27 Januari 2010

Retorika

Kau pernah bertanya
pada tiang antena televisi
yang berdiri di depan pintu kamarmu
tentang gelombang cinta
yang selalu terangkum
oleh indra ciumnya?

Purwokerto, Januari 2009

07 Januari 2010

KALAU INI CERPEN YANG DI RADAR BANYUMAS

Radar Banyumas, Minggu, 3 Jnauari 2010


DEMI ISTRI TERCINTA


Sudah satu minggu ini kampungku menjadi gempar. Kampung yang biasanya tenteram di setiap harinya dan tenang di setiap malamnya. Kampung yang setiap penduduknya selalu ramah satu sama lain. Tiba-tiba menjadi ramai, sejak tersiarnya kabar bahwa munculnya pencuri yang selalu mengambil ternak milik warga.

Sudah dua kasus pencurian dalam minggu ini. Pertama terjadi pada malam Selasa. Kejadian itu terjadi di rumah Kang Parlan. Senin sore, Kang Parlan baru saja memberi makan pada ketiga ekor ayam bangkoknya dan memasukkan ke dalam kandang. Memang ayam-ayam bangkok Kang Parlan terkenal jawara dalam setiap adu ayam. Paginya ketika dia bangun untuk salat subuh, dia merasakan hal yang aneh. Tidak seperti biasanya subuh itu ayam-ayamnya tidak berkokok.

Kang Parlan heran, bertanya dia dalam hati, apa gerangan yang terjadi dengan ayam-ayamnya. Lalu dia keluar untuk memastikan keadaan ayam-ayamnya. Ternyata apa yang terjadi? Didapatinya pintu kandang telah terbuka, gemboknya tergeletak di tanah dekat pintu. Padahal dia sudah menggembok pintunya kemarin sore. Dan ketiga ayam bangkok kesayangannya raib tanpa bekas tanpa jejak.

Selang dua hari kejadian itu terjadi lagi. Kali ini dialami oleh Mbah Warjo. Dua ekor ayam betina yang dipeliharanya selama satu tahun lenyap. Entah mimpi apa dia semalam. Babon yang selama ini dia pelihara dengan penuh kasih sayang, babon yang sejak masih kecil-kecil diberinya makan dengan teliti hingga besar raib. Padahal sehari sebelumya, Mbah Warjo bercerita kalau dia akan menjual kedua ayamnya di pasar untuk membeli beras. Kini Mbah Warjo hanya bisa meratapi nasibnya dengan hati kecewa. Sungguh kasihan Mbah Warjo. Sungguh kurang ajar pencuri itu.

Dulu kampungku adalah kampung yang aman. Kampung yang tertib. Kampung yang dimana pada setiap malamnya anak-anak bermain petak umpet di pelataran. Kampung yang warganya ramah dan selalu tegur sapa. Tapi sejak kejadian pencurian itu kampung tidak seperti dulu agi. Setiap orang selalu was-was kalau-kalau rumahnya disatroni pencuri. Setiap orang menjadi saling curiga kalau-kalau orang yang ditemuinya adalah pencuri yang selama ini meresahkan.

Akhirnya pada sebuah rapat di rumah Pak RT disepakati jika program siskamling yang sempat vakum digiatkan kembali. Kalau dulu yang ronda hanya dua orang kini ditingkatkan tiga kali lipat. Poskamling yang dulu pada setiap malamnya sepi, kini dioptimalkan kembali. Pokoknya keamanan ditingkatkan kembali. Dan warga diminta selalu waspada setiap saat.

Dan malam harinya, hasil rapat tersebut segera direalisasikan. Enam orang warga melakukan ronda termasuk aku. Kami kumpul di poskamling pukul sembilan. Sebelum keliling kami ngobrol sejenak tentang kejadian pencurian yang terjadi selama ini sambil menikmati rokok dan ubi rebus.

Pukul sebelas kami pun bersiap-siap untuk keliling. Kami membagi tugas. Dua orang ke arah timur, dua orang ke arah barat, dan sisanya bertugas menjaga pos. Masing-masing kelompok membawa kentongan, dan lampu baterei.

