07 Februari 2009
AKU MENCINTAIMU DENGAN CARAKU SENDIRI
Apakah harus kau sangsikan lagi cerita tentang kesetiaan rumput kering menanti turunnya hujan? Sedangkan aku dalam ikhtiar menjadi batu sedimen yang bertahan dalam kubur gelap tanah basah menjaga percik api yang mulai berkembang di lembayung cakrawala senja. Sedangkan aku dalam masa menjadi daun hijau kangkung yang tersaji dalam perjamuan makan malam-malammu agar perutmu mengenyang nanti dalam meditasimu ketika hendak menjadi kupu-kupu warna-warni yang berenang mengepakkan sayap di lubuk jiwaku, berputar-putar diantara mekarnya kembang setaman di taman hatiku untuk kau hinggap dan hisap sari-sari pelangi di kelopaknya.
Seperti kau, aku adalah api yang membutuhkan sirkulasi oksigen dan remah-remah ranting kering untuk tetap menyala. Aku adalah cayaha, butuh gelap agar seribu nyawa dapat menatap tanpa harus menjulurkan mata keluar dari rumahnya. Bukan hanya udara yang berjalan di jalur angin, layang-layang juga membutuhkan seimbangnya tali kama dan benang menjulur kuat agar angin kencang mencengkeram hanya membuat oleng sebentar, tidak memutusnya.
Memang, ikan mana yang tak membutuhkan air? Dia tak mungkin menari balet di atas panggung pertunjukkan teater atau meliukkan sirip-sirip tipisnya di negeri atas angin seperti dalam dongeng nina bobo yang selalu diceritakan bunda kepadamu menjemput mimpi setiap purnama atau mencari plankton-plankton mengenyangkan di setiap rinai hujan yang turun semaunya membasahi tanah berpasir halaman rumah kita. Seperti kau membutuhkan aku. Akulah air yang selalu membasahi tubuhmu agar kau leluasa berenang dalam perjalananmu merunuti waktu masa depan.
Apakah harus kau sangsikan lagi cerita tentang senja yang menanti datangnya sang malam? Tak perlu kau tanyakan lagi kepada laut tentang kesetiaan. Laut adalah kreasi paling setia menunggu bermuaranya air dari sungai-sungai segala rupa. Laut selalu setia menerima air segala warna dari sungai-sungai mana saja. Dia tak pernah menolak seperti balita disuapi nasi tim atau bubur kental oleh ibunya. Seperti tanah, dia tidak pernah menolak bila hujan menyiramnya tanpa henti atau ketika tangan-tangan menusia mengeruknya dengan buldoser-buldoser mengerikan. Seperti istri mendapat hadiah kalung mutiara dikala hari ulang tahun ketigapuluhnya oleh suami tercinta, dia tidak pernah menolak. Seperti itulah aku. Akulah laut. Akulah tanah. Selalu setia.
Memang aku bukan Romeo yang mencinta Juliet lebih dalam dari palung di samudera Pasifik. Aku mencintaimu walau mungkin tak sedalam atau tak semati cintamu padaku, namun aku punya rindu yang selalu menggali dan menggali rasa cinta agar bisa mengimbangi dalamnya cintamu padaku atau bahkan melebihi. Maka jangan kau sebagai karang yang keras dengan pertanyaan-pertanyaan tentang kesetiaan atau tentang kepastian. Itu akan membuat tangan-tangan rinduku luka dan menghentikan penggaliannya.
Percayalah, burung-burung, ilalang, laut, tanah, rumput-rumput, lembayung, purnama, air, sungai, bunga, kupu-kupu, daun-daun, dan senja, mereka mencintai dengan caranya sendiri. Seperti aku, aku mencintaimu dengan caraku sendiri
Purwokerto, November 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar