18 Maret 2009

TERKUBUR SAJAK


Rumah-rumah terkunci rapat. Manusia berlari di lemari mimpi. Serangga berlagu decit menggesek sayap-sayap tipisnya. Tak ada purnama, sabit, atau separuh. Bayangnya pun tak hadir. Halimun tak pernah hilang sedari berjuta menit lalu hingga kapan tak tentu waktu
Dan kamar kecil meremang pijar lampu 5 watt di sebuah rumah kecil di kaki bukit. Terkepung rumputan pohon kelapa. Di tempat itu, seorang penyair muda sakit menuju mati. Mata pena nimbus tubuh kurus. Laksa helai kertas yang berserak di lantai tak berkeramik.
Pena berkarat. Tinta penuh tuba meringsek ke dalam tubuhnya. Lalu dari setiap luka menyemburlah darah busuk. Setiap perciknya ditunggangi ribuan kata.
Kata-kata menyembur. Kata-kata berenang. Kata-kata tenggelam. Kata-kata terbang. Kata-kata hilang. Lenyap tak terjejak.
Penyair muda mengejang. Penyair muda membujur kaku biru.
Tiba-tiba dari setiap pori udara, kata-kata muncul bersama anak cucunya. Menjelma kafan. Menjelma keranda. Menjelma lahat. Menjelma nisan. Menjelma puisi. Puisi menjelma puisi-puisi. Puisi-puisi tertumpah di liang lahat. Mengubur tubuh kaku penyair muda

Purbalingga, April 2008

SURAT



Dalam kotak mimpiku surat ilalang tanpa sayap darimu hinggap. Sejuta kata terpahat di dalamnya diantara ruas dan ruas. “Bawakan aku fajar sebelum matahari menggelinding mengoyak-moyak anyelir-anyelir yang menguncup di pelataran kalbu perempuan kabut memekat”, tulismu.

Maka segera kucari matahari di segala sudut kota, di pertokoan, di warung remang-remang, di stasiun, di kotak surat, di bawah bantal, di balik awan, di daun rumputan, di rinai hujan, di pekik kelelawar, di atas menara, di arca-arca dewata, di mata pena, di saku celana, di telaga warna. Aku mencari. Tak nampak jua batang hidungmya.

Aku malah menemukan bulan sabit terikat di dalam sajak-sajakku. Bibir tanpa gincunya mendesis binal seperti ular. Menelusuri saluran-saluran air mencari serumpun makan malam. Hendak ku bawa bulan ke pangkuan jemari-jemari kayumu yang menelungkup, lalu apakah jemarimu kan terlentang? Lalu kau semakin mengerang?

Tintaku seketika membeku menjadi abu lalu terbang bersana kepak lembut sayap-sayap malam. Mata penaku seketika pecah ujungnya membuat mozaik-mozaik air mataku air matamu di daun langit

Kebumen, April 2008

SURAT KEPADA KAWAN


Kawanku di negeri bidadari,
Aku menulis surat ini bukan atas apa-apa
Bukan atas nama cinta atau luka
Hanya sekedar ingin berkabar saja

Kawanku di negeri bidadari,
Bagaimana kabarmu?
Bagaimana kabar negerimu?
Aih.. pastilah kau selalu pelangi
Semerdu angin yang berbisik di negerimu

Kawan,
Negerimu negerimu
Negeriku negeriku
Negeriku tak seperti negerimu

Negeriku memang dulu pernah seperti negerimu
Hijau seperti saphir di cincin yang melingkar di jari manis kekasihku
Biru seperti pita yang melingkari topi di atas rambut legam kekasihku
Kuning seperi langsat kulit tubuh kekasihku
Jingga seperti senja di belakang rumah kekasihku
Nila seperti cat kuku yang tergambar di jari-jari lentik kekasihku
Ungu seperti renda teronce di baju tidur kekasihku

Tapi kini tidak kawan
Bila kau tatap dari angkasa
Maka negeriku merah kehitam-hitaman
Seperti darah yang membeku

Perkelahian, pengroyokan, perang antar suku, pembunuhan
Menjadi sarapan di halaman utama koran pagi
Pencurian, penipuan, penghiantan, pembalakan, korupsi, kolusi
Menjadi minuman segar di terik siang

Kawan,
Di negeriku tuhan diuangkan
Uang menjelma tuhan
Maka manusia beruang
Dia akan menitis tuhan

Kawanku di negeri bidadari,
Bila hujan di negerimu
Pastilah menyulap rumput menjadi bunga
Menyulap bunga menjadi buah
Dan menyulap buah menjadi berkah

Tapi tidak di degeriku
Di sini hujan menyulap apa saja menjadi kematian
Hujan air mata!
Banjir air mata!
Air mata darah!
Air mata siapa saja
Air mata berbau anyir

Kawan, bila kau berkunjung ke negeriku
(sebaiknya jangan pernah terpikir untuk itu)
Kau akan disambut dengan tangis
Perjalanan wisatamu akan diringi dengan tangis
Dan kau akan diantar pulang dengan tangis

Tangis yang histeris
Membuncah dari mulut-mulut manusia
Yang selalu dimata-matai kematian
Manusia siapa saja

Busung lapar, kurang gizi, kekeringan,
Kemiskinan, kebodohan, penggusuran,
Pemulung, pengemis, gelandangan,
Harga yang mencekik
Dan segala macam kereta kencana kematian

Kawan,
Di negeriku merpati, kutilang, murai, kakatua
Menjelma ribuan gagak
Berteriak, berteriak, pekak!
Mengabar irama kematian
Pada jiwa-jiwa kami

Cecndrawasih, merak, gelatik, elang
Menjelma ribuan nasar
Menari merentang sayap
Berputar, berputar, putar!
Berpusing di kepala kami
Memata-matai kami
Mengoyak tubuh kami yang hanya terbungkus kulit

Kawanku di negeri bidadari,
Aku ingin sekali pergi bersama saudara-saudaraku
Mengunjungi gedung teater
Dan menyaksikan drama tentang Panthom of The Opera
Atau tentang Hamlet atau tentang Odipus seperti kau

Tapi di negeriku, opera hanya tentang kebohongan-kebohongan saja
Kebohongan manusia kepada tuhan
Kebohongan manusia kepada alam
Kebohongan kepada manusia
Kebohongan kawan kepada kawan
Kebohongan pemerintah kepada rakyat

Pemerintah di negeriku adalah adipemerintah
Memerintah seenak pusar
Melangitkan harga kebutuhan perut
Minyak membumbung, beras membumbung, lauk membumbung

Gedung perwakilan rakyat telah menjelma menjadi gedung teater
Yang mempertotonkan sandiwara-sandiwara aneh yang tak bermutu
Para aktornya hanya membuat peraturan-peraturan tak berguna
Saling berdebat kusir, saling pukul, saling cemooh
Atau hanya tidur saja kala sidang

Para wakil rakyat gagah berdasi yang duduk di atas sana
Mereka pemakan uang rakyat
Tanpa mendengar keinginan rakyat
Tanpa peduli pada rakyat

Kawanku di negeri bidadari,
Di negeriku, aparat menjadi kerat
Pengayom masyarakat hanya menjadi semboyan
Yang tertempel pada baliho di tepi jalan

Pendidikan gratis, pengobatan gratis,
Bahan-bahan murah, Santunan bagi orang tak mampu
Hanya menjadi mimpi di atas mimpi tidur siang
Yang tak nyenyak kami

Kawanku di negeri bidadari,
Aku merindu hidup seperti di negerimu
yang pernah kau ceritakan padaku
Hidup nyaman, aman, tentram, damai

”Bila pemerntah bengkok, maka puisilah yang meluruskan”
Pastilah kau pernah mendengar jargon itu
Itu tak terjadi di negeriku kawan
Puisi hanya menjadi barang aneh yang terpampang di surat kabar minggu
Menjadi bungkus nasi atau makanan ringan
Teremas, terbuang, terinjak dan terlupakan

Ah…kawanku di negeri bidadari,
Aku terlalu melantur menuliskan surat ini padamu
Kali waktu aku kan menulis lagi tentang negeriku
Sebab semua yang kutuliskan tadi di atas belumlah semua

Kebumen-Purwokerto, Agustus 2008

LAHIRLAH PUISI



Kirimkan aku kertas dari lembar-lembar awan yang memutih. Selipkan di antara helai rambutnya tinta dari sublimasi segala rupa halimun yang berenang di setiap telaga. Biar kunikahi keduanya dalam ikatan dengan kata-kata dan doa yang paling memabukkan sebagai pitanya. Maka biar menjadi sepasang kekasih yang paling kasih. Dan setiap malam berdentang, upacara sanggama kan selalu territuas. Dan dari rahimnya akan lahir ribuan puisi terindah. Puisi lincah seperti anak-anak kucing yang berenang dengan bola karetnya

Sanggar Sastra Wedang Kendhi, Januari 2009

MENJEMPUT MIMPI



Mari kita menjemput mimpi
Tentang kupu-kupu
Yang terbang mengitari
Halaman hijau rumah kita

Mari kita menjemput mimpi
Tentang gerimis pagi
Yang turun riwis
Di wajah bunga-bunga

Mari kita menjemput mimpi
Tentang masa depan pasti
Bumi yang berseri
Memberi tentram pada jiwa

Sanggar Sastra Wedang Kendhi, Februari 2009

AKU TAKUT MENCIPTA PUISI


Aku takut mencipta puisi. Aku takut pada murka tuhan.

Dalam setiap puisi yang tercipta, tumbuh berjuta benalu penuh duri kepalsuan. Merambat dan membebat tubuhnya. Dari tangkainya berbuah cacian kepada manusia, bumi, langit, dan tuhan. Ketidakpuasan terhadap pemerintah, peraturan, kebijakan, sosial, terhadap tanah, hujan, angin, air, api

Dalam puisiku tak ada mutiara terpatri, tak ada pencerahan bagiku, dan bagi manusia. tak ada kata indah dan pesan menawan

Dalam puisiku lahir kebusukkan, perlawanan, demonstrasi, subversive, protes, teriak, tangis, kaum miskin, kumuh, penindasan, penyingkiran, penghianatan, kejahatan, gelap, mimpi

Kemana burung kecil terbang, tak pernah hinggap dalam puisiku. Kemana bintang berkerlip, tak pernah menerang puisiku. Kemana angin berdesir tak pernah menjenguk puisiku

Sanggar Sastra Wedang Kendhi, Februari 2009

REKENING

Buku tabungan kita
Setiap hari
Perlahan menjelma
Daftar hutang
Pada setiap orang

Purwokerto, Januari 2009

TAK ADA LAGI PUISI UNTUKMU


Sebuah ruang kerja. Terdapat sebuah mesin ketik di atas meja lengkap dengan kursinya. Di sebelah mesin ketik terdapat setumpuk kertas dan beberapa lembar amplop. Dan sebuah foto wanita dalam bingkai. Di tembok tergantung sebuah jam dinding. Di tengah tengah ruangan terdapat sebuah meja kecil dan sebuah kursi agak panjang. Di atas meja tersebut tergeletak sebungkus rokok, sebuah asbak dan korek api. Di lantai tampak kertas berserakan.

