17 September 2008

RAMADHAN KALI INI


Malam ini terasa berbeda dengan beberapa malam lalu. Tadi sore selepas maghrib tidak biasanya hujan menyapa bumi membasahi tanah. Padahal Ramadhan kali ini masuk di musim kemarau. Entah mengapa tiba-tiba hujan runtuh begitu saja. Hanya sebuah kilatan terang menyambar diikuti oleh gemuruh guntur yang menggelegar. Itupun hanya sekali. Akan tetapi, tanda seperti itu dianggap hal yang biasa oleh orang-orang yang tinggal di daerah kecil di salah satu sudut kota besar ini.

Hingga waktu isya tiba, hujan masih belum reda. Malah dengan semangat, langit menambah jumlah debit air yang ditumpahkannya. Seolah di atas sana terdapat sebuah cawan raksasa sebasar danau yang tak pernah habis airnya untuk dituangkan ke bumi.
Dan hujan seperti ini membuat orang yang berangkat untuk shalat isya dan tarawih berjamaah di mushola hanya dapat dihitung dengan jari saja. Tidak lebih dari delapan orang. Mereka yang datang adalah orang yang rumahnya dekat dengan mushola kecil itu. Paling jauh sekitar dua ratus kaki. Yang lain memilih tinggal di rumah masing-masing.
Setelah salat tarawih selesai, hujan belum juga reda. Sebagian dari mereka yang shalat berjamaah langsung pulang ke rumah masing-masing menggunakan payung yang berwarna-warni. Ada juga yang langsung berlari tanpa menggunakan payung atau jas hujan menembus pekatnya air yang turun tak peduli pakaian mereka basah.

Di antara delapan orang yang ada hanya tinggal dua orang yang tertinggal di mushola ini. Salah satunya adalah Pak Alwi.

Pak Alwi adalah imam di mushola ini. Dia asli penduduk daerah ini. Mushola ini dibangun oleh kakeknya sekitar delapan puluh tahun yang lalu. Setelah orang tuanya meninggal, dia dipercaya untuk mengurus dan menjadi imam di mushola ini. Selain itu, dia juga mengajar mengaji kepada orang-orang di sekitar terutama anak-anak. Dia belum terlalu tua. Ya, kalau ditaksir sekitar dua puluh tahun lebih tua dari aku. Orangnya sederhana, bersahaja, dan ramah kepada siapapun. Dia sangat dihormati di daerah ini. Karena hal itulah, akhirnya dia dipercaya sebagai penasihat di daerah ini.

Dia masih duduk bersila di tempat pengimaman. Terlihat matanya terpejam. Di tangan kanannya terdapat butiran-butiran berwarna putih susu yang dirangkai dengan benang menyerupai kalung mutiara yang terpajang di etalase toko perhiasan. Bibirnya bergerak-gerak naik turun. Terdengar dari mulutnya suara zikir mangalun. Bersamaan dengan suara zikir, dipilinnya rangkaian tasbih itu hingga memutar. Begitu seterusnya hingga malam mulai larut.

Dan orang lain yang berada di mushola yang cat temboknya mulai mengelupas adalah aku. Aku pun belum bisa menerima kenyataan mengapa malam ini aku bisa berada di tempat ini hingga begitu larut.

Pada awalnya aku sedang dalam perjalanan pulang dalam keadaan yang luar biasa letih. Selesai bermain dadu aku, sebelum pulang aku mampir dulu di sebuah rumah remang-remang. Setelah itu aku baru melangkah ke rumah. Dalam perjalanan aku bertemu dengan sekawanan hujan yang turun begitu saja tanpa permisi. Dari pada basah kuyup, maka aku pun berteduh di sebuah rumah.

Tak lama berselang, terdengar suara azan dari mushola kecil yang berada tak jauh dari tempaku berteduh. Meskipun hujan turun dengan derasnya, namun suara azan itu terasa nikmat di telinga. Suara muazin yang keluar dari speaker berpadu dengan gemerujug hujan hingga menjelma obat bius yang terbang menelusup telingaku.

Tubuhku terbius. Tanpa sadar kakiku melangkah menembus hujan menuju asal suara itu. Aku berjalan tanpa risau akan kuyup. Lalu aku berdiri tepat di pintu masuk mushola itu. Aku berdiri mematung menikmati lantunan azan.

Meskipun azan telah selesai, aku masih berdiri tak dapat melangkahkan kaki. Tiba-tiba seorang kali-laki keluar dari mushola itu dan menghampiriku. Dia Pak Alwi. Aku mengenalnya. Dia mengajakku untuk shalat isya berjamaah. Setelah setelah selesai berwudlu aku masuk ke dalam mushola mengikuti laki-laki itu.

