13 Agustus 2010

PUISI RYAN RACHMAN DI SUMUT POS, MINGGU, 1 AGUSTUS 2010

LAHIRLAH PUISI

Kirimkan aku kertas dari lembar-lembar awan memutih. Selipkan di antara helai rambutnya tinta dari sublimasi segala rupa halimun yang berenang di setiap telaga. Biar kunikahi keduanya dalam satu ikatan pita dengan kata-kata dan doa yang paling memabukkan. Maka biar menjadi sepasang kekasih yang paling kasih. Dan setiap malam berdentang, upacara sanggama kan selalu territuas. Dan dari rahimnya akan lahir ribuan puisi terindah. Puisi lincah seperti anak-anak kucing yang berenang dengan bola karetnya


KASUR

Lalu kuletakkan tubuh kayuku di atas kasur ini. Kasur merah bata berisi kapuk randu. Bukan busa. Kasur yang jarang sekali mengenyam sengat matahari dan embus angin. Tubuhku serta merta tenggelam dalam kubur tanpa liang. Kasur memakanku hidup-hidup. Membunuh tapi tak mematikan. Aku berenang di sungai yang (aku rasa) hanya mengalir pada setiap musim kawin. Air bergerak serempak seperti mata kucing yang berlari terbirit dikejar tikus yang besar sekali. Sungai kerontang ketika bulan sabit menyelinap dan memapas tangkai daun pisang di sepanjang tepiannya. Sungai yang membuat jalur lurus seperti motif garis pada sprei pembalut kasur. Dan karena aku tak bisa berenang, maka tubuh kayuku pun hanyut mengikuti kemana perginya. Sesekali tubuhku ditandu oleh ribuan kepiting bercapit catut. Sesekali tubuhku terantuk batu sebesar gajah berwarna hitam yang jongkok mengintip udang kawin di dasar sungai.

Aku hanyut. Nurut. Kadang aku tak habis pikir. Mengapa ada sungai di kasurku? Apakah aku bermimpi? Sedangkan kasurku beserta bantal-bantalnya, spreinya, gulingnya, kapuknya, selimutnya tak pernah membuatku tidur. Aku tak pernah tidur. Berpikir. Berpikir! Berpikirlah! Aku pun memutar otak. Berpikir. Seperti para filsuf berkepala botak, berjanggut dan berkumis tebal menjuntai langit serta berkacamata jengkol. Tidak mempercayai apa yang kusaksikan. Aku berpikir mencari kebenaran hakiki tentang sungai dalam kasurku. Apakah ada mata air yang menyembur? Tapi menyembur di mana? Sedangkan di kasurku tak tumbuh gunung. Aku pun hanyut dalam pikirku. Seperti hanyut dalam sungai kasur. Hanyut tanpa sampan, tanpa kayuh, tanpa layar. Hingga kudapati muara yang menjadi jembatan antara sungai dan laut. Laut? Bukan laut. Tepatnya lautan. Kubiarkan tubuh sampanku tersedot gelombang lautan. Gelombang lautan yang berwarna merah bata bermotif garis seperti kasurku. Dan aku berlayar tanpa nahkoda, tanpa peta, tanpa kompas di tengah lautan kasur


AMPLOP MERAH

Amplop ini kutemukan di beranda cakrawala memerah. Di sampulnya tertulis namamu dengan tinta merah. Perlahan kubuka, kutemukan wajahmu memerah seraya menumbuhkan air mata merah dari mata merahmu. Dan hidung merahmu menetes aroma menusuk udara. Dan bibir merahmu tumbuh bola sebesar bunga mawar merah di taman belakang stasiun kota. Aku hanya menemukan wajah merahmu tanpa tubuh, tanpa tangan, tanpa kaki, tanpa kelamin.

Tanganku pun memerah teriris amplop berisi wajah merahmu. Maka segera kuremas amplop merah menjadi burung nasar dan kulempar sejauh mataku memandang. Kubiarkan kau terbang di langit merah menuju bulan merah, planet merah, dan rumah para alien berkepala merah

Ketika kubuka tubuhku, kudengar teriak ayam jantan bersuara merah. Berteriak memanggil namamu. Seluruh binatang pagi berkicau memanggil namamu dengan suara yang memerah. Dan kubuka jendela, kutatap langit pagi berbalur merah. Di balik awan yang memerah, ribuan burung nasar merah yang kuremas tadi malam terbang dengan kecepatan supersonic membentuk formasi tempur 4-4-2. Terbang melesat ke arahku. Satu persatu menembak tubuhku lalu mencincangnya. Dan kepalaku dipungutnya lalu diselipkan ke dalam amplop berwarna merah. Semerah cakrawala. Semerah wajahmu


AKU BERTANYA KEPADA API

Aku bertanya kepada api tentang malam yang hijau kering. Malam bergaun renda penuh manik-manik berkelip tertempel di tiap petaknya. Malam yang lukakah dia?

