11 Oktober 2010
Puisi Ryan Rachman Di Koran Merapi, Minggu Legi, 10 Oktober 2010
Pulang 1
Debu-debu yang melekat
di lantai rumah telah menunggu
Menunggu dengan senyum lapang
seluas halaman berbatu
Pulang 2
Ini malam yang sama dengan tempo lalu
Aspal dingin yang kukendarai pulang
Kursi empuk, udara gunung
Dan suara parau para biduan tarkam yang keluar dari speaker VCD player
Manusia-manusia yang lelap di atas mimpi
Mimpi yang sama dengan mimpiku:
Pulang
Kepada Kertas dan Pena
Berapa purnama kita tak bersua sayang? Dari purnama beranak sabit. Sabit beranak gerhana. Gerhana berpinak purnama. Bulan yang kau tatap di langit itu tak satupun beranak puisi. Hanya meninggalkan jejak-jejak tak terbaca mata
Berapa purnama kita tak bersua sayang? Angin yang berjingkat lewat jendela berdebu membawa aroma musim panen dari laut, dari gunung, dari purnama. Angin kemuning menerbangkan wajah putihmu. MEmbawa ke dasar laut tak bertuan. Angin beraroma susu yang siap perah itu tak meninggalkan jejak apappun di wajahmu. Tidak juga puisi
Berapa purnama kita tak bersua sayang? Berkali-kali kau telepon diriku hingga habis malam, namun taj pernah sempat kuangkat gagang telepon itu. Tak pernah sempat kucecap halo padamu
Berapa purnama kita tak bersua sayang? Aku rindu padamu, sepasang kekasih abadi. Gemulai jemari pena dan lembut wajah putih kertas. Aku rindu percintanmu. Aku rindu menulis puisi sayang
Ryan Rachman, penyair. Kumpulan Puisinya "Senandung Kupu-Kupu" sedang dalam proses penerbitan. Wartawan Suara Merdeka. Tinggal di Purwokerto.
26 September 2010
Puisi Ryan Rachman di Minggu Pagi No 23 Minggu I September 2010
Wisnu
Pemelihara semesta terbang bersama kepakan garuda. Wajahmu tak seperti dulu. Matamu yang sejuk kini sayu. Tergambar duka meski tak setetes air mata jatuh. Bumi yang dititipkan Brahma kepadamu, kini menggeliat. Manusia tak lagi hormat padamu. Dengan otak mereka telah menciptakan teknologi yang menghancurkan
Wisnu, mungkin saatnya kau istirah dan menyerahkan bumi kepada Syiwa
Pagi, Meja Makan, Ini Kali
Kembali secangkir kopi hangat membawa kita dengan kereta senyum terbang ke atas mega-mega (ini kopi terasa sangat manis)
Dan sebungkus rokok bikinan Paman Sam masih berpijar mengepulkan kotak-kotak mimpi yang sempat tertinggal di ujung persenggamaan semalam
Aha...!
Alangkah asyiknya bila kita sarapan. Baru kita lanjutkan percakapan kita. Nikmati saja bilur-bilur matahari itu. Biar kehangatan meruang di meja makan ini. Sebab esok belum tentu kita seperti ini
Dan Aku Masih Menuggu Mendung
Dan aku masih menunggu mendung datang selimuti langit menantang matahari meneteskan hujan ke muka bumi
Biar semua menyublim menjelma gugusan bianglala seiring mekarnya bebunga di taman hati yang sekian waktu kering meranggas dalam pelukan enggan
Ryan Rachman penyair, wartawan Suara Merdeka. Buku puisinya Senandung Kupu-Kupu dalam proses penerbitan
Pemelihara semesta terbang bersama kepakan garuda. Wajahmu tak seperti dulu. Matamu yang sejuk kini sayu. Tergambar duka meski tak setetes air mata jatuh. Bumi yang dititipkan Brahma kepadamu, kini menggeliat. Manusia tak lagi hormat padamu. Dengan otak mereka telah menciptakan teknologi yang menghancurkan
Wisnu, mungkin saatnya kau istirah dan menyerahkan bumi kepada Syiwa
Pagi, Meja Makan, Ini Kali
Kembali secangkir kopi hangat membawa kita dengan kereta senyum terbang ke atas mega-mega (ini kopi terasa sangat manis)
Dan sebungkus rokok bikinan Paman Sam masih berpijar mengepulkan kotak-kotak mimpi yang sempat tertinggal di ujung persenggamaan semalam
Aha...!
