbok dicari sama ibumu. Besok kalau kamu ke sini lagi, mbah akan ceritakan banyak lagi.”
“Ya mbah, terima kasih ya mbah, saya pulang dulu. Assalamu'alaikum.”
“Wa'alaikum salam.”
Aku bangkit dari tempat duduk dan bersalaman dengan Mbah Joyo sambil mencium punggung tangannya yang sudah keriput. Lalu kulangkahkan kaki meninggalkannya. Sesekali aku menoleh ke belakang melihatnya. Di masih duduk di bangku kayu yang hampir ambruk. Pandangannya tertuju padaku memperhatikan setiap langkahku.
***
Mbah Joyo adalah salah satu orang tua yang tinggal di desa kami. Dia tinggal sendirian di rumahnya yang reot. Dia tidak memiliki anak. Dia ditinggalkan istri tercintanya sekitar lima puluh tahun yang lalu. Istrinya yang sedang hamil terpeleset di sungai saat hendak mengambil air. Akhirnya nyawa istrinya tak tertolong dan meninggal. Nama lengkapnya adalah Sastrowijoyo. Aku memanggilnya Mbah Joyo. Rumahnya tak jauh dari rumahku. Jika ditempuh dengan jalan kaki maka membutuhkan waktu sekitar lima menit.
Kini di usia senjanya dia hidup sebatang kara. Rumahnya dari gedg yang sudah terlihat reot. Jika masuk ke dalam maka tak perlu melepas alas kaki karena lantainya masih berupa tanah, bukan lantai cor atau tegel. Di ruang tamu ada satu set kursi tamu dengan mejanya yang usianya kurang lebih sama dengan usiaku.
Di tiang penyangga rumahnya yang terbuat dari kayu gluglu tergantung sebuah foto yang sudah menguning sebesar amplop. Potret dirinya waktu masih muda dulu. Dia nampak gagah dan tampan. Dia mengenakan baju tentara lengkap dengan topinya. Di lehernya melingkar slayer berwarna merah putih. Tangannya memegang senapan. Hanya foto itu yang menjadi hiasan di rumahnya selebihnya tak ada. Tak ada kaligrafi atau lukisan bunga.
***
Hari ini adalah hari Jumat tanggal 10 November. Seperti tahun-tahun yang lalu, pada tanggal itu, sekolah kami selalu mengadakan upacara bendera memperingati hari pahlawan. Aku berdiri di depan sendiri bertugas sebagai pemimpin upacara. aku melaksanakan kewajibanku sebagai pemimpin upacara dengan tanggung jawab.
Saat mendengarkan sambutan dari pembina upacara aku mendengarkannya dengan penuh hikmat. Pembina upacara memberikan wajangan tentang kepahlawanan.
“Anak-anakku, bangsa ini tidak akan seperti ini sekarang tanpa pahlawan-pahlawan kita yang telah gugur mendahului kita. Jasanya sangatlah besar terhadap negeri ini. Mereka rela mengorbankan harta, dan benda, bahkan nyawanya demi kemerdekaan dan mengusir para penjajah. Untuk itu, kita sebagai generasi muda, berkewajiban untuk menghargai perjuangan mereka. Kita tidak harus berperang mengangkat senjata seperti mereka, namun kita bangun negara kita tercinta dengan kemampuan kita.”
Saat mengheningkan cipta untuk mendoakan arwah para pahlawan, tiba-tiba aku ingat Mbah Joyo. Ya, apa jadinya negeri ini tanpa orang-orang seperti Mbah Joyo. Tetapi, meskipun negara ini sudah merdeka, Mbah Joyo seakan belum bisa menikmati hasil perjuangannya mengangkat senjata dulu. Sekarangpun dia harus masih berjuang untuk dapat hidup. Dia masih berjuang demi mendapat sesuap nasi untuk menyambung hidup. Tak ada orang yang bersimpati kepadanya. Jangankan untuk membantu perekonomiannya, untuk sekedar datang berkunjung dan mendengarkan dirinya berceritapun tidak. Seolah-olah tidak ada penghargaan sama sekali kepadanya. Apakah masyarakat hanya memberikan penghargaan kepada mereka yang gugur saja, sedangkan yang masih hidup dibiarkan begitu saja? Apakah pemerintah juga demikian? Pikirku.
Dalam hati aku berjanji terhadap para pahlawan, juga Mbah Joyo. Akan kuteruskan perjuangan mereka dengan membangun negara ini semampuku. Tiba-tiba mataku terasa berat dan tak terasa air mataku meleleh membasahi pipiku.

0 komentar:

Posting Komentar