Dilemparkan pandangannya jauh ke arah laut.
Sudah empat jam dia duduk di situ..
Angin berhembus lembut sore itu merayu nyiur yang berdiri lantang di bilik pantai untuk sekedar melambaikan jemari-jemarinya. Angin setia menggiring air laut, membuat suatu formasi ombak yang mengalun perlahan menuju bibir pantai. Sebuah percintaan yang harmonis antara pantai dan ombak. Pasir bermain dengan angin ikut memeriahkan suasana. Mereka berterbangan kesana kemari mencari tempat nyaman untuk hinggap. Angin juga membuat suara-suara yang khas saat menghantam benda-benda yang menghalanginya. Membuat sebuah harmonisasi nada-nada melagukan suara alam. Sebuah perahu berayun-ayun mengikuti irama ombak. Dan angin masih setia berlari-lari mengisi waktu di pelabuhan sore itu.
Dia masih memandangi laut. Dihabiskannya sore itu hingga menjelang malam. Beberapa puluh menit setelah matahari lenyap ditelan oleh air laut. Tidak hanya sore itu saja dia habiskan seperti itu. Sore-sore yang telah lalu pun ia lewati dengan cara yang sama. Dia tidak peduli apakah sore itu cuaca sedang berbaik hati atau sedang bersikap kasar.
Lelaki itu bernama Irman Surahman. Seorang pemuda yang sedang dilanda duka mendalam karena mengabdikan seluruh hidupnya pada cinta. Dia adalah sosok pecinta sejati. Dia masih memandangi laut dengan harapan sebuah kapal berlabuh membawa kekasih yang sangat dicintai dalam setiap hembusan nafasnya pulang menemuinya. Wanita itu bernama Lis Maulani.
Mereka berdua telah menjalin kisah sejak Irman berumur delapan belas. Sepasang muda-mudi yang dilanda mabuk asmara. Mereka berdua adalah pasangan yang cocok dari segala hal. Irman adalah seorang pemuda yang tinggi, gagah dan cakap, sedangkan Lis adalah seorang gadis yang mungil dan cantik. Keduanya sama-sama anak dari orang kaya dan terpandang di daerahnya. Mereka juga alim dan pandai mengaji. Apabila mereka berjalan berdua, maka orang akan teringat akan Layla dan Majnun. Namun, orang tak tahu apakah kisah mereka akan berakhir sama dengan cerita tersebut.
Kalian tahu, sumpah apa yang mereka berdua ucapkan? Apapun yang terjadi kita akan tetap bersatu, walau maut memisahkan aku akan selalu ada untukmu. Dan aku adalah milikmu selamanya. Begitulah sumpah mereka, sungguh indah terdengar bukan? Seperti sumpah bintang kepada bulan.
Sehabis hari raya, Irman dan orangtuanya datang ke rumah Lis untuk melamarnya. Tanpa urusan yang berbelit-belit, orang tua Lis pun setuju untuk mengambil Irman sebagai menantu. Mereka pun sudah menetapkan acara pernikahan kedua anaknya. Rencananya setelah hari raya haji yang akan datang.
Undangan telah disebar, seminggu sebelum pernikahan dilaksanakan. Rencananya pernikahan akan dilangsungkan di rumah Lis. Rumah Lis sudah menampakkan tanda-tanda kesibukkan yang luar biasa. Segala sesuatunya telah disiapkan dan direncanakan dengan matang dan sesempurna mungkin. Dari makanan yang akan dihidangkan, baju pengantin yang akan dipakai kedua mempelai, hingga mengundang kyai untuk pengajian.
Dua hari menjelang hari H, Lis dan orang tuanya pergi ke seberang untuk meminta doa restu kepada kakek dan neneknya. Dengan kapal mereka menyeberang selat menuju pulau seberang. Perjalanan menentang laut itu sekitar dua jam dari pelabuhan. Langit cerah, tak menunjukkan kegelisahan sedikitpun. Angin tampak bersahabat. Ombak mengalun tenang berirama. Kapal pun bertolak dari pelabuhan menuju tengah laut.
Angin yang tadinya lembut entah mengapa tiba-tiba berubah menjadi kencang. Ombak yang tadinya merdu berubah menjadi besar dan ganas. Alam sepertinya murka. Kapal oleng, seluruh penumpang panik. Dan kepanikan mereka berhenti setelah ombak besar datang dan menelan mereka.
Tak ada yang selamat.
Suasana rumah Lis masih menunjukkan kesibukkannya. Mereka tak tahu hal yang menimpa Lis dan keluarganya. Irman memang tak ikut untuk meminta doa restu ke seberang karena menjadi ketua panitia resepsi pernikahannya. Dia yang mengatur segala keperluan untuk pernikahannya.
Hari itu adalah hari dimana pernikahan Irman dan Lis diadakan. Tapi Lis belum pulang dari seberang. Irman panik dan bingung. Semua panik. Undangan panik. Mereka tak tahu apa yang terjadi pada Lis dan kelurga. Akhirnya pernikahanpun gagal. Undangan pulang ke rumah masing-masing dengan menyimpan pertanyaan di hati mereka. Ada apa gerangan?
***
Irman duduk di balik jendela memandang ke arah laut dengan wajah yang suram. Rambutnya bergerak tak karuan tertiup angin. Matanya cekung dan sayu. Tubuhnya tampak kurus terbungkus oleh singlet putih dan celana kolor pendek berwarna biru tua. Dia tampak tua, tetapi sebenarnya dia masih muda. Umurnya baru empat puluh tiga tahun.
Angin masih berhembus lembut sore itu. Merayu nyiur yang berdiri lantang di bilik pantai untuk melambaikan jemari-jemarinya. Angin juga masih setia menggiring air laut, membuat suatu formasi ombak yang mengalun perlahan menuju bibir pantai. Pasir pun ikut bermain sekedar memeriahkan suasana. Mereka berterbangan mencari tempat nyaman untuk hinggap. Angin juga masih membuat suara-suara yang khas saat menghantam benda-benda yang menghalanginya. Membuat sebuah harmonisasi nada-nada seperti melagukan suara alam. Perahu itu masih berayun-ayun mengikuti irama ombak. Dan angin masih setia berlari-lari mengisi waktu di pelabuhan sore itu.
Sudah empat jam dia duduk di situ dan memandangi laut.
Dia masih memandangi laut. Kali ini dia tidak menghabiskan sore seperti biasanya. Kali ini dia tidak beranjak dari tempat duduknya sama sekali. Walau senja telah berganti gelap, dia tidah bergerak sedikitpun. Matanya tetap menuju ke arah laut, tajam mengiris ombak.
Langit tiba-tiba berubah menjadi pekat dan bintang lenyap sama sekali. Angin yang tadinya membuat nada-nada merdu tiba-tiba menganti irama menjadi musik cadas yang menghentak tak beraturan. Ombak yang tadinya lembut perlahan menjadi ganas dan liar tak beraturan. Langit pun secara serentak mencurahkan air matanya ke bumi. Hujan sangat lebat dan deras. Badai datang mengamuk di laut.
Irman masih menatap laut dengan tajam dengan matanya yang cekung dan sayu. Ditatapnya langit, angin, ombak, hujan, dan badai itu. Seolah dia melihat sesuatu di tengah laut, di dalam kepungan badai. Dia mendengar suara jerit dan tangis seorang wanita dari tengah laut. Suara itu menjadi keras, keras, dan keras memanggil-manggil seseorang.
Kang Irman...
Kang Irman...
Kang Irman...
Suara itu terus bergaung di telinga Irman. Suara itu seperti suara Lis. Ya, itu adalah suara Lis.
Irman melompat dari tempat duduknya dan berlari menuju pantai menuju suara itu. Dilihatnya Lis berdiri di tengah lautan. Mulutnya bersuara jeritan-jeritan memilukan memanggil namanya. Irman berlari menuju tengah laut. Menghampiri kekasihnya. Dia berlari, berlari dan terus berlari menembus air hingga ombak menelannya.
Dan dia masih terus berlari..........
Purwokerto, 2 April 2006