“Ayah, bangun. Kalau selesai menulis, laptopnya dimatikan, jangan ditinggal tidur seperti itu.”
Aku segera membuka mata sambil menggeliat. “Jam berapa sekarang Nda?”
“Tiga seperempat,” sahutnya pelan, “sudah sekarang ayah ke kamar mandi, cuci muka, wudlu terus kita tahajud berjamaah ya. Biar laptopnya Nda yang matikan.”
Aku segera beranjak dari tempat dudukku dimana aku tertidur barusan. Kulangkahkan kaki menuju kamar mandi. Kuambil air wudlu. Ah betapa segarnya air wudlu. Tidak, tidak dingin, melainkan segar. Seketika kantukku lenyap bersama air dari mulut kran yang jatuh ke lantai dan mengalir ke dalam lubang kecil di pojok kanan kamar mandi ini. Kubasuh tangan, muka, dan kaki layaknya sempurnanya bersuci. Setelah selesai bersuci aku berjalan menuju pesholatan yang terletak bersebelahan dengan kamar tidur kami.
Istriku sudah menunggu di sana. Mukena putih telah membalut tubuhnya yang kecil. Ku kenakan sarung bermotif kotak-kotak yang tadinya tergantung di tembok. Segera aku berdiri di depan istriku di atas sajadah hijau lumut bergambar masjid yang telah digelarkan oleh dia. Kami sholat tahajud berjamaah.
Selesai berdoa aku beranjak mengambil laptop dan menuju ke kamar tidur. Tetapi istriku tidak mengikuti langkahku. Dia tetap duduk berada di ruang kecil itu. Memang sudah menjadi kebiasaannya, bila setelah sholat malam dia akan nderes barang dua atau tiga halaman. Suaranya sangat indah. Dari dalam kamar aku bisa merasakan merdunya ayat-ayat Allah yang dibacanya meresap ke dalam tubuhku. Dia pintar sekali mempermainkan nada. Tidak merusak akan tetapi memperindah.
Pada saat seperti inilah aku menyadari betapa beruntungnya aku dapat menikahinya. Menikahi Ayu, perempuan yang tadinya menurutku tidak mungkin aku dapatkan.
Aku mengenalnya semasa kuliah di Purwokerto. Sebah kota kecil di selatan kaki gunung tertinggi di Jawa Tengah, Gunung Slamet. Kami satu kampus kala itu. Dia adik kelas empat semester di bawahku. Aku jurusan Sastra Inggris dan dia di Sastra Indonesia. Tak ada yang menarik kali pertama pertemuan kami. Yang jelas dia pernah berucap bahwa dia cukup illfeel melihatku. Bagaimana tidak, seorang laki-laki berbadan kecil berwarna coklat kusam yang jarang menikmati harumnya sabun mandi dan segarnya siraman air, tak punya daging, dengan kulit yang menyelimuti tulang terbungkus kaos warna-warni bergambar iklan salah satu partai politik atau iklan sebuah toko bangunan dan celana jeans yang kedua lututnya membentuk sebuah jendela tanpa daun. Belum lagi dengan rambut yang terurai hingga sebahu yang jarang mengenal apa itu nikmatnya bershampo. Sebuah tongkrongan yang sempurna bagi seorang laki-laki yang bergelut di dunia teater dan pecinta alam! Ah biasa perempuan. Puan mana yang tidak akan risih bila bersanding dengan tuan yang bersosok tadi. Apalagi dia tahu dengan kebiasaanku bercengkrama dengan nikotin dan alkohol.
Terserah dia mau berucap apa, aku pun tak peduli. Aku tetap setia dengan asap rokok yang mengepul dan aroma ciu yang menurutku lebih harum dari Christian Dior Parfume yang biasa dipakai Monica Belluci dan lebih menyegarkan dari air yang mengalir di pegunungan.
Ah perempuan bertubuh mungil. Mungil? Ah tidak, tepatnya kecil, sangat kecil untuk perempuan seusia dia. Pernah suatu ketika aku berucap padanya “Hei bocah cilik, ini kampus ya dik, bukan madrasah tsanawiyah, kalau madrasah tsanawiyah itu di seberang jalan sana.” Aku tahu dia sangat tidak suka dengan ucapanku yang seperti itu. Tapi aku tak peduli. Toh dia tidak akan marah hingga berhari-hari, berbulan-bulan, atau hingga liang kubur menganga.
