Seorang petani berdiri tepat di tengah sawah mengayunkan tangannya menghujankan cangkul ke tanah basah. Peluh mengalir dari dahi melewati pipi dan bermuara di dagunya, lalu jatuh membaur bersama lumpur. Matahari yang menggantung di ujung kepala. Terik yang jahat. Tiba-tiba dari sebuah gubug tak jauh dari situ terdengar suara wanita memanggil. Dia istrinya. Petani itu mengakhiri pekerjaannya. Dihampiri istrinya.
Sesampai di gubuk tersebut, petani itu segera mengambil sebuah kendhi berisi air. Diangkatnya tepat di atas mulutnya. Dari ujung lubang kendhi tersebut lalu mengalir air minum dan bermuara di mulut petani itu. Sungguh air minum yang sangat menyegarkan. Air yang keluar dari dalam kendhi.
Saya bukan hendak menulis cerpen. Tapi ilustrasi di atas dapat kita tarik benang merahnya, yaitu betapa segarnya menguk air kendhi di waktu panas terik menyengat. Itulah.
Dari filosofi air kendhi yang menyegarkan itulah, sekelompok pemuda, Ryan Rachman, Braja Eka Bayu Permana, dan Rahayu Puji Utami yang notabene adalah mahasiswa Ilmu Budaya Unsoed Purwokerto membuat sebuah komunitas sastra yang diberi nama Sanggar Sastra Wedang Kendhi. Karena, bagi mereka sastra itu seperti air yang keluar dari mulut kendhi.
Wedang Kendhi (Jawa) dalam bahasa Indonesia berarti air yang berada di dalam kendhi. Kendhi adalah tempat air seperti poci tetapi lebih besar yang terbuat dari tanah yang digunakan untuk menyimpan air minum. Sedangkan wedang berarti minuman. Air minum yang dituang dari dalam kendhi memiliki kesegaran yang luar biasa. Dingin tetapi tidak dingin (maksude?). Ya seperti itulah. Intinya menyegarkan!
Demikian juga dengan sastra. Mereka menyukai sastra karena bagi mereka sastra itu menyegarkan. Mereka bersastra untuk melepas segala macam keresahan, kegelisahan, kehausan, dan ketidakpuasan terhadap sesuatu di sekitarnya. Mereka bersastra untuk menenangkan hati, menyegarkan pikiran, dan untuk menjaga kesehatan jasmani dan rohani (apa maning kuwe?).
Sanggar Sastra Wedang Kendhi dibangun di atas lahan seluas 10 x 25 meter tepat di dalam sebuah rumah bernama kos-kosan. Tempat itu tepatnya di bilangan Jl. Gunung Slamet Gg. Flamboyan No. 11 Grendeng Purwokerto Jawa Tengah 53122. Komunitas ini berdiri pada tanggal 4 Mei 2005.
Selain filosofi wedang kendhi di atas, ada hal lain yang lebih mendasari berdirinya komunitas ini. Hal itu adalah menambah kegairahan bersastra di Purwokerto. Apa? Menambah kegairahan bersastra di Purwokerto (digaris bawah, distabilo). Itulah sebenarnya misi utama dari sekelompok pemuda hebat tadi.
Demi memperjuangkan misi tersebut, berbagai macam kegiatan kesusastraan diadakan oleh Sanggar Sastra Wedang Kendhi. Kegiatan tersebut salah satunya adalah NGOBRAS. Ngobras merupakan akronim dari NGobrol BaReng sAStra. Kegiatan ini diadakan setiap hari Rabu malam Kamis. Acara ini hampir mirip dengan pengadilan puisi. Yang membedakan adalah tidak hanya puisi saja yang dibahas, tetapi juga karya sastra lain seperti cerpen, novel, esai sastra, hingga naskah drama. Selain itu juga membahas perkembangan sastra dan permasalahannya terutama di Banyumas dan di Indonesia pada umumnya, sehingga mereka tidak terlalu kuper dengan perkembangan sastra dewasa ini.
Kegiatan lainnya adalah menerbitkan buletin sastra dan teater Wedang Kendhi setiap satu bulan sekali. Di buletin ini terdapat berbagai macam rubrik yang berbau sastra dan teater yaitu: esai, cerpen, puisi (Indonesia dan Inggris), cerbung, profil, wawancara, resensi, agenda kesusastraan, liputan sastra dan teater, hingga horoskop sastra, kuis, dan iklan (yang terakhir memang harus ada).
Dengan sistem jaringan , buletin ini telah menyebar hingga pelosok tanah air seperti Yogyakarta, Solo, Kebumen, Semarang, Tegal, Jepara, Jakarta, Bandung, Surabaya, Madura, Jambi, Riau, Banjarbaru (Kalimantan), hingga Kendari (Sulawesi). Bagi kalian yang karyanya ingin dimuat di buletin tersebut bisa kirimkan via surat maupun email. Jika menggunakan surat, kirimkan ke alamat sanggar di atas. Jika menggunakan email kirim ke kamar_puisi@yahoo.com. Jika mau berlangganan juga terima dengan tangan terbuka. Jika ingin iklan juga dibuka dengan tangan lebar (wah promosi…).
Selain itu, Sanggar Sastra Wedang Kendhi juga menerbitkan karya meskipun berbentuk Indie. Salah satu karya yang sudah terbit adalah antologi puisi Belajar Menulis Sajak Cinta karya Ryan Rachman. Bahkan, antologi puisi bersama Sepotong Cinta Tertinggal Di Ujung Sepatu serta antologi puisi Sajak Untuk Kekasihku karya Braja Eka Bayu Permana tengah menunggu terbit.
Tidak hanya itu. Sanggar Sastra Wedang Kendhi juga aktif di dunia perteateran. Ikut berpartisipasi dalam Pesta Monolog Orang-Orang Tak Terkenal 2007 dengan mementaskan naskah Dajal karya Bayu Murdiyanto. Mementaskan naskah monolog Api karya Ryan Rachman dalam memperingati hari Sumpah Pamuda 2008. Bahkan baru saja mengadakan pementasan monolog Banyumasan keliling Kebumen membawakan naskah Kaprah karya Agus Salim.
Ah, saya jadi nulis apa sing ora. Pating mblarah ora nggenah. Ya wis. Yang jelas sebagaimana mungkin Sanggar Sastra Wedang Kendhi berbuat adalah demi kelestarian sastra di Banyumas. Bagi kami bersastra adalah panggilan nurani. Kenapa demikian? Karena sastra itu menyegarkan. Klilan!
Sanggar Sastra Wedang Kendhi, Februari 2009
05 Maret 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Mas RR, salam kenal. Aku amat berterima kasih atas tulisan2 di blog ini yang membuatku jade ngeh pada keberadaan sastra di Banyumas. Sebagai orang yang berasal dan tumbuh di daerah ini hingga tamat SMA,meski waktu itu tak kenal dengan dunia sastra setempat, aku jadi punya cantelan untuk mulai mencintai dan belajar sastra Banyumas dan sastra pada umumnya.
Sedikit pendapat untuk nama Sanggar Sastra Wedang Kendhi. Apa nggak lebih tepat pakai kata "banyu kendhi" daripada "wedang kendhi" untuk merujuk pada makna kesegaran itu? Sebab, wedang kayaknya lebih bermakna air matang hangat/panas semisal "wedang kopi" atau "wedang jahe". Tapi, gak apa-apa sih, he he he. Yang penting kan tujuannya bagus untuk menghidupkan sastra Banyumas. Brovo buat SSWK.
Posting Komentar