Seorang laki-laki kira-kira berumur tiga puluh tahun. Duduk di depan mesin ketik. Rambutnya acak-acakan dan kelihatan mulai memutih . wajahnya seperti memendam kekalutan dan kesediahan. Sebatang rokok menyala menempel di bibirnya. Dia memakai celana panjang dan kaos singlet. Dia hendak mengti sesuatu. Berfikir sejenak, lalu mulai mengetik. Tak berapa berselang, diambilnya kertas di mesin ketik tersebut dan meremasnya. Begitu berulang-ulang sampai dua kali. Dia mengetik lagi. Setelah selesai, dia bangkit dan tersenyum puas, lalu dibacanya hasil ketikannya tersebut.


Pemain :
(Berdeklamasi) Tak ada lagi puisi untukmu. Malam ini, lembar kertasku tak memutih lagi. Kelabunya mendung meruang lekat di wajahnya. Pekat indah. Tak seperti malam-malam lalu. Tak ada lagi gunanya puisi-puisi cinta untukmu yang kan tercoret di atasnya. Hanya rinai-rinai hujan yang berjatuhan di ujung pena rinduku. Perlahan gerimis gemericik melebat, membanjir bersama luka, petir lara dan air mata.

Tak ada lagi puisi untukmu. Tak puisi bagus, tak puisi jelek, tak puisi cinta, tak puisi rindu, tak puisi kasih. Tak. Semuanya tak.

Dia mencari amplop, lalu memasukkan tulisannya ke dalamnya. Setelah direkatkan dengan lidahnya, dia keluar panggung. Selang beberapa lama dia kembali masuk tanpa membawa amplop.

Pemain :
(Berteriak) Wahai merpati pengantar surat, layangkan puisi tadi untuk bunga di taman sebelah !

(Berjalan, lalu mengambil foto dan ditimangnya)
Itu tadi puisi terakhir untukmu. Setelah itu, tidak akan ada lagi puisi yang aku layangkan padamu. Akupun telah berkata kepada merpati pengirim surat untuk tak lagi berkunjung ke sini. Aku juga katakan padanya kalau ada puisi atau sesuatu dari kau untuk tak usah dia berikan padaku. Lempar saja di tengah jalan biar terbang bersama angin, atau dibuang di tong sampah biar dimakan anjing, atau juga aku suruh dia kembalikan padamu. Ya, aku pun tak sudi lagi menerima puisi-puisi darimu lagi. Mulai detik ini, antara kita tak lagi ada perasaan yang mengikat hatiku-hatimu. Maka,…… sudahlah, lebih baik kau robek-robek saja puisi-puisi yang pernah aku layangkan padamu. Robek saja, seperti kau merobek hatiku. Aku pun akan membakar semua puisimu yang hinggap di rumahku bersama seluruh rasa cintaku padamu. Biar semua menjadi abu, terbang dan lenyap ditelan angin.

(Meletakkan foto di atas meja) Cinta oh cinta. Beginilah cinta, deritanya tiada akhir . Aku memang bodoh. Mengapa aku harus mencintaimu dan sekarang aku harus terluka. Aku baru sadar, ternyata cinta itu sebuah masalah . Cinta adalah bahaya yang lekas menjadi pudar .

(Mengambil foto) Dulu, kau bilang kalau aku adalah sebuah oase di gurun Kalahari, dan kau adalah pengembara yang dahaga.
(Menirukan suara perempuan). “Basuhlah jiwaku yang meranggas dengan sejuk cintamu, agar hilang segala pedih peri . Sirami jiwaku dengan sejuk kasihmu, agar tak lagi gersang hatiku. Biar rerumput serentak menghijau dan bebunga serentak mengembang. Biar hidupku penuh warna-warni mengharumkan.”

Lebah mana yang tak silau ketika bunga warna-warni membius hidungmya dengan harum segala rupa? Akulah lebah itu. Seketika mengambangkah sayap-sayap lemahku mendengar mantra-mantra yang kau ucapkan. Kau tahu? Jiwaku melambung mengangkasa menggapai pelangi di cakrawala. Akui tak dapat mengucap kata waktu itu.

Seperti kau yang merindu datangnya kekasih, pun halnya diriku. Aku adalah siang yang merindu terang segera dating melenggang. Agar aku tetap menjadi siang. Dan kau tahu? Segala terang terpatri dalam jiwamu. Aku ini binatang jalang yang merindu datangnya wanita membasuh jiwa sepiku. Kau dating dengan terang, menghapus malam dan segala jejaknya. Buatku tetap menjadi seorang siang.

(Meletakkan foto, lalu berjalan kearah jam dinding) Kau ingat berapa kali jam berdentang menemani langkah kita? Ya, banyak, tak terhitung angka. Seperti itu pula puisi-puisi kita yang hinggap di kotak surat di depan rumah kita masing-masing. Aku ingat puisi yang kau berikan padaku beberapa purnama lalu.

(Berdeklamasi) “Aku-kau bagai pengantin ratu, jangan dipisahkan oleh ruang dan waktu. Jadikan aku kakitanganmu dalam gerak kehendakmu. Dengan apa adanya, aku ingin mencintaimu yang sebenarnya. Bacalah isi hatiku, betapa merindukanmu. Dimana kau bersembunyi, kucari hatimu unmtuk kucium dan kuajak bercumbu dalam percintaan sejati. Aku tak peduli dengan basah tubuhku dalam hujan yang bertubi-tubi diruntuhkan langit. Sebab hangat tubuhmu telah menyelimuti dingin hatiku . Aku berombang bersama nafasmu, merajut cinta dasar yang tak ada. Batinmu mengandali. Bisik lembut runtuhkan batu pembatas pagar maya engkau dan aku .”

Ya, ya… kita sedang dijerat asmara cinta. Hari-hari menjadi sok puitis. Makan tak enak, tidurpun tak nyenyak . Kita sedang diracun asmara kembaradan terbang di langit sandhikala. Patahkan sayap-sayap tipisnya. Biar tak dapat kita kemana tempat .

Kau ingat berapa lama jam berdetak menemani langkah kita? Ya la, lama sekali. Selama itu pula kelopakmu mengetuk mimpi malam-malamku. Dan selama itu pula aku menjadi laut yang setia menerima datangnya air yang bermuara dari sungai-sungai segala rupa. Aku menjadi tanah yang selalu rela menerima bila hujan turun tanpa rencana . Aku setia belajar menjadi kekasih yang setia! Kupercaya cintamu bagai bunga yang kering mengharap turunnya hujan . (menunjuk ke arah foto) Lalu mengapa kau tanyakan tentang kesetiaan!? Kenapa kau sangsikan!!??

Kau tahu, aku rela menjadi remah-remah ranting kering agar kau tetap menyala. Aku rela menjadi daun hijau yang selalu tersaji dalam setiap perjamuan makan malam-malammu agar perutmu kenyang nanti dalam meditasimu saat hendak menjadi kupu-kupu. Aku tak berontak, menjadi bunga yang selalu kau hisap sari-sari pelangi di kelopaknya. Aku selalu senang menjadi air agar kau leluasa berenang merunuti masa depan. Aku rela menjadi apapun yang inginkan . aku rela. Aku rela. Lalu mengapa kau tanyakan tentang kesetiaan!!?

Lalu dimana kau saat aku menjadi batu? Dimana saat aku menjadi lebah? Belum sempat kita berbulan madu wujudkan mimpi tentang masa depan dan anak-anak, kau biarkan kumbang itu datang menjemputmu ke taman hati yang lebih indah. Kau asyik bercinta di ranjang empuk dengannya. Kau tertawa membiarkan serbuk sarimu terbang dihisap olehnya. Seperti itu masih kau tanyakan tentang kesetiaan kepadaku? Lalu apakah kau setia? Katakan, katakan. (sambil mengambil foto lalu membantingnya ke lantai) katakan!!! (menangis) katakan…

(Mengambil lembaran foto dari bingkai yang pecah) Pergilah. Pergilah dengan kumbang perkasamu. Aku telah merelakanmu walau sembilu menyayat hati. Takperlu kau meminta maaf padaku. Tak usah kau layangkan lagi puisi-puisi untukku. Jendela rumahku telah kututup. Kotak surat di halaman rumahku telah kubakar. (Mengambil korek api) Akan kulupakan semua tentangmu. Akan kubakar semua tentang kita di hatiku. (Membakar foto) aku akan menghapus jejakmu di jiwaku. Ini kali, tak ada lagi puisi untukmu.

Selesai

16 Maret 2009

JANJI HUJAN


Aku percaya pada ucapan bibirmu senja itu, ketika kita berlari berkendara hujan. Dan tak ada petir bergemuruh di langit bermendung ketika janjimu terucap. Tapi di sini, di dadaku gemuruh itu berjingkat tiada bertepi. Seperti bising ombak menabur debur di tepian atol

Dan sore ini hujan berkunjung lagi di pelataran rumahmu. Hujan pertama di musim kelima, sejak kau bisikkan janji itu. janji kepadaku. Janji kepad hujan. Janji kepada senja

Aku berdiri membeku menjadi tugu di bawah hujan. Menanti angin mengantar surat member kabar tentangmu dan hari-hari manismu tanpaku di situ. Di titik tak terpetakan

Aku percaya pada janjimu

Kebumen, Februari 2009

LELAKI TUA DAN PIANO


Desember yang dingin. Sore yang membosankan. Kuambil sweater yang tergantung di belakang pintu dan kuputuskan untuk keluar dari Manhattan Broadway Hotel. Kulangkahkan kaki menelusuri Broadway. Udara Manhattan sore itu begitu menusuk sum-sum tulang. Jalanan sepi. Salju sisa semalam masih menutupi jalan. Aku terus malangkahkan kakiku. Mataku ngembara memperhatikan burung-burung yang terbang berkejaran. Hidungku kembang kempis, memerah menghirup udara yang dingin.

Sesampai di First Avenue langkahku terhenti. Kuputuskan untuk masuk ke Caracas Arepa Bar. Sebuah bar dengan gaya Venezuela. Aku duduk di meja deretan belakang. Mataku langsung tertuju ke atas panggung. Seorang lelaki tua sedang duduk menyanyikan sebuah lagu sambil memainkan piano di hadapannya.
Seorang pelayan wanita datang menghampiriku.