Ada sesuatu yang tidak dapat aku terima di nalarku. Aku merasakan semata-mata bahwa tadi aku berjalan menembus hujan yang turun seperti air bah itu. Tetapi kurasakan pakaian yang kukenakan tidak basah sama sekali oleh air hujan. Tubuhku yang tadi terasa letih saat ini kurasakan segar kembali setelah dibasuh oleh air wudlu tadi.
Hujan tidak turun berupa air saja, namun disertai angin yang berlari membawa sejuta dingin dari ujung gunung membuat udara membeku menjelma jarum jahit. Tajam menembus ruang-ruang sempit di kulit dan daging hingga ke lapisan tulang bagi siapa saja yang berani menerobos hujan itu.

Akan tetapi bukan itu satu-satunya alasan mengapa aku masih berada di mushola yang sederhana ini. ada sesuatu hal yang menarikku untuk tetap berada di mushola ini menemani Pak Alwi berzikir. Aku merasa ada sebuah hawa aneh menyelimuti mushola yang berumur empat kali lipat umurku. Bukan hawa yang seperti biasanya. Sebuah hawa berwarna hangat, nikmat dan menyegarkan jiwa dan pikiran.

Mataku menjelajah ke segala arah. Kusapu segala sudut hingga tak tersisa. Entah mengapa tiba-tiba mataku tertumbuk pada sebuah lemari kayu kecil tanpa daun pintu bercat hitam kusam yang sudah miring ke kiri hampir rubuh. di dalamnya terdapat sejilid kertas yang terbuka di tengah-tengahnya. Tanpa perintah aku segera bangkit dari dudukku menghampiri lemari itu. terlihat jelas di mataku bahwa sejilid kertas itu adalah Al-Quran yang kertasnya sudah tua berwarna kuning kecoklatan. Tanganku seketika meraihnya seperti terserap oleh kumpulan wahyu Sang Maha Dzat itu. Tanganku menjelma besi tua karatan yang terhisap oleh magnet super kuat.

Dan aku merasa kakiku tak memiliki daya lagi untuk berdiri. Aku jatuh duduk menyila. Aku dapat merasakan rangkaian huruf hijaiyah yang tercetak di depan mataku tiba-tiba lepas masuk ke dalam mataku menembus otak kecil dibelakang kepalaku. Menghantam syaraf-syaraf motrikku.

“Dang! Dang! Dang!!!”

Seketika aku melihat seorang laki-laki muda menodongkan tangan meminta segepok uang untuk bermain dadu sambil berteriak keras mengeluarkan segala macam sumpah serapah kepada ibunya. Aku melihat ibu menangis meronta tanpa mengeluarkan air mata menolak keinginan anak itu. Dia masuk ke dalam kamar dan menggeledah isi lemari kayu. Mencari uang atau barang berharga yang disimpan ibu. Dia segera berlari dengan senyum kemengan dan sejumlah uang di tangan. Dan aku masih bisa melihat ibunya meratap tak berdaya sembil memegangi dadanya.

Dia berlari menuju sebuah tempat di sudut pasar tak jauh dari kecamatan. Kulemparkan uang yang ada di genggaman ke atas meja bertuliskan sebuah angka. Betapa bahagianya dia ketika dadu yang dilempar oleh bandar menunjukkan angka yang sama dengan angka di bawah uang yang dilemparkannya di atas meja taruhan tadi. Dai tertawa tak terkira sambil membawa segepok uang hasil kemenangan tadi.

“Dang! Dang! Dang!!” Huruf-huruf arab itu kembali memukul-mukul otak kecilku.

Aku melihat laki-laki itu duduk di sebuah kursi empuk dengan wajah mendongak ke atas dengan mulut terbuka. Kedua buah tangannya menyirami berbagai macam minuman beralkohol ke dalam liang mulutnya. Dan dia tertawa lepas hingga tak dapat berdiri lagi.

“Dang! Dang! Dang!!” Kembali, huruf-huruf arab itu memukul-mukul otak kecilku.

Aku masih melihat laki-laki itu berada sebuah rumah di sebuah gang kecil dihiasi temaram dan lampu lima watt yang menyala remang. Aku melihat dirinya dengan tubuh tanpa terbungkus kain sedang terlentang disemuti para wanita yang sama keadaannya seperti dirinya. Telanjang. Bersenggama, tertawa, mengaduh, mengeluh.

“Dang! Dang! Dang! Dang! Dang! Dang!!!!!” Kali ini huruf-huruf arab itu memukul-mukul otak kecilku lebih keras.