Api gemuruh lidahnya. Melata menyembur racun kuning kemerahbiruan. Mulutnya tercekat oleh pohon-pohon bercabang ular yang tumbang karena pujian perawan penjaga hutan

CERPEN RYAN RACHMAN DI SUMUT POS, MINGGU, 25 JULI 2010

WONG PINTER

Biru sedang mengguyur langit pagi itu. Beberapa ekor burung gereja berkejaran menaiki kereta angin lalu hinggap di sebuah kawat listrik. Angin berhembus syahdu. Ranting pohon nagka yang derdiri di depan rumah bergoyang-goyang. Beberapa lembar danunnya yang sudah menguning patah dan terombang-ambing dan jatuh ke tanah.

Tiba-tiba sebuah sedan hitam buatan Korea berhenti di depan rumah. Lalu keluar seorang lelaki berpeci miring dari pintu sebelah ruang kemudi. Berlari kecil mengitari sedan lalu membukakan pintu belakang. Tampak seorang bepenampilan perlente keluar dari sedan itu. Tubuhnya gemuk, mukanya bulat, pakaiannya necis. Kelihatannya orang kaya. Lama saya amati. Dia mirip dengan orang yang gambarnya terpampang di koran. Ya benar. Dia adalah salah satu dari calon bupati yang akan dipilih pada pilkada bulan depan.

Saya persilahkan dia masuk ke ruangan kerja saya. Dengan ramah dia berbicara. Ternyata dia enak juga diajak bicara. Setelah menikmati teh hangat bikinan istriku, dia mulai mengutarakan maksud kedatangannya. Dia meminta bantuan saya untuk didoakan agar terpilih menjadi bupati. Dan dia ingin lawan satu-satunya kalah dalam pilkada mendatang.

Saya menyanggupinya.

Setelah itu, dia bangkit dan pamit. Tidak lupa, sebelum keluar dari ruang kerja saya, dia memberikan sebuah amplop kepada saya sebagai tanda terimakasih sambil senyum kemenangan mengembang di bibirnya. Saya pun mengantarnya hingga halaman depan.

Setelah sedan itu berjalan dan tidak terlihat lagi, saya segera masuk ke rumah dan membuka amplop pemberiannya. Dua juta rupiah. Saya kira itu jumlah yang lumayan banyak sebagai imbalan untuk pekerjaan saya.

Langit yang sama, burung yang sama, angin yang sama dan dua setengah jam dari waktu yang sama seperti kemarin. Sebuah mobil bercat metalik. Kali ini buatan Jerman. Berhenti di depan rumah. Kali ini supirnya tidak keluar membukakan pintu pemiliknya. Kali ini pemiliknya sendiri yang keluar tanpa ditemani supir. Tubuhnya tegap, berjanggut dan berkumis tipis. Dengan gagah dia berjalan menuju ke arah saya. Setelah saya amati ternyata dia juga salah satu calon bupati untuk pilkada yang akan datang. Benar. Dia adalah lawan dari calon yang kemarin datang ke rumah saya. Mau apa gerangan dia?

Setelah bersalaman, saya persilahkan dia masuk ke ruang kerja saya. Setelah minum –kali ini bukan teh hangat melainkan kopi dan masih bikinan istri tercinta- dia mengutarakan maksud kedatangannya ke tempat saya. Ternyata tujuannya sama dengan tujuan orang yang datang kemarin. Dia menginginkan kemenangan pada pilkada besok sehingga dia meminta bantuan saya untuk didoakan. Dia juga ingin agar lawan satu-satunya nanti kalah.

Saya bimbang. Kenapa dua orang calon bupati meminta bantuan saya agar mudah memenangkan pada pilkada nanti. Akhirnya dengan terpaksa saya menyanggupi keinginan orang itu.

Begitu mendengar jawaban saya yang menggembirakan hatinya, dia segera bangkit dan minta pamit. Katanya dia masih harus mengurus persiapan untuk kampanye nanti sore. Saya pun tersenyum menanggapinya. Lalu dikeluarkannya amplop dari sakunya. Sambil menyalami saya dia mengucapkan terima kasih kepada saya. Lalu saya antar dia hingga halaman depan.

Setelah itu mobilnya mulai bergerak dan menjauh dari saya. Lalu saya masuk ke rumah dan segera membuka amplop yang diberikan oleh orang tadi. Dua juta. Jumlah yang sama dengan uang yang diberi oleh orang yang kemarin.

Dua orang calon bupati datang meminta bantuan kepada saya agar dimenangkan dalam pilkada nanti. Keduanya sama-sama kandidat yang kuat dan sama-sama memiliki masa yang banyak. Keduanya memberikan imbalan dengan jumlah yang sama kepada saya, Mbah Marno, yang kata orang saya adalah orang yang pintar dan terkenal di kabupaten ini. Dan saya mengatakan ya kepada keduanya.
***
Masyarakat di kota ini mentasbih diriku sebagai wong pinter. Mereka menganggap aku sebagai seorang yang memiliki kesaktian seperti wali bisa membuat keinginan seseorang terwujud. Padahal aku merasa biasa-biasa saja. Aku adalah manusia normal seperti mereka. Jika perutku lapar aku harus makan seperti mereka. Jika tenggorokkanku kering aku harus minum air sama seperti mereka. Jika aku lelah dan mengantuk aku pun harus membaringkan tubuh dan memejamkan mata seperti mereka. Aku juga bekerja mencari uang untuk menafkahi istri dan ketiga anakku.

Aku lebih suka disebut sebagai seorang yang pintar karena memang kegemaranku membaca buku. Buku apa saja. Buku tentang agama terutama Islam, tafsir, hadist, dan sejenisnya yang sebagian besar bertuliskan huruf arab gundul. Selain itu, buku tentang ekonomi, politik, sejarah, sastra, kesehatan, hingga berkebun, merawat kelinci, dan resep masakan.

Memang, suatu ketika, beberapa tahun lalu bibirku tak sengaja pernah berucap pada salah seorang tetanggaku tentang keberuntungan. Tetaggaku tersebut curhat kepadaku saat pulang dari mushola. Dia sedang bingung karena terlilit hutang yang lumayan banyak. Karena aku tak memiliki uang sebayak itu, aku hanya bisa memberikan doa semoga tetanggaku tersebut diberi jalan dan kemudahan agar bisa membayar hutangnya. Tak selang berapa hari, tetanggaku tersebut datang kepadaku membawakan bungkusan berisi makanan dan sejumlah uang did lam amplop kecil. Katanya, dia baru saja mendapat rezeki dari Allah. Dia baru saja memenangkan undian seratus juta dari bank tempatnya dia menabung.
Mungkin sejak itulah namaku mulai menjadi buah bibir di masyarakat ini sebagai wong pinter. Ditambah lagi latar belakangku yang seorang alumni pondok pesantren terkenal di Jawa Timur dimana salah satu santrinya pernah menjadi pemimpin di negeri ini menambah bumbu akan pentasbihan sebagai wong pinter.

Namun tujuan sebenarnya aku mondok bukan untuk menjadi wong pinter, namun semata-mata hanya ingin belajar lebih dalam tentang agamaku dan tentunya aku akan lebih dekat dengan penciptaku. Itu saja, tidak lebih.
***

Malam hari menjelang. Langit tampak bersih dari mendung. Yang ada hanya sebuah bulan yang nampak bundar seperti loyang raksasa dan bintang-bintang yang berkeliaran tak tentu arah. Suara binatang malam bersahut tak henti-hentinya tak ubah sebuah alunan simponi yang harmonis menyanyikan tentang malam. Pilkada berlangsung besok pagi. Sekarang pukul sembilan malam. Segera setelah selesai menonton sinetron yang sudah lebih dari tiga kali dibuat sekuelnya dan membosankan, saya melangkahkan kaki menuju sumur untuk mengambil air wudu dan menjalankan salat Isya. Setelah selesai salat, dalam remang saya berdoa agar pilkada besok pagi bejalan dengan baik dan lancar. Tidak ada kecurangan dan manipulasi. Tidak peduli siapa yang nati terpilih menjadi bupati, apakah calon yang gendut itu atau calon yang tegap itu. Yang jelas, jika sudah menjadi orang nomor satu di daerah ini, janganlah dia lupa terhadap janji-janji yang diucapkan pada saat kampanye. Jangan membohongi rakyatnya.

Saya akhiri doa saya dengan bacaan Al-Fatihah. Dengan begitu saya, si wong pinter, telah mendoakan kedua calon bupati tanpa pilih kasih. Lalu saya bangkit dan menuju ke tempat tidur untuk istirahat. Di sana telah terbaring sesosok perempuan cantik dengan senyum mengembang di bibirnya. Lalu aku berbaring di sebelahnya dan mengahiri hari dengan mimpi.