Good afternoon sir. Mau pesan apa?” Sembari disodorkannya daftar menu kehadapanku.

Kubaca urutan menu satu persatu.

”Capuccino,” sambil kusarahkan daftar menu kepadanya

”Baik, tunggu sebentar, pesanan segera datang, permisi tuan.” Pelayan itu segera pergi meninggalkanku. Tak lama berselang, wanita Latin itu kembali menghampiriku dengan membawa nampan di tangan kirinya.

”Selamat menikmati, tuan,” ucapnya sambil tersenyum.

”Terimakasih,” sahutku. Lalu dia kembali ke tempatnya semula.

Sambil mendengarkan alunan musik, segera kunikmati makanan yang tersaji di depanku. Sedikit demi sedikit. Makanan yang nikmat, musik yang merdu. Namun dari merdunya musik itu dapat kurasakan jika lelaki tua itu sedang dilanda kesedihan yang luar biasa. Ya, dia sedang menyanyikan lagu sedih. Sebuah lagu yang menyayat. Seolah membuka kembali luka lama yang terpendam di dasar samudera. Aku ikut hanyut dalam nada-nada yang diciptakannya.

Kafe tampak sepi sore itu. Hanya beberapa orang tamu yang datang. Meja yang lain masih kosong tak berpenghuni. Seorang wanita duduk di meja paling depan. Dia masih muda dan cantik. Rambutnya yang keemasan tergerai jatuh hingga sebatas bahu. Diperhatikannya dengan penuh konsentrasi lelaki tua yang sedang bermain piano di hadapannya. Dia tampak menikmati alunan nada-nada yang keluar dari piano itu. Segelas Red Wyne yang tergeletak di mejanya diraihnya lalu diseruput sedikit demi sedikit, lalu diletakkannya kembali ke tempat semula. Dan dia masih menikmati permainan orang tua itu.

Di meja tengah, tampak sepasang orang tua duduk berhadapan. Mereka sedang dilanda perasaan yang luar biasa bahagia. Mereka sedang merayakan hari jadinya yang ke tiga puluh. Ya, mengenang masa bercintanya dulu. Di kafe ini tiga puluh tahun yang lalu adalah kali pertama mereka merajut benang api cinta. Tepat pada hari ini.
Lagu pertama telah habis. Tepuk tangan pengunjung cafe pun menyambutnya. Ya, meski hanya beberapa tepuk tangan. Lelaki tua itu terdiam sebentar, lalu mengambil sebotol Matini di atas meja piano dan menuangkannya ke dalam gelas kaca lalu menenggaknya tanpa sisa. Diletakkannya kembali gelas itu ke tempat semula. Tak lama kemudian dia asyik kembali berkutat dengan tuts-tuts pianonya memainkan lagu kedua.

Mataku masih tertuju memperhatikan gerak-geriknya. Sesekali melayangkan pandangan ke sekelilingku lalu kembali ke titik semula. Mulutku berhenti bergerak mengunyah setelah makanan di hadapanku benar-benar tak tersisa. Kunyalakan sebatang Lucky Strike, kuhisap dalam-dalam, kusemburkan asapnya ke udara ruangan. Demikian dan kuulangi lagi seperti itu. Lalu kuseruput capuccino dan kusisakan separuh. Tapi mataku tak lepas dari lelaki tua itu. Lelaki dengan raut wajah penuh dengan kesedihan.

Selang beberapa menit, lagu kedua berakhir juga. Tepuk tangan orang-orang yang ada di kafe itu pun pecah kembali. Tetapi hanya sebentar saja, lalu mereka sibuk dengan urusannya masing-masing.

Laki-laki tua itu bengkit dari bangku pianonya. Agak sedikit gontai. Tiba-tiba matanya tertuju padaku. Lalu dilangkahkan kakinya ke arahku dan duduk di sebelahku.

”Hai, sepertinya kamu bukan orang sini, baru pertama aku melihatmu di sini?” Tanyanya.

“Ya, namaku Ryan, Ryan Rachman, aku dari Indonesia,” jawabku.

“Oh, Snoop, Snoop Timberwood.”

“Permainan piano yang sangat indah, aku sangat menikmatinya.”

Thanks, kalian orang Indonesia memang senang memuji.”

“Yaa, seperti itulah kenyataannya,” jawabku singkat “aku rasa kedua lagu yang kamu mainkan tadi adalah lagu sedih, bukan begitu?” tanyaku.

Dia diam agak lama.

“Yeah, memang,” tiba-tiba dia berkata dengan suara berat. ”aku teringat istriku, kedua lagu itu adalah lagu kenangan kami dulu,” lanjutnya. Dia menoleh ke arah meja pelayan. “Bawakan aku segelas Martini!” Teriaknya parau. Lalu matanya jelalatan mengawasi setiap pengunjung satu persatu. Tak lama kemudian pelayan cantik itu datang membawakan pesanannya. Tak menunggu lama, Martini di gelas kaca itu ditenggaknya.
Aku pun menyeruput capuccinoku yang tinggal separuh namun tak kuhabiskan. Kusisakan buat nanti.

”Namanya Daisy Candlenight. Kami menikah lima puluh tiga tahun yang lalu. Dia berasal dari kota ini. Sedangkan aku berasal dari North Carolina. Aku dipindah tugaskan oleh departemen kepolisian di sini setelah lulus akademi kepolisian. Di kafe inilah pertama kali kami bertemu. Di bangku yang kita duduki sekarang. Waktu itu dia sedang duduk termenung sendiri. Dia mengenakan baju terusan lengan panjang warna biru muda. Bandana dengan warna yang sama menghiasi kepalanya. Rambutnya diikat menjadi dua.”

Aku memperhatikannya penuh dengan sesama. Sebenarnya aku merasa heran. Kami berkenalan baru beberapa menit lalu, bahkan tidak lebih lama dibanding cengan umur capuccino yang kupesan, namun sepertinya dia hendak menceritakan kisah hidupnya kepadaku tanpa merasa curiga. Tapi apa boleh buat, sepertinya kisahya akan menarik.

”Lalu apa yang terjadi dengan istrimu sekarang?”

Dia terdiam. Sambil mengambil satu batang rokok yang tergeletak di atas meja, dia berucap, ”may I?” Belum sempat aku menjawabnya, dia sudah menaruh di mulutnya dan menyalakannya.

”Tiga tahun yang lalu. New York City. Kami sedang berlibur merayakan pernikahan kami yang ke lima puluh. Siang itu, kami baru jalan-jalan. Entah kenapa ia ingin sekali berfoto di depan World Trade Center. Belum lengkap rasanya jika berlibur ke New York jika tidak berfoto di depan gedung kembar yang megah itu, katanya. Yah, demi istri tercinta aku pun menurutinya. Dia berdiri di depan gedung itu dan aku yang mengambil gambarnya. Belum sempat aku mengambil gambar, tiba-tiba sebuah pesawat datang dan menabrak gedung itu, dan...” dengan suara berat ”....dan dia tertimpa reruntuhan gedung itu.” Snoop tak dapat membendung air matanya.

”Dia meninggal tepat di depan mataku. Aku melihat ketakutan di raut wajahnya,” Snoop mengusap air matanya dengan kedua telapak tangannya.

”Andai saja waktu itu aku tak menuruti keinginannya, pasti kejadiannya tidak akan seperti itu. Aku memang bodoh,” lanjutnya.

Aku dapat merasakan kesedihan yang mendalam dalam hati Snoop. Aku pun tak kuasa untuk ikut menitikkan air mata.

”Maafkan aku Snoop. Aku tak tahu jika yang kau alami begitu menyedihkan.”

”Tak apa.”

”Sudahlah Snoop, semuanya telah terjadi. Lagi pula itu bukanlah kesalahanmu. Semuanya telah digariskan oleh tuhan. Tak perlu kau menyesalinya,” hiburku.

”Ya, semuanya memang telah digariskan,” timpalnya.

Tiba-tiba dia bangkit dari tempat duduknya.

”Malam sudah larut, sebaiknya aku pulang. Terima kasih orang Indonesia, terima kasih karena kau telah mau mendengarkan ceritaku dan mendengarkan lagu yang kumainkan tadi,” katanya.

”Sama-sama”

See you. Good night

Good night.”

Dia segera keluar dari kafe itu. Aku pun segera menyeruput capuccino-ku yang sudah dingin lalu kupanggil pelayan dan membayar makanan yang kumakan tadi. Segera aku bangkit dari tempat dudukku dan keluar dari kafe itu. Udara dingin begitu menusuk tulangku. Kupercepat langkahku menuju ke hotel tempat kumenginap. Langit Desember malam ini begitu cerah namun tak secerah hati Snoop, lelaki tua dengan piano yang bersamaku tadi.

Sanggar Sastra Wedang Kendhi, Oktober-Desember 2006

AKU AKAN SETIA MENANTIMU ATAU LEGENDA DEWI SEKAR


Di kaki bukit di desa kami terdapat sebuah patung wanita. Patung itu bernama patung Dewi Sekar. Jika bulan purnama tiba langit akan sangat bersih, tak ada mendung menggantung dan bintang-bintang pun seakan lenyap tak tercecer di sana sini. Hanya ada satu benda yang tergantung di langit, sebuah loyang besar berwarna terang. Yang jelas tak ada sesuatu yang menghalangi cahaya bulan untuk sampai ke bumi. Alam menjadi sunyi senyap, tak ada satu suara pun yang terdengar. Serangga-serangga malam terkunci mulutnya, angin tak berani berhembus menggoyangkan dedaunan atau reranting pohon, lalu serta merta akan tercium bau wangi yang membahama menusuk hidung hingga ke ulu hati. Malam itu seakan waktu berhenti berputar dan tak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali.

Saat sinar bulan menerpa patung Dewi Sekar, perlahan patung itu akan berubah bentuk menjadi sesosok wanita yang cantik jelita. Dia mengenakan gaun putih dengan kaki telanjang. Kedua alisnya nanggal sapisan, dengan bulu mata yang lentik tumengeng tawang. Kedua pipinya nduren sajuring, hidungnya ngundhup mlathi, dan bibirnya nggula satemlik. Rambutnya lurus memanjang hingga ke pinggang. Badannya ramping dengan kulit yang kuning langsat. Kedua kakinya jejang dan jari-jari tangannya mucuk eri. Namun, dari tatap matanya yang sayu, di balik kecantikkannya itu tersimpan suatu kesedihan yang sangat mendalam.

Tak lama kemudian, dari kedua matanya tercurah air mata melewati kedua buah pipi dan bertemu tepat di dagunya, lalu secara perlahan melayang dan jatuh hilang ditelan tanah. Dari bibirnya yang indah itu keluar isak yang menyayat mengiringi air mata. Jika ada orang yang mendengar, maka hatinya akan tersentuh dan serta merta larut dalam kesedihan yang dialami oleh Sang Dewi.