Pernah di suatu siang yang tidak terlalu terik, ada seseorang memberitahuku jika dia, perempuan bertubuh kecil itu, sedang tergeletak tak berdaya di salah satu bangsal di sebuah rumah sakit swasta yang letaknya tidak jauh dari tempat kami studi. Entah setan apa, entah malaikat siapa segera mangangkat kaki-kaki ini merunut jalan tanpa peta menuju tempat dimana dia terbaring.
“Lho mas Ryan sendiri?” Tanyanya lirih.
“Iya, tadi kudengar kau sakit, jadi aku sekalian mampir untuk menjengukmu.”
Tubuhnya yang kecil tampak tambah kurus. Wajahnya yang terbalut kerudung nampak pucat. Di tangan sedelah kiri tertempel selang bening tertutup perban kecil menjuntai ke atas dan bermuara di dalam sebuah bungkusan berisi air glukosa berwarna bening.
“Keadaanmu bagaimana?” lanjutku.
“Masih lemas mas, ini gara-gara ospek kemarin, aku dihukum tidak boleh makan. Padahal aku baru keluar dari rumah sakit, eh sekarang masuk lagi.”
“Siapa sih yang nyuruh kamu tidak makan? Nanti biar mas Ryan yang urus.”
“Tidak usah.”
Ah istriku. Pasti waktu itu orang tuamu bertanya-tanya tentang aku. Laki-laki yang telah terdeskrisi di atas. Kecil, hitam, godrong, kucel, jarang mandi, perokok berat, dengan kaos iklan dan celana jeans sobek di kedua lututnya yang jarang sekali ganti. Mahasiswakah dia? Dan aku tahu, sudah pasti kau berkata bahwa dia adalah seorang anak teater, seniman. Atau sekejam-kejamnya kau akan berkata bahwa kau tidak mengenalnya hahaa…
Pernah suatu sore dia duduk sendiri di sebuah kursi panjang di depan kantor dosen. Duduk menghadap lapangan basket yang biasa dipakai untuk futsal. Kudekati kau, puan bertubuh mungil, eh kecil yang terbalut jilbab biru tua dengan kaca mata menempel di wajahmu. Air matamu leleh dan terjatuh.
“Mas, Hari sensei, mas,” ucapnya.
“Dosen bahasa Jepang itu? Ada apa dengan dia?”
“Dia menjalin hubungan dengan Elli sensei.”
“Lha memangnya tidak boleh?”
“Ya tidak boleh.”
“Aku kan suka Hari sensei, aku cinta padanya.”
Seketika ganti ketawaku yang hampir meledak dengan senyum yang tertahan mendengar pernyataan yang meluncur dari mulutnya. Tidak salah dengar aku? Dia mencintai dosen bahasa Jepangnya!
“Kalau Pak Hari memilih bu Elli ya wajar mbok? Bu Elli cantik, tinggi, seksi, kaya. Sedangkan kamu kecil, ciwek, kecil, cerewet, kecil, kecil, dan kecil, hahaa…” ucapku sambil tertawa lebar. Sementara tangan kananku memainkan batang rokok yang menyala tinggal separuh.
Maka air matanya pun bertambah deras. Mengucur bagai curug Gede di Baturraden tempat kami biasa menghabiskan akhir pekan. Aku pun kelabakan, mencari akal supaya dia tak lagi berair mata. Maka jurus-jurus komedi aku keluarkan dari seluruh tubuhku. Dari yang lucu, wagu, tidak mutu, maupun saru. Hahaha… aku jadi tertawa sendiri.
Waktu merambat pelan. Masih kudengar nada puisi-puisi Sang Maha Puisi terlantun dari bibir istriku. Jiwaku semakin tergetar. Betapa Maha Mulainya Allah yang telah menganugerahkan dia menjadi pendampingku. Mengarungi samudera cinta tanpa dasar. O aku jatuh cinta lagi kepadanya.
Siang itu udara bersahabat. Aku duduk di bawah pohon ketapang yang berdiri kokoh di depan sekretariat teater. Segelas kopi hasil berhutang di kantin depan tadi sudah habis separuh. Demikian juga dengan rokok kretek yang aku pilin sendiri, tinggal separuh. Tidak biasanya, kali ini aku berdandan rapih. Ini diluar kebiasaanku. Di tangan kananku terdapat sebuah buku puisi karya Walt Whitman dengan halaman yang terbuka. Ya, buku itu sedang aku analisis untuk bahan skripsiku.