Puisi Ryan Rachman Di Harian Bali Bicara, Senin, 11 Juli 2010

Bantal Berbentuk Hati

maka kau pun bertualang
berlayar di langit wangi aromaterapi
di awan merah jambu
menjadi Odipus
ah bukan
menjadi Aprodhite
mencari labuhan
bagi hati yang ditumbuhi bunga-bunga

aku bahagia
menatap senyum di wajahmu
di kepala yang kau rebahkan
di atas lembut bantal berbentuk hati

dan kau terus berlayar

Purwokerto, Maret 2009



Janji Hujan

aku percaya pada ucapan bibirmu senja itu, ketika kita
berlari berkendara hujan. dan tak ada petir
bergemuruh di langit bermendung ketika janjimu terucap. tapi
di sini, di dadaku gemuruh itu berjingkat
tiada bertepi. seperti bising ombak menabur debur di tepian atol
dan sore ini hujan berkunjung lagi
di pelataran rumahmu. hujan pertama
di musim kelima, sejak kau bisikkan janji itu.
janji kepadaku. janji kepad hujan. janji kepada senja

aku berdiri membeku menjadi tugu di bawah hujan. menanti angin
mengantar surat memberi kabar tentangmu
dan hari-hari manismu tanpaku di situ. di titik tak terpetakan

aku percaya pada janjimu

Kebumen, Februari 2009


Pulang 2

Debu-debu yang melekat
di lantai rumah telah menungguku
Menunggu dengan senyum lapang
seluas halaman berbatu

Gombong, September 2009



Pulang 3


Ini malam yang sama dengan tempo lalu
Aspal dingin yang kukendarai pulang
Kursi empuk, udara gunung
Dan suara parau para biduan tarkam yang keluar dari speaker
Manusia-manusia yang lelap di atas mimpinya
Mimpi yang sama dengan mimpiku:
Pulang

Soka, September 2009


Pulang 4


Maka kulaju kaki-kaki jalang
Menuju titik langit penuh bintang
Menuju titik langit bulan sabit terpancang
Di bawahnyalah rumahku mengerang

Kebumen, September 2009

Puisi-Puisi Ryan Rachman Di Sumut Pos, Minggu 20 Juni 2010

TANGAN KANAN

Tiba-tiba saja tangan kananku lenyap tanpa rasa
Padahal ada sekotak sajak yang harus terjejak
Sajak yang telah lama tak datang berkunjung
Pada setiap separuh malam-malamku

Kemana aku harus menemu tangan kananku
Pada separuh malam?
Atau pada sajak-sajak yang belum terjejak?
Padahal separuh malam berikutnya telah menganga
Padahal kertas-kertas pena-pena telah mendera

Aku pun terdiam
Mengutuk waktu
Mengutuk siapa saja yang mencuri tangan kananku

Dan sajak kembali tak dapat terjejak


MAKA KAN KUJELMA KAU

Panggil aku malam
Maka kan kujelma kau serupa gemintang
Pijar menerang di wajah jiwa

Panggil aku pohon
Maka kan kujelma kau selaksa daun
Hijau menyejuk di relung dada

Panggil aku lelap
Maka kan kujelma kau sewajah tawa
Renyah mewarna di ruang mimpi

Panggil aku cinta
Maka kan kujelma kau sebagai kekasih
Damai mengalir di ulu hati



JENDELA

Kugantung retina mata elangku
Di balik kaca jendela kamarmu
Biar kubaca rahasiamu
Membaca malam-malammu

Seperti bintang yang kau tatap dari balik jendela
Aku melempar padma dari jiwa
Sebagai lentera yang tergantung di tanganmu
Menerang gelap
Menerang lelap


EDELWEISS

Tersenyumlah padaku o bunga keabadian
Berikan warna terputih di kelopak wajahmu
Pada jiwa resah pada tubuh lelah

Telah kurunut peta buta
Kurayap puncak tertinggi
Kusibak udara terbeku
Mencari jejakmu

Di puncak kesunyian
Abadi kau bersemayam
Menatap matahari datang dan hilang
Mendekap dingin yang paling kering

Tersenyumlah padaku o bunga keabadian
Tak kupetik kau tak
Biar terpatri warnamu

Seperti gunung sahajamu tersunting
Seperti lembah sunyimu terpatri
Seperti permata abadimu tersemat

Maka tersenyumlah padaku o bunga keabadian


Ryan Rachman, mahasiswa FISIP Jurusan Ilmu Budaya Unsoed Purwokerto

Cerpen Saya Jadi Juara II Lomba Cerpen UKKI Unsoed Kemarin Minggu


SUKUR


Tengah malam pun akhirnya datang juga. Di atas langit, bulan yang rompal separuh lengser dari tempat duduknya, condong ke arah barat. Gumpalan awan tipis sesekali melintas menutup sinar yang dipancarkannya. Sebuah bintang jongkok tak jauh dari bulan. Itu satu-satunya bintang yang menggantung di langit malam ini.

Angin lembut perlahan berlari menuruni bukit menuju kampung. Menggoyang daun-daun pohonan bambu. Rimbunan bambu sering di jumpai di sepanjang sisi jalan setapak di kampung ini. Batu-batu yang tertata di sepanjang jalan setapak nampak basah oleh sapuan embun.
Di jalan yang kasar itu, seorang pemuda berjalan sendiri menembus kabut. Kabut tebal yang dibawa angin dari bukit membuat jarak pandang di jalan ini hanya sekitar lima meter. Untung setiap dua puluh meter di jalan setapak ini terdapat lampu bohlam 20 watt yang tergantung di batang-b atang pohon bambu.

