16 Maret 2009

AKU AKAN SETIA MENANTIMU ATAU LEGENDA DEWI SEKAR


Di kaki bukit di desa kami terdapat sebuah patung wanita. Patung itu bernama patung Dewi Sekar. Jika bulan purnama tiba langit akan sangat bersih, tak ada mendung menggantung dan bintang-bintang pun seakan lenyap tak tercecer di sana sini. Hanya ada satu benda yang tergantung di langit, sebuah loyang besar berwarna terang. Yang jelas tak ada sesuatu yang menghalangi cahaya bulan untuk sampai ke bumi. Alam menjadi sunyi senyap, tak ada satu suara pun yang terdengar. Serangga-serangga malam terkunci mulutnya, angin tak berani berhembus menggoyangkan dedaunan atau reranting pohon, lalu serta merta akan tercium bau wangi yang membahama menusuk hidung hingga ke ulu hati. Malam itu seakan waktu berhenti berputar dan tak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali.

Saat sinar bulan menerpa patung Dewi Sekar, perlahan patung itu akan berubah bentuk menjadi sesosok wanita yang cantik jelita. Dia mengenakan gaun putih dengan kaki telanjang. Kedua alisnya nanggal sapisan, dengan bulu mata yang lentik tumengeng tawang. Kedua pipinya nduren sajuring, hidungnya ngundhup mlathi, dan bibirnya nggula satemlik. Rambutnya lurus memanjang hingga ke pinggang. Badannya ramping dengan kulit yang kuning langsat. Kedua kakinya jejang dan jari-jari tangannya mucuk eri. Namun, dari tatap matanya yang sayu, di balik kecantikkannya itu tersimpan suatu kesedihan yang sangat mendalam.

Tak lama kemudian, dari kedua matanya tercurah air mata melewati kedua buah pipi dan bertemu tepat di dagunya, lalu secara perlahan melayang dan jatuh hilang ditelan tanah. Dari bibirnya yang indah itu keluar isak yang menyayat mengiringi air mata. Jika ada orang yang mendengar, maka hatinya akan tersentuh dan serta merta larut dalam kesedihan yang dialami oleh Sang Dewi.

Jika Sang Dewi sudah mulai menangis, maka tak satu orang pun yang dapat menghentikannya, bahkan serangga atau binatang malam. Tidak juga angin, dedaunan, reranting atau rerumputan, mereka tak kuasa untuk menghentikannya. Semua seolah ikut hanyut dalam kesedihan Sang Dewi. Dan dia akan terus menangis dan terus menangis sekeras mungkin hingga menjelang fajar. Setelah berhenti menangis, lalu dia membaca sebuah puisi sedih. Dan ketika puisi itu berakhir, maka dia akan kembali menjadi sebuah patung batu.
***

Desa kami memiliki sebuah bukit yang hijau. Sebuah bukit yang penuh dengan jajaran pohon pinus. Di situ terdapat sebuah sungai kecil yang mengalir dari puncak bukit dengan air yang jernih sejernih hati para penghuni desa. Sungai itu adalah sumber mata air bagi kehidupan kami. Setiap pagi para wanita mengambil air di sungai itu menggunakan periuk yang terbuat dari tanah dan anak-anak kecil mandi bersama dengan tubuh telanjang.

Namun, di balik keindahan itu terdapat sebuah kebiasaan yang entah dari mana mulanya. Kebiasaan itu adalah tak ada satu orang pun yang keluar rumah bila malam bulan purnama menjelang, terutama pada tengah malam. Jadi, setiap malam bulan purnama adalah malam yang sepi. Tak ada anak-anak yang bermain petak umpet atau bermain gobak sodor di halaman.

Ada sebuah cerita yang berkaitan erat dengan fenomena tersebut yang kami peroleh dari orang tua kami. Mereka pun mendapatkan cerita itu dengan cara yang sama. Dan seterusnya dan seterusnya. Sebuah cerita sedih yang memilukan, cerita cinta yang mengharukan.

