Minggu, 14 Juni yang lalu, enam buah puisiku muncul di Koran Sindo
Puisinya sebagai berikut:
AKU PUN PULANG
Aku pun pulang
Berkendara malam dan deru aspal beku
Pulang menjemput rindu
Pada aroma bunga yang ditanam ibu di depan rumah
Pada bisik pasir yang diramu bapak menjadi istana
Pada lengking yang tersiar dari bibir adik-adikku
Dan aku pulang
Sebab aku hampir lupa
Bagaimana cara melelapkan mata pada kasur busa
Dan malam semakin basah
Sumpyuh, November 2008
LAMGIT MALAM
Langit tetaplah langit
Dia menyimpan sejuta rahasia
di laci-lacinya
Tumbuh beribu pohon penuh terka
Dan aku tetaplah di sini
Ryan kecil tanpa laku
Mendongak menebabg langit
Bersama malam menempuh waktu
Mati dalam kutuk batu
Sanggar Sastra Wedang Kendhi, September 2008
DAUN EUPHORBIA
Aku datang pagi ini
membawa daun Euphorbia
Berwarna cinta
Yang kupetik dari daun langit
Kupetik pintu dan jendela hatimu
Hati merahmu
Semerah dau euphorbiaku
"Kenapa tak kau bawa bunga yang merah?"
Karena daun
Yang menghidupkan bunga
Purwokerto, Juli 2008
LENCANA
Memetik nafas hijaumu
Di antara puisng-puing wangi bulan sabit
Seperti menyemat lencana matari emas
Di dada tanpa rongga
Berpijar!
Nafasmu pijar
Purwokerto, Februari 2008
ATHURIUM
Kekasih
aku meminangmu
menjadi sigaraning nyawaku
dengan anthurium jemanii katalog indukan
sebagai mas kawinnya
Purwokerto, Juli 2008
KEPADA SETIAP KAPAL
Kepada setiap kapal
Yang bertolak dari pelabuhan ini
Di mataku
Selalu ada puluhan malaikat mengiring di geladak
Memberi rasa percaya pada pundak nahkoda
Menggendong jiwa-jiwa bertandang ke haribaan ibunda
Namun ada puluhan banaspati
Membayang di buritan
Menyulap angin menjadi badai
Menjelma ombak menjadi monster raksasa
Mengoleng kapal
Membuta nahkoda
Kepada setiap kapal
Yang bertolak dari pelabukan ini
Dalam laut dapat diduga
Isi laut siapa terka
Ikan bisa menjelma gurita raksasa
Buih bisa menjelma pusar air mata
Seperti hutan,
Laut adalah belantara tak bertuan
Penuh tanda Tanya
Kita bisa berburu lumba-lumba
Melihatnya menari di atas karpet air
Namun bilamana
Hiu pun tak segan mengaum
Melontarkan gigi-gigi pisaunya
Kepada setiap kapal
Yang bertolak dari pelabuhan ini
Maka segera bersurat
Bila sauh tlah kau unduh
Purwokerto-Kebumen, September 2008
Selamat, selamat sekali lagi selamat
15 Juni 2009
13 Juni 2009
09 Juni 2009
MEMBACA MALAM
Membaca malam tanpa bintang yang berenang di laut ilalang dini hari. Batu-batu yang beku terbunuh sunyi. Daun-daun menguning kering jatuh perlahan bergoyang tanpa angin yang menyalak. Tanah yang lemban mengatupkan kelopaknya
Membaca malam tanpa dednyut waktu yang mengerang. Perawan tua menyelam di sungai mimpi di atas tubuh keringnya. Adalah momentum sunyi bagi jiwanya yang telah letih oleh segala peluh dunia siang
