11 Desember 2009

NGAPAK-TAINMENT, WAJAH BARU BAHASA BANYUMASAN


Ada resah dalam diri penulis novel dan budayawan asal Banyumas, Ahmad Tohari. Keresahan yang dialami beberapa tahun belakangan ini saat melihat keluarga muda di Purwokerto, Jawa Tengah, mulai enggan menggunakan dan mengajarkan bahasa Jawa dialek Banyumsan yang ngapak-ngapak.

Keresahan itu memang cukup beralasan mengingat saat ini, penggunaan bahasa Banyumasan kurang menemukan gregetnya. Para keluarga muda lebih senang mengajarkan bahasa Indonesia atau bahasa Jawa mbadhek kepada anak-anaknya. Sebab, menurut mereka, menggunakan bahasa Banyumasan identik dengan bahasa pelawak atau babu yang terdengar kasar di telinga dan tidak sopan dalam pergaulan.

Ngapak-tainment

Dalam bukunya Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak, Budiono Herusatoto mengatakan bahwa bahasa ngapak adalah istilah bahasa Jawa Banyumasan yang dilangsir oleh para priyayi wetanan yang berbahasa Jawa mbandhek.

Penggunaan bahasa dialek ini meliputi wilayah Kabupaten Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Tegal, Brebes, Pemalang, bagian barat Kebumen, dan bagian timur dan pesisir Cirebon (Indramayu).

Berbeda dengan penggunaan bahasa Banyumas di masyarakat terutama di keluarga-keluarga muda, penggunaan bahasa Banyumas di dunia intertainment akhir-akhir lebih banyak terdengar di telinga kita.
Penggunaan bahasa ngapak telah merambah ke berbagai macam segi industri hiburan yang lebih kreatif seperti musik, siaran radio, teater dan film. Selain itu juga merambah ke dunia fashion dan seluler.

Di industri musik misalnya, muncul nama Sopsan dan Bije Patik sebagai group musik yang mengusung lokalitas bahasa Banyumasan dengan memadukan genre musik yang bermacam seperti melayu, arabian, oriental, latin, dangdut, reggae, hingga rock n roll. Di industri film, bahasa Banyumas tidak dapat dianggap sebelah mata dengan ikut sertanya film dokumenter ”Metu Getih” dalam European Film Festival 2007 dan PPIA Converence: The Voice of the Future Leader Victoria University 2008.

Lalu di dunia teater, sering dipertunjukkannya pementasan teater yang mengangkat warna lokal Banyumasan seperti oleh kelompok teater Teksas, Tubuh, dan Janur. Sedang di munculnya kaos oblong “Bawor” dan “Dablongan” di dunia fashion mengidentikan jati diri Banyumas seperti Yogyakarta dengan Dagadu-nya atau Bali dengan Joger-nya. Di dunia seluler pun bahasa ngapak mulai digunakan dalam pengoperasian handphone seperti ”busek” menggantikan ”delete”.

Dan yang paling fenomenal adalah munculnya acara siara radio bertajuk “Curahan Hati dan Humor” (Curanmor) di sebuah radio swasta di Cilacap. Acara tersebut telah menjadi menu wajib yang harus didengarkan oleh telinga masyarakat Cilacap dan sekitarnya. Bahkan rekaman acara tersebut sudah menjelajah ke berbagai kota hingga luar negeri dengan cara diunduh lewat internet.

Semiotika Perlawanan
Bahasa adalah sebuah institusi sosial yang bersifat dinamis. Dia tidak statis. Dia selalu berkembang mengikuti keadaan sosial masyarakatnya. Demikian juga halnya dengan bahasa Banyumasan. Dia mengikuti perkembangan penggunanya sesuai dengan kreativitas pengguna tersebut.

Dalam bukunya Teori Semiotika, Umberto Eco menyebutkan bahwa tanda berada diantara beberapa peristiwa, daya cipta sebuah tanda yang dimungkinkan oleh kode-kode menghendaki peristiwa baru tersebut bisa dinamai atau digambarkan. (2009: 237).

Munculnya fenomena ngapak-tainment merupakan sebuah tanda perlawanan dari masyarakat Banyumas terhadap tafsir budaya yang dahulu di bawah keraton yang menjajah bahasa Banyumas sebagai bahasa kelas dua hingga bahasa Banyumas memiliki posisi yang setara dengan bahasa yang diusung keraton. Perlawanan tersebut ditandai dengan munculnya bentuk kreativitas masyarakat Banyumas yang mengangkat nilai-nilai kearifan lokal yang cablaka dalam wajah dan warna baru.
Selain itu, lahirnya wajah baru bahasa ngapak merupakan bagian dari proses pencarian kembali jati dri masyarakat yang mulai kehilangan identitasny terutama bagi golongan muda.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa lahirnya ngapak-tainment berkaitan erat dengan motif ekonomi. Sebagian besar, bentuk dari kreativitas tersebut merupakan bagian dari strategi dalam memasuki budaya massa. Akan tetapi hal itu tidaklah berarti bahwa budaya Banyumas terancam oleh komersialisasi. Justru strategi yang diterapkan tersebut lebih menguntungkan bagi kelestarian kebudayaan Banyumas itu sendiri. Budaya Banyumas akan lebih mudah diterima oleh masyarakat karena itulah sebenarnya jati diri mereka.

Dengan adanya fenomena seperti ini, budaya Banyumas semakin menemukan eksistensinya sebagai budaya yang adi luhung. Dan keresahan Ahmad Tohari dapat terobati.Klilan

Dimuat di Kompas Jateng, Selasa 8 Desember 2009

4 komentar:

Dildaar Ahmad Dartono mengatakan...

Insya allah aku nulis cerpen ngganggo basa ngapak..

frengki mengatakan...

slam kenal dri cah kediri

-batuhitam- mengatakan...

apa kabar sahabatku,
apakah sudah bergelar penyair kau sekarang?
hahahahahahaha....

aku rindu menjadi pembaca pertama puisi2mu
hehehehehehehhe

Unknown mengatakan...

gabung yok ama sya

Posting Komentar