Baru seperempat jam berjalan aku melihat seseorang dengan pakaian serba hitam dan mukanya ditutupi dengan sarung seperti ninja, gerak-geriknya mencurigakan. Tangan kirinya memegang sesuatu seperti ayam, ya ayam. Aku beri tahu kawanku tentang hal itu dan menyuruhnya untuk memperhatikannya dengan seksama. Orang yang tersebut terlihat akan masuk rumah Pak RT melalui jendela. Spontanitas, kami berteriak sambil berlari.

“Maling….maling…!!”

Karena mendengar teriakkan, pencuri itu pun kelabakan dan lari. Apalagi warga banyak yang keluar dari rumah mereka dan ikut bersama kami mengejarnya. Sampai di kebon pisang, kami kehilangan jejak. Dia bersembunyi di sana. Kami pun mengadakan proses pencarian.

Tidaklah diperlukan waktu yang lama untuk mendapatkan apa yang kami inginkan. Dengan personel yang ada, sekitar seperempat jam akhirnya kami menemukannya. Pencuri itu sedang bersembunyi di bawah sela-sela batang pohon pisang dengan seekor ayam di tangan kirinya. Tanpa komando, warga pun segera mengepung dan menghujaninya dengan pukulan dan tendangan hingga babak belur, terkapar tak berdaya.

Melihat kejadian itu, aku pun segera mengambil tindakan untuk menghentikannya.

“Hentikan…hentikan saudara-saudara…!”

Mereka pun menghentikan kegiatan mereka.

“Kita tidak boleh main hakim sendiri. Dia sudah tidak berdaya, lebih baik kita bawa ke kantor polisi, biar aparat keamanan yang menanganinya. Coba kita lihat siapa sebenarnya pencuri yang telah meresahkan warga ini.”

Aku pun membuka kain sarung yang menutupi wajahnya. Betapa terkejutnya kami. Tidak bisa dipercaya. Ternyata orang yang selama ini meresahkan warga dan membuat kampung tidak tenang adalah Pak RT. Setelah di interograsi oleh warga kenapa dia mencuri, ternyata masalahnya cuma sepele tetapi tidak bisa di anggap remeh. Istrinya yang sedang hamil tua ngidam ingin makan ayam goreng, namun ayam itu harus didapatkan dengan cara mencuri. Jika tidak, dia tidak mau makan apapun.

Kini Pak RT harus menginap di kantor polisi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dan istrinya tidak bisa memenuhi keinginan si jabang bayi.

Tulisan Ryan Rachman di Koran Merapi

Berikut ini adalah esaiku yang di Koran Merapi, Minggu 23 Agustus 2009:

Komunitas Dan Perkembangan Kesusastraan Di Purwokerto

Beberapa bulan lalu saya mendapat undangan peluncuran buku antologi puisi Penyair Bengal karya Muhammad Mayat Ayatullah dan mendapat kehormatan untuk menjadi pembedah buku tersebut dalam buku tersebut. Acara tersebut merupakan salah satu rangkaian dari acara yang diadakan oleh komunitas sastra Hujan Tak Kunjung Padam (HTKP) yang bertajuk Peluncuran Antologi Puisi Pendiri HTKP. Selain Muhammad Ayatullah, masih ada empat penyair lagi yang meluncurkan karyanya yaitu; Aliv V. Essessi, Ari Bledeg Purnomo, Agustav Triono, dan Yudhistira Sibir Jati.
Dewasa ini, di Banyumas dalam hal ini Purwokerto, sering diadakan kegiatan kesusastraan yang dimotori oleh kaum muda yang tergabung dalam komunitas sastra. Terhitung ada beberapa komunitas sastra yang eksis melahirkan penulis-penulis muda berbakat dan mencantumkan nama mereka di beberapa media masa lokal maupun nasional.
Selain komunitas sastra HTKP masih ada beberapa nama yang meramaikan geliat kesusastraan Purwokerto, antara lain; Komunitas Sastra Alam (SALAM), Komunitas Sastra Dukuh Waluh, Bunga Pustaka, Sanggar Sastra Wedang Kendhi (SSWK), Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Cab. Purwokerto, Komunitas Lentera, dan Purwokerto Literary Community (PLC).
Munculnya komunitas sastra di Purwokerto tidak terlepas dari pengaruh dari kota lain seperti Yogyakarta, Solo, Semarang dan Jakarta yang terlebih dahulu ada dan terbukti memebesarkan sastrawan-sastrawan di kota tersebut.