Dia bernama Sukur. Setiap malam dia melewati jalan setapak itu. Jalan itulah satu-satunya jalan yang menghubungkan kampung ini dengan kota kecamatan. Jarak dari kampung ini ke kota kecamatan kira-kira dua jam setengah berjalan kaki.

Di kecamatan ia bekerja sebagai seorang tukang parkir sebuah rumah makan Padang. Dia berangkat dari rumahnya ke tempat kerjanya sehabis subuh dengan berjalan kaki. Kadang-kadang ia membonceng tetangganya yang hendak berangkat ke pasar kecamatan. Tapi dia lebih sering jalan kaki. Dan ketika rumah makan itu tutup pukul sepuluh malam, dia tidak serta merta langsung melangkah pulang. Namun ia lebih sering membantu membersihkan peralatan makan atau membuang sampah. Sebagai upahnya dia mendapat jatah makan sehari tiga kali. Setelah pekerjaannya selesai, barulah ia melangkah pulang.
Sesampai di rumahnya yang sedikit perabotannya, dia segera membaringkan tubuh tegapnya di atas bangku panjang di ruang tamu. Hanya sekedar melepas lelah setelah hampir dua jam setengah dia berjalan. Kira-kira satu jam dia memejamkan matanya, Bu Rohmah, ibunya keluar dari kamar tidurnya dan menghampirinya.

“Bangun le.” Tangan keriputnya mengelus pundak Sukur beberapa kali.

Setelah melihat anak semata wayangnya membukakan kedua pintu matanya, perempuan yang menginjak umur lima puluh tiga tahun tersebut segera melangkah menuju sumur di belakang rumah. Tak lama berselang, Sukur pun mengikuti jejak ibunya.

Selesai mengambil air wudlu, kedua orang tersebut masuk kembali ke rumah sederhananya. Masuk ke kamar masing-masing dan menunaikan sholat tahajud. Biasanya selesai sholat, sang ibu kembali merebahkan dirinya ke tempat tidur. Tetapi tidak untuk Sukur. Selesai berdoa, dia segera mengambil Al-Quran yang tergeletak di atas meja kecil di samping tempat tidur. Warnanya pucat coklat kekuningan. Sampulnya telah lepas. Dibukanya halaman yang telah ditandai dengan sebatang lidi. Tak lama kemudian bibirnya pun bersuara. Ayat-ayat yang dibacanya, diucapkanya dengan perlahan dan merdu. Maka, dini hari pun menjadi sejuk. Dan dia pun semakin tenggelam dalam kitabullah itu hingga azan subuh menjelang.
***
“Assalamualaikum...”

“Waalaikumsalam…” sahut bu Rohmah sembari bangkit dari bangku panjang menuju ke pintu. Dibukanya pintu perlahan. Nampak di depan pintu seorang laki-laki seumuran dia dan seorang perempuan seumuran anaknya.

“Eh, pak Rojikun, mari silahkan masuk.”

“Iya bu,” sembari melangkah mengikuti tuan rumah.

Pak Rojikun adalah salah satu orang yang cukup dikenal di kampung ini. Sebenarnya dia seorang pendatang. Kampung halamannya berada di pulau Sumatera. Dia datang ke kampung ini karena ditugaskan menjadi mantri kesehatan. Sudah hampir tiga tahun dia tinggal bersama keluarganya di kapung ini.

“Siapa ini pak?” sembari mengacungkan telunjuknya ke arah perempuan yang duduk di samping pak Rojikun.

“Oh, ini Faiqoh. Anak saya yang pertama.”

“Kok selama ini dia tidak pernah kelihatan?”

“Iya. Dia tidak mau ikut pindah ke kampung ini. Dia kuliah di Universitas Sumatera Utara. Setelah selesai, barulah ia menyusul kami di sini.”

Perempuan berjilbab biru langit itu tersenyum sambil memandang bu Rohmah. Bu Rohmah pun membalas dengan senyuman.

“Lho ada tamu?” Sukur tiba-tiba keluar dari dalam dan menghampiri mereka bertiga.

“Kamu tidak ke kota Kur?” tanya pak Rojikun.

“Tidak pak, rumah makannya tutup. Jadi saya ya di rumah. Ada apa to pak, kok tumben sowan kemari?”

“Begini Kur,” pak Rojikun membetulkan kaca matanya. “ Ini anak saya. Faiqoh. Dia baru datang satu minggu yang lalu dari Sumatera.”

Faiqoh tersenyum kepada Sukur lalu menundukkan wajahnya.