Senja datang dengan segala cahayanya. Matahari pulang ke gubugnya di balik bukit setelah lelah seharian bersenggama dengan siang. Aku masih duduk di kursi goyang. Menatap kaki bukit yang indah.

Aku beritahukan kepada kalian.

Dahulu ada seorang wanita yang cantik jelita. Dia adalah seorang putri tunggal dari seorang Adipati di sebuah kadipaten pada masa kekuasaan Mataram. Dia bernama Dyah Ayu Sekar. Karena kecantikkannya, banyak pemuda yang jatuh hati kepadanya. Puluhan pemuda datang dengan ketampanannya dan kekayaannya. Dengan rayuan yang indah dengan harapan dapat meluluhkan hati sang putri. Namun dengan lembut sang putri menolaknya. Ternyata dia telah memiliki tambatan hati kepada seorang pemuda dari desa yang bekerja di kadipaten sebagai penggembala kuda. Pemuda itu bernama Bagus Bagaskara.
Putri jatuh cinta kepadanya saat tanpa sengaja dia mendengarkan sebuah puisi yang dibaca Bagus ketika memberi makan kuda-kudanya. Sebuah puisi yang sangat indah dan menyentuh hati. Sekar pun menghampirinya dan mengatakan bahwa puisi dibacanya tadi telah meluluhkan hatinya. Pada awalnya pemuda tersebut menolak cinta sang putri. Tak mungkin seorang abdi dalem, apalagi seorang perawat kuda jatuh cinta kepada junjungannya sendiri. Tetapi sang putri tetap memaksanya. Tak kuasa, akhirnya Bagus pun menerima cinta Sekar karena memang sebenarnya dia juga memiliki rasa yang sama terhadap sang putri.

Dan kisah kasih sepasang kekasih yang sedang dilanda asmara pun dimulai. Mereka memadu kasih di atas punggung kuda. Sekar sangat menyukai saat Bagus membaca puisi-puisinya. Alam akan ikut tersenyum saat mereka sedang berkasih-kasihan walau kisah kasih mereka harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Mereka terus melakukan pertemuan-pertemuan rahasia untuk saling melepas rindu.

Akhirnya kisah kasih mereka diketahui oleh orang tua Sekar. Mereka sangat marah saat mengetahui bahwa putri mereka merajut asmara dengan orang berkasta rendah. Karena tak direstui oleh orang tua Sekar, mereka akhirnya lari dari kadipaten dan menetap di suatu daerah di kaki sebuah bukit. Kisah kasih mereka pun berlanjut di sini dan tak ada satupun yang mengusik percintaan mereka. Tak selang berapa lama, orang tua Sekar mengetahui keberadaan mereka, namun Adipati tidak menghukum kedua sepasang kekasih itu. Dia menyadari bahwa cinta adalah suatu anugerah yang istimewa dari Sang Hyang. Tak peduli dari golongan atau kasta apapun, ningrat atau rendah, semua memiliki hak yang sama dalam soal bercinta. Mereka berdua di ajak untuk kembali ke kadipaten, namun mereka tidak bersedia. Mereka lebih menikmati hidup sebagai orang kecil dan hidup di desa dengan tenang. Adipati pun tak dapat memaksakan kehendak untuk memboyong putrinya kembali.

Suatu saat, terjadi sebuah pemberontakkan yang dilakukan oleh tangan kanan Adipati. Ternyata Bagus memiliki kepandaian dalam soal strategi berperang, maka Adipati menyuruhnya untuk memimpin pasukan dan menumpas pemberontak tersebut. Sebelum Bagus berangkat meninggalkan Sekar, dia berpesan kepada kekasihnya untuk menunggu kedatangnnya pulang. Dengan penuh berat hati, Sekar melepas kepergian pujaan hatinya.
Pemberontakkan telah berhasil di tumpas oleh Bagus dan prajuritnya. Dalam perjalanan pulang, mereka beristirahat di sebuah desa yang tak jauh dari tempat pemberontakkan itu. Mereka menginap di sebuah rumah milik kepala desa. Kepala desa itu memiliki seorang anak perempuan yang cantik dan tidak jauh berbeda dengan kecantikkan Sekar.