Jika Sang Dewi sudah mulai menangis, maka tak satu orang pun yang dapat menghentikannya, bahkan serangga atau binatang malam. Tidak juga angin, dedaunan, reranting atau rerumputan, mereka tak kuasa untuk menghentikannya. Semua seolah ikut hanyut dalam kesedihan Sang Dewi. Dan dia akan terus menangis dan terus menangis sekeras mungkin hingga menjelang fajar. Setelah berhenti menangis, lalu dia membaca sebuah puisi sedih. Dan ketika puisi itu berakhir, maka dia akan kembali menjadi sebuah patung batu.
***

Desa kami memiliki sebuah bukit yang hijau. Sebuah bukit yang penuh dengan jajaran pohon pinus. Di situ terdapat sebuah sungai kecil yang mengalir dari puncak bukit dengan air yang jernih sejernih hati para penghuni desa. Sungai itu adalah sumber mata air bagi kehidupan kami. Setiap pagi para wanita mengambil air di sungai itu menggunakan periuk yang terbuat dari tanah dan anak-anak kecil mandi bersama dengan tubuh telanjang.

Namun, di balik keindahan itu terdapat sebuah kebiasaan yang entah dari mana mulanya. Kebiasaan itu adalah tak ada satu orang pun yang keluar rumah bila malam bulan purnama menjelang, terutama pada tengah malam. Jadi, setiap malam bulan purnama adalah malam yang sepi. Tak ada anak-anak yang bermain petak umpet atau bermain gobak sodor di halaman.

Ada sebuah cerita yang berkaitan erat dengan fenomena tersebut yang kami peroleh dari orang tua kami. Mereka pun mendapatkan cerita itu dengan cara yang sama. Dan seterusnya dan seterusnya. Sebuah cerita sedih yang memilukan, cerita cinta yang mengharukan.

Senja datang dengan segala cahayanya. Matahari pulang ke gubugnya di balik bukit setelah lelah seharian bersenggama dengan siang. Aku masih duduk di kursi goyang. Menatap kaki bukit yang indah.

Aku beritahukan kepada kalian.

Dahulu ada seorang wanita yang cantik jelita. Dia adalah seorang putri tunggal dari seorang Adipati di sebuah kadipaten pada masa kekuasaan Mataram. Dia bernama Dyah Ayu Sekar. Karena kecantikkannya, banyak pemuda yang jatuh hati kepadanya. Puluhan pemuda datang dengan ketampanannya dan kekayaannya. Dengan rayuan yang indah dengan harapan dapat meluluhkan hati sang putri. Namun dengan lembut sang putri menolaknya. Ternyata dia telah memiliki tambatan hati kepada seorang pemuda dari desa yang bekerja di kadipaten sebagai penggembala kuda. Pemuda itu bernama Bagus Bagaskara.
Putri jatuh cinta kepadanya saat tanpa sengaja dia mendengarkan sebuah puisi yang dibaca Bagus ketika memberi makan kuda-kudanya. Sebuah puisi yang sangat indah dan menyentuh hati. Sekar pun menghampirinya dan mengatakan bahwa puisi dibacanya tadi telah meluluhkan hatinya. Pada awalnya pemuda tersebut menolak cinta sang putri. Tak mungkin seorang abdi dalem, apalagi seorang perawat kuda jatuh cinta kepada junjungannya sendiri. Tetapi sang putri tetap memaksanya. Tak kuasa, akhirnya Bagus pun menerima cinta Sekar karena memang sebenarnya dia juga memiliki rasa yang sama terhadap sang putri.

Dan kisah kasih sepasang kekasih yang sedang dilanda asmara pun dimulai. Mereka memadu kasih di atas punggung kuda. Sekar sangat menyukai saat Bagus membaca puisi-puisinya. Alam akan ikut tersenyum saat mereka sedang berkasih-kasihan walau kisah kasih mereka harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Mereka terus melakukan pertemuan-pertemuan rahasia untuk saling melepas rindu.

Akhirnya kisah kasih mereka diketahui oleh orang tua Sekar. Mereka sangat marah saat mengetahui bahwa putri mereka merajut asmara dengan orang berkasta rendah. Karena tak direstui oleh orang tua Sekar, mereka akhirnya lari dari kadipaten dan menetap di suatu daerah di kaki sebuah bukit. Kisah kasih mereka pun berlanjut di sini dan tak ada satupun yang mengusik percintaan mereka. Tak selang berapa lama, orang tua Sekar mengetahui keberadaan mereka, namun Adipati tidak menghukum kedua sepasang kekasih itu. Dia menyadari bahwa cinta adalah suatu anugerah yang istimewa dari Sang Hyang. Tak peduli dari golongan atau kasta apapun, ningrat atau rendah, semua memiliki hak yang sama dalam soal bercinta. Mereka berdua di ajak untuk kembali ke kadipaten, namun mereka tidak bersedia. Mereka lebih menikmati hidup sebagai orang kecil dan hidup di desa dengan tenang. Adipati pun tak dapat memaksakan kehendak untuk memboyong putrinya kembali.

Suatu saat, terjadi sebuah pemberontakkan yang dilakukan oleh tangan kanan Adipati. Ternyata Bagus memiliki kepandaian dalam soal strategi berperang, maka Adipati menyuruhnya untuk memimpin pasukan dan menumpas pemberontak tersebut. Sebelum Bagus berangkat meninggalkan Sekar, dia berpesan kepada kekasihnya untuk menunggu kedatangnnya pulang. Dengan penuh berat hati, Sekar melepas kepergian pujaan hatinya.
Pemberontakkan telah berhasil di tumpas oleh Bagus dan prajuritnya. Dalam perjalanan pulang, mereka beristirahat di sebuah desa yang tak jauh dari tempat pemberontakkan itu. Mereka menginap di sebuah rumah milik kepala desa. Kepala desa itu memiliki seorang anak perempuan yang cantik dan tidak jauh berbeda dengan kecantikkan Sekar.

Namanya Sri Nareswari. Melihat ketampanan Bagus, Sri pun jatuh cinta kepadanya. Dengan cara yang licik dia menggunakan ajian pemikat untuk memikat hati Bagus. Bagus pun jatuh cinta kepadanya. Akhirnya keduanya menjalin kisah yang indah. Bagus melupakan sesuatu jika saat ini Sekar sedang menunggunya.

Suatu saat, seorang utusan dari Kadipaten datang dan memberitahukan Sekar jika Bagus telah memiliki kekasih yang baru bernama Sri. Tetapi Sekar tidak mempercayai apa yang dikatakan oleh orang itu. Dia yakin jika Bagus adalah orang yang setia, tak mungkin ia menghianati cintanya dan Bagus pasti akan kembali ke pelukannya.

Sekar masih senantiasa menanti kekasihnya pulang ke dekapannya. Dia menunggu dengan penuh kesabaran dan keteguhan. Waktu terus bergulir. Dia merasa sedih karena kekasihnya tak kunjung datang. Tetapi dia masih tetap setia menunggu meski dalam kesendirian. Setiap malam dia selalu menitikkan air mata sambil membaca sebuah puisi yang dibaca oleh Bagus sebelum meninggalkannya.

Wahai kekasihku
Kau lihat temaram itu?
Mereka ikut sedih menghadiri pesta perpisahan kita
Namun, kau tak akan sendiri meski aku jauh dari matamu
Katakan padaku bahwa kau akan selalu menungguku datang dan kembali meraju mimpi kita
Bersama memilin senja hingga maut hinggap di salah satu jendela rumah kita

Satu purnama telah disusul dengan purnama-purnama yang lain. Bulan telah berganti tahun. Sekar pun tak ingat lagi, berapa banyak purnama datang dan menghilang menemaninya dalam kesendirian. Dia masih menunggu dan tetap menunggu hingga tubuhnya mengeras dan berubah menjadi patung. Dan setiap malam bulan purnama tiba, patung itu akan kembali ke wujud aslinya. Sosok wanita dengan kesedihan yang masih mengharapkan kedatangn kekasihnya datang.
***

Senja kini telah hilang. Gelap mengguyur langit menggantikan senja. Aku masih melemparkan pandanganku ke arah kaki bukit dimana patung Dewi Sekar berada. Tiba-tiba, dari dalam istriku keluar menemuiku. Dibawakannya secangkir kopi panas dan pisang rebus kesukaanku. Dia barkata, ”Mas Bagus, sebuah senja yang indah di kaki bukit ya?”. Ya. Dia adalah istriku tercinta. Namanya Sri Nareswari.

Purwokerto, 8 April 2006

AKAN KUBERI MAKAN MEREKA DENGAN PUISI

Kebanyakan orang tua menginginkan anaknya untuk menjadi dokter, insinyur, guru, menteri, bahkan presiden. Karena di situlah prestise keluarga akan terangkat dan masyarakat akan lebih ngajeni.

“Joko hebat ya, itu, anak nomor dua pak Joyo, sekarang sudah jadi dokter.”

“Iya, tidak hanya itu, adiknya, Rusdi juga sudah jadi insinyur, dan Ratna, kakaknya juga sudah jadi guru SMA di ibu kota.”

Itulah kira-kira kata-kata yang terlontar dari mulut mayarakat. Dengan sendirinya mereka telah meletakkan orang tersebut setingkat lebih tinggi. Tidak hanya itu, mereka menjadikan si dia sebagai icon, sebagai panutan. Tapi itulah yang terjadi. Dari zaman kompeni hingga jaman komputer sekarang ini. Apalagi di daerah pedesaan, tak terkecuali dimana aku dilahirkan dan dibesarkan oleh orang tuaku.

Ibu adalah seorang guru pada sebuah sekoalah dasar di desaku. Dia mengabdikan dirinya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa kurang lebih selama sembilan belas tahun. Bapak adalah seorang kaur kesra di desa ini. Aku adalah anak pertama dan satu-satunya di rumah. Kami bukan termasuk keluarga yang kaya. Ya, cukuplah. Meski hidup di desa, kami tidak memiliki sawah atau pekaranganyang luas seperti warga yang lain, sebab kami bukanlah pndudukasli desa ini. Ya, kami adalah pendatang. Dengan keadaan yang seperti itu, dapat membiayayaik hingga tamat SMA.

Bapak meningnkanku sebagai dokter. Lain dengan ibu, dia lebih mengingnkan aku untuk mengikuti jejaknya. Ya, sebetulnya keduanya sama-sama baik, malah lebih baik dibanding dengan profesi yang lain. Keduanya sama-sama mengabdikan diri dengan ilmu yang dimilikinya kepada uamt manusia. Menjadi guru adalah suau hal yang sangat mulia. Mencerdaskan kehidupan bangsa, saya rasa julukan itu cocok untuk seseorang yang berprofesi sebagai guru. Sungguh luar biasa. Bias dikatakan, tanpa guru sebuah bangsa akan selalu dalam kegelapan.

