06 Agustus 2008

PINTU KAMAR SELALU MENANTI UNTUK DIBUKA

Sungguh kasihan Bayu Murdiyanto!
Kenapa saya berkata begitu? Suatu ketika saya membaca tulisannya dalam bulletin sastra DIKSI edisi 2 November 2007 yang berjudul “Ada Apa dengan Sejarah dan Penulis Kamar?”
Di situ tertulis seperti ini:”Yah… gagal dimuat lagi…”. kata-kata semacam ini sering kali tercetus dari bibir-bibir penulis ketika karya-karya mereka lagi-lagi tidak nongol di media. Alas an itu pula yang terucap bila mereka ditanyai alas an mengapa mereka tidak mengirimkan karyanya ke media massa.
Saya jadi bertanya-tanya, apakah alasan di atas pula yang membuat Bayu Murdiyanto enggan mengirimkan karya-karyanya ke media massa? Jika iya, saya jadi bertambah penasaran, apakah dia benar-benar serius dan intens mengirimkan karya-karyanya ke mendia massa? Jika iya, bisa dimaklumi bila dia menulis artikel seperti itu. Jika tidak, maka betapa piciknya dia. Mengapa demikian?
Dalam tulisanya, dia juga menyebutkan bahwa dia adalah seorang penulis kamar yang ingin menjadi sejarah, namun ketika dia baru berjuang selama dua bulan melempar karya-karyanya ke media massa dan ketika mendapat hasil yang nihil, dia menyeah dan kalah.
Tidak hanya dia, namun juga penulis-penulis pemula yang ingin menunjukkan eksistensinya namun memiliki sifat yang sama dengan seorang Bayu Murdiyanto.
***
Tidak dapat kita pungkiri bahwa media massa memiliki peran penting dan merupakan senjata paling ampuh bagi penulis (sastrawan) selain penerbit untuk mempublikasikan karya-karyanya, memperkenalkan dirinya kepada khalayak, serta mengikutsertakan dirinya dalam sejarah. Hampir seluruh sastrawan di Idonesia besar oleh media massa.
Apakah sastrawan sekaliber Sutardji Calzoum Bachrie, Umbu Landu Paranggi, Taufiq Ismail, Ahmad Tohari, Idrus, Toto Sudarto Bachtiar, D. Zawawi Imron, dan lainnya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, besar dan dikenal sejarah kesusastraan Indonesia dengan begitu saja mudahnya?
Jawabnya tidak. Sebelum nama mereka dikenal sejarah sastra, mereka terlebih dahulu berjuang untuk mempublikasikan karya-karyanya. Tidak hanya seminggu, dua minggu, atau sebulan dua bulan, namun berbulan-bulan, bahkan ada yang beberapa tahun. Meski karya mereka belum dimuat oleh media massa yang diinginkan, namun mereka tidak lelah untuk terus melempar karya mereka ke media massa tersebut. Seorang penyair bahkan sempat berkata jika ingin karya anda dimuat di meda massa, maka kirimkan karya anda seperti membuang ke tong sampah dan tidak usah diingat-ingat sudah berapa kali anda mengirimkannya.
Jadi kita tidak dapat berprasangka buruk kepada redaktur ketika mereka memuat karya-karya penulis yang memang sudah memiliki nama seperti yang saya sebutkan di atas. Redaktur memiliki pertimbangan sendiri kenapa karya penulis-penulis itu lagi yang kembali di media massanya. Yang jelas, satu pertimbangan besar adalah bentuk penghargaan atas perjuangan penulis-penulis tersebut sebelum nama mereka besar seperti sekarang ini.
Jika ada nama-nama penulis baru yang muncul, itu merupakan hal yang luar biasa. Itupun pastilah redaktur memiliki alas an dan pertimbangan yang khusus untuk memuat karya dari penulis-penulis baru. Alas an tersebut bisa karena karya mereka benar-benar bagus, bahkan fenomenal, bisa juga karena penulis tersebut penuh dengan sensasi, atau mungkin mereka adalah orang yang memang sudah terkenal di jalur lain seperti artis, pengusaha, politikus, atau pejabat yang menoba jalur baru yaitu dunia tulis menulis (sastra).
***
Kembali kepada Bayu Murdiyanto. Dari awal sudah terlihat sikap provokatifnya bagi para penulis pemula untuk menyerah saja ketika hendak mengirimkan karya-karyanya ke media massa. Dalam hal ini bisa dikatakan seperti berikut: “Menyerahlah sebelum bertanding, sebab, kalian pasti kalah.”
Tidak hanya itu, ternyata dia tidak konsisten dengan penyataannya sendiri. Coba baca lagi ttlisannya dengan telitihingga paragrf terakhir. Di penutup tulisannya dia malah berbalik untuk pantang menyerah untuk mempublikasikan karya-karya penulis pemula. Meskipun melalui media alternatif yang bersifat indie.
Memang benar, media alternatif yang bersifat indie merupakan jalan lain untuk memperkenalkan karya-karya penulis pemula ke khalayak. Media tersebut bisa berupa bookle, bulletin, selebaran, dan buku-buku indie. Media-media seperti itu biasanya diterbitkan oleh komunitas-komunitas sastra. Selain itu, internet juga menjadi tren baru untuk mempublikasikn karya sastra atau yang sering kita sebut cybersastra atau sastra cyber. Bahkan seorang Saut Situmorang mati-matian mengangkat sastra cyber untuk disamakan derajatnya dengan sastra koran.
Bukannya saya di sini mengatakan bahwa media alternatif itu tidak baik, bukan. Saya senang jika sekarang banyak sekali media alternatif yang berkeliaran. Namun janganlah media alternatif tersebut (dalam hal ini bulletin) dijadikan sebagai satu-satunya pilihan terhakhir. Namun alangkah bijak bagi para penulis pemula yang karya-karyanya sudah sering dimuat di media alternatif untuk tidak lupa dengan media massa (Koran).
Jika para penulis pemula terus-terusan mempublikasikan karyanya melalui bulletin kapan dia akan menjadi lebih dikenal oleh sejarah? Sebab, untuk saat ini kita (penulis) tidak dapat lepas dari media massa (Koran).
Jadi bagi para penulis pemula, tetaplah kalian menulis, dan jangan putus asa untuk tetap mengirimkan karya-karya kalian ke segala macam media, baik itu media cetak (Koran) maupn media alternatif. Jika kalian hanya mengandalkan media alternatif, maka kalian hanya akan menjadi penulis kamar yang tidak dapat iktu dalam sejarah seperti Bayu Murdiyanto. Saatnya kita berjuang untuk keluar dari kamar.

Purwokerto, Nov 07

0 komentar:

Posting Komentar