“Sejak dia di kampung ini, setiap tengah malam ia selalu terbangun. Bukan karena takut atau karena lapar, namun karena ia mendengar suara orang yang membaca Al-Quran. Setiap malam ia selalu mendengarkannya hingga orang tersebut selesai membacanya. Setiap dia mendengar suara itu, hatinya selalu bergetar. Dia selalu penasaran dengan orang yang membaca kalamullah itu dengan begitu merdunya. Dia ingin sekali mengenalnya dan belajar membaca dari orang itu.”

Bu Rohmah dan Sukur memperhatikan dengan seksama apa yang diucapkan oleh pak Rojikun.
“Lalu ia bertanya kepada saya siapa orang yang selalu membaca Al-Quran dengan indah di setiap malam. Saya pun bilang kalau itu kamu Kur. Lantas ia meminta saya untuk mengantarkannya ke kamu. Dia ingin sekali belajar darimu.”

“Ah, anda terlalu memuji pak. Saya tidak pernah merasa bahwa saya bagus dalam membaca Al-Quran. Saya hanya membaca sesuai pa yang diajarkan oleh guru ngaji saya dulu.” Kilah Sukur.

“Tapi apa salahnya si Kur kalau kau mengajari anak saya membaca Al-Quran.”

“Saya senang sekali jika saya bisa mengajari putri bapak. Tapi saya kan bekerja setiap hari. Sedangkan saya pulang sampai rumah paling tidak tengah malam.”

Nampak wajah Faiqoh berubah kecewa. Pak Rojikun pun nampak bingung melihat raut muka anaknya.

“Begini saja. Bagaimana kalau kau berhenti jadi tukang parkir. Kau bekerja padaku saja sebagai guru ngaji anakku. Kubayar dua kali lipat dari penghasilanmu sekarang.”

“Maaf pak, seandainya pun saya ada waktu untuk mengajari putri bapak ngaji, saya tidak meminta imbalan apapun.”

Wajah Faiqoh bertambah kelabu.

Pak Rojikun semakin kebingungan. Dengan sedikit bimbang, akhirnya ia pun berkata, “Bagaimana kalau kau kunikahkan dengan anakku?”

Kata-kata yang terlontar dari mulut pak Rojikun membuat orang seisi rumah itu pun tersentak.

“Ah bapak ini mengada-ada. Mana mungkin saya pantas menjadi suami putri bapak. Saya hanya seorang tukang parkir pak.” Sanggah Sukur.

“Iya Pak. Anak saya hanya seorang tukang parkir. Sedang putri bapak seorang sarjana.” Bu Rohmah mengamini.

“Saya tidak main-main Kur. Saya berkata itu punya dasar yang kuat. Dan saya yakin anak saya akan bahagia hidup bersamamu.”

“Maksud bapak?”

“Kau orang yang jujur, sederhana dan selalu membaca Al-Quran setiap malam. Saya percaya jika kau tidak hanya membacanya saja. Kau juga mengamalkannya. Dan saya percaya bahwa orang yang selalu berpedomankan Al-Quran, dia akan menjadi seorang pemimpin yang baik, termasuk pemimpin bagi anakku. Dan saya percaya jika kaulah orang yang tepat.”

Sukur terdiam.

“Bagaimana Kur? Kau mau. Soal pekerjan, nanti bisa dicari.”

Sukur masih belum berkata-kata. Dia tidak percaya atas apa yang di alaminya baru saja. Bu Rohmah pun hanya bisa menelan ludah.

Sementara itu Faiqoh tersenyum senang. Cita-citanya memiliki seorang suami yang pintar mengaji hampir tercapai.


Ryan Rachman, mahasiswa Fakultas ISIP Unsoed Jurusan Ilmu Budaya

Esai Ryan Rachman Di Radar Banyumas, Minggu 6 Juni 2010


MISI SEDERHANA PASUKAN BERANI BERPUISI

Aku mencoba menerobos hujan yang tak terlalu deras melanda/Tapi pikiranku terus saja berkelana/Melanjutkan mimpi-mimpi melajukan perahu generasi//Aku mencoba agar hujan tak deras menerpa/Tapi banjir mengapungkan sejuta sampah pikiran/Yang musti harus dibersihkan//Aku harus kerja bakti merapikan terpaan badai/Menata lagi brankas kerja dan menyusun lagi rencana yang porak-poranda

Itulah salah satu puisi karya Muhammad Ayatullah berjudul Pawang Hujan III yang dibacakan di suatu malam Minggu yang gerimis dalam acara Poetry at Alun-Alun beberapa waktu yang lalu. Selain dirinya, ada tujuh anak muda yang lain yang mengaku dirinya sebagai calon penyair membacakan karya-karyanya di bawah tiang bendera alun-alun Puwokerto. Mereka menamakan kelompok itu sebagai “Pasukan Berani Berpuisi”.

Selain di alun-alun, mereka juga melakukan aksi pembacaan puisi di ruang-uang publik lainnya seperti stasiun kereta api, terminal bus, pasar, perempatan lampu lalu lintas, trotoar, dan parkiran pusat perbelanjaan di Purwokerto dan Purbalingga. Dimana ada orang banyak, disitulah mereka membaca puisi. Walau mungkin dianggap tidak waras bagi sebagian orang, namun banyak pula yang duduk dan mendengarkan mereka membacakan puisi, bahkan ada yang ikut berpartisipasi tampil di depan. Sejak bergulir enam bulan lalu, paling tidak hampir seminggu sekali mereka beraksi.

Lalu sebenarnya apa yang diharapkan oleh Pasukan Berani Berpuisi ini? Tidak muluk-muluk. Menghibur masyarakat umum dan mendekatkan puisi kepada mereka, itu saja. Tidak lebih.

Tantangan

Dalam sebuah diskusi Ngobrol Bareng Sastra yang diadakan oleh Sanggar Sastra Wedang Kendhi yang bertajuk “Sastra yang Memasyarakat” terdapat permasalahan dan tantangan besar yang harus dihadapai oleh para pegiat sastra dan karyanya terutama penyair dan puisinya supaya dapat diterima oleh masyarakat.

Orang lebih suka membaca komik dari pada harus membaca puisi yang penuh dengan bahasa kias njlimet. Anak-anak muda lebih suka mendegarkan puisi yang picis dan ecek-ecek daripada mendengarkan puisi mantra, puisi mbeling atau puisi instalasi. Ini kan menjadi aneh?
Selama ini puisi memiliki hanya milik dan dinikmati oleh pegiat dan penikmat sastra. Seolah-olah puisi telah memilih eksklusifisme sebagai menara gading yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir kepala dalam suatu masyarakat. Dalam acara diskusi dan pembacaan puisi yang bisa dikatakan wow! misalnya, paling-paling acara tersebut hanya dihadiri dan dinikmati oleh orang yang itu-itu saja. Jarang sekali masyarakat awam seperti tukang becak, bakul ronde, tukang sol sepatu, tukang parkir, hingga karyawan pabrik, guru, ilmuwan, pengacara, mantri kesehatan ataupun dokter hewan datang, menikmati dan meresapi setiap puisi yang dibacakan oleh para penyair hingga acara tersebut paripurna.

Atau puisi hanya sebagai penghias surat kabar Minggu yang lebih sering tidak dimuatnya dari pada dimuatnya dan hanya dibaca oleh khalayak sepintas saja. Padahal para penyair membuat satu buah puisi harus mencurahkan pikiran hingga berdarah-darah agar puisi ciptaannya memiliki nyawa dan memenuhi estetika karya sastra.

Lalu untuk apa puisi dicipta jika hanya bisa dinikmati oleh “manusia-manusia pilihan” saja? Lalu bagaimana dengan dulce et utile dari puisi tersebut? Bagaimana masyarakat dapat mengenal dan menikmati puisi? Hal itulah yang harus menjadi pekerjaan rumah para penyair agar puisi-puisinya dapat dibaca dan dinikmati oleh “manusia-manusia seluruhnya”.

Puisi dicipta tidak hanya untuk dinikmati sendiri, berlayar di lautannya sendiri dan berlabuh di dermaganya sendiri. Para manusia “di luar pagar” itulah yang sebenarnya lautan dan dermaga itu. Sebab puisi harus berfungsi sebagai cerminan dari masyarakat “luar pagar” itu. Puisi harus mencerahkan dan menyegarkan bagi setiap orang yang membacanya. Seperti puisi Pablo Neruda yang membakar jiwa setiap orang di tiap sudut Chile. Seperti puisi Walt Whitman yang selalu berenang di darah orang Amerika Serikat hingga sekarang. Itulah fungsi puisi sebenarnya.

Penyair tidak bisa selalu duduk di “singgasana empuknya”, dia harus terjun langsung ke masyarakat dan menjadi bagian dari masyarakat itu sendiri agar karya-karyanya dapat dikenal dan dinikmati oleh masyarakat.

Berawal dari itulah “para calon penyair” ini bergerak untuk menjawab tantangan di atas. Dengan cara yang paling sederhana: membacakan puisi pada khalayak. Bukan untuk narsisme sementara dan gagah-gagahan agar disebut sebagai manusia “sakti”. Sekali lagi, hanya untuk menghibur masyarakat umum dan mendekatkan puisi kepada mereka, itu saja. Tidak lebih. Terlebih lagi apresiasi masyarakat di Purwokerto dan Purbalingga terhadap puisi sangatlah minim.

Semoga misi sederhana Pasukan Berani Berpuisi dapat terwujud dan mendapat tempat di hati masyarakat “luar pagar” dan tentunya akan terus “mengangkat senjata”, tidak akan terhenti oleh “hujan”. Klilan.