Dokter, sebuah profesi yang langsung berhubungan dengan nyawa manusia. Di desaku, menjadi dokter adalah sebuah prestasi yang luar biasa. Secara otomatis strata sosial pun segera naik satu ingga dua level. Dan orang akan segera ngajeni dengan munduk-munduk di hadapannya.

***

Rabu sore, langit sudah mulai gelap. Kami berkumpul di ruang tengah.

“Aku ingin kuliah di sastra,” dengan sedikit cemas akhirnya kalimat itu meluncur dari mulutku.

Tidak ada sahutan.

“Aku ingin kuliah di sastra, Pak, Bu,” kuulangi lagi ucapanku tadi.

“Bapak tidak salah dengar?” akhirnya ada sahutan.

“Benar, bapak tidak salah dengar. Aku ingin kuliah di sastra.”

“Lalu kamu mau ambil apa?” Tanya ibu pelan.

“Sastra Indonesia,”jawabku singkat.

“Sastra Indonesia?” Tanya bapak dengan nada sedikit kaget, “mau jadi apa kamu nanti?” tambahnya.

“Aku ngin jadi sastrawan.”

“Ha, ha, ha……!!!” tawa ayah tiba-tiba meledak, “ha…ha..ha……mau jadi sastrawan? Jadi penyair?”

“Ya.”

“Baru kali ini ada seseorang punya keinginan menjadi seorang sastrawan, menjadiseorang penyair. Apa hebatnya seorang penyair, ha? Dengar! Penyair itu orang yang tidak punya masa depan. Rambutnya gondrong, acak-acakan, jarang mandi, bajunya kucel, kesana-kemari berteriak membacakan puisi, seperti orang gila…..”

“Tapi pak…”

“Jangan menyela, bapak belum selesai bicara,” kali ini nada bicara bapak mulai meninggi, “lalu melanglang buana ke tempat antah berantah demi sebuah puisi.kurang kerjaan, ngabis-ngabisin duwit thok!

“Bu, anakmu tuh!,” tambahnya.

“Lho, bapak kok jadi nyalahin ibu, wong buatnya bareng kok,” ibu tak terima, “le, kamu boleh jadi apa saja, ibu ndak ngelarang kok. Tapi mbok ya o kamu ngertiin bapakmu. Ya udah, kamu boleh kuliah di sastra, tapi jangan ambil Indonesianya ya, ambil Inggris apa Jepang apa Prancis malah ndak apa-apa. Sarjana sastra Indonesia sekarang itu ndak kepakai di sini. Kalau sarjana sastra Inggris atau Jepang kamu akan mudah cari kerja,” kata ibu menasihatiku dengan lembut.

Bapak mengambil Dji Sam Soe satu batang dari bungkusnya yang ada di saku bajunya, lalu dibakarnya. Dihisapnya dalam-dalam. Sambil menyemburkan asap ke udara, bapak melanjutkan kalimatnya.

“Bu, ambilkan minum,” lalu pandangannya beralih kepadaku, “jadi penyair itu susah dapat duit. Koran? Mau berapa ratus puisimu yang mau kamu kirim ke Koran? Ya kalau dimuat, paling-paling cuma dapat dua ratus ribu.”

Ibu datang dari dapur sambil membawa secangkir the tubruk kesukaan bapak,lalu diletakkannya di atas meja kecil di depanku.

“Terus, kalu kamu sudah punya istri, punya anak, mau kamu beri makan apa mereka? Uang segitu cukup?! Buat beli beras, beli sayur, beli susu, beli minyak, beli ini, beli itu. Mau kami suruh mereka makan puisi?! Hah!”

Bapak mengambil cangkir di depannya lalu didekatkan kea rah bibirnya yang hitam. Bibirnya mecucu meniup minuman kesukaannya yang masih panas., lalu diseruputnya sedikit demi sedikit. Setelah itu diletakkannya kembali di atas meja kayu berukir itu.

Wes lah, kamu tu ndak usah neko-neko. Bapak ingin kamu jadi orang bener, jadi orang sukses. Bisa menghidupi anak istrimu kelak,” kaliini nada bicaranya mulai menurun, “dan yang pasti, bapak sama ibu akan merasa bangga jika kamu bisa jadi dokter, insinyur, atau dosen atau direktur. Kamu adalah satu-satunya anak yang dapat mengangkat martabat orang tuamu ini.”

“Tapi pak, aku sudah yakin kalau aku ingin menjadi seorang penyair seperti Rendra atau Amir Hamzah,” akhirnya aku bicara.

“Bapak tahu, kamu punya alas an yangmasuk akal. Kamu sudah besar. Kamu sudah bisa berpikir mana yang baik dan mana yang buruk buat kamu. Jadi pikirkan lagi keputusanmu tadi masak-masak. Tapi yang jelas bapak tidak setuju kalu kamu menjadi seorang penyair. Bapak tidak suka itu.”

Ibu yang biasanya membelaku, entah kenapa malam ini dia hanya berkata sedikit. Apa mungkin pemikiran ibu sama dengan pemikiran bapak, jadi ibu tidak perlu bicara panjang lebar seperti bapak. Padahal aku sangat mengharapkan pembelaan darinya.
“Bapak cumangasih kamu nasihat, toh nanti kamu yang akan menjalaninya to, bukan bapak atau ibu. Mendingan kamu istirahat sana, bapak juga mau istirahat, capek. Lagian juga sudah malam, ndak baik ngomong keras-keras.”

Dihisapnya lagi rokok kretek yang tinggal putung di sela jari tangan kanannya. Setelah itu dihunjamkannya di asbak sambil menyemburkan asap dari bibirnya. Tangannya diangkat kembali sambil memegang cangkir. Diminumnya teh tubruk yang sudah aga dingin itu sampai habis.

Ibu masih memasang matanya ke arahku. Dan aku segera bangkit lemas dengan perasaan dongkol meninggalkan mereka.

***

Pagi sudah hilang setengah. Bapak dan ibu sudah pergi ke kantor masing-masing beberapa jam lalu. Aku di rumah sendiri. Ya tadi pagi, sebelum berangkat, ibu menyuruhku untuk memberesi gudang.

Lama aku tak masuk gudang. Debu berhamburan di mana-mana. Sarang laba-laba bergelayuran sesuka mereka. Dan aku muali melakukan pekerjaanku. Memindahkan baran ini, mengangkat barang itu, merapikan itu, menyapu lantai dan lain-lain dan lain-lain.

Tiba-tiba mataku menumbuk sesuatu. Sebuah kardus mie-instant tertutup rapa oleh perekat tergeletak di pojok ruangan.

Kuhampiri dan kubuka perlahan. Dan… ya tuhan!. Setumpuk buku kumpulan puisi karya penyair terkenal. Ada punya Chairil, Sutardji, Umbu, Gus Mus, hingga STA dan beberapa karya penyair luar negeri. Serta setumpuk buku tulis. Semuanya usang dan sebagian ada yang berlubang dimakan kutu buku.

Aku keluarkan semuanya dari kardus itu. Aku bertanya dalam hati. Punya siapa buku-buku ini? Dan buku-buku tulis ini? Kubuka satu peratu. Aku tambah tak percaya; lebih dari tiga ratus puisi tertulis di dalamnya.

Tiba-tiba ada yang jatuh dari sela-sela buku tulis yang kupegang. Secarik kertas. Sebuah surat.

Untuk anakku tersayang.
Anakku, bapak menulis surat ini saat bapak baru saja membelikanmu susu. Ya, saat ini kamu baru berumur tiga tahun. Umur sedang lucu-lucunya.

Nak, bapak adalah orang yang sangat suka dengan puisi. Ketika bapak menulis, membaca atau mendengarkan puisi, hati bapak akan terasa nyaman dan sejuk. Dengan puisi bapak dapat merasakan dan menikmati hidup. Ya. Bapak memutuskan untuk menjadi seorang penyair. Waktu muda bapak, bapak habiskan untuk berkutat dengan puisi.

Tapi saat itu, kakekmu tidak mengijinkan bapak untuk menjadi seorang penyair. Maklum, kakekmu itu orangnya kolot, feudal. Maklum lah, kakekmu itu wong ndeso kluthuk. Kekekmu menginginkan bapak umtuk membantu kakek jualan garam sama ikan asin di pasar.
Bapak sempat cek cok dengan kakek waktu itu. Namun bapak bersikukuh dengan keputusan bapak. Menjadi seorang penyair. Hingga bapak menikah dengan ibumu dan kamu lahir, bapak masih berkutat dengan puisi. Bapak percaya kalau bapak bisa menghidupi kamu dan ibumu dengan puisi.

Tapi kenyataan berbicara lain. Mungkin karena tidak mendapat restudari kakekmu kali ya? Bapak tidak pernah mendapat uang sepeserpun dari puisi-puisi bapak. Sudah berpuluh-puluh kali bapak mengirimkan puisi-puisi bapak ke koran, tabloid, dan majalah. Hasilnya nihil. Tak satu puisi pun yang dimuat. Sudah beberapa kal bapakmendatangi penerbit. Tak satu pun yang mau menerbitkan puisi-puisi bapak.
Bapak sangat sedih nak. Untunglah ibumu orang yang sabar dan pengertian. Dia mengerti dengan keadaanbapak. Untungnya lagi, ibu bekerja sebagai guru SD. Jadi selama ini ibulah yang menjadi tulangpunggung keluarga, bukan bapak.

Bapak sangat malu sama ibu. Malu. Maka, saat ini bapak putuskan untuk melupakan citacita bapak dan menyingkirkan pisi-puisi bapak dari hadapan bapak dan berkonsentrasi untuk mencari pekerjaan lain yang lebih bisa diharapkan.
Bapak memang tidak membuang puisi-puisi bapak di laut atau membakarnya menjadi abu. Bapak masih menyimpannya. Ya untuk kenangan bapak jika bapak tua kelak.
Anakku, matahariku. Bapak ingin kamu menjadi orang yang berhasil. Terserah mau jadi apa. Asalkan jangan jadi penyair, itu saja. Tidak lebih. Bapak tidak inginkamu menjadi seperti bapak sekarang.

Anakku, bapak menyayangimu.

Kebumen, 3 Mei 87


Jiwaku gusar dan sedikit terguncang. Ternyata itulah mengapa bapak marah-marah saat aku bilang kalu aku inginmenjadi penyair. Aku tidak percaya, ternyata bapak menyimpan rahasia kepadaku.

Tiba-tiba air mataku mengalir membelah pipi. Dan aku semakin yakin dengan keputusanku untuk menjadi seoran gpenyair. Akan kubuktikan kepada bapak jika aku tidak akan seperti dia dulu. Akan kubuktikanjika kelak istri dan anak-anakku akakn aku kasih makan mereka puisi.

Sanggar Sastra Wedang Kendhi, April 2007

DEMI ISTRI TERCINTA

Sudah satu minggu ini kampungku menjadi gempar. Kampung yang biasanya tenteram di setiap harinya dan tenang di setiap malamnya. Kampung yang setiap penduduknya selalu ramah satu sama lain. Tiba-tiba menjadi ramai, sejak tersiarnya kabar bahwa munculnya pencuri yang selalu mengambil ternak milik warga.

Sudah dua kasus pencurian dalam minggu ini. Pertama terjadi pada malam Selasa. Kejadian itu terjadi di rumah Kang Parlan. Senin sore, Kang Parlan baru saja memberi makan pada ketiga ekor ayam bangkoknya dan memasukkan ke dalam kandang. Memang ayam-ayam bangkok Kang Parlan terkenal jawara dalam setiap adu ayam. Paginya ketika dia bangun untuk salat subuh, dia merasakan hal yang aneh. Tidak seperti biasanya subuh itu ayam-ayamnya tidak berkokok.

Kang Parlan heran, bertanya dia dalam hati, apa gerangan yang terjadi dengan ayam-ayamnya. Lalu dia keluar untuk memastikan keadaan ayam-ayamnya. Ternyata apa yang terjadi? Didapatinya pintu kandang telah terbuka, gemboknya tergeletak di tanah dekat pintu. Padahal dia sudah menggembok pintunya kemarin sore. Dan ketiga ayam bangkok kesayangannya raib tanpa bekas tanpa jejak.

Selang dua hari kejadian itu terjadi lagi. Kali ini dialami oleh Mbah Warjo. Dua ekor ayam betina yang dipeliharanya selama satu tahun lenyap. Entah mimpi apa dia semalam. Babon yang selama ini dia pelihara dengan penuh kasih sayang, babon yang sejak masih kecil-kecil diberinya makan dengan teliti hingga besar raib. Padahal sehari sebelumya, Mbah Warjo bercerita kalau dia akan menjual kedua ayamnya di pasar untuk membeli beras. Kini Mbah Warjo hanya bisa meratapi nasibnya dengan hati kecewa.
Sungguh kasihan Mbah Warjo. Sungguh kurang ajar pencuri itu.

Dulu kampungku adalah kampung yang aman. Kampung yang tertib. Kampung yang dimana pada setiap malamnya anak-anak bermain petak umpet di pelataran. Kampung yang warganya ramah dan selalu tegur sapa. Tapi sejak kejadian pencurian itu kampung tidak seperti dulu agi. Setiap orang selalu was-was kalau-kalau rumahnya disatroni pencuri. Setiap orang menjadi saling curiga kalau-kalau orang yang ditemuinya adalah pencuri yang selama ini meresahkan.

Akhirnya pada sebuah rapat di rumah Pak RT disepakati jika program siskamling yang sempat vakum digiatkan kembali. Kalau dulu yang ronda hanya dua orang kini ditingkatkan tiga kali lipat. Poskamling yang dulu pada setiap malamnya sepi, kini dioptimalkan kembali. Pokoknya keamanan ditingkatkan kembali. Dan warga diminta selalu waspada setiap saat.

Dan malam harinya, hasil rapat tersebut segera direalisasikan. Enam orang warga melakukan ronda termasuk aku. Kami kumpul di poskamling pukul sembilan. Sebelum keliling kami ngobrol sejenak tentang kejadian pencurian yang terjadi selama ini sambil menikmati rokok dan ubi rebus.

Pukul sebelas kami pun bersiap-siap untuk keliling. Kami membagi tugas. Dua orang ke arah timur, dua orang ke arah barat, dan sisanya bertugas menjaga pos. Masing-masing kelompok membawa kentongan, dan lampu baterei.

Baru seperempat jam berjalan aku melihat seseorang dengan pakaian serba hitam dan mukanya ditutupi dengan sarung seperti ninja, gerak-geriknya mencurigakan. Tangan kirinya memegang sesuatu seperti ayam, ya ayam. Aku beri tahu kawanku tentang hal itu dan menyuruhnya untuk memperhatikannya dengan seksama. Orang yang tersebut terlihat akan masuk rumah Pak RT melalui jendela. Spontanitas, kami berteriak sambil berlari.

“Maling….maling…!!”

Karena mendengar teriakkan, pencuri itu pun kelabakan dan lari. Apalagi warga banyak yang keluar dari rumah mereka dan ikut bersama kami mengejarnya. Sampai di kebon pisang, kami kehilangan jejak. Dia bersembunyi di sana. Kami pun mengadakan proses pencarian.

Tidaklah diperlukan waktu yang lama untuk mendapatkan apa yang kami inginkan. Dengan personel yang ada, sekitar seperempat jam akhirnya kami menemukannya. Pencuri itu sedang bersembunyi di bawah sela-sela batang pohon pisang dengan seekor ayam di tangan kirinya. Tanpa komando, warga pun segera mengepung dan menghujaninya dengan pukulan dan tendangan hingga babak belur, terkapar tak berdaya.

Melihat kejadian itu, aku pun segera mengambil tindakan untuk menghentikannya.

“Hentikan…hentikan saudara-saudara…!”

Mereka pun menghentikan kegiatan mereka.

“Kita tidak boleh main hakim sendiri. Dia sudah tidak berdaya, lebih baik kita bawa ke kantor polisi, biar aparat keamanan yang menanganinya. Coba kita lihat siapa sebenarnya pencuri yang telah meresahkan warga ini.”

Aku pun membuka kain sarung yang menutupi wajahnya. Betapa terkejutnya kami. Tidak bisa dipercaya. Ternyata orang yang selama ini meresahkan warga dan membuat kampung tidak tenang adalah Pak RT. Setelah di interograsi oleh warga kenapa di amencuri, ternyata masalahnya cuma sepele tetapi tidak bisa di anggap remeh. Istrinya yang sedang hamil tua ngidam ingin makan ayam goreng, namun ayam itu harus didapatkan dengan cara mencuri. Jika tidak, dia tidak mau makan apapun.

Kini Pak RT harus menginap di kantor polisi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dan istrinya tidak bisa memenuhi keinginan si jabang bayi.


Purwokerto, 2005

05 Maret 2009

MEMBUAT SEJARAH BARU BAGI SASTRA BANYUMAS

Banyumas telah menjadi salah satu sejarah dalam peta kesusastraan di Indonesia. Para pelaku sastra terdahulu telah mencatatkan namanya dalam sejarah sastra Indonesia bahkan internasional.

Kita mengenal Ahmad Tohari, Dharmadi, Badrudin Emce, Haryono Soekiran, Ansar Basuki Balasikh, Nanang Anna Noor, Tirto Wanto, Edi Romadhon, Sutarno Jayadiatma, Herman Affandi, Mas’ut, Ahita, Bambang Set, dan beberapa lagi yang terlebih dahulu berkarya.
Dulu mungkin kita juga pernah mendengar nama komunitas-komunitas sastra seperti Sanggar Pelangi, Himpunan Penulis Muda (HPM), Lingkar Seni dan Budaya, dan Kancah Budaya Merdeka yang aktif berkegiatan membangun geliat kesusastraan di Banyumas.
Sayangnya dokumentasi-dokumentasi karya mereka dan dokumentasi kegiatan mereka, antara yang tertata dengan rapih dengan yang tidak terdokumentasi lebih banyak yang tidak terdokumentasi. Tidak ada seseorang atau pihak tertentu yang mendokumentasikannya. Komunitas-komunitas di atas juga hingga saat ini tidak lagi terdengar suaranya dan tidak diketahui apakah mereka menyimpan dokumentasi karya dan kegiatan kesusastraan yang mereka lakukan.

Saat ini, untuk mendokumentasikan karya-karya para sastrawan terdahulu diperlukan sesuatu yang ekstra. Tenaga yang ekstra, waktu yang ekstra, dan tentunya biaya yang ekstra pula. Selain itu juga diperlukan orang-orang yang benar-benar bersedia dan rela untuk melakukan hal tersebut seperti H B. Jassin, atau Korrie Layun Rampan. Sebab, jika kita mengingingkan pemerintah daerah atau dewan kesenian yang melakukan hal tersebut sudah pasti kedua intitusi tersebut tidaklah bersedia melakukannya. Jadi jika kita dalam hal ini kaum muda mencari peta sejarah kesusastraan Banyumas pada kedua intitusi tersebut di atas sudah pasti akan nihil.

Sejarah memberikan sesuatu yang berharga bagi kita. Dari sejarah, kita dapat mengambil pelajaran tentang keburukan, kejelekan, dan kegagalan di masa lampau. Dari sejarah, kita dapat mencari sesuatu yang baru agar hal tersebut tidak terulang lagi di masa kini dan masa yang akan datang. Apapun bidang dan bentuknya. Apakah itu politik, ekonomi, sosial, budaya dan tentunya sastra dalam konteks ini.

Lalu bagaimana jadinya jika kita buta akan sejarah? Atau sejarah itu memang tidak ada? Kita tidak tahu sejarah kesusastraan Banyumas, dimana dokumen-dokumen kesusastraan berupa karya-karya para sastrawan Banyumas terdahulu atau dokumentasi kegiatan berkesusastraan terdahulu tidak tersimpan rapi? Maksudnya, kita sebagai sastrawan muda memang benar-benar tidak tahu atau katakanlah samar-samar mengetahui sejarah kesusastraan Banyumas.

Apakah kita akan mengarang dan mengira-ngira bagaimana perkembangan kesusastraan di Banyumas pada waktu dulu?

Tentunya kita tidak bisa begitu. Kita tidak bisa seenaknya saja mengarang sejarah kesusastraan Banyumas dahulu. Kita tidak bisa membuat kepalsuan terhadap sejarah kesusastraan terdahulu. Entah itu nama atau karya-karya sastrawan terdahulu.
Cara yang paling tepat adalah bagaimana kita, kaum muda, membuat saat ini sebagai sejarah yang dapat dikenang kelak. Itulah “pekerjaan rumah” yang harus kita pikirkan dan kerjakan sebaik mungkin. Dan tentunya sejarah yang kita buat haruslah lebih bagus dari pada sejarah terdahulu yang kita samar mengetahui kepastiannya.

Perkembangan sastra di Banyumas saat ini sangatlah luar biasa. Jika beberapa waktu baru dikatakan bergeliat, saat ini sudah bisa dikatakan bergerak dan hampir berlari. Di berapa tempat muncul kantong-kantong sastra yang selalu aktif bergerak dan berkarya menghidupkan sastra. Berbagai macam kegiatan apresiasi sastra dilakukan seperti dikusi, peluncuran buku sastra, pembuatan buletin sastra, bedah buku, hingga berkolaborasi dengan displin seni lain seperti lukis, musik, tari, patung, instalasi, dan teater.

Kantong-kantong sastra atau –lebih enaknya disebut sebagai- komunitas tersebut digawangi oleh para sastrawan muda.Dan dari situlah lahir penulis-penulis (sastrawan)muda yang karyanya tidak kalah dahsyat dengan para sastrawan Banyumas terdahulu. Karya-karya mereka telah mampu menembus berbagai media masa baik lokal maupun nasional serta tergabung dalam antologi bersama yang sifatnya nasional.
Mereka antara lain; Restu Kurniawan, Arif Hidayat, Yosi M. Giri, dan M Aziz dari Bunga Pustaka, Dwiana Jati Setyaji, Bayu Murdiyanto, dan Agus Salim dari Sastra Alam (SALAM), Muhammad Mayat Ayatullah, Ali V. Essessi, dan Agus Triono dari Hujan Tak Kunjung Padam, Ryan Rachman, Braja Eka Bayu Permana, Teguh Sucianto, dan Shinta Ardhiyani Utami dari Sanggar Sastra Wedang Kendhi. Juga tidak ketinggalan Heru Kurniawan, Isno Wardoyo, Rahmi Isriana, Dita Zoraetha, dan Teguh Trianton.
Di tangan-tangan gelisah mereka dan kawan-kawan sastrawan muda yang lainlah lahir karya-karya yang monumental yang nantinya akan menjadi sejarah bagi sastra Banyumas dan bagian dari sejarah kesusastraan Indonesia. Sebab kita sebagai generasi muda tidak perlu lagi mengagung-agungkan generasi tua. Meminjam kata teman saya, “Lampaui generasi tua yang manja dan malas…”

Bukan munafik atau berprasangka yang tidak-tidak, sebab masa depan sastra Banyumas ya terletak pada siapa lagi selain diri kita sendiri selaku generasi muda dan bukan pada nama-nama generasi tua yang sudah lupa bagaimana berkarya. Ya mbok?

Klilan.


Sanggar Sastra Wedang Kendhi, Februari 2009

TENTANG PEMBIBITAN SASTRA BANYUMAS

Sastra adalah suatu disiplin sosial budaya yang selalu dinamis. Dia tidak pernah stagnant pada suatu masa tertentu. Dia selalu mengikuti perubahan keadaan masyarakat kapanpun dan dimanapun. Dalam perkembangannya, dia selalu mencari bentuk-bentuk baru yang berbeda dengan yang sudah ada. Perubahan itu bisa berupa apapun, entah itu dari segi tema, bentuk, kata, gaya, sistem, dan sebagainya.

Salah satu unsur faktor yang mempengaruhi perubahan sastra di suatu daerah adalah para pelaku sastra atau sering disebut sebagai sastrawan di daerah tersebut. Suatu generasi pastilah memiliki corak yang berbeda dengan corak sebelumnya. Setiap generasi yang muncul membuat suatu pembaharuan terhadap sastra terdahulu.
Sebagai mana kita ketahui, ada periodesasi sastra berdasarkan corak dan gaya yang berbeda pada setiap generasinya. Di eropa kita mengenal adanya periodesasi sejak dari masa Romawi, abad pertengahan, abad keenam, abad keduabelas, zaman gelap, Renaissance, Shakespearian, Spenserian, Restorasi, Romantis, Realis, Modern, Feminis, dan Posmodern.

Di negeri kita, kita mengenal angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan ’45, Angkatan ’66, Angkatan ’70, Angkatan ’80, dan angkatan 2000. Dari Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Chairil Anwar, Idrus, Iwan Simatupang, Rendra, Sutardji Calzoum Bachrie, hingga Afrizal Malna dan Joko Pinurbo.

Generasi Baru
Pun halnya di Banyumas. Sastra mengalami perkembangan sesuai perguliran waktu. Pergantian pelaku sastra dari generasi tua oleh generasi muda yang lebih terbuka pikiran dan wawasannya terhadap perkembangan dunia sastra di berbagai tempat beserta seluk beluknya. Munculnya nama-nama baru yang kini lebih mendominasi kegiatan berkesusastraan di Banyumas merupakan angin segar yang membongkar dominasi generasi tua yangstagnan dalam berkarya.

Diawali oleh Teguh Trianton, Sigit Emwe, Heru Kurniawan, dan Faisal Kamandobat, menyusul nama-nama baru seperti Aliv V Essessi, Dwiana Jati Setiaji, Isno Wardoyo, Yosi M Giri, M Aziz, Shinta A. Utami, Dita Zoraetha, Restu Kurniawan, Arif Hidayat, dan A. H. Antassalam. Karya-karya mereka sering kali muncul di media masa cetak baik lokal maupun nasional.

Dari tangan mereka juga lahir karya-karya sastra yang berkualitas. Tak jaarang juga, dari mereka menghasilkan dokumentasi karya mereka dalam bentuk buku baik itu berupa indie maupun melalui jalur penerbitan. Mereka tidak pernah berhenti untuk mengeksplor kemampuan mereka dalam berkarya. Dalam kurun waktu dua tahun terakhir, telah beberapa kali diadakan peluncuran buku karya mereka, baik itu berupa kumpulan puisi, cerpen , maupun novel.

Dari apresiasi sastra, kini Banyumas tidak pernah sepi dari kegiatan apresiasi sastra. Adannya diskusi dan dialog sastra di berbagai tempat, peluncuran buku, berbagai macam acara pembacaan puisi di mana-mana, hingga pengkolaborasian dengan cabang seni lainnya, seperti teater misalnya. Pengfregmentasian karya-karya sastra ke atas panggung teater.

Hal ini juga disebabkan oleh munculnya berbagai komunitas sastra di Banyumas yang juga menjadi tren baru di jagat kesusastraan tanah air dewasa ini. Komunitas-komunitas itu antara lain Hujan Tak Kunjung Padam (HTKP), Sastra Alam (SALAM), Bunga Pustaka, Wedang Kendhi (SSWK), Purwokerto Literary Community, Tjilatjapan Poetry Forum, Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Cab. Purwokerto, dsb. Setiap komunitas memilki kegiatan berkesusastraan yang kontinyu sekecil apapun itu, sehingga aroma bersastra sangatlah segar dan marak.

Pembibitan
Dalam tulisannya di Suara Merdeka edisi Senin, 9 Februari 2009 tentang pembibitan pelaku sastra di Banyumas, Teguh Trianton menyatakan bahwa komunitas sastra yang ada, memiliki peran dalam hal mencetak bibit-bibit baru. Komunitas harus mencari penerus yang mau menjalankan komunitas dan melakukan kegiatan berkesusastraan.

Saya rasa bukan hanya komunitas sastra yang memilki tugas tersebut. Masih ada yang lain yang seharusnya lebih bergiat. Seperti misal dewan kesenian, dalam hal ini adalah kesenian yang ada di Banyumas besar, entah itu Dewan Kesenian Banyumas, Dewan Kesenian Purbalingga, Dewan Kesenian Cilacap, maupun Dewan Kesenian Banjarnegara.
Bahwa dewan kesenian memilki divisi sastra adalah keharusan. Disinilah tugas dari mereka. Mereka harus menjadi bagian terpenting dalam pembibitan sastra. Mereka seharusnya menjadi wadah dan mengayomi para pegiat sastra yang masih pemula. Selama ini, dewan kesenian seolah tidak pernah mendukung dan tidak pernah peduli adanya kegiatan berkesusastraan yang dilakukan oleh generasi muda.

Sekolah
Sekolah juga merupakan unsur yang tidak bisa kita lupakan dalam pencarian bibit-bibit baru pelaku sastra. Kita tahu, Taufiq Ismail dan Horisonnya mati-matian mengadakan program Siswa Bertanya Sastrawan Menjawab. Berkeliling tanah air, masuk ke sekolah-sekolah (SMA) di berbagai pelosok demi satu tujuan, yaitu memperkenalkan sastra kepada para siswa agar nantinya muncul bibit-bibit baru yang bermutu dalam percaturan sastra di tanah air.

Peran serta sekolah sangat diharapkan di sini. Sekolah diharuskan aktif dalam membentuk peserta didiknya menjadi pribadi-pribadi yang menyukai sastra. Demikian juga dengan tenaga pendidiknya, guru juga harus mengikuti perkembangan dunia sastra, sehingga nantinya akan lahir bibit-bibit baru yang tidak kalah hebat dengan para pendahulunya.

Ya mbok? Klilan.

Sanggar Sastra Wedang Kendhi, Februari 2009

PURWOKERTO, SASTRA, DAN KOMUNITAS

Beberapa bulan lalu saya mendapat undangan peluncuran buku antologi puisi Penyair Bengal karya Muhammad Mayat Ayatullah dan mendapat kehormatan untuk menjadi pembedah buku tersebut dalam buku tersebut. Acara tersebut merupakan salah satu rangkaian dari acara yang diadakan oleh komunitas sastra Hujan Tak Kunjung Padam (HTKP) yang bertajuk Peluncuran Antologi Puisi Pendiri HTKP. Selain Muhammad Ayatullah, masih ada empat penyair lagi yang meluncurkan karyanya yaitu; Aliv V. Essessi, Ari Bledeg Purnomo, Agustav Triono, dan Yudhistira Sibir Jati.

Dewasa ini, di Banyumas dalam hal ini Purwokerto, sering diadakan kegiatan kesusastraan yang dimotori oleh kaum muda yang tergabung dalam komunitas sastra. Terhitung ada beberapa komunitas sastra yang eksis melahirkan penulis-penulis muda berbakat dan mencantumkan nama mereka di beberapa media masa lokal maupun nasional.
Selain komunitas sastra HTKP masih ada beberapa nama yang meramaikan geliat kesusastraan Purwokerto, antara lain; Komunitas Sastra Alam (SALAM), Segara, Komunitas Sastra Indonesia Cab. Purwokerto, Forum Lingkar Pena (FLP) Cab. Purwokerto, Komunitas Sastra Dukuh Waluh, Bunga Pustaka, Sanggar Sastra Wedang Kendhi (SSWK), dan Purwokerto Literary Community (PLC).

Munculnya komunitas sastra di Purwokerto tidak terlepas dari pengaruh dari kota lain seperti Yogyakarta, Solo, Semarang dan Jakarta yang terlebih dahulu ada dan terbukti memebesarkan sastrawan-sastrawan di kota tersebut.