Tanpa sengaja mataku menatap ke depan. Kutangkap lewat retinaku seorang wanita yang, Subhanallah, anggun. Dia mengenakan gamis berwarna biru muda. Kakinya hampir tertutup oleh rok besar berwarna hitam. Hanya sepatu kecilnya saja yang terlihat. Kerudungnya, ah bukan, jilbabnya menutup seluruh rambutnya dengan sempurna. Wajahnya bersih dan bercahaya seperti marmer, ah bukan, tepatnya seperti pualam. Di depan kedua matanya terpasang kaca bening. Dia berjalan seperti macan luwe. Pelan, tap…tap…tap… Aku rasa dia bukan manusia. Peri? Mungkin. Bidadari? Atau malaikat?
Dia puan yang selama ini aku cari. Tubuhnya tidak terlalu besar, cantik, memakai kerudung ,dan berkacamata. Dia berjalan semakin mendekat. Dia tersenyum kepadaku.
Ah perasaan apa lagi ini? Aku jatuh cinta! Aku memang terbiasa jatuh cinta, namun tidak yang seperti ini. Ini lebih dari sekedar jatuh cinta yang seperti ditulis dalam puisi Walt Whitman yang aku pegang. Lebih dari itu. Lalu aku harus apa? Diam seperti hasil pahatan Lin Mursal kawan pematungku? Atau tak terbentuk seperti hasil coretan kuas Muhammad Ayatullah kawan pelukisku? Ah, aku jatuh cinta wahai rumput, pohon ketapang, kopi, rokok, Walt Whitman, tanah, udara, angin, asap, dunia. aku jatuh cinta pada dia. Perempuan kecil itu. Perempuan yang selalu aku ledek dengan sebutan bocah cilik. Aku jatuh cinta padanya!
Dai berlalu. Aku membeku.
Aku mengejarnya, dan dia tiada. Hilang, lenyap. Kucari dia di setiap sudut kampus ini. Dan aku temukan dia di antara manusia-manusia yang duduk berjejer. Ah sayang, dia sudah masuk kuliah. Kutunggu dia. Aku duduk di depan ruang kuliah yang pintunya terbuka lebar. Kutatap dia. Kutatap dengan mata elangku yang paling tajam. Mataku menjelma kamera, tak kubiarkan sedikitpun moment tentang dia yang terlewat. Caranya duduk, menulis, mengacungkan tangan, bertanya, bicara, menatap, tersenyum. Kurekam semua dan kusimpan dalam sebuah file yang paling rahasia di otakku.
Kuliah usai. Dia keluar. Dia tersenyum padaku. Ah, aku yang tadinya tidak terbiasa nyebut, kali ini ternyata aku menjadi terbiasa. Ya Allah, senyum apakah itu hingga membuatku tak berucap? Aku masih membeku. Ketika aku tersadar dia telah berlalu.
Kukejar dia dan kupanggil namanya. Dia menoleh dan berhenti. Ditatapnya diriku.
“Mas Ryan memanggilku?”
“Iya,” sambil kutarik tangannya. Tapi dia menghindar.
“Jangan kurang ajar mas!”
“Maaf Ayu, mas tidak bermaksud kurang ajar,” aku menarik nafas, ”begini Ayu,” kutarik lagi nafas dalam-dalam, “Ayu mau jadi pacarnya mas Ryan?” Setan apa yang meracuniku hingga berani berucap seperti itu?
Dia terdiam.
“Begini Yu, Mas Ryan minta jawaban sekarang. Iya atau tidak. Jika tidak sekarang, anggap saja mas Ryan tidak pernah ngomong seperti ini.” Tambahku.
Dia masih terdiam. Dia menatapku tajam setajam aku menatapnya. Tiba-tiba dia berlari dan pergi. Dan aku tidak mengejarnya. Kubiarkan dia pergi.
Aku kembali ke tempat semula. Duduk di bawah pohon ketapang. Aku mengumpat dalam diri. What the hell I was doing here? Apa yang telah aku lakukan? Aku mengutarakan perasaan kepada perempuan yang begitu anggun dengan caara yang bodoh dan melakukan! Tak habis pikir. Kusruput kopi yang sudah dingin tadi. Kuambil tembakau dan kuletakkan dia atas kertas rokok. Kupilin dengan cepat. Sebatang rokok telah jadi. Kunyalakan dan kuhirup dalam-dalam dan berulang-ulang. Aku tahu, dengan rokok pasti kebingunganku akan segera lenyap. Tapi tetap saja tidak berpengaruh. Kucaoba mengalihkan perhatian dengan membaca puisi Walt Whitman yang aku tinggal tadi. Ah, tetap saja tak berpengaruh, malah membuat kepalaku bertambah bengel, apalagi puisinya menggunakan bahasa Inggris.
Hingga sore berkunjung, aku masih duduk di bawah pohon ketapang yang daunnya mulai menghijau lagi. Kopi yang tersisa hanya tinggal cekakiknya saja. Tembakau di plastik sudah hampir habis aku pilin. Dan aku masih sama keadaannya seperti siang tadi. Bingung. Tiba-tiba seorang wanita datang menghampiriku. Bukan, dia bukan Ayu. Dia Rahma, aku mengenalnya. Dia teman sekamar dengan Ayu di kos.
“Mas Ryan, Ayu diapakan? Ini ada titipan dari Ayu,” disodorkannya sepucuk surat beramplop putih dengan garis-garis merah biru di tepinya. Seperti kondangan saja. “Nemunya amplop itu. Ya wes, aku praktikum dulu.” Dia berlalu seperti angin yang bertiup dari pucuk gunung Slamet.
Di amplopnya tertulis : Buat Mas Ryan. Kubuka amplopnya yang memang tidak di lem. Kuambil isinya, sebuah kertas surat berwarna biru muda. Kubuka lipatannya. Kuamati sejenak, tulisannya rapi. Kubaca dengan cepat. -Ah rasanya aku tak perlu menuliskan secara lengkap isi suratnya di cerpen ini. Sebab aku rasa cerpen ini sudah cukup panjang-. Di dalam suratnya, dia menuliskan dalil dan hadist tentang pacaran, tentang hubungan sebelum nikah. Dia tidak mengatakan bahwa dia menolak cintaku. Jadi aku katakan saja intinya. Yang jelas, kalimat pertama adalah kalimat salam. Intinya dia tidak mau pacaran sebelum nikah. Dia ingin pacaran sesudah nikah!
Aku tersenyum kecut. Aku sudah menduga hasilnya. Bagaimana tidak, dia anak UKI, aku anak teater yang merangkap mapala. Dia akhwat, aku syahwat. Dia rajin shalat, aku rajin madat. Dia rajin baca Al Quran, aku rajin keluyuran. Mana mungkin dia bersedia pacaran? Apalagi dengan manusia surealis sepertiku. Aku yang bodoh apa aku yang konyol? Aku rasa kedua-duanya. Dia tidak salah.
Kok sepi? Ah, ternyata istriku telah selesai nderes. Tiba-tiba adzan subuh terdegar membangunkan manusia-manusia dari lelapnya. Istriku masuk ke dalam kamar. Dia masih mengenakan mukena.
“Ayah, subuhan yuk?” ajaknya dengan nada pelan.
Aku bangkit dari dudukku.
“Yah, nulis cerpen apa?”
“Tentang nda dan ayah.”
“Tentang apa?”
“Kuliah dulu, waktu ayah nembak nda sampai akhirnya kita menikah.”
“Ih… awas jangan ditambah-tambahi lho!”
“Lha wong namanya juga cerpen ya harus ditambah-tambahi.”
“Sudah selesai?”
“Belum,” jawabku singkat.
“Kok ndak diselesaikan?” Tanyanya lagi.
“Malas, ah. Ayah ndak jadi ikut lomba cerpen ah.” Jawabku santai sambil ngeluyur ke pesholatan.
Purwokerto, Desember 2008
pesholatan : tempat untuk sholat di dalam rumah.
nderes : mengaji, membaca Al Quran
illfeel : tidak nyaman
bocah cilik : anak kecil (Jawa)
sensei : guru, dosen, pengajar (Jepang)
mbok : -kan, partikel tanya dalam bahasa Jawa Banyumasan.
wagu : tidak bermutu (Jawa)
saru : seronok, jorok, tidak senonoh (Jawa)
macan luwe : macan kelaparan (istilah dalam bahasa Jawa yang artinya lemah gemulai)
ledek : goda
nyebut : menyebut asma Allah, beristighfar (Jawa)
bengel : pusing, pening (Jawa)
cekakik : ampas kopi
wes : sudah (Jawa)
25 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar