13 April 2009
MASIH KUCIUM AROMA TEH YANG KAU SEDUH
Pagi ini pun kau bangunkan aku dengan aroma melati yang mengembang dari teh yang kau seduh dalam cangkir putih bergambar lelaki kekar bertubuh kuda kedua tangannya memegang busur panah dan bertuliskan Sagitarius.
“Mas, bangun, tehnnya diminum dulu, nanti keburu dingin,” ucapmu sambil menarik kain korden dan membuka jendela di sebelah timur ranjang.
Akhir-akhir ini kau bertingkah cukup aneh. Perlakuanmu kepadaku setiap pagi berbeda dengan beberapa waktu lalu. Tidak seperti biasanya kau melakukan hal seperti itu. Praktis setelah kepulanganku dari Tokyo.
Memang dulu kau selalu membangunkanku dengan bisikan lembut bibirmu di telingaku. Tapi tidak akhir-akhir ini. Bisikan lembut itu bercampur dengan aroma teh yang kau seduh. Teh yang kau seduh itu lalu kau letakkan di atas meja kecil di samping kanan ranjang tempat kita menjemput mimpi-mimpi malam. Dan ketika mataku terbuka kudapati kau sedang tersenyum lebar hingga gigimu yang seperti biji mentimun itu terlihat mengintip dari balik bibirmu yang tidak terlalu tebal. Dan aroma teh yang kau seduh itu segera mengembang ke dalam liang hidungku yang sedikit mancung dan merasuk ke dalam paru-paru.
Setiap pagi kau selalu menyeduhkanku teh. Tidak selalu sama setiapa harinya. Kadang teh merah, kadang teh hijau, kadang teh hitam.
“Kau hamil?” tanyaku suatu waktu.
Kau hanya tersenyum renyah lalu menghampiriku dan melumat bibirku yang tebal. Setelah beberapa detik kau berhenti menciumku. “Tidak,” jawaban singkat keluar dari bibir tipismu. Lalu kau lanjutkan lagi aktivitasmu yang sempat terhenti. Melumat bibirku hingga habis.
Pernah kutanyakan mengapa kau membangunkanku dengan teh setiap pagi.
“Di dalam teh itu mengandung zat yang berfungsi sebagai anti oksidan yang menangkal radikal bebas. Jadi jika kita minum teh setiap pagi, tubuh kita akan menjadi sehat dan segar.”begitu jawabmu seperti ucapan pak Narto, guru biologi waktu SMA dulu.
Aku pun bertambah curiga kepadamu. Jangan-jangan, waktu aku di Jepang, kau… atau kau….
Tetapi aku harus curiga apa? Aku tahu, kau adalah perempuan paling setia di bumi ini. Tak pernah mendua. Seperti awan kepada hujan, itulah kau. Kau rela apapun demiku. Bahkan mati sekalipun kau rela. Kecurigaanku kepadamu sangat tidak masuk akal, apapun alasannya. Karena aku tahu. Sekali lagi, kau seperti rumput mahluk setia.
Dan waktupun berlari. Aku pun membuang perasaan itu. membuang jauh-jauh. Menghanyutkannya di sungai yang lewat di kota kecil ini. Membiarkannya pergi ke laut lepas. Dan perlahan, aku pun menikmati apa yang kau lakukan padaku. Menerima dalam hati sesuatu yang baru darimu. Membangunkanku dengan bisikan lembut disertai aroma teh yang kau seduh yang kau letakkan di meja kecil di samping tempat tidur.
Aku pun bangkit dari ranjang yang tidak terlalu besar. Kuraih cangkir teh yang kau seduh lalu ku arahkan ke bibirku. Ku seruput perlahan dan menelannya hingga tersisa separuh. Lalu memandangmu membuka kain korden dan membuka daun jendela. Dan wajahmu seketika menjadi cantik luar biasa. Tersapu matahari pagi.
Memang. Berbeda dengan teh yang sering aku minum di warung-warung makan. Setiap teh yang kau seduh selalu nikmat. Apapun jenisnya, apapun merknya. Tapi aku lebih suka teh hitam yang beraroma melati itu. Teh yang sering kau beli di minimarket yang letaknya tak jauh dari rumah kita. Teh hasil pabrikan kota Bogor, katamu. Aroma melatinya lebih terasa dibanding dengan yang lain. Dan aku tidak suka teh celup. Aku lebih suka teh tubruk yang di saring. Resa tehnya berbeda dengan teh celup.
***
“Kapan kau kan kembali?” tanyamu.
“Ah, tunggulah barang sebentar,” sahutku.
“Iya, tapi aku butuh kepastian.”
“Kira-kira tiga belas purnama lagi, aku sudah berada di samping tidurmu. Membangunkanmu dengan ciuman terdahsyat yang kumiliki.”
“Ah, dasar penyair palsu!” katamu sambil tertawa kecil, “baiklah, aku kan menunggumu di sini, di tepi ranjang ini sambil membaca tulisan-tulisanmu di surat kabar. Aku cinta kau.”
“Aku cinta kau juga.”
Lalu terdengar suara gagang telepon tergeletak dilanjutkan bunyi tut yang panjang. Aku pun meletakkan telepon genggam di atas meja kecil di samping tempat tidur.