Sejarah
Jika kita menilik ke masa lalu, komunitas sastra di Purwkoerto telah ada sejak tahun 1971. Pada waktu itu berdiri Sanggar Pelangi yang dimotori oleh Dharmadi dan kawan-kawan. Lalu pada tahun 1974 lahir Himpunan Penulis Muda (HPM); dan diikuti oleh berdirinya Lingkar Seni dan Budaya pada tahun 1986; dan kancah Budaya Merdeka pada tahun 1993.

Dari komunitas-komunitas tersebut lahir beberapa nama antara lain Mas’ut, Bambang Set, Dharmadi, Surya Esa, Herman Affandi, Ahita, Edi Romadhon, dan Nanang Anna Noor.

Peranan Komunitas Sastra
Komunitas sastra adalah sekelompok individu yang cinta dan aktif berkegiatan mengapresiasikan sastra secara bersama-sama. Kegiatan tersebut tentunya memiliki tujuan mengembangkan kesusastraan. Sedangkan kegiatan pengapresisasian sastra dari komunitas tersebut antara lain: penulisan karya sastra, pembacaan karya sastra, diskusi, penerbitan karya dan sebagainya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa komunitas sastra memiliki peran yang cukup besar bagi perkembangan sastra terutama di daerah. Setiap komunitas sastra memeiliki ikatan yang kuat dengan komunitas lain. Dalam perkembangannya terjadi sistem jaringan yang kuat yang saling bahu-membahu memeperkenalkan karya sastra kepada komunitas lain.
Komunitas sastra juga berperan dalam mengangkat nama individu. Individu tersebut akan lebih mudah dikenali jika mereka membawa nama komunitas tempat mereka aktif bersastra.

Selain itu, komunitas sastra juga berperan sebagai motor penggerak geliat kesusastraan di suatu wilayah. Semakin banyak komunitas sastra yang ada di suatu daerah, kegiatan bersastra di daerah tersebut pun semakin sering dan beragam.

Peran Komunitas Sastra di Purwokerto
Sejak semakin sedikitnya sastrawan senior di Purwokerto yang masih aktif berkarya dan berkegiatan sastra, maka komunitas sastra yang dimotori oleh anak-anak muda tersebut yang kembali menggeliatkan kegiatan berkesusastraan di kota mendoan ini.
Berbagai macam kegiatan dilakukan oleh komunitas tersebut. Seperti misal acara Ngobras atau Ngobrol Bareng Sastra yang diadakan oleh antar komunitas yaitu SSWK, SALAM, dan HTKP, diskusi setiap malam Kamis oleh Bunga Pustaka, dan diskusi Rabu malam oleh PLC. Juga penerbitan Buletin Kakawin oleh Komunitas SALAM, Buletin Wedang Kendhi oleh SSWK.

Selain itu juga penerbitan buku oleh komunitas sastra tersebut. Penerbitan tersebut antara lain antologi puisi Desire Dia yang Terlupakan, Terimakasih, dan novel Habis Terang Terbitlah Gelap (SALAM), antologi puisi Jejak Tapak Langkah, CPNS Calon Penyair Negeri Sastra, Penyair Bengal, Sajak Sampah, Berkawan Hujan, Panggung, Dalam Asap Kata-Kata, Mata Malam, antologi cerpen “Banyumas” (Banyumas dalam Tanda Kutip), kumpulan naskah drama Bangka, dan kumpulan naskah monolog Orang-Orang Tak Terkenal (HTKP), antologi puisi Makan Malam, Sepotong Cinta Di Ujung Sepatu, dan Belajar Menulis Sajak Cinta (SSWK).

Teater
Selain komunitas sastra, kegiatan kesusastraan di Purwoketo juga tidak lepas dari peran komunitas teater. Hal ini disebabkan adanya keterikatan batin antara sastra dengan teater. Komunitas teater mengapresiasikan sastra ke atas panggung dalam wujud pementasan.

Di sela-sela berteater, mereka biasanya mengadakan acara yang berbasis sastra seperti malam apresiasi puisi, peringatan Chairil Anwar, tadarus puisi, lomba baca puisi, lomba penulisan cerpen, seminar sastra, dan sebagainya.

Sanggar Sastra Wedang Kendhi, Januari 2009

KARENA SASTRA ITU MENYEGARKAN

Seorang petani berdiri tepat di tengah sawah mengayunkan tangannya menghujankan cangkul ke tanah basah. Peluh mengalir dari dahi melewati pipi dan bermuara di dagunya, lalu jatuh membaur bersama lumpur. Matahari yang menggantung di ujung kepala. Terik yang jahat. Tiba-tiba dari sebuah gubug tak jauh dari situ terdengar suara wanita memanggil. Dia istrinya. Petani itu mengakhiri pekerjaannya. Dihampiri istrinya.

Sesampai di gubuk tersebut, petani itu segera mengambil sebuah kendhi berisi air. Diangkatnya tepat di atas mulutnya. Dari ujung lubang kendhi tersebut lalu mengalir air minum dan bermuara di mulut petani itu. Sungguh air minum yang sangat menyegarkan. Air yang keluar dari dalam kendhi.

Saya bukan hendak menulis cerpen. Tapi ilustrasi di atas dapat kita tarik benang merahnya, yaitu betapa segarnya menguk air kendhi di waktu panas terik menyengat. Itulah.

Dari filosofi air kendhi yang menyegarkan itulah, sekelompok pemuda, Ryan Rachman, Braja Eka Bayu Permana, dan Rahayu Puji Utami yang notabene adalah mahasiswa Ilmu Budaya Unsoed Purwokerto membuat sebuah komunitas sastra yang diberi nama Sanggar Sastra Wedang Kendhi. Karena, bagi mereka sastra itu seperti air yang keluar dari mulut kendhi.

Wedang Kendhi (Jawa) dalam bahasa Indonesia berarti air yang berada di dalam kendhi. Kendhi adalah tempat air seperti poci tetapi lebih besar yang terbuat dari tanah yang digunakan untuk menyimpan air minum. Sedangkan wedang berarti minuman. Air minum yang dituang dari dalam kendhi memiliki kesegaran yang luar biasa. Dingin tetapi tidak dingin (maksude?). Ya seperti itulah. Intinya menyegarkan!

Demikian juga dengan sastra. Mereka menyukai sastra karena bagi mereka sastra itu menyegarkan. Mereka bersastra untuk melepas segala macam keresahan, kegelisahan, kehausan, dan ketidakpuasan terhadap sesuatu di sekitarnya. Mereka bersastra untuk menenangkan hati, menyegarkan pikiran, dan untuk menjaga kesehatan jasmani dan rohani (apa maning kuwe?).

Sanggar Sastra Wedang Kendhi dibangun di atas lahan seluas 10 x 25 meter tepat di dalam sebuah rumah bernama kos-kosan. Tempat itu tepatnya di bilangan Jl. Gunung Slamet Gg. Flamboyan No. 11 Grendeng Purwokerto Jawa Tengah 53122. Komunitas ini berdiri pada tanggal 4 Mei 2005.

Selain filosofi wedang kendhi di atas, ada hal lain yang lebih mendasari berdirinya komunitas ini. Hal itu adalah menambah kegairahan bersastra di Purwokerto. Apa? Menambah kegairahan bersastra di Purwokerto (digaris bawah, distabilo). Itulah sebenarnya misi utama dari sekelompok pemuda hebat tadi.

Demi memperjuangkan misi tersebut, berbagai macam kegiatan kesusastraan diadakan oleh Sanggar Sastra Wedang Kendhi. Kegiatan tersebut salah satunya adalah NGOBRAS. Ngobras merupakan akronim dari NGobrol BaReng sAStra. Kegiatan ini diadakan setiap hari Rabu malam Kamis. Acara ini hampir mirip dengan pengadilan puisi. Yang membedakan adalah tidak hanya puisi saja yang dibahas, tetapi juga karya sastra lain seperti cerpen, novel, esai sastra, hingga naskah drama. Selain itu juga membahas perkembangan sastra dan permasalahannya terutama di Banyumas dan di Indonesia pada umumnya, sehingga mereka tidak terlalu kuper dengan perkembangan sastra dewasa ini.

Kegiatan lainnya adalah menerbitkan buletin sastra dan teater Wedang Kendhi setiap satu bulan sekali. Di buletin ini terdapat berbagai macam rubrik yang berbau sastra dan teater yaitu: esai, cerpen, puisi (Indonesia dan Inggris), cerbung, profil, wawancara, resensi, agenda kesusastraan, liputan sastra dan teater, hingga horoskop sastra, kuis, dan iklan (yang terakhir memang harus ada).

Dengan sistem jaringan , buletin ini telah menyebar hingga pelosok tanah air seperti Yogyakarta, Solo, Kebumen, Semarang, Tegal, Jepara, Jakarta, Bandung, Surabaya, Madura, Jambi, Riau, Banjarbaru (Kalimantan), hingga Kendari (Sulawesi). Bagi kalian yang karyanya ingin dimuat di buletin tersebut bisa kirimkan via surat maupun email. Jika menggunakan surat, kirimkan ke alamat sanggar di atas. Jika menggunakan email kirim ke kamar_puisi@yahoo.com. Jika mau berlangganan juga terima dengan tangan terbuka. Jika ingin iklan juga dibuka dengan tangan lebar (wah promosi…).

Selain itu, Sanggar Sastra Wedang Kendhi juga menerbitkan karya meskipun berbentuk Indie. Salah satu karya yang sudah terbit adalah antologi puisi Belajar Menulis Sajak Cinta karya Ryan Rachman. Bahkan, antologi puisi bersama Sepotong Cinta Tertinggal Di Ujung Sepatu serta antologi puisi Sajak Untuk Kekasihku karya Braja Eka Bayu Permana tengah menunggu terbit.

Tidak hanya itu. Sanggar Sastra Wedang Kendhi juga aktif di dunia perteateran. Ikut berpartisipasi dalam Pesta Monolog Orang-Orang Tak Terkenal 2007 dengan mementaskan naskah Dajal karya Bayu Murdiyanto. Mementaskan naskah monolog Api karya Ryan Rachman dalam memperingati hari Sumpah Pamuda 2008. Bahkan baru saja mengadakan pementasan monolog Banyumasan keliling Kebumen membawakan naskah Kaprah karya Agus Salim.

Ah, saya jadi nulis apa sing ora. Pating mblarah ora nggenah. Ya wis. Yang jelas sebagaimana mungkin Sanggar Sastra Wedang Kendhi berbuat adalah demi kelestarian sastra di Banyumas. Bagi kami bersastra adalah panggilan nurani. Kenapa demikian? Karena sastra itu menyegarkan. Klilan!

Sanggar Sastra Wedang Kendhi, Februari 2009