25 Januari 2009

HUJAN MENJELMA SAJAK


-Muhammad Ayatullah_

Maka berhamburlah kau ke setiap wajah bumi
Langit sudah tak menggenggam mendung lagi
Matari sudah tak menggantung lagi
Hujan yang meriah tlah menjadi tukarnya

Maka berhamburlah kau dengan keranjang fantasi
Tersemat di punggung keringmu
Tangkap seluruh bulir hujan yang berterbangan terusap angin
Dengan tentakel-tentakel yang menjuntai
Dari setiap petak tubuh legam

Setiap rinai yang kau tangkap akan menetas ribuan puisi aneka rupa
Setiap bulir yang kau tangkap akan menjelma ribuan puisi aneka warna
Setiap percik yang kau tangkap akan menyublim ribuan puisi aneka aroma
Setiap rintik yang kau tangkap akan melahir ribuan puisi aneka rasa

Para penyair itu telah mati gersang dimakan mimpi hujan
Maka berhamburlah kau menghidupkan hujan

Purwokerto, Maret 2008

LANGIT MALAM


Langit tetaplah langit
Dia menyimpan sejuta rahasia
Di laci-lacinya
Tumbuh beribu pohon penuh terka

Dan aku tetaplah di sini
Ryan kecil tanpa laku
Mendongak menebang langit
Bersama malam menempuh waktu
Mati dalam kutuk batu

Sanggar Sastra Wedang Kendhi, September 2008

CERITA MENJELANG SUBUH

“Ayah, bangun. Kalau selesai menulis, laptopnya dimatikan, jangan ditinggal tidur seperti itu.”

Aku segera membuka mata sambil menggeliat. “Jam berapa sekarang Nda?”

“Tiga seperempat,” sahutnya pelan, “sudah sekarang ayah ke kamar mandi, cuci muka, wudlu terus kita tahajud berjamaah ya. Biar laptopnya Nda yang matikan.”

Aku segera beranjak dari tempat dudukku dimana aku tertidur barusan. Kulangkahkan kaki menuju kamar mandi. Kuambil air wudlu. Ah betapa segarnya air wudlu. Tidak, tidak dingin, melainkan segar. Seketika kantukku lenyap bersama air dari mulut kran yang jatuh ke lantai dan mengalir ke dalam lubang kecil di pojok kanan kamar mandi ini. Kubasuh tangan, muka, dan kaki layaknya sempurnanya bersuci. Setelah selesai bersuci aku berjalan menuju pesholatan yang terletak bersebelahan dengan kamar tidur kami.

Istriku sudah menunggu di sana. Mukena putih telah membalut tubuhnya yang kecil. Ku kenakan sarung bermotif kotak-kotak yang tadinya tergantung di tembok. Segera aku berdiri di depan istriku di atas sajadah hijau lumut bergambar masjid yang telah digelarkan oleh dia. Kami sholat tahajud berjamaah.

Selesai berdoa aku beranjak mengambil laptop dan menuju ke kamar tidur. Tetapi istriku tidak mengikuti langkahku. Dia tetap duduk berada di ruang kecil itu. Memang sudah menjadi kebiasaannya, bila setelah sholat malam dia akan nderes barang dua atau tiga halaman. Suaranya sangat indah. Dari dalam kamar aku bisa merasakan merdunya ayat-ayat Allah yang dibacanya meresap ke dalam tubuhku. Dia pintar sekali mempermainkan nada. Tidak merusak akan tetapi memperindah.

Pada saat seperti inilah aku menyadari betapa beruntungnya aku dapat menikahinya. Menikahi Ayu, perempuan yang tadinya menurutku tidak mungkin aku dapatkan.

Aku mengenalnya semasa kuliah di Purwokerto. Sebah kota kecil di selatan kaki gunung tertinggi di Jawa Tengah, Gunung Slamet. Kami satu kampus kala itu. Dia adik kelas empat semester di bawahku. Aku jurusan Sastra Inggris dan dia di Sastra Indonesia. Tak ada yang menarik kali pertama pertemuan kami. Yang jelas dia pernah berucap bahwa dia cukup illfeel melihatku. Bagaimana tidak, seorang laki-laki berbadan kecil berwarna coklat kusam yang jarang menikmati harumnya sabun mandi dan segarnya siraman air, tak punya daging, dengan kulit yang menyelimuti tulang terbungkus kaos warna-warni bergambar iklan salah satu partai politik atau iklan sebuah toko bangunan dan celana jeans yang kedua lututnya membentuk sebuah jendela tanpa daun. Belum lagi dengan rambut yang terurai hingga sebahu yang jarang mengenal apa itu nikmatnya bershampo. Sebuah tongkrongan yang sempurna bagi seorang laki-laki yang bergelut di dunia teater dan pecinta alam! Ah biasa perempuan. Puan mana yang tidak akan risih bila bersanding dengan tuan yang bersosok tadi. Apalagi dia tahu dengan kebiasaanku bercengkrama dengan nikotin dan alkohol.

Terserah dia mau berucap apa, aku pun tak peduli. Aku tetap setia dengan asap rokok yang mengepul dan aroma ciu yang menurutku lebih harum dari Christian Dior Parfume yang biasa dipakai Monica Belluci dan lebih menyegarkan dari air yang mengalir di pegunungan.

Ah perempuan bertubuh mungil. Mungil? Ah tidak, tepatnya kecil, sangat kecil untuk perempuan seusia dia. Pernah suatu ketika aku berucap padanya “Hei bocah cilik, ini kampus ya dik, bukan madrasah tsanawiyah, kalau madrasah tsanawiyah itu di seberang jalan sana.” Aku tahu dia sangat tidak suka dengan ucapanku yang seperti itu. Tapi aku tak peduli. Toh dia tidak akan marah hingga berhari-hari, berbulan-bulan, atau hingga liang kubur menganga.

Pernah di suatu siang yang tidak terlalu terik, ada seseorang memberitahuku jika dia, perempuan bertubuh kecil itu, sedang tergeletak tak berdaya di salah satu bangsal di sebuah rumah sakit swasta yang letaknya tidak jauh dari tempat kami studi. Entah setan apa, entah malaikat siapa segera mangangkat kaki-kaki ini merunut jalan tanpa peta menuju tempat dimana dia terbaring.

“Lho mas Ryan sendiri?” Tanyanya lirih.

“Iya, tadi kudengar kau sakit, jadi aku sekalian mampir untuk menjengukmu.”

Tubuhnya yang kecil tampak tambah kurus. Wajahnya yang terbalut kerudung nampak pucat. Di tangan sedelah kiri tertempel selang bening tertutup perban kecil menjuntai ke atas dan bermuara di dalam sebuah bungkusan berisi air glukosa berwarna bening.

“Keadaanmu bagaimana?” lanjutku.

“Masih lemas mas, ini gara-gara ospek kemarin, aku dihukum tidak boleh makan. Padahal aku baru keluar dari rumah sakit, eh sekarang masuk lagi.”

“Siapa sih yang nyuruh kamu tidak makan? Nanti biar mas Ryan yang urus.”

“Tidak usah.”

Ah istriku. Pasti waktu itu orang tuamu bertanya-tanya tentang aku. Laki-laki yang telah terdeskrisi di atas. Kecil, hitam, godrong, kucel, jarang mandi, perokok berat, dengan kaos iklan dan celana jeans sobek di kedua lututnya yang jarang sekali ganti. Mahasiswakah dia? Dan aku tahu, sudah pasti kau berkata bahwa dia adalah seorang anak teater, seniman. Atau sekejam-kejamnya kau akan berkata bahwa kau tidak mengenalnya hahaa…

Pernah suatu sore dia duduk sendiri di sebuah kursi panjang di depan kantor dosen. Duduk menghadap lapangan basket yang biasa dipakai untuk futsal. Kudekati kau, puan bertubuh mungil, eh kecil yang terbalut jilbab biru tua dengan kaca mata menempel di wajahmu. Air matamu leleh dan terjatuh.

“Mas, Hari sensei, mas,” ucapnya.

“Dosen bahasa Jepang itu? Ada apa dengan dia?”

“Dia menjalin hubungan dengan Elli sensei.”

“Lha memangnya tidak boleh?”

“Ya tidak boleh.”

“Aku kan suka Hari sensei, aku cinta padanya.”

Seketika ganti ketawaku yang hampir meledak dengan senyum yang tertahan mendengar pernyataan yang meluncur dari mulutnya. Tidak salah dengar aku? Dia mencintai dosen bahasa Jepangnya!