Ryan Rachman, mahasiswa jurusan Ilmu Budaya Unsoed Purwokerto

Esai Ryan Rachman di Koran Minggu Pagi, Edisi Minggu II Mei 2010


MENDAMBA PUSAT DOKUMENTASI TEATER DI BANYUMAS
Oleh: Ryan Rachman


Dalam diskusi tentang teater Banyumas yang diadakan dalam salah satu rangkaian acara budaya Sokaraja Mbigar (27/12/2009), Iank, salah seorang pegiat teater Senthir menanyakan bagaimanakan sebenarnya teater di Banyumas, atau jangan-jangan teater di Banyumas memang tidak ada?

Pertanyaan tersebut memang cukup membuat terkejut para pegiat teater di Banyumas yang hadir pada malam itu terutama bagi mereka yang sudah lama terjun di dunia panggung tersebut.

Para pegiat teater di Banyumas sekarang ini tidak mengetahui secara persis kali pertama teater modern berdiri dan berkembang di Banyumas. Apa nama teater tersebut, siapa yang membawanya, naskah apa yang pertama kali dipentaskan, atau siapa saja aktornya. Selama ini kita meraba-raba akan hal tersebut. Ada yang mengatakan bahwa kali pertama teater modern dibawa dari Yogyakarta ke Banyumas pada dekade 70an oleh Saeran Sasmidi. Atau mungkin ada versi lain?

Selama ini kita kesulitan mencari data yang otentik tentang sejarah teater di Banyumas. Miminnya dokumentasi terutama dokumentasi pementasan baik berupa foto maupun kepingan VCD serta ulasan dan autokritik pementasan terutama yang ditulis di media masa. Selain itu juga sulitnya dicari dokumentasi naskah drama terutama hasil karya para penulis lokal Banyumas itu sendiri. Hal tersebut menyebabkan kita menjadi gamang untuk mengetahui sejarah dan sejauh mana teater di Banyumas berkembang serta kontribusinya secara lokal maupun nasional.

Hingga saat ini jika dihitung, jumlah kelompok teater yang ada di Banyumas lebih dari empat puluh buah yang terdiri dari teater umum seperti teater Tubuh, Senthir, Gethek; teater kampus seperti teater Perisai, Didik, Teksas; dan teater pelajar seperti teater Karang, Dahana, Sakristi. Masing-masing memiliki ciri dan ideologi dalam berkarya. Akan tetapi, mereka sangat tidak memperhatikan pendokumentasian secara baik. Apalagi bagi mereka kelompok teater yang sudah tidak eksis lagi. Seperti misal, dari sepuluh kali pementasan mereka hanya memiliki empat buah dokumentasi pementasan dalam bentuk kepingan VCD. Sisanya berupa foto yang tidak terarsip secara rapih. Hal ini sangat ironis mengingat pementasan merupakan bagian dari sejarah perjalan kelompok teater itu sendiri.

Pusat Dokumentasi
Untuk menjawab pertanyaan di atas, Banyumas perlu membuat pusat dokumentasi teater apapun itu namanya. Di tempat tersebut tersedia berbagai macam bentuk dokumentasi setiap kelompok teater yang ada di Banyumas. Seperti berupa rekaman dalam bentuk VCD maupun foto, serta ulasan dan kritik pementasan yang ditulis di media masa. Selain itu juga terdapat dokumentasi naskah drama serta artikel-artikel tentang teater di Banyumas yang ditulis di media massa.

Pada dasarnya, untuk mewujudkan berdirinya pusat dokumentasi teater di Banyumas merupakan tugas pemerintah melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan dengan Dewan Keseniaan Banyumasnya (DKKB). Melalui divisi teater, mereka harus bersedia bekerja ekstra untuk mendata kembali jumlah teater baik yang masih eksis maupun sudah vakum serta mendata masing-masing dokumen dari komunitas tersebut.

Ini sangat penting. Selain sebagai pusat dokumentasi, tempat tersebut nantinya juga merupakan tempat bertukarnya informasi antar teater di Banyumas. Seperti informasi pementasan misalnya. Selama ini sering terjadinya kesimpangsiuran informasi pementasan bahkan jadwal pementasan yang sering bentrok. Di dalam strukturnya nanti terdapat beberapa perwakilan dari teater umum, kampus, dan pelajar dan menjadi koordinator sirkulasi informasi.

Selain itu diperlukan juga dari kelompok teater yang bergerak di Banyumas baik teater umum, kampus, maupun pelajar untuk tidak mengedepankan egoisme ideologi sehingga menjadi apatis terhadap masalah ini. Jika pusat dokumentasi teater tersebut dapat terwujud, maka sejarah teater di Banyumas akan jelas, tidak mengambang seperti sekarang ini.

Ryan Rachman, Penyair, bergiat di Sanggar Sastra Wedang Kendhi Purwokerto