Namanya Sri Nareswari. Melihat ketampanan Bagus, Sri pun jatuh cinta kepadanya. Dengan cara yang licik dia menggunakan ajian pemikat untuk memikat hati Bagus. Bagus pun jatuh cinta kepadanya. Akhirnya keduanya menjalin kisah yang indah. Bagus melupakan sesuatu jika saat ini Sekar sedang menunggunya.

Suatu saat, seorang utusan dari Kadipaten datang dan memberitahukan Sekar jika Bagus telah memiliki kekasih yang baru bernama Sri. Tetapi Sekar tidak mempercayai apa yang dikatakan oleh orang itu. Dia yakin jika Bagus adalah orang yang setia, tak mungkin ia menghianati cintanya dan Bagus pasti akan kembali ke pelukannya.

Sekar masih senantiasa menanti kekasihnya pulang ke dekapannya. Dia menunggu dengan penuh kesabaran dan keteguhan. Waktu terus bergulir. Dia merasa sedih karena kekasihnya tak kunjung datang. Tetapi dia masih tetap setia menunggu meski dalam kesendirian. Setiap malam dia selalu menitikkan air mata sambil membaca sebuah puisi yang dibaca oleh Bagus sebelum meninggalkannya.

Wahai kekasihku
Kau lihat temaram itu?
Mereka ikut sedih menghadiri pesta perpisahan kita
Namun, kau tak akan sendiri meski aku jauh dari matamu
Katakan padaku bahwa kau akan selalu menungguku datang dan kembali meraju mimpi kita
Bersama memilin senja hingga maut hinggap di salah satu jendela rumah kita

Satu purnama telah disusul dengan purnama-purnama yang lain. Bulan telah berganti tahun. Sekar pun tak ingat lagi, berapa banyak purnama datang dan menghilang menemaninya dalam kesendirian. Dia masih menunggu dan tetap menunggu hingga tubuhnya mengeras dan berubah menjadi patung. Dan setiap malam bulan purnama tiba, patung itu akan kembali ke wujud aslinya. Sosok wanita dengan kesedihan yang masih mengharapkan kedatangn kekasihnya datang.
***

Senja kini telah hilang. Gelap mengguyur langit menggantikan senja. Aku masih melemparkan pandanganku ke arah kaki bukit dimana patung Dewi Sekar berada. Tiba-tiba, dari dalam istriku keluar menemuiku. Dibawakannya secangkir kopi panas dan pisang rebus kesukaanku. Dia barkata, ”Mas Bagus, sebuah senja yang indah di kaki bukit ya?”. Ya. Dia adalah istriku tercinta. Namanya Sri Nareswari.

Purwokerto, 8 April 2006

6 komentar:

Dapunta mengatakan...

Cerpen yang menarik.... Permasalahan hanya pada terletak pada judul yang kurang begitu puitis/dramatis. Mungkin karena diganggu kata "akan" dan kata "atau".

Permasalahan kedua pada titik api judul. Ada sedikit kebingungungan dengan yang mau diceritakan "AKU AKAN SETIA MENANTIMU" atau cerita "LEGENDA DEWI SEKAR" Karena keduanya memiliki kekuatan yang sama.

Tapi ceritanya sangat menarik, boleh kami copy paste cerpennya ya. Salam kenal.
AKU AKAN SETIA MENANTIMU ATAU LEGENDA DEWI SEKAR

Anonim mengatakan...

Kesedihan air mata dan kesetiaan,kadang kita menutupinya dgn senyuman,kekhilafaan. Dan kesalahan yg terbungkus oleh nsfsu belaka,cerpen yg sangat menarik kesetiaan yg luar biasa,

Anonim mengatakan...

plagiat..................gak jelas ngarang

Anonim mengatakan...

pembodohan publik ato yang nulis cerita memang bodoh............

Unknown mengatakan...

Namanya legenda......ya itu LEGENDA yg brarti sebuah cerita yg mnceritakan tentang.

Unknown mengatakan...

Namanya legenda......ya itu LEGENDA yg brarti sebuah cerita yg mnceritakan tentang.

Posting Komentar