“Kalau Pak Hari memilih bu Elli ya wajar mbok? Bu Elli cantik, tinggi, seksi, kaya. Sedangkan kamu kecil, ciwek, kecil, cerewet, kecil, kecil, dan kecil, hahaa…” ucapku sambil tertawa lebar. Sementara tangan kananku memainkan batang rokok yang menyala tinggal separuh.

Maka air matanya pun bertambah deras. Mengucur bagai curug Gede di Baturraden tempat kami biasa menghabiskan akhir pekan. Aku pun kelabakan, mencari akal supaya dia tak lagi berair mata. Maka jurus-jurus komedi aku keluarkan dari seluruh tubuhku. Dari yang lucu, wagu, tidak mutu, maupun saru. Hahaha… aku jadi tertawa sendiri.

Waktu merambat pelan. Masih kudengar nada puisi-puisi Sang Maha Puisi terlantun dari bibir istriku. Jiwaku semakin tergetar. Betapa Maha Mulainya Allah yang telah menganugerahkan dia menjadi pendampingku. Mengarungi samudera cinta tanpa dasar. O aku jatuh cinta lagi kepadanya.

Siang itu udara bersahabat. Aku duduk di bawah pohon ketapang yang berdiri kokoh di depan sekretariat teater. Segelas kopi hasil berhutang di kantin depan tadi sudah habis separuh. Demikian juga dengan rokok kretek yang aku pilin sendiri, tinggal separuh. Tidak biasanya, kali ini aku berdandan rapih. Ini diluar kebiasaanku. Di tangan kananku terdapat sebuah buku puisi karya Walt Whitman dengan halaman yang terbuka. Ya, buku itu sedang aku analisis untuk bahan skripsiku.

Tanpa sengaja mataku menatap ke depan. Kutangkap lewat retinaku seorang wanita yang, Subhanallah, anggun. Dia mengenakan gamis berwarna biru muda. Kakinya hampir tertutup oleh rok besar berwarna hitam. Hanya sepatu kecilnya saja yang terlihat. Kerudungnya, ah bukan, jilbabnya menutup seluruh rambutnya dengan sempurna. Wajahnya bersih dan bercahaya seperti marmer, ah bukan, tepatnya seperti pualam. Di depan kedua matanya terpasang kaca bening. Dia berjalan seperti macan luwe. Pelan, tap…tap…tap… Aku rasa dia bukan manusia. Peri? Mungkin. Bidadari? Atau malaikat?
Dia puan yang selama ini aku cari. Tubuhnya tidak terlalu besar, cantik, memakai kerudung ,dan berkacamata. Dia berjalan semakin mendekat. Dia tersenyum kepadaku.
Ah perasaan apa lagi ini? Aku jatuh cinta! Aku memang terbiasa jatuh cinta, namun tidak yang seperti ini. Ini lebih dari sekedar jatuh cinta yang seperti ditulis dalam puisi Walt Whitman yang aku pegang. Lebih dari itu. Lalu aku harus apa? Diam seperti hasil pahatan Lin Mursal kawan pematungku? Atau tak terbentuk seperti hasil coretan kuas Muhammad Ayatullah kawan pelukisku? Ah, aku jatuh cinta wahai rumput, pohon ketapang, kopi, rokok, Walt Whitman, tanah, udara, angin, asap, dunia. aku jatuh cinta pada dia. Perempuan kecil itu. Perempuan yang selalu aku ledek dengan sebutan bocah cilik. Aku jatuh cinta padanya!

Dai berlalu. Aku membeku.

Aku mengejarnya, dan dia tiada. Hilang, lenyap. Kucari dia di setiap sudut kampus ini. Dan aku temukan dia di antara manusia-manusia yang duduk berjejer. Ah sayang, dia sudah masuk kuliah. Kutunggu dia. Aku duduk di depan ruang kuliah yang pintunya terbuka lebar. Kutatap dia. Kutatap dengan mata elangku yang paling tajam. Mataku menjelma kamera, tak kubiarkan sedikitpun moment tentang dia yang terlewat. Caranya duduk, menulis, mengacungkan tangan, bertanya, bicara, menatap, tersenyum. Kurekam semua dan kusimpan dalam sebuah file yang paling rahasia di otakku.

Kuliah usai. Dia keluar. Dia tersenyum padaku. Ah, aku yang tadinya tidak terbiasa nyebut, kali ini ternyata aku menjadi terbiasa. Ya Allah, senyum apakah itu hingga membuatku tak berucap? Aku masih membeku. Ketika aku tersadar dia telah berlalu.
Kukejar dia dan kupanggil namanya. Dia menoleh dan berhenti. Ditatapnya diriku.