Alangkah asyiknya bila kita sarapan. Baru kita lanjutkan percakapan kita. Nikmati saja bilur-bilur matahari itu. Biar kehangatan meruang di meja makan ini. Sebab esok belum tentu kita seperti ini
Dan Aku Masih Menuggu Mendung
Dan aku masih menunggu mendung datang selimuti langit menantang matahari meneteskan hujan ke muka bumi
Biar semua menyublim menjelma gugusan bianglala seiring mekarnya bebunga di taman hati yang sekian waktu kering meranggas dalam pelukan enggan
Ryan Rachman penyair, wartawan Suara Merdeka. Buku puisinya Senandung Kupu-Kupu dalam proses penerbitan
13 Agustus 2010
PUISI RYAN RACHMAN DI SUMUT POS, MINGGU, 1 AGUSTUS 2010
LAHIRLAH PUISI
Kirimkan aku kertas dari lembar-lembar awan memutih. Selipkan di antara helai rambutnya tinta dari sublimasi segala rupa halimun yang berenang di setiap telaga. Biar kunikahi keduanya dalam satu ikatan pita dengan kata-kata dan doa yang paling memabukkan. Maka biar menjadi sepasang kekasih yang paling kasih. Dan setiap malam berdentang, upacara sanggama kan selalu territuas. Dan dari rahimnya akan lahir ribuan puisi terindah. Puisi lincah seperti anak-anak kucing yang berenang dengan bola karetnya
KASUR
Lalu kuletakkan tubuh kayuku di atas kasur ini. Kasur merah bata berisi kapuk randu. Bukan busa. Kasur yang jarang sekali mengenyam sengat matahari dan embus angin. Tubuhku serta merta tenggelam dalam kubur tanpa liang. Kasur memakanku hidup-hidup. Membunuh tapi tak mematikan. Aku berenang di sungai yang (aku rasa) hanya mengalir pada setiap musim kawin. Air bergerak serempak seperti mata kucing yang berlari terbirit dikejar tikus yang besar sekali. Sungai kerontang ketika bulan sabit menyelinap dan memapas tangkai daun pisang di sepanjang tepiannya. Sungai yang membuat jalur lurus seperti motif garis pada sprei pembalut kasur. Dan karena aku tak bisa berenang, maka tubuh kayuku pun hanyut mengikuti kemana perginya. Sesekali tubuhku ditandu oleh ribuan kepiting bercapit catut. Sesekali tubuhku terantuk batu sebesar gajah berwarna hitam yang jongkok mengintip udang kawin di dasar sungai.
Aku hanyut. Nurut. Kadang aku tak habis pikir. Mengapa ada sungai di kasurku? Apakah aku bermimpi? Sedangkan kasurku beserta bantal-bantalnya, spreinya, gulingnya, kapuknya, selimutnya tak pernah membuatku tidur. Aku tak pernah tidur. Berpikir. Berpikir! Berpikirlah! Aku pun memutar otak. Berpikir. Seperti para filsuf berkepala botak, berjanggut dan berkumis tebal menjuntai langit serta berkacamata jengkol. Tidak mempercayai apa yang kusaksikan. Aku berpikir mencari kebenaran hakiki tentang sungai dalam kasurku. Apakah ada mata air yang menyembur? Tapi menyembur di mana? Sedangkan di kasurku tak tumbuh gunung. Aku pun hanyut dalam pikirku. Seperti hanyut dalam sungai kasur. Hanyut tanpa sampan, tanpa kayuh, tanpa layar. Hingga kudapati muara yang menjadi jembatan antara sungai dan laut. Laut? Bukan laut. Tepatnya lautan. Kubiarkan tubuh sampanku tersedot gelombang lautan. Gelombang lautan yang berwarna merah bata bermotif garis seperti kasurku. Dan aku berlayar tanpa nahkoda, tanpa peta, tanpa kompas di tengah lautan kasur
AMPLOP MERAH
Amplop ini kutemukan di beranda cakrawala memerah. Di sampulnya tertulis namamu dengan tinta merah. Perlahan kubuka, kutemukan wajahmu memerah seraya menumbuhkan air mata merah dari mata merahmu. Dan hidung merahmu menetes aroma menusuk udara. Dan bibir merahmu tumbuh bola sebesar bunga mawar merah di taman belakang stasiun kota. Aku hanya menemukan wajah merahmu tanpa tubuh, tanpa tangan, tanpa kaki, tanpa kelamin.
Tanganku pun memerah teriris amplop berisi wajah merahmu. Maka segera kuremas amplop merah menjadi burung nasar dan kulempar sejauh mataku memandang. Kubiarkan kau terbang di langit merah menuju bulan merah, planet merah, dan rumah para alien berkepala merah
Ketika kubuka tubuhku, kudengar teriak ayam jantan bersuara merah. Berteriak memanggil namamu. Seluruh binatang pagi berkicau memanggil namamu dengan suara yang memerah. Dan kubuka jendela, kutatap langit pagi berbalur merah. Di balik awan yang memerah, ribuan burung nasar merah yang kuremas tadi malam terbang dengan kecepatan supersonic membentuk formasi tempur 4-4-2. Terbang melesat ke arahku. Satu persatu menembak tubuhku lalu mencincangnya. Dan kepalaku dipungutnya lalu diselipkan ke dalam amplop berwarna merah. Semerah cakrawala. Semerah wajahmu
AKU BERTANYA KEPADA API
Aku bertanya kepada api tentang malam yang hijau kering. Malam bergaun renda penuh manik-manik berkelip tertempel di tiap petaknya. Malam yang lukakah dia?