Membaca malam dalam seribu sepi yang membakar degub langit. Penyair tua bergetar jiwa binalnya. Memungut memoria lalu yang tercecer di ujung-ujung jarum jam yang menggantung di dadanya. Merunut futura yang menempel di setiap lembar cakrawala yang menganga di kotak-kotak zenit. Seperti pendulum tukang sulap, berpusing tak pernah jera. Membongkar wajah dan mata maya
Membaca malam di wajah bumi. Malam tak akan mati
Sanggar Sastra Wedang Kendhi, September 2007
KEPADA SETIAP KAPAL
Kepada setiap kapal
Yang bertolak dari pelabuhan ini
Di mataku
Selalu ada puluhan malaikat mengiring di geladak
Memberi rasa percaya pada pundak nahkoda
Menggendong jiwa-jiwa bertandang ke haribaan ibunda
Namun ada puluhan banaspati
Membayang di buritan
Menyulap angin menjadi badai
Menjelma ombak menjadi monster raksasa
Mengoleng kapal
Membuta nahkoda
Kepada setiap kapal
Yang bertolak dari pelabukan ini
Dalam laut dapat diduga
Isi laut siapa terka
Ikan bisa menjelma gurita raksasa
Buih bisa menjelma pusar air mata
Seperti hutan,
Laut adalah belantara tak bertuan
Penuh tanda Tanya
Kita bisa berburu lumba-lumba
Melihatnya menari di atas karpet air
Namun bilamana
Hiu pun tak segan mengaum
Melontarkan gigi-gigi pisaunya
Kepada setiap kapal
Yang bertolak dari pelabuhan ini
Maka segera bersurat
Bila sauh tlah kau unduh
Purwokerto-Kebumen, September 2008
KAMBOJA
-Edi Romadon
bukankah ia akan selalu berguguran menimbun tanah basah
di pelataran rumah? berguguran seperti sayap laron-laron yang tak
mampu menahan panas lampu penerang jalan raya
di awal musim hujan. di pelataran rumah. rumah tanpa jendela kaca
atau ventilasi untuk sirkulasi. rumah masa depan. rumahku,
rumahmu, rumah kalian, rumah kita
dia akan selalu berguguran. menebar aroma kematian yang amboi
seramnya, yang amboi cekamnya. aroma kematian pada jiwa-jiwa yang
tak kutahu rimbanya. seperti angin yang berkelana tak tentu mata angin
dan kita hanya bias merangkai kamboja yang berguguran menjadi origami
doa dan doa, supaya aroma kematian yang menakutkan itu berganti
wajah menjadi aroma kematian yang amboi asyiknya, yang duhai
nikmatnya. yang ah lembutnya. seasyik permainan playstation, senikmat
matahari, selembut kue bolu kukus. seindah kematian
Purwokerto, Mei 2009
SENJA ITU DITERKAM BELUKAR
Berikan aku senja yang tembaga, Ryan
Kau selalu saja berpikir bahwa hanya senja yang penuh warna
Hanya senja yang membuat tinta beranak pinak menjadi ribuan puisi
Dimas, aku benci pada senja!
Dia datang menjemputku dari rumah penuh bunga bernama:
siang
Dia pergi mengantarkanku pada tajam langit malam
Aku benci pada senja, Dimas
Dia menggiringku pada warna kematian yang menyekik di batang jiwaku
Berikan aku senja yang tembaga, Ryan!
Ah, Dimas
Kau memang keras kepala!