“Mas Ryan memanggilku?”

“Iya,” sambil kutarik tangannya. Tapi dia menghindar.

“Jangan kurang ajar mas!”

“Maaf Ayu, mas tidak bermaksud kurang ajar,” aku menarik nafas, ”begini Ayu,” kutarik lagi nafas dalam-dalam, “Ayu mau jadi pacarnya mas Ryan?” Setan apa yang meracuniku hingga berani berucap seperti itu?

Dia terdiam.

“Begini Yu, Mas Ryan minta jawaban sekarang. Iya atau tidak. Jika tidak sekarang, anggap saja mas Ryan tidak pernah ngomong seperti ini.” Tambahku.

Dia masih terdiam. Dia menatapku tajam setajam aku menatapnya. Tiba-tiba dia berlari dan pergi. Dan aku tidak mengejarnya. Kubiarkan dia pergi.

Aku kembali ke tempat semula. Duduk di bawah pohon ketapang. Aku mengumpat dalam diri. What the hell I was doing here? Apa yang telah aku lakukan? Aku mengutarakan perasaan kepada perempuan yang begitu anggun dengan caara yang bodoh dan melakukan! Tak habis pikir. Kusruput kopi yang sudah dingin tadi. Kuambil tembakau dan kuletakkan dia atas kertas rokok. Kupilin dengan cepat. Sebatang rokok telah jadi. Kunyalakan dan kuhirup dalam-dalam dan berulang-ulang. Aku tahu, dengan rokok pasti kebingunganku akan segera lenyap. Tapi tetap saja tidak berpengaruh. Kucaoba mengalihkan perhatian dengan membaca puisi Walt Whitman yang aku tinggal tadi. Ah, tetap saja tak berpengaruh, malah membuat kepalaku bertambah bengel, apalagi puisinya menggunakan bahasa Inggris.

Hingga sore berkunjung, aku masih duduk di bawah pohon ketapang yang daunnya mulai menghijau lagi. Kopi yang tersisa hanya tinggal cekakiknya saja. Tembakau di plastik sudah hampir habis aku pilin. Dan aku masih sama keadaannya seperti siang tadi. Bingung. Tiba-tiba seorang wanita datang menghampiriku. Bukan, dia bukan Ayu. Dia Rahma, aku mengenalnya. Dia teman sekamar dengan Ayu di kos.

“Mas Ryan, Ayu diapakan? Ini ada titipan dari Ayu,” disodorkannya sepucuk surat beramplop putih dengan garis-garis merah biru di tepinya. Seperti kondangan saja. “­Nemunya amplop itu. Ya wes, aku praktikum dulu.” Dia berlalu seperti angin yang bertiup dari pucuk gunung Slamet.

Di amplopnya tertulis : Buat Mas Ryan. Kubuka amplopnya yang memang tidak di lem. Kuambil isinya, sebuah kertas surat berwarna biru muda. Kubuka lipatannya. Kuamati sejenak, tulisannya rapi. Kubaca dengan cepat. -Ah rasanya aku tak perlu menuliskan secara lengkap isi suratnya di cerpen ini. Sebab aku rasa cerpen ini sudah cukup panjang-. Di dalam suratnya, dia menuliskan dalil dan hadist tentang pacaran, tentang hubungan sebelum nikah. Dia tidak mengatakan bahwa dia menolak cintaku. Jadi aku katakan saja intinya. Yang jelas, kalimat pertama adalah kalimat salam. Intinya dia tidak mau pacaran sebelum nikah. Dia ingin pacaran sesudah nikah!

Aku tersenyum kecut. Aku sudah menduga hasilnya. Bagaimana tidak, dia anak UKI, aku anak teater yang merangkap mapala. Dia akhwat, aku syahwat. Dia rajin shalat, aku rajin madat. Dia rajin baca Al Quran, aku rajin keluyuran. Mana mungkin dia bersedia pacaran? Apalagi dengan manusia surealis sepertiku. Aku yang bodoh apa aku yang konyol? Aku rasa kedua-duanya. Dia tidak salah.