Api gemuruh lidahnya. Melata menyembur racun kuning kemerahbiruan. Mulutnya tercekat oleh pohon-pohon bercabang ular yang tumbang karena pujian perawan penjaga hutan
Kirimkan aku kertas dari lembar-lembar awan memutih. Selipkan di antara helai rambutnya tinta dari sublimasi segala rupa halimun yang berenang di setiap telaga. Biar kunikahi keduanya dalam satu ikatan pita dengan kata-kata dan doa yang paling memabukkan. Maka biar menjadi sepasang kekasih yang paling kasih. Dan setiap malam berdentang, upacara sanggama kan selalu territuas. Dan dari rahimnya akan lahir ribuan puisi terindah. Puisi lincah seperti anak-anak kucing yang berenang dengan bola karetnya
KASUR
Lalu kuletakkan tubuh kayuku di atas kasur ini. Kasur merah bata berisi kapuk randu. Bukan busa. Kasur yang jarang sekali mengenyam sengat matahari dan embus angin. Tubuhku serta merta tenggelam dalam kubur tanpa liang. Kasur memakanku hidup-hidup. Membunuh tapi tak mematikan. Aku berenang di sungai yang (aku rasa) hanya mengalir pada setiap musim kawin. Air bergerak serempak seperti mata kucing yang berlari terbirit dikejar tikus yang besar sekali. Sungai kerontang ketika bulan sabit menyelinap dan memapas tangkai daun pisang di sepanjang tepiannya. Sungai yang membuat jalur lurus seperti motif garis pada sprei pembalut kasur. Dan karena aku tak bisa berenang, maka tubuh kayuku pun hanyut mengikuti kemana perginya. Sesekali tubuhku ditandu oleh ribuan kepiting bercapit catut. Sesekali tubuhku terantuk batu sebesar gajah berwarna hitam yang jongkok mengintip udang kawin di dasar sungai.
Aku hanyut. Nurut. Kadang aku tak habis pikir. Mengapa ada sungai di kasurku? Apakah aku bermimpi? Sedangkan kasurku beserta bantal-bantalnya, spreinya, gulingnya, kapuknya, selimutnya tak pernah membuatku tidur. Aku tak pernah tidur. Berpikir. Berpikir! Berpikirlah! Aku pun memutar otak. Berpikir. Seperti para filsuf berkepala botak, berjanggut dan berkumis tebal menjuntai langit serta berkacamata jengkol. Tidak mempercayai apa yang kusaksikan. Aku berpikir mencari kebenaran hakiki tentang sungai dalam kasurku. Apakah ada mata air yang menyembur? Tapi menyembur di mana? Sedangkan di kasurku tak tumbuh gunung. Aku pun hanyut dalam pikirku. Seperti hanyut dalam sungai kasur. Hanyut tanpa sampan, tanpa kayuh, tanpa layar. Hingga kudapati muara yang menjadi jembatan antara sungai dan laut. Laut? Bukan laut. Tepatnya lautan. Kubiarkan tubuh sampanku tersedot gelombang lautan. Gelombang lautan yang berwarna merah bata bermotif garis seperti kasurku. Dan aku berlayar tanpa nahkoda, tanpa peta, tanpa kompas di tengah lautan kasur
AMPLOP MERAH
Amplop ini kutemukan di beranda cakrawala memerah. Di sampulnya tertulis namamu dengan tinta merah. Perlahan kubuka, kutemukan wajahmu memerah seraya menumbuhkan air mata merah dari mata merahmu. Dan hidung merahmu menetes aroma menusuk udara. Dan bibir merahmu tumbuh bola sebesar bunga mawar merah di taman belakang stasiun kota. Aku hanya menemukan wajah merahmu tanpa tubuh, tanpa tangan, tanpa kaki, tanpa kelamin.
Tanganku pun memerah teriris amplop berisi wajah merahmu. Maka segera kuremas amplop merah menjadi burung nasar dan kulempar sejauh mataku memandang. Kubiarkan kau terbang di langit merah menuju bulan merah, planet merah, dan rumah para alien berkepala merah
Ketika kubuka tubuhku, kudengar teriak ayam jantan bersuara merah. Berteriak memanggil namamu. Seluruh binatang pagi berkicau memanggil namamu dengan suara yang memerah. Dan kubuka jendela, kutatap langit pagi berbalur merah. Di balik awan yang memerah, ribuan burung nasar merah yang kuremas tadi malam terbang dengan kecepatan supersonic membentuk formasi tempur 4-4-2. Terbang melesat ke arahku. Satu persatu menembak tubuhku lalu mencincangnya. Dan kepalaku dipungutnya lalu diselipkan ke dalam amplop berwarna merah. Semerah cakrawala. Semerah wajahmu
AKU BERTANYA KEPADA API
Aku bertanya kepada api tentang malam yang hijau kering. Malam bergaun renda penuh manik-manik berkelip tertempel di tiap petaknya. Malam yang lukakah dia?
Api gemuruh lidahnya. Melata menyembur racun kuning kemerahbiruan. Mulutnya tercekat oleh pohon-pohon bercabang ular yang tumbang karena pujian perawan penjaga hutan
Langganan:
Postingan (Atom)