Sejarah
Jika kita menilik ke masa lalu, komunitas sastra di Purwkoerto telah ada sejak tahun 1971. Pada waktu itu berdiri Sanggar Pelangi yang dimotori oleh Dharmadi dan kawan-kawan. Lalu pada tahun 1974 lahir Himpunan Penulis Muda (HPM); dan diikuti oleh berdirinya Lingkar Seni dan Budaya pada tahun 1986; dan kancah Budaya Merdeka pada tahun 1993.
Dari komunitas-komunitas tersebut lahir beberapa nama antara lain Mas’ut, Bambang Set, Dharmadi, Surya Esa, Herman Affandi, Ahita, Edi Romadhon, dan Nanang Anna Noor.


Peranan Komunitas Sastra
Komunitas sastra adalah sekelompok individu yang cinta dan aktif berkegiatan mengapresiasikan sastra secara bersama-sama. Kegiatan tersebut tentunya memiliki tujuan mengembangkan kesusastraan. Sedangkan kegiatan pengapresisasian sastra dari komunitas tersebut antara lain: penulisan karya sastra, pembacaan karya sastra, diskusi, penerbitan karya dan sebagainya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa komunitas sastra memiliki peran yang cukup besar bagi perkembangan sastra terutama di daerah. Setiap komunitas sastra memeiliki ikatan yang kuat dengan komunitas lain. Dalam perkembangannya terjadi sistem jaringan yang kuat yang saling bahu-membahu memeperkenalkan karya sastra kepada komunitas lain.
Komunitas sastra juga berperan dalam mengangkat nama individu. Individu tersebut akan lebih mudah dikenali jika mereka membawa nama komunitas tempat mereka aktif bersastra.
Selain itu, komunitas sastra juga berperan sebagai motor penggerak geliat kesusastraan di suatu wilayah. Semakin banyak komunitas sastra yang ada di suatu daerah, kegiatan bersastra di daerah tersebut pun semakin sering dan beragam.

Peran Komunitas Sastra di Purwokerto
Sejak semakin sedikitnya sastrawan senior di Purwokerto yang masih aktif berkarya dan berkegiatan sastra, maka komunitas sastra yang dimotori oleh anak-anak muda tersebut yang kembali menggeliatkan kegiatan berkesusastraan di kota mendoan ini.
Berbagai macam kegiatan dilakukan oleh komunitas tersebut. Seperti misal acara Ngobras atau Ngobrol Bareng Sastra yang diadakan oleh antar komunitas yaitu SSWK, SALAM, dan HTKP, diskusi setiap malam Kamis oleh Bunga Pustaka, dan diskusi Rabu malam oleh PLC. Penerbitan Buletin Kakawin oleh Komunitas SALAM, Buletin Wedang Kendhi oleh SSWK. Juga mengadakan lomba menulis cerpen Islami hasil kerja sama KSI Cab. Purwokerto dan UKM ICOOL Fakultas Ilmu Budaya UNSOED Purwokerto.
Selain itu juga penerbitan buku oleh komunitas sastra tersebut. Penerbitan tersebut antara lain antologi puisi Desire Dia yang Terlupakan, Terimakasih, dan novel Habis Terang Terbitlah Gelap (SALAM), antologi puisi Jejak Tapak Langkah, CPNS Calon Penyair Negeri Sastra, Penyair Bengal, Sajak Sampah, Berkawan Hujan, Panggung, Dalam Asap Kata-Kata, Mata Malam, antologi cerpen “Banyumas” (Banyumas dalam Tanda Kutip), kumpulan naskah drama Bangka, dan kumpulan naskah monolog Orang-Orang Tak Terkenal (HTKP), antologi puisi Makan Malam, Sepotong Cinta Di Ujung Sepatu, dan Belajar Menulis Sajak Cinta (SSWK).