Kok sepi? Ah, ternyata istriku telah selesai nderes. Tiba-tiba adzan subuh terdegar membangunkan manusia-manusia dari lelapnya. Istriku masuk ke dalam kamar. Dia masih mengenakan mukena.

“Ayah, subuhan yuk?” ajaknya dengan nada pelan.

Aku bangkit dari dudukku.

“Yah, nulis cerpen apa?”

“Tentang nda dan ayah.”

“Tentang apa?”

“Kuliah dulu, waktu ayah nembak nda sampai akhirnya kita menikah.”

“Ih… awas jangan ditambah-tambahi lho!”

“Lha wong namanya juga cerpen ya harus ditambah-tambahi.”

“Sudah selesai?”

“Belum,” jawabku singkat.

“Kok ndak diselesaikan?” Tanyanya lagi.

“Malas, ah. Ayah ndak jadi ikut lomba cerpen ah.” Jawabku santai sambil ngeluyur ke pesholatan.

Purwokerto, Desember 2008


pesholatan : tempat untuk sholat di dalam rumah.
nderes : mengaji, membaca Al Quran
illfeel : tidak nyaman
bocah cilik : anak kecil (Jawa)
sensei : guru, dosen, pengajar (Jepang)
mbok : -kan, partikel tanya dalam bahasa Jawa Banyumasan.
wagu : tidak bermutu (Jawa)
saru : seronok, jorok, tidak senonoh (Jawa)
macan luwe : macan kelaparan (istilah dalam bahasa Jawa yang artinya lemah gemulai)
ledek : goda
nyebut : menyebut asma Allah, beristighfar (Jawa)
bengel : pusing, pening (Jawa)
cekakik : ampas kopi
wes : sudah (Jawa)

SENANDUNG SUPRI KECIL



Aku tak bisa seperti kau
Bangun pagi-pagi bersiap diri
Memakai seragam putih merah
Tas menggantung di punggung
Penuh sesak dengan buku-buku
Lalu berderap semangat menuju sekolah

Aku tak bisa seperti kau
Duduk manis dalam kelas
Mendengar bu guru cantik mendongeng
Berpusing dengan rumus-rumus,
Aljabar, dan angka-angka
Dan tertimbun dalam kubangan buku

Aku tak bisa seperti kau
Berteriak lantang
Dengan baju bermandi cat warna-warni
Pulang ke rumah
Dengan senyum tertempel lebar
Dengan ijazah tergenggam

Aku tak bisa seperti kau
Aku ingin seperti kau
Tapi aku bukan seperti kau
Daya apa dalam raga

Jer basuki mawa beya
Biaya?
Biaya sekolah tergantung di langit
Tanganku terlalu lemah untuk melambai
Ragaku teralalu rapuh untuk mengunduh

Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina
Bagaimana aku melompat ke sana?
Menuju sekolah di depan matapun
Kakiku tak daya melangkah

Tak pernah terbesit di otakku
Tentang cita-cita
Di terbang dibawa gelap
Sebelum aku menapakkan kaki di bumi

Aku ingin seperti kau
Namun aku tak bisa seperti kau
Aku bukan kau

Sanggar Sastra Wedang Kendhi, Februari 2008

APRODHITE DALAM KANVAS


-Pelukis Bandi-

Di helai kanvasmu
Aprodhite yang terpahat menari
Meliuk tangan meliuk badan
Telanjang kaki telanjang raga
Entah jaipong, srimpi entah disko
Gemulai mengombak menganak camar
Jemarinya menjulur tawarkan cinta
Menarikku berenang di tubuhnya
Telanjang raga telanjang jiwa
Bersenggama mersra dalam buai kuas
Tenggelam dalam buih puting angan
Hingga terciprat wangi merah kuning biru

Perawan siapa yang mengintip di balik kelambu?

Saggar Sastra Wedang Kendhi, Maret 2007

SEMARANG, SUATU DINI HARI


Lelapku hilang
Aku mengejang
Dalam petang
Mata nerawang
Seribu kunang-kunang
Sambut ku datang
Di sudut Semarang

Semarang, Januari 2008

NISAN


Sebuah nama terukir mesra
Di lembar kelopak nisan itu
Siratan luka dan cinta bersetubuh
Cipratan dosa dan amal berpacu

Saat nyawa terpasung di dalamnya
Ribuan tangis mengumbar bergerimis
Ketika dosa terhisab tertimbang

Nisan itu tetap kokoh menjulang
Meski lumut dan serangga berarak beranak pinak
Lalu nisan perlahan membocorkan air matanya
Deras bersama doa-doa sekumpulan ilalang
Menganak sungai membasah tanah
Membasuh raga tak berdaging
Hanya tulang pucat di rumah larva
Lunglai bersama jatuhnya lembaran kamboja

Nyawa siapa menancap di ujung sana?