Aku melihat sosok seorang wanita sedang meronta menangis dan merintih kesakitan. Dia dikelilingi oleh beberapa manusia berbaju putih. Wanita ea rah s berteriak, meronta sambil menahan sakit. Tak selang kemudian terdengarlah sebuah tangisan dari antara kedua paha wanita itu. Wanita itu kemudian tersenyum bahagia. Seorang laki-laki kecil telah keluar dari pintu rahimnya setelah berdiam di rahimnya selama sembilan bulan.
Diasuhnya laki-laki kecil itu dengan segala bentuk kasih sayang yang paling indah agar tumbuh besar menjadi manusia yang berguna bagi bangsa dan agamanya. Memberinya kebanggaan yang tiada tara kelak.

Aku melihat laki-laki kecil itu tumbuh menjadi manusia dewasa yang ternyata kini durhaka pada ibunya. Aku melihat laki-laki durhaka itu menjelma diriku.

Tiba-tiba kurasakan huruf-huruf suci tadi keluar begitu saja dari liang mulutku dan terdengar begitu merdu di telinnga. Aku pun merasakan air mataku jatuh menetes dan hilang terserap kain sarung yang kukenakan.

“Ya Allah ya Rabbi, ampunilah hambamu yang telah durhaka ini,” dalam hatiku berucap memohon ampunan dari Sang Maha Pengampun. Terus seperti itu dan seperti itu. Aku merasa menjadi manusia paling hina di dunia.

Hujan yang turun deras jatuh perlahan mereda. Gerimis yang menimpa atap mushola yang terbuat dari seng membuat nada-nada ritmis terus menerus yang terdengar nikmat di telinga lebarku. Dan tak selang berapa lama hujan berhentilah.

Kulempar mataku ke jendela tanpa kaca di samping kananku. Tembus ea rah langit. Mendung telah berlari pergi entah kemana. Hanya ribuan bintang berkedip-kedap di langit dini hari. Langit benar-benar bersih saat ini. Baru kulihat langit seindah itu seumur hidup.

Angin berhembus lembut, namun dia membawa kehangatan yang luar biasa nyaman. Udara kurasakan luar biasa nikmat merasuk ke dalam tubuh hingga sel-sel yang paling terkecil.

Kulihat Pak Alwi masih duduk bersila menghadap kiblat sambil berkomat-kamit melafazkan dzikir kepada Allah. Kulihat jam dinding yang tergantung di tembok tepat di atasnya menunjukan pukul satu lebih dua puluh menit dini hari.

Lalu Pak Alwi bangkit dari duduknya. Dia berjalan menghampiriku sambil tersenyum mesra kepadaku. Senyuman yang paling nikmat dirasakan selain senyuman ibuku. dia terus mendekat. Dia terus berjalan mendekatiku. Dari tubuhnya tiba-tiba memancar cahaya yang indah. Berkialuan seperti permata manikam tersulut cahaya matahari. Cahaya itu bergerak naik turun perlahan. Lalu menjelma menjadi sepasang sayap indah yang bercahaya.

“Apakah dia seorang malaikat?!”

Kaki-kakiku tertambat.

Dia mendekat dan berdiri di atas kepalaku tepat.

Mulutku tercekat. Aku tak sanggup berkata, bahkan berbisik. Dia begitu indah.

“Pulanglah kau nak, bersimpuhlah di bawah kaki ibumu. Minta maaflah kau kepadanya.” Ucapannya menggelegar, namun terasa halus dan nikmat ditelinga.

Diusapnya kepalaku dengan tangannya. Oh, betapa lembutnya. Betapa nyamannya. Bagai sentuhan tangan ibu yang meninabobokanku ketika kecilku dulu. Lalu kucium tangannya. Tangan yang berbau harum paduan antara sari-sari bunga surga. Mataku terpejam.

Tiba-tiba kudengar suara laki-laki memanggilku.

Mataku pun terbuka. Kulihatnya sosok Pak Alwi tersenyum kepadaku.

“Subhanallah. Berbahagialah engkau nak, Allah memang tak pernah pilih kasih dalam memberikan hidayah-Nya.”

Aku segara berhambur keluar menuju rumah.

Sesampai di rumah, kudapati ibu sedang duduk bersimpuh merapikan mukenanya. Sepertinya dia baru saja shalat malam.

Aku pun segera bersimpuh di hadapannya memohon ampunan atas segala perlakuanku dulu.
Dan ibu hanya tersenyum sambil mencium keningku.

Purwokerto, September 2008

0 komentar:

Posting Komentar