Purwokerto, Juni 2009
SENJA YANG SEPERTI INI DATANG LAGI
01 Juni 2009
KASUR
lalu kuletakkan tubuh kayuku di atas kasur ini. kasur merah
bata berisi kapuk randu. bukan busa. kasur yang jarang sekali mengenyam
sengat matahari dan embus angin. tubuhku serta merta tenggelam dalam kubur tanpa liang. kasur memakanku hidup-hidup. membunuh tapi tak mematikan. aku
berenang di sungai yang (aku rasa hanya mengalir) pada setiap musim kawin. airnya bergerak serempak seperti mata kucing yang berlari terbirit dikejar tikus yang besar sekali. sungai yang kerontang ketika bulan sabit menyelinap dan memapas tangkai
daun pisang di sepanjang tepiannya. sungai yang membuat jalur lurus seperti motif garis pada sprei pembalut kasur yang bermotif garis pula. dan karena aku tak bisa
berenang, maka tubuh kayuku pun hanyut mengikuti garis lurus sungai. sesekali tubuhku ditandu oleh ribuan kepiting bercapit catut. sesekali tubuhku terantuk batu sebesar gajah berwarna hitam yang jongkok mengintip udang kawin di dasar sungai. aku hanyut. nurut. kadang aku tak habis pikir. mengapa ada sungai di kasurku? apakah aku bermimpi? sedangkan kasurku beserta bantal-bantalnya, spreinya, gulingnya, kapuknya, selimutnya tak pernah membuatku tidur. aku tak pernah tidur. berpikir. berpikir! berpikirlah! aku
pun memutar otak. berpikir. seperti para filsuf berkepala botak, berjanggut dan berkumis tebal menjuntai langit serta berkacamata jengkol. tidak mempercayai apa yang kusaksikan. aku berpikir mencari kebenaran hakiki tentang sungai dalam kasurku. apakah ada mata air yang menyembur? tapi menyembur di mana? sedangkan di kasurku tak tumbuh gunung. aku pun hanyut dalam pikirku. seperti hanyut dalam sungai kasur. hanyut tanpa sampan, tanpa kayuh, tanpa layar. hingga kudapati muara yang menjadi jembatan antara sungai dan laut. laut? bukan laut. tepatnya lautan. kubiarkan tubuh sampanku tersedot gelombang lautan. gelombang lautan yang berwarna merah bata bermotif garis seperti kasurku. dan aku berlayar tanpa nahkoda, tanpa peta, tanpa kompas di tengah lautan kasur
Sanggar Sastra Wedang Kendhi, Mei 2009
PUAN YANG SELALU MENGEMAS AIR MATA
puan siapa yang tak menanggung duka
bila waktu mencuri tuannya dalam medio tak terjumlah?
aku menemukan berpucuk-pucuk rindu di kotak surat oranye di beranda kepalaku bertuliskan namamu, dinda: puan yang selalu mengemas air mata dari kali pertama perpisahan hingga nanti persuaan. air mata yang dikirim oleh bisik tanah rekah dimana kaki ku pijak. oleh bisik mendung yang menggantung dimana kepalaku berpayung
puan mana yang tak selalu mengurai isak
bila kilometer menutup matanya untuk menatap tuannya?
Kebumen, Oktober 2008
bila waktu mencuri tuannya dalam medio tak terjumlah?
aku menemukan berpucuk-pucuk rindu di kotak surat oranye di beranda kepalaku bertuliskan namamu, dinda: puan yang selalu mengemas air mata dari kali pertama perpisahan hingga nanti persuaan. air mata yang dikirim oleh bisik tanah rekah dimana kaki ku pijak. oleh bisik mendung yang menggantung dimana kepalaku berpayung
puan mana yang tak selalu mengurai isak
bila kilometer menutup matanya untuk menatap tuannya?
Kebumen, Oktober 2008
KUTEMUKAN JALAN PULANG
akhirnya kutemukan juga jalan pulang. setelah kaki berpusing menapaki hingga ujung aspal pekat didih ditelan matahari. setelah tertegun pada suatu pertigaan tanpa papan penunjuk arah. terpancang batin menimang kanan kiri yang hendak ku arung. mengingat kali pertama jalan pertama kali kurunut ketika ku pergi bertolak ke rimba peradaban. jalan tanpa aspal yang lebih menyerupai ungai kering kala kemarau meregang. penuh batu, pasir, tanah, dan deretan ilalang dan rumput akering kuning kecoklatan
akhirnya kutemukan jalan menuju nol kilometer tempat kali pertama aku menulis puisi tentang masa depan dan anak-anak
Kebumen , Oktober 2008
akhirnya kutemukan jalan menuju nol kilometer tempat kali pertama aku menulis puisi tentang masa depan dan anak-anak
Kebumen , Oktober 2008
Langganan:
Postingan (Atom)