Sanggar Sastra Wedang Kendi, Maret 2007

POJOK ALUN-ALUN SETENGAH EMPAT PAGI

Di bawah rindang beringin
Jiwaku sunyi
Seperti rumput yang serak-serak basah
Oleh selimut embun

Diantara kerlip lampu taman
Jiwaku sunyi
Seperti menara masjid
Yang menjulang meregang

Diantara hiruk pikuk bintang
Jiwaku sunyi
Hatiku beku rasaku mati
Mati dari segala luka
Beku dari seluruh tawa

Aku tak tahu harus kemana
Membawa mimpi buruk masa silam
Sedang inderaku telah melayang
Bersama rancak ilalang
Bilakah sesuatu datang padaku
Menggapai tanganku
Dan memapah jalanku

Tunjukkan padaku tempat itu
Tempat yang lebih aku terima
Tempat mewujudkan mimpi-mimpi masa silam
Yang lebih dari pojok alun-alun ini kali

Purwokerto,Mei 2007

SAJAK PEMULUNG TUA


Langkah berat beriring mengukur waktu
Telapak tanpa alas masih diseret menghitung arah
Tapakkan ke atas aspal panas tersulut matahari
Tinggalkan jejak nanah kemilau

Lelaki itu masih memilih nasib
Di antara tumpukkan sampah
Sesekali ditemukannya malaikat sedang
Berlindung di dalam putung rokok
Lalu dipercikannya api sehingga Malaikat itu
Menjelma kepulan asap
Dan meruang dalam rongga jiwa

Tiba-tiba
Sebuah bidadari muncul dalam
Botol bekas wishky yang pecah pucuknya
Ditimangnya bidadari itu lalu diberikan
Padanya sebuah istana keranjang
Di atas punggung yang retak

Dia terbatuk
Penyakit lamanya kambuh menghantam
Dadanya dengan perlahan tapi pasti
Lalu segumpal darah membuncah membentur
Dinding langit dan membuat noda pada
Setiap percikannya

Istirahat sejenak?
Tidak
Jika aku istirahat sekerlip saja
Nanti kedua peri di istana kardusku
Makan apa?

Dia masih mengukur waktu dengan kakinya
Yang bengkak dan telapak yang bernanah
Dia masih memberi istana keranjang di
Belakang punggungnya kepada bidadari Bidadari yang ditemuinya
Dia masih membuat noda noda di
Atap langit dengan semburan darah dari Mulutnya
Masih
Masih
Masih
Hingga malaikat
Dan bidadari yang dia temui
Mengiring jalannya menuju awan

Lelaki tua itu melihat dua peri yang Ditinggalkan
Di istana kardusnya
Datang memberi senyum mesra
Kepadanya
Dan istana keranjang di punggungnya
Seketika menjelma menjadi
Sayap sayap putih berkilau

Purwokerto, 2005

SENANDUNG BUKIT KAPUR

Duh…
Tangan-tangan kekar anak Adam itu masih mengayun martil raksasa pada tubuh-tubuh putih itu. Luka demi luka menggelinjang bersenandung. Meski setetes, bila tiap dentangan detik selalu ada, luka kian dalam, kian menganga. Biarpun tak ada darah, tak ada nanah

Duh…
Tangan-tangan kekar anak Adam itu masih mengayun martil raksasa. Berton-ton kapur memutih kapas pun telah melayang bersama deru container. Kemana tempat apa entah

Duh…
Tangan-tangan kekar anak Adam itu masih mengayun martil raksasa. Manusia mana tak butuh kenyang. Tak perlu baju baru melekat di raga. Atau anak-anak mereka sekolah. Pun lembar-lembar berangka bernama rupiah

Duh…
Tangan-tangan kekar anak Adam itu masih mengayun martil raksasa. Mengantar perlahan demi perlahan gunung kapur yang kokoh itu kematian menjemput. Hingga tak lagi ada terdengar gunung kapur bersenandung menangkap derail angin dan menggoyang rerumput senja

Tegal, Maret 2007