Teater
Selain komunitas sastra, kegiatan kesusastraan di Purwoketo juga tidak lepas dari peran komunitas teater. Hal ini disebabkan adanya keterikatan batin antara sastra dengan teater. Komunitas teater mengapresiasikan sastra ke atas panggung dalam wujud pementasan.
Di sela-sela berteater, mereka biasanya mengadakan acara yang berbasis sastra seperti malam apresiasi puisi, peringatan Chairil Anwar, tadarus puisi, lomba baca puisi, lomba penulisan cerpen, seminar sastra, dan sebagainya.

Puisi Ryan Rachman di Minggu Pagi

Dimuat di Minggu Pagi Minggu III Desember 2009

KAMBOJA
-Edi Romadon

bukankah ia akan selalu berguguran menimbun tanah basah
di pelataran rumah? berguguran seperti sayap laron-laron yang tak
mampu menahan panas lampu penerang jalan raya
di awal musim hujan. di pelataran rumah. rumah tanpa jendela kaca
atau ventilasi untuk sirkulasi. rumah masa depan. rumahku,
rumahmu, rumah kalian, rumah kita

dia akan selalu berguguran. menebar aroma kematian yang amboi
seramnya, yang amboi cekamnya. aroma kematian pada jiwa-jiwa yang
tak kutahu rimbanya. seperti angin yang berkelana tak tentu mata angin

dan kita hanya bias merangkai kamboja yang berguguran menjadi origami
doa dan doa, supaya aroma kematian yang menakutkan itu berganti
wajah menjadi aroma kematian yang amboi asyiknya, yang duhai
nikmatnya. yang ah lembutnya. seasyik permainan playstation, senikmat
matahari, selembut kue bolu kukus. seindah kematian

Purwokerto, Mei 2009




AKU PUN PULANG

Aku pun pulang
Berkendara malam dan deru aspal beku
Pulang menjemput rindu
Pada aroma bunga yang ditanam ibu di depan rumah
Pada bisik pasir yang diramu bapak menjadi istana
Pada lengking yang tersiar dari bibir adik-adikku

Dan aku pulang
Sebab aku hampir lupa
Bagaimana cara melelapkan mata pada kasur busa
Dan malam semakin basah

Sumpyuh, November 2008

AMPLOP MERAH


Amplop ini kutemukan di beranda cakrawala yang memerah. Di sampulnya tertulis namau dengan tinta merah. Ketika perlahan kubuka, kutemukan wajahmu memerah seraya menumbuhkan air mata merah dari mata merahmu. Dan hisung merahmu meenetes aroma menusuk udara. Dan bibir merahmu tumbuh bola sebesar bunga mawar merah di taman belakang stasiun kota. Aku hanya menemukan wajah merahmu tanpa tubuh, tanpa tangan, tanpa kaki, tanpa kelamin. Wajah merahmu saja

Langit berjalan menjadi merah. Malam yang merah semerah wajahmu. Tanganku pun memerah teriris amplop berisi wajah merahmu. Maka segera kuremas amplop merah itu menjadi burung nasar dan kulempar sejauh mataku memandang. Kubiarkan kau terbang di langit merah menuju bulan merah, planet merah, dan rumah para alien berkepala merah

Aku pun masuk ke kedalaman tempat tidurku mengantar tubuh menjemput pagi. Ketika kubuka tubuhku, kudengar teriak ayam jantan bersuara merah. Berteriak memanggil namamu. Seluruh binatang pagi berkicau memanggil namau dengan suara yang memerah. Dan kubuka jendela, kutatap langit pagi berbalur merah. Di balik awan yang memerah, ribuan burung nasar merah yang kuremas tadi malam terbang dengan kecepatan supersonic membentuk formasi tempur 4-4-2. Terbang melesat ke arahku. Satu persatu menembak tubuhku lalu mencincangnya. Dan kepalaku dipungutnya lalu diselipkan ke dalam amplop berwarna merah. Semerah cakrawala. Semerah wajahmu

Purbalingga, 23 Juni 2009