Setelah menerima telepon tersebut, aku segera bangkit dari tempat tidur. Ku seruput cangkir teh hangat yang dari tadi tergeletak meja kecil di samping tempat tidurku.
Kedua kakiku bergerak kesana kemari mencari-cari alasnya. Setelah sepasang sandal dari karet busa itu kutemukan, akupun beranjak dan melangkah menuju kamar mandi. Cukup luas dan mewah untuk ukuran kamar mandi. Lebih mewah dibanding kamar tidurku di rumah.
Selesai mandi aku segera mengenakan pakaianku yang sudah tergeletak rapi di atas tempat tidur. Setelah selesai berdandan, aku segera keluar dari apartemenku dan pergi ke Universitas Tokyo, berjalan kaki.
Ya sudah beberapa waktu ini aku berada di negeri matahaari terbit. Aku mendapat tugas belajar selama dua tahun di sini. Kebetulan aku mendapat beasiswa untuk melanjutka n S-2 ku di negeri sakura ini. Dan kira-kira beberapa bulan lagi disertasiku selesai.
Aku tinggal di sebuah apartemen tidak jauh dari universitas. Aku lebih memilih tinggal di apartemen daripada di asrama mahasiswa. Meskipun sederhana, tapi privasiku terjaga. Meskipun harus mengeluarkan sedikit kocek, tapi tak apalah, uang itu dapat aku peroleh dari honor puisi-puisiku yang dimuat di surat kabar. Baik surat kabar di Jepang sini maupun di tanah air.
Lain dengan asrama mahasiswa. Selain ramai oleh para mahasiswa dari tanah air yang studi di sini, kamarnya pun seperti barak. Tempat tidurnya berjajar. Tapi yang jelas privasi juga tidak terjaga.
Aku tinggal di apartemen sendiri. Istriku tidak ikut. Kebetulan dia sibuk sekali dengan pekerjaannya. Sebenarnya aku ingin sekali dia ikut. Akan tetapi beasiswa ini hanya untukku saja. Aku tahu, pasti dia sangat menderita tanpaku.
Untuk meredam rindu, sehari tiga kali kami saling bertegur lewat telepon. Selain itu aku selalu mengirimkan puisi-puisi rinduku kebeberapa surat kabar di tanah air. Jadi dia bisa membacanya meskipun dua minggu sekali.
***
Ya tadi malam hujan turun sangat lebat. Tidak ada petir menyambar memang, tapi hujan memang benar-benar murka. Anginpun berlari seperti kuda tertusuk besi panas.
Pagi ini dingi sekali. Gerimis sisa hujan tadi malam masih terdengar jatuh di atas daun-daun. Tanganku meraba-raba. Tak kudapati kau di sisiku. Ah, paling-paling kau sedang memasak air di dapur. Aku pun menarik selimut. Kulanjutkan tidur.
Tak berapa lama kau datang memabawa nampan dengan kedua tanganmu. Di atas nampan itu, sebuah cangkir putih menggeliat. Nampak asap tipis melayang di atasnya. Asap itu membawa aroma teh yang berbeda dengan yang biasanya. Kali ini kucium lebih segar.
Kau pun berbeda dengan hari kemarin. Senyum yang kau tawarkan menyimpan sesuatu. Senyum yang menyeringai. Mata sayumu, pagi ini berubah menjadi tajam.
Perlahan kau mendekatiku. Lalu meletakkan teh yang kau seduh di tempat biasa. Setelah itu kau kembali menatapku tajam bersama senyuman penuh misteri. Lalu kau beranjak dan melangkah menuju jendela. Seperti biasa, membuka kain korden dan membuka daun jendela. Wajahmu yang biasanya luar biasa ayu di bias cahaya matahari pagi, kini tampak lain. Kurasa ada aura kekejaman dan kemarahan luar biasa yang keluar dari wajahmu.
Sambil kuseruput teh yang kau seduh, ku tatap dirimu. Rasa teh yang berbeda dengan yang sudah-sudah. Tapi aku tidak terlalu peduli dengan rasa teh yang lain itu. Dalam hati, pertanyaan-pertanyaan aneh menyeruak. Aku tak mengerti mengapa kau bertingkah aneh. Kau nampak lain. Kau bukan kau, pagi ini.
“Minumlah, teh itu kuracik sendiri dengan tanganku. Nanti keburu hilang aromanya, shinjin san!”
Aku tersentak. Aku tak percaya apa yang telah diucapkannya pagi ini. Kalimat itu, ucapan itu. Ya, kalimat itu selalu keluar dari bibir Suzume. Selama di Jepang, setiap pagi dia selalu membangunkan tidurku, menyeduhkan teh, menyiapkan pakaian, dan mencium bibirku setiap pagi.
Tapi, bagaimana kau bisa tahu? Aku masih tak percaya.
Kau tersenyum lebar. Matamu menyempit, tetapi bertambah tajam. Kulihat perlahan kau mendekat ke arahku. Belum sempat aku berucap, tiba-tiba kepalaku terasa berat. Tubuhku menjadi lunglai tak berdaya. Wajahmu kabur dari mataku. Dan seketika semua menjadi gelap. Dan aku masih bisa mencium aroma teh yang kureguk barusan.
Sanggar Sastra Wedang Kendhi, Januari- Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
wah bagus bang cerpennya.
banyak makna tersirat di dalamnya.
like
Posting Komentar