24 Februari 2009
BAHASA BANYUMASAN DI RUMAHNYA SENDIRI,
Beberapa hari lalu, saya berkunjung ke rumah saudara di Tangerang. Dalam perjalanan ke rumah saudara saya tersebut saya menggunakan angkot jurusan Kebon Nanas-BSD. Di dalam angkot tersebut saya mendengarkan percakapan yang menarik antara sopir dan kondekturnya. Sebenarnya yang menarik bukanlah tema percakapannya, melainkan bahasa yang mereka gunakan. Mereka memakai bahasa Banyumasan yang full ngapak. Ternyata mereka sama seperti saya, berasal dari Purwokerto. Bisa dibayangkan, di sebuah kota besar, kota metropolis, dimana pergaulan sehari-hari menggunakan bahasa Indonesia yang gaul, mereka masih menggunakan bahasa ibu mereka tanpa rasa canggung maupun malu, di kendaraan umum pula.
Lalu, bagaimana dengan bahasa Banyumasan di rumahnya sendiri? Menurut sepengetahuan saya, boleh dikatakan laksana sebatang pohon Albasia di tengah padang pasir. Ya, seperti itu kira-kira perumpamaannya.
Jika kita bicara Banyumas, maka identik dengan Purwokerto sebagai pusatnya. Nah, di pusat inilah bahasa Banyumasan kini meranggas dan merana. Memang, sekarang kita masih mendengar bahasa Banyumasan digunakan oleh orang Purwokerto, namun itu hanya digunakan oleh orang-orang golongan 30 tahun ke atas alias golongan tua. Untuk golongan 29 tahun ke bawah, sangatlah jarang yang menggunakan bahasa ini.
Ya, sedikit sekali pemuda para penerus dan pelestari bahasa Banyumasan. Mereka seolah malu untuk berkomunikasi memakai bahasa ibu mereka. Mereka lebih suka dan bangga mengunakan bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa baru yang (katanya) gaul dan funky meski kadang terdengar aneh dengan aksen medhok-nya. Coba deh tanya mereka apa arti kata konsangane, sing ngada-ada, cubluk, atau setiar. Kalau mereka bisa menjawab, saya traktir sampeyan mendhoan di angkringan perempatan Jl. Kampus deh.
Saya sempat tak percaya ketika dalam sebuah even Kakang-Mbekayu Banyumas, para peserta merasa takut ketika hendak menjalani ujian bahasa Banyumasan. Mereka lebih fasih menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Namun ketika harus mengunakan bahasa Banyumasan, seolah menghadapi monster yang maha kejam dan menakutkan. Mereka yang nantinya menjadi bibit-bibit penerus budaya Banyumas ternyata takut dengan bahasanya sendiri. Ironis.
Saya haturkan hormat saya kepada Ahmad Tohari yang tiada henti-hentinya nguri-uri bahasa Banyumas dan memperjuangkan status bahasa Banyumas pada Kongres Bahasa Jawa beberapa bulan kemarin. Juga acungan jempol kepada kawan-kawan Komunitas Hujan Tak Kunjung Padam yang membawa bahasa Banyumasan -dan satu-satunya- pada Festival Kesenian Yogyakarta beberapa waktu lalu. Serta salut saya kepada setiap orang yang merasa bangga memakai bahasa Banyumasan kapanpun dan dimanapun.
Jika ditarik asal-usulnya, bahasa Banyumasan sebenarnya adalah keturunan langsung dari bahasa jawa kuno. Bahasa Banyumasan itu lebih tua umurnya dan merupakan akar dari bahasa jawa wetan/kraton yang mbandek dan mendayu-dayu itu. Tidak percaya? Kita gunakan ilmu gothak-gathuk seperti berikut. Dalam bahasa jawa kuno, katakanlah bahasa Sansekerta, ada kalimat Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa yang menggunakan akhiran berupa vokal a. Coba kalimat di atas dibaca menggunakan logat bahasa jawa wetan/kraton yang mengunakan akhiran vokal o pada setiap katanya. Bhineko Tunggal Iko Tan Hono Dharmo Mangrwo, akan sangat lucu dan tidak nyaman di telinga. Pun halnya dengan bahasa Banyumasan yang dengan ngapak-nya menyebut kata apa bukan opo.
Sebenarnya bahasa Banyumasan tidak akan bernasib seperti pohon Albasia di tengah padang pasir jika kita merasa punya beban moral untuk tetap membudayakan pemakaian bahasa Banyumasan setiap saat dan dimanapun tempat. Tidak hanya di jalan-jalan, warung makan, pasar, dan tempat-tempat umum lainnya, juga dalam acara-acara resmi pun kita harus pede memakai bahasa Banyumasan, bahkan kalau perlu dalam rapat-rapat DPRD, para wakil rakyat itu harus memakai bahasa Banyumasan.
Di dunia pendidikan, dari kelas 1 sampai kelas 12, para bapak ibu guru sebaiknya dalam mata pelajaran bahasa jawa gunakanlah bahasa Banyumasan, tak perlu takut melanggar ketetapan pemerintah yang mengharuskan pemakaian bahasa jawa wetan/kraton. Sekali-sekali melanggar boleh lah. Percaya deh, kepala sekolah tidak akan naik pitam kok.
Dan masih banyak cara-cara lain baik itu yang halal maupun yang tidak halal.
Ini juga bagi kaum muda. Seharusnya kita bangga mempunyai bahasa yang demikian agung. Kita juga harus bangga ketika kita berkomunikasi memakai bahasa Banyumasan. Tak perlu merasa malu ditertawakan oleh suku bangsa lain ketika kita ber-ngapak ria. Maju terus pantang mudur. Wong di Yogyakarta sendiri, kawan-kawan MASDUGAL (Banyumas Kedu Tegal) juga cuek bebek memakai bahasa ibu mereka yang ngapak di tengah-tengah rimba manusia mbandek, iya apa ora kang?
Saya mohon maaf jika tulisan saya jadi pating mblarah ora nggenah. Maklumlah saya hanya orang awam, bukan seorang akademisi yang harus formal dan manut dengan etika penulisan yang baik dan benar. Namun inilah bentuk kegelisahan saya melihat nasib bahasa ibu saya yang berada di ujung tanduk.
Bahasa adalah cermin dari kebudayaan suatu bangsa. Jika bahasa kita lenyap bagai debu tertiup angin apa jadinya Banyumas nantinya.
Nah siki sapa maning nek udu dhewek sing enom-enom sing nguri-uri bahasane dhewek? Ya mbok?
* Tulisan ini dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat Edisi Selasa 30 Oktober 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
wong banyumas sing isin ngomong nganggo basa banyumasan padabae wong ora setia karo bojone.ujare wong liya lewih hebat tenimbang bojone.kleru banget kang /mbekayu ! aja pada dibanjurna,mbok kewalat.
Inyong seumur² gede neng banyumas nembe tau krungu bahasa CUBLUK.
tek pikir nganti metonggo, tek goleti neng wikipedia jawa langka sing ngerti.
Cempuleke cubluk kue kamar ya kang/yu?
Oalah.....
Posting Komentar