18 Maret 2009
TERKUBUR SAJAK
Rumah-rumah terkunci rapat. Manusia berlari di lemari mimpi. Serangga berlagu decit menggesek sayap-sayap tipisnya. Tak ada purnama, sabit, atau separuh. Bayangnya pun tak hadir. Halimun tak pernah hilang sedari berjuta menit lalu hingga kapan tak tentu waktu
Dan kamar kecil meremang pijar lampu 5 watt di sebuah rumah kecil di kaki bukit. Terkepung rumputan pohon kelapa. Di tempat itu, seorang penyair muda sakit menuju mati. Mata pena nimbus tubuh kurus. Laksa helai kertas yang berserak di lantai tak berkeramik.
Pena berkarat. Tinta penuh tuba meringsek ke dalam tubuhnya. Lalu dari setiap luka menyemburlah darah busuk. Setiap perciknya ditunggangi ribuan kata.
Kata-kata menyembur. Kata-kata berenang. Kata-kata tenggelam. Kata-kata terbang. Kata-kata hilang. Lenyap tak terjejak.
Penyair muda mengejang. Penyair muda membujur kaku biru.
Tiba-tiba dari setiap pori udara, kata-kata muncul bersama anak cucunya. Menjelma kafan. Menjelma keranda. Menjelma lahat. Menjelma nisan. Menjelma puisi. Puisi menjelma puisi-puisi. Puisi-puisi tertumpah di liang lahat. Mengubur tubuh kaku penyair muda
Purbalingga, April 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar