LAHIRLAH PUISIKirimkan aku kertas dari lembar-lembar awan memutih. Selipkan di antara helai rambutnya tinta dari sublimasi segala rupa halimun yang berenang di setiap telaga. Biar kunikahi keduanya dalam satu ikatan pita dengan kata-kata dan doa yang paling memabukkan. Maka biar menjadi sepasang kekasih yang paling kasih. Dan setiap malam berdentang, upacara sanggama kan selalu territuas. Dan dari rahimnya akan lahir ribuan puisi terindah. Puisi lincah seperti anak-anak kucing yang berenang dengan bola karetnya
KASURLalu kuletakkan tubuh kayuku di atas kasur ini. Kasur merah bata berisi kapuk randu. Bukan busa. Kasur yang jarang sekali mengenyam sengat matahari dan embus angin. Tubuhku serta merta tenggelam dalam kubur tanpa liang. Kasur memakanku hidup-hidup. Membunuh tapi tak mematikan. Aku berenang di sungai yang (aku rasa) hanya mengalir pada setiap musim kawin. Air bergerak serempak seperti mata kucing yang berlari terbirit dikejar tikus yang besar sekali. Sungai kerontang ketika bulan sabit menyelinap dan memapas tangkai daun pisang di sepanjang tepiannya. Sungai yang membuat jalur lurus seperti motif garis pada sprei pembalut kasur. Dan karena aku tak bisa berenang, maka tubuh kayuku pun hanyut mengikuti kemana perginya. Sesekali tubuhku ditandu oleh ribuan kepiting bercapit catut. Sesekali tubuhku terantuk batu sebesar gajah berwarna hitam yang jongkok mengintip udang kawin di dasar sungai.
Aku hanyut. Nurut. Kadang aku tak habis pikir. Mengapa ada sungai di kasurku? Apakah aku bermimpi? Sedangkan kasurku beserta bantal-bantalnya, spreinya, gulingnya, kapuknya, selimutnya tak pernah membuatku tidur. Aku tak pernah tidur. Berpikir. Berpikir! Berpikirlah! Aku pun memutar otak. Berpikir. Seperti para filsuf berkepala botak, berjanggut dan berkumis tebal menjuntai langit serta berkacamata jengkol. Tidak mempercayai apa yang kusaksikan. Aku berpikir mencari kebenaran hakiki tentang sungai dalam kasurku. Apakah ada mata air yang menyembur? Tapi menyembur di mana? Sedangkan di kasurku tak tumbuh gunung. Aku pun hanyut dalam pikirku. Seperti hanyut dalam sungai kasur. Hanyut tanpa sampan, tanpa kayuh, tanpa layar. Hingga kudapati muara yang menjadi jembatan antara sungai dan laut. Laut? Bukan laut. Tepatnya lautan. Kubiarkan tubuh sampanku tersedot gelombang lautan. Gelombang lautan yang berwarna merah bata bermotif garis seperti kasurku. Dan aku berlayar tanpa nahkoda, tanpa peta, tanpa kompas di tengah lautan kasur
AMPLOP MERAHAmplop ini kutemukan di beranda cakrawala memerah. Di sampulnya tertulis namamu dengan tinta merah. Perlahan kubuka, kutemukan wajahmu memerah seraya menumbuhkan air mata merah dari mata merahmu. Dan hidung merahmu menetes aroma menusuk udara. Dan bibir merahmu tumbuh bola sebesar bunga mawar merah di taman belakang stasiun kota. Aku hanya menemukan wajah merahmu tanpa tubuh, tanpa tangan, tanpa kaki, tanpa kelamin.
Tanganku pun memerah teriris amplop berisi wajah merahmu. Maka segera kuremas amplop merah menjadi burung nasar dan kulempar sejauh mataku memandang. Kubiarkan kau terbang di langit merah menuju bulan merah, planet merah, dan rumah para alien berkepala merah
Ketika kubuka tubuhku, kudengar teriak ayam jantan bersuara merah. Berteriak memanggil namamu. Seluruh binatang pagi berkicau memanggil namamu dengan suara yang memerah. Dan kubuka jendela, kutatap langit pagi berbalur merah. Di balik awan yang memerah, ribuan burung nasar merah yang kuremas tadi malam terbang dengan kecepatan supersonic membentuk formasi tempur 4-4-2. Terbang melesat ke arahku. Satu persatu menembak tubuhku lalu mencincangnya. Dan kepalaku dipungutnya lalu diselipkan ke dalam amplop berwarna merah. Semerah cakrawala. Semerah wajahmu
AKU BERTANYA KEPADA APIAku bertanya kepada api tentang malam yang hijau kering. Malam bergaun renda penuh manik-manik berkelip tertempel di tiap petaknya. Malam yang lukakah dia?
Api gemuruh lidahnya. Melata menyembur racun kuning kemerahbiruan. Mulutnya tercekat oleh pohon-pohon bercabang ular yang tumbang karena pujian perawan penjaga hutan