Sastra adalah suatu disiplin sosial budaya yang selalu dinamis. Dia tidak pernah stagnant pada suatu masa tertentu. Dia selalu mengikuti perubahan keadaan masyarakat kapanpun dan dimanapun. Dalam perkembangannya, dia selalu mencari bentuk-bentuk baru yang berbeda dengan yang sudah ada. Perubahan itu bisa berupa apapun, entah itu dari segi tema, bentuk, kata, gaya, sistem, dan sebagainya.
Salah satu unsur faktor yang mempengaruhi perubahan sastra di suatu daerah adalah para pelaku sastra atau sering disebut sebagai sastrawan di daerah tersebut. Suatu generasi pastilah memiliki corak yang berbeda dengan corak sebelumnya. Setiap generasi yang muncul membuat suatu pembaharuan terhadap sastra terdahulu.
Sebagai mana kita ketahui, ada periodesasi sastra berdasarkan corak dan gaya yang berbeda pada setiap generasinya. Di eropa kita mengenal adanya periodesasi sejak dari masa Romawi, abad pertengahan, abad keenam, abad keduabelas, zaman gelap, Renaissance, Shakespearian, Spenserian, Restorasi, Romantis, Realis, Modern, Feminis, dan Posmodern.
Di negeri kita, kita mengenal angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan ’45, Angkatan ’66, Angkatan ’70, Angkatan ’80, dan angkatan 2000. Dari Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Chairil Anwar, Idrus, Iwan Simatupang, Rendra, Sutardji Calzoum Bachrie, hingga Afrizal Malna dan Joko Pinurbo.
Generasi Baru
Pun halnya di Banyumas. Sastra mengalami perkembangan sesuai perguliran waktu. Pergantian pelaku sastra dari generasi tua oleh generasi muda yang lebih terbuka pikiran dan wawasannya terhadap perkembangan dunia sastra di berbagai tempat beserta seluk beluknya. Munculnya nama-nama baru yang kini lebih mendominasi kegiatan berkesusastraan di Banyumas merupakan angin segar yang membongkar dominasi generasi tua yangstagnan dalam berkarya.
Diawali oleh Teguh Trianton, Sigit Emwe, Heru Kurniawan, dan Faisal Kamandobat, menyusul nama-nama baru seperti Aliv V Essessi, Dwiana Jati Setiaji, Isno Wardoyo, Yosi M Giri, M Aziz, Shinta A. Utami, Dita Zoraetha, Restu Kurniawan, Arif Hidayat, dan A. H. Antassalam. Karya-karya mereka sering kali muncul di media masa cetak baik lokal maupun nasional.
Dari tangan mereka juga lahir karya-karya sastra yang berkualitas. Tak jaarang juga, dari mereka menghasilkan dokumentasi karya mereka dalam bentuk buku baik itu berupa indie maupun melalui jalur penerbitan. Mereka tidak pernah berhenti untuk mengeksplor kemampuan mereka dalam berkarya. Dalam kurun waktu dua tahun terakhir, telah beberapa kali diadakan peluncuran buku karya mereka, baik itu berupa kumpulan puisi, cerpen , maupun novel.
Dari apresiasi sastra, kini Banyumas tidak pernah sepi dari kegiatan apresiasi sastra. Adannya diskusi dan dialog sastra di berbagai tempat, peluncuran buku, berbagai macam acara pembacaan puisi di mana-mana, hingga pengkolaborasian dengan cabang seni lainnya, seperti teater misalnya. Pengfregmentasian karya-karya sastra ke atas panggung teater.
Hal ini juga disebabkan oleh munculnya berbagai komunitas sastra di Banyumas yang juga menjadi tren baru di jagat kesusastraan tanah air dewasa ini. Komunitas-komunitas itu antara lain Hujan Tak Kunjung Padam (HTKP), Sastra Alam (SALAM), Bunga Pustaka, Wedang Kendhi (SSWK), Purwokerto Literary Community, Tjilatjapan Poetry Forum, Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Cab. Purwokerto, dsb. Setiap komunitas memilki kegiatan berkesusastraan yang kontinyu sekecil apapun itu, sehingga aroma bersastra sangatlah segar dan marak.
Pembibitan
Dalam tulisannya di Suara Merdeka edisi Senin, 9 Februari 2009 tentang pembibitan pelaku sastra di Banyumas, Teguh Trianton menyatakan bahwa komunitas sastra yang ada, memiliki peran dalam hal mencetak bibit-bibit baru. Komunitas harus mencari penerus yang mau menjalankan komunitas dan melakukan kegiatan berkesusastraan.
Saya rasa bukan hanya komunitas sastra yang memilki tugas tersebut. Masih ada yang lain yang seharusnya lebih bergiat. Seperti misal dewan kesenian, dalam hal ini adalah kesenian yang ada di Banyumas besar, entah itu Dewan Kesenian Banyumas, Dewan Kesenian Purbalingga, Dewan Kesenian Cilacap, maupun Dewan Kesenian Banjarnegara.
Bahwa dewan kesenian memilki divisi sastra adalah keharusan. Disinilah tugas dari mereka. Mereka harus menjadi bagian terpenting dalam pembibitan sastra. Mereka seharusnya menjadi wadah dan mengayomi para pegiat sastra yang masih pemula. Selama ini, dewan kesenian seolah tidak pernah mendukung dan tidak pernah peduli adanya kegiatan berkesusastraan yang dilakukan oleh generasi muda.
Sekolah
Sekolah juga merupakan unsur yang tidak bisa kita lupakan dalam pencarian bibit-bibit baru pelaku sastra. Kita tahu, Taufiq Ismail dan Horisonnya mati-matian mengadakan program Siswa Bertanya Sastrawan Menjawab. Berkeliling tanah air, masuk ke sekolah-sekolah (SMA) di berbagai pelosok demi satu tujuan, yaitu memperkenalkan sastra kepada para siswa agar nantinya muncul bibit-bibit baru yang bermutu dalam percaturan sastra di tanah air.
Peran serta sekolah sangat diharapkan di sini. Sekolah diharuskan aktif dalam membentuk peserta didiknya menjadi pribadi-pribadi yang menyukai sastra. Demikian juga dengan tenaga pendidiknya, guru juga harus mengikuti perkembangan dunia sastra, sehingga nantinya akan lahir bibit-bibit baru yang tidak kalah hebat dengan para pendahulunya.
Ya mbok? Klilan.
Sanggar Sastra Wedang Kendhi, Februari 2009
05 Maret 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar