24 Februari 2009

SENANDUNG SAKIT GIGI


Oh sialan!!
Betapa memang hidup sia-sia
Bila anak manusia
Melintasi rotasi-rotasi waktu
Tanpa sakit gigi

Ah minuman dingin
Ah makanan manis
Oh oh oh…
Oh oh oh…
Cleng!
Snut snut snut
Terus dan terus
Snut snut
Bergulir mengerucut
Tanpa simponi merdu
Hanya ritme-ritme abstrak
Membuncah ke kepala

Jangan ada suara!
Semua diam!
Kau jangan berucap!

Mata sudah di ambang mati
Namun mimpi itu menjauh
Meninggalkan aroma air mata
Cleng!
Snut snut

Ketika lapar kembali berdendang
Meremas tembok-tembok perut
Dan ketika nasi dan gizi
Berputar di mulut penuh hati-hati
Cleng!
Snuut
Oh ah auw
Shit sheehh…

Beribu mantra dan doa
Berserak pil dan puyer
Apalah itu semua
Mereka tak bernyawa
Mereka tak berharga
Mereka tak digdaya

Oh betapa indahnya
Menikmati dunia dengan luka
Merasai nyawa dengan air mata
Ssttt…
Diam
Cleng!
Snut snut snuuuutttt

Lalu apakah ini adalah kutukan
Yang hanya ada pada masa ini
Pada keturunan yang keseratus sekian dari Adam
Lalu apakah leluhur kita pun merasanya
Mereka juga cleng snut snut snut…

Oh anak cucu Adam
Coba kau rasakan
Alangkah indahnya bila
Cleng!
Snut snut snuuuutttt….

Purbalinga, Juni 2007

THE SCHEDULE OF POET

Monday:
Make some poems
Tuesday:
Make some poems
Wednesday:
Make some poems
Thursday:
Make some poems
Friday:
Make some poems
Saturday:
Make some poems
Sunday:
Make some poems

Note: Poet don’t eat rice
They only eat poems

Sanggar Sastra Wedang Kendi, April 2007

KEPADA CALON PENYAIR


-Aliv V Essessy-

Topi hitam berbalut kain segitiga
Membunkus kepala tanpa irama
Kain hitam tertempel di batang raga

Seorang muda berwajah kapas
Bertulang belakang ikan
Mengayuh sepeda tua merenangi muka dunia
Tas kotak dengan buku penuh sesak

Tawa renyah menumbar
Jemari yang sibuk memilin tembakau

Apa yang hendak kau cari wahai calon penyair?
Sedang puisi telah tertimbun di mana-mana

Purwokerto, April 2007

BAHASA BANYUMASAN DI RUMAHNYA SENDIRI,


Beberapa hari lalu, saya berkunjung ke rumah saudara di Tangerang. Dalam perjalanan ke rumah saudara saya tersebut saya menggunakan angkot jurusan Kebon Nanas-BSD. Di dalam angkot tersebut saya mendengarkan percakapan yang menarik antara sopir dan kondekturnya. Sebenarnya yang menarik bukanlah tema percakapannya, melainkan bahasa yang mereka gunakan. Mereka memakai bahasa Banyumasan yang full ngapak. Ternyata mereka sama seperti saya, berasal dari Purwokerto. Bisa dibayangkan, di sebuah kota besar, kota metropolis, dimana pergaulan sehari-hari menggunakan bahasa Indonesia yang gaul, mereka masih menggunakan bahasa ibu mereka tanpa rasa canggung maupun malu, di kendaraan umum pula.

Lalu, bagaimana dengan bahasa Banyumasan di rumahnya sendiri? Menurut sepengetahuan saya, boleh dikatakan laksana sebatang pohon Albasia di tengah padang pasir. Ya, seperti itu kira-kira perumpamaannya.

Jika kita bicara Banyumas, maka identik dengan Purwokerto sebagai pusatnya. Nah, di pusat inilah bahasa Banyumasan kini meranggas dan merana. Memang, sekarang kita masih mendengar bahasa Banyumasan digunakan oleh orang Purwokerto, namun itu hanya digunakan oleh orang-orang golongan 30 tahun ke atas alias golongan tua. Untuk golongan 29 tahun ke bawah, sangatlah jarang yang menggunakan bahasa ini.

Ya, sedikit sekali pemuda para penerus dan pelestari bahasa Banyumasan. Mereka seolah malu untuk berkomunikasi memakai bahasa ibu mereka. Mereka lebih suka dan bangga mengunakan bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa baru yang (katanya) gaul dan funky meski kadang terdengar aneh dengan aksen medhok-nya. Coba deh tanya mereka apa arti kata konsangane, sing ngada-ada, cubluk, atau setiar. Kalau mereka bisa menjawab, saya traktir sampeyan mendhoan di angkringan perempatan Jl. Kampus deh.

Saya sempat tak percaya ketika dalam sebuah even Kakang-Mbekayu Banyumas, para peserta merasa takut ketika hendak menjalani ujian bahasa Banyumasan. Mereka lebih fasih menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Namun ketika harus mengunakan bahasa Banyumasan, seolah menghadapi monster yang maha kejam dan menakutkan. Mereka yang nantinya menjadi bibit-bibit penerus budaya Banyumas ternyata takut dengan bahasanya sendiri. Ironis.

Saya haturkan hormat saya kepada Ahmad Tohari yang tiada henti-hentinya nguri-uri bahasa Banyumas dan memperjuangkan status bahasa Banyumas pada Kongres Bahasa Jawa beberapa bulan kemarin. Juga acungan jempol kepada kawan-kawan Komunitas Hujan Tak Kunjung Padam yang membawa bahasa Banyumasan -dan satu-satunya- pada Festival Kesenian Yogyakarta beberapa waktu lalu. Serta salut saya kepada setiap orang yang merasa bangga memakai bahasa Banyumasan kapanpun dan dimanapun.

Jika ditarik asal-usulnya, bahasa Banyumasan sebenarnya adalah keturunan langsung dari bahasa jawa kuno. Bahasa Banyumasan itu lebih tua umurnya dan merupakan akar dari bahasa jawa wetan/kraton yang mbandek dan mendayu-dayu itu. Tidak percaya? Kita gunakan ilmu gothak-gathuk seperti berikut. Dalam bahasa jawa kuno, katakanlah bahasa Sansekerta, ada kalimat Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa yang menggunakan akhiran berupa vokal a. Coba kalimat di atas dibaca menggunakan logat bahasa jawa wetan/kraton yang mengunakan akhiran vokal o pada setiap katanya. Bhineko Tunggal Iko Tan Hono Dharmo Mangrwo, akan sangat lucu dan tidak nyaman di telinga. Pun halnya dengan bahasa Banyumasan yang dengan ngapak-nya menyebut kata apa bukan opo.

Sebenarnya bahasa Banyumasan tidak akan bernasib seperti pohon Albasia di tengah padang pasir jika kita merasa punya beban moral untuk tetap membudayakan pemakaian bahasa Banyumasan setiap saat dan dimanapun tempat. Tidak hanya di jalan-jalan, warung makan, pasar, dan tempat-tempat umum lainnya, juga dalam acara-acara resmi pun kita harus pede memakai bahasa Banyumasan, bahkan kalau perlu dalam rapat-rapat DPRD, para wakil rakyat itu harus memakai bahasa Banyumasan.

Di dunia pendidikan, dari kelas 1 sampai kelas 12, para bapak ibu guru sebaiknya dalam mata pelajaran bahasa jawa gunakanlah bahasa Banyumasan, tak perlu takut melanggar ketetapan pemerintah yang mengharuskan pemakaian bahasa jawa wetan/kraton. Sekali-sekali melanggar boleh lah. Percaya deh, kepala sekolah tidak akan naik pitam kok.

Dan masih banyak cara-cara lain baik itu yang halal maupun yang tidak halal.
Ini juga bagi kaum muda. Seharusnya kita bangga mempunyai bahasa yang demikian agung. Kita juga harus bangga ketika kita berkomunikasi memakai bahasa Banyumasan. Tak perlu merasa malu ditertawakan oleh suku bangsa lain ketika kita ber-ngapak ria. Maju terus pantang mudur. Wong di Yogyakarta sendiri, kawan-kawan MASDUGAL (Banyumas Kedu Tegal) juga cuek bebek memakai bahasa ibu mereka yang ngapak di tengah-tengah rimba manusia mbandek, iya apa ora kang?

Saya mohon maaf jika tulisan saya jadi pating mblarah ora nggenah. Maklumlah saya hanya orang awam, bukan seorang akademisi yang harus formal dan manut dengan etika penulisan yang baik dan benar. Namun inilah bentuk kegelisahan saya melihat nasib bahasa ibu saya yang berada di ujung tanduk.

Bahasa adalah cermin dari kebudayaan suatu bangsa. Jika bahasa kita lenyap bagai debu tertiup angin apa jadinya Banyumas nantinya.

Nah siki sapa maning nek udu dhewek sing enom-enom sing nguri-uri bahasane dhewek? Ya mbok?


* Tulisan ini dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat Edisi Selasa 30 Oktober 2007

PAGI, MEJA MAKAN, INI KALI 2

Kembali secangkir kopi hangat membawa kita dengan kereta senyum terbang ke atas mega mega

(ini kali kopi terasa sangat manis)

Dan sebungkus rokok bikinan Paman Sam juga masih berpijar
Mengepulkan kotak kotak mimpi yang sempat tertinggal di ujung peradaban persenggamaan semalam

Aha…!
Jangan habiskan dulu
Coba kita selingi pagi dengan sarapan
Pasti akan lebih nikmat
Baru kita lanjutkan percakapan kita
Nikmati saja bilur bilur matahari itu
Biar kehangatan meuang di meja makan ini
Sebab esok belum tentu kita seperti ini

Malang, 2006

PAGI, MEJA MAKAN, INI KALI 1

Langkah kita berhenti sejenak di sini
Tepikan sementara peluh dan kantuk kita
Setelah lebih dari 4.320 detik kita habiskan dalam kotak mengikuti pusingan roda
Ada segelas kopi pahit panas dan sebungkus rokok kretek di meja persegi ini
Mari kita teguk dan hisap barang sekali
Atau kalian mau membasuh tubuh dahulu
Biar kembali kesejukkan menusuk hati kalian
Atau kalian mau menyantap jamuan yang sudah terhidang pula
Biar kembali makanan itu memenuhi lambung kalian

Kita tertawa kembali kawan
Ini hanya persinggahan sementara

Pasuruan, 2006

SAJAK SEPULUHKU

1)
sekejap langit lelah bermain dengan matahari
setelah terik menimang bumi dalam beberapa putaran waktu
saatnya istirahat dan menikmati beberapa hiburan kecil yang dapat luluhkan angkara
dinginkan hati dari bunga bunga pengkhianatan

2)
senja perlahan lahir
nodai beberapa ruas langit dengan cipratan cipratan tinta merahnya
seperti kuas menyapu sudut sudut kanvas
dia rela meski harus berlumur noda
lalu dibiarkan barang sejenak
agar langit membusuk dan menghitam

3)
matahari istirahat di gubug tua di seberang bukit
malam berkelana
tapi tak ada bintang bercengkrama
atau bulan menyelorohkan sumpah serapahnya
langit terbingkai mendung bergumul
tanpa genderang perang
langit runtuh dengan segala peluhnya
dinginkan bumi hingga ke akarnya
hujan pun turunlah

4)
aku belum bisa kehilangan amarah
meski hujan juga membasuh tubuh
malah menambah muncak hingga ujung kepala
saat air menghantam atap rumah
aku masih menyimpan dendam
pada segala kenikmatan dunia

5)
tiba tiba seekor laron hinggap di pelupuk lampu
hanya sekedar mencari cahaya di malamnya
berputar menari ikut irama alam
hujan masih deras



6)
aku mencari sunyi
aku mencari sunyi
aku mencari sunyi
aku mencari sunyi
aku mencari sunyi
dalam malam meski hujan

7)
aku mencari sunyi
di ujung trotoar, selokan, diskotik, kolong tempat tidur , lemari pakaian, atap kamar, tembok penjara, drum, dan meja makan
aku tak bisa menemukannya
sosok sunyi bergaun ungu berambut ikal
sosok sunyi yang membawa segelintir murkaku demi segelintir
mencuri amarahku segenap seluruh
dan hujan belum berhenti jua

8)
hujan tinggal menyisakan gerimis

9)
seekor jangkrik berteriak nyaris tanpa suara
suarakan kidung mesra di sela tumpukkan batu bata di sebelah kanan pintu rumah
dia tak tahu jika nada yang tercipta belum juga bisa buatku lupakan api yang membakar celah celah tubuhku barang sejenak
mungkin dia ingin menjadi sosok sunyi
gerimis hampir lenyap

10)
aku coba membunuh dendam dengan sebatang rokok yang tertidur di atas meja
biar mengepul asapnya dan meruang di sungai sungai anggur dalam tubuhku
aku rasa itu belum cukup
kumuntahkan semua dendam, api, amarah, pengkhianatan, dan murka bersama gumpalan gumpalan ludah lewat lorong mulutku
tapi tak semua terbang bersama ludah itu
sebagian masih ada yang menempel di pelupuk lidah, ruas jemari bahkan ada yang masih senantiasa bersenggama di ujung jantung
aku belum bisa mendapatkan sosok sunyi
meski matahari telah siap untuk kerja lagi
dan gerimis tlah berganti badai

Gunung Slamet, 2006

KETIKA SEMUA TAK TERJADI


Assalamualaikum warahmatullahi wa barokatuh.

Salam budaya salam sastra.

Selamat malam kepada para hadirin yang duduk maupun yang sedang berdiri di hadapan saya. Kepada kawan-kawan yang sudah rela datang di tempat yang gelap ini. Sebelumnya saya mohon maaf jika sambutan dari kawan-kawan panitia terhadap kawan-kawan sekalian kurang begitu menyenangkan. Dari mulai masuk pintu gerbang kawan-kawan sudah dikerjain dahulu untuk menyusuri jalan yang gelap. Lalu ketika hendak masuk ke tempat ini, kawan-kawan cegat untuk mengisi kotak dengan uang kawan-kawan, lalu dicegat lagi untuk mematikan handphone. Yah memang, kawan-kawan panitian pada malam ini memang betul-betul kurang kerjaan, ya mau bagaimana lagi, begitulah kerjanay panitia, merepotkan saja.

Sebenarnya panitia ingin acara pada malam ini berjalan dengan tentram, aman, dan tertib. Tidak seperti pertunjukkan-pertunjukkan teater di tempat lain. Betul kan yang saya katakan? Bagaimana tidak tertib ketika pertunjukkan sedang panas-panasnya tiba-tiba tedengan suara gaduh dan tepuk tangan. Bagaimana tidak tentram, ketika pertunjukkan sedang hot-hotnya tiba-tiba terdengar suara “titit-titit” dari arah penonton, atau bermacam bebunyian yang tidak termasuk dalam konsep sutradara.

Bagaimana tidak aman, ketika pertunjukkan sedang dalam pucak-puncaknya tiba-tiba salah satu penonton ada yang meninggal karena tertusuk benda tajam. Ngeri to?
Ya, mematikan alat komunikasi, tidak menimbulkan suara-suara aneh, tepuk tangan hanya di awal dan di akhir pertunjukkan, tidak boleh mengambil gambar dengan blitz, dan dilarang merokok memang telah menjadi peraturan yang tak tertulis dalam pertunjukkan teater dimanapun juga, siapapun juga dan kapanpun juga. Tapi yang namanya peraturan tetaplah peraturan. Peraturan dibuat berfungsi sebagai untuk dilanggar. Iya to? Lha wong buktinya sudah banyak kok saya tidak mungkin menyebutnya satu persatu siapa saja pelakunya. Toh memang tidak ada sanksinya kan? Paling-paling Cuma dikata-katain yang nylekit dari penonton yang lain. Sing diomong gobloklah, payah lah, ndeso lah dan sebagainya dan sebagainya. Tidak ada sanksi fisik, denda maupun kurungan. Lha wong peraturan yang langsung turun dari tuhan saja sudah banyak dilanggar, apalagi peraturan yang dibuat manusia.

Nah, pada malam hari ini silahkan kawan-kawan melangar peraturan tersebut. Saya tidak melarangnya. Yang mau sms-an atau telpon-telponan silahkan, yang mau ngobrol silahkan, yang mau jeprat-jepret mengabadikan gambar saya monggoh, yang mau ngrokok boleh dengan catatan saya juga mendapat jatah. Atau yang datang cuma hanya ingin nunut pacaran is up to you. Nanti jika dimarahin oleh panitia biar saya yang menanggung semuanya. Setuju?. pokoknya hanya pada pertunjukkan malam ini yang membebaskan dari segala macam peraturan. Jadi gunakanlah kesempatan ini sebaik-baiknya. Janganlah kalian menjadi kaum yang merugi. Jadi silahkan, monggoh, is up to you, please, sak karepmu, sok lah. Saya tidak melarang.

Hal ini perlu saya tegaskan kenapa saya mempersilahkan kawan-kawan untuk melakukan hal itu semua. Sebab….. sebab…. Sebab…. Malam ini……………………..di tempat ini…………… di panggung ini ……………tidak jadi ada pementasan. Ya. Tidak ada pementasan apalagi monolog yang seperti tertera di undangan, pamphlet atau di media massa. Ya. Malam ini, orang yang namanya tertera di undangan, pamphlet dan media massa tidak jadi mengadakan monolog.

Kawan-kawan tahu siapa orang itu? Orang yang telah mengecewakan kawan-kawan? Orang yang sialan itu? Orang yang bajingan itu? Orang yang kurang ajar itu? Orang yang kaya asu itu? Namanya Ryan Rachman. Kalian tahu siapa Ryan Rachman itu. Orang yang biasanya di panggil POLPOT itu? Orang yang sok penyair sok sastrawan, sok teaterawan, kakean omong dan sebagainya-sebagainya. Akan saya beritahu. Orang itu adalah orang yang sekarang sedang berdiri di sini, di hadapan kawan-kawan. Ya, sayalah orang itu.

Ya sayalah orangnya.

Memang, mengadakan pentas monolog adalah impian saya saya sebelum saya meninggalkan kampus ini. Ya paling tidak sekali saja. Sebenarnya saya merasa iri melihat kawan-kawan dari teater lain bermonolog ria. Saya iri. Benar-benar iri. Ketika kawan-kawan yan lain berani pentas di atas panggung sendirian tanpa kawan tanpa siapa, lalu setelah selesai saya biasanya komentar tentang ini itu yang biasanya panjang sekali. Saya berfikir, apakah saya berani tampil di atas panggung sendirian dengan kemampuan yang saya miliki, lalu setelah saya selaesai akan banyak orang yang memberi tepuk tangan bertanya, mengkritik, mencaci, mengatai saya seperti ini itu dan lain-lain dan lain-lain. Apakah saya mampu? Itulah yang menjadi pertanyaan yang selalu datang di otak saya setiap saat

Ya, setelah saya berpikir panjang selama beberapa bulan akhirnya saya menetapkan hati untuk berani pentas monolog, pentas sendirian di atas panggung. Lalu saya bilang kepada kawan-kawan TEKAS dalam sebuah rapat tentang niatan saya itu. Dan kawan-kawan antusias menyambut niatan saya itu. Mereka bersedia membantu apa saja yang saya perlukan. Bahkan sampai hal-hal yang rumit sekalipun. Saya katakan kepada kawan-kawan TEKSAS bahwa saya siap untuk pentas pada akhir bulan Juni tahun ini. Setelah melalui berbagai macam pertimbangan disepakati pada hari ini tanggal 13 malam Jumat.
Saya pun memulai aksi saya. Saya mulai mencari naskah-naskah monolog. Dan setelah mendapatdari berbagai macam tipe dan gaya monolog, akhirnya saya memilih naskah DOR karya Putu Wijaya dengan kawan Braja sebagai sutradara. Saya benar-benar mendalami naskah itu. Kapan naskah itu dibuat, settingnya bagaimana, isu apa yang terjadi pada waktu itu, apa filosofi naskah itu dan sebagainya dan sebagainya. Pokoknya komplit.
Saya latihan setiap hari dengan intens dan sering. Dimana tempat dan dimana waktu, saya latihan. Tidak peduli siang, malam, atau pagi. Di kontrakkan, di kampus, di rumah, di kamar mandi, di bis antar kota antar propinsi, saya tetap latihan. Dari hari ke hari latihan saya mengalami peningkatan yang cukup signifikan, begitulah kata sutradara, saya tidak menyombongkan diri lho, itu kata sutradara. Benar kan mas Braja? Dan tak terasa hari H semakin dekat. Kawan-kawan produksi telah menyiapkan segala sesuatu yang saya perlukan. Dari hal-hal yang sepele hingga hal-hal yang rumit. Mereka bekerjatanpa mengenal lelah. Saya salut dengan mereka. Cara kerja mereka pelu saya acungi jempol. Dari mengurus publikasi, undangan, peminjaman alat, menyiapkan setting yang rumit, lampu yang warna-warni, musik yang ngejelimet, dan lain-lain. Semua nyaris sempurna. Dan saya senang sekali bekerja dengan mereka.
Hari yang ditungu-tunggu sudah di depan mata. Publikasi sudah disebar ke seluruh antero Purwokerto dari tengah kota hingga pelosok desa. Segala persiapan sudah matang. Tetapi perasaan ragu dan takut malah muncul dari dalam diri saya. Apakah saya benar-benar sudah siap untuk berdiri sendiri di atas panggung. Apakah saya sudah siap untuk di kritik sana-sini oleh para penonton. Apakah saya sudah siap dengan itu semua. Pertanyaan-pertanyaan itu selalu muncul di benak saya setiap saat, apalagi saat saya melihat panggung. Mereka datang tak mengenal waktu, bahkan sampai dalam mimpi mereka datang dengan seenaknya. Seolah-oleh mereka hendak memakanku hidup-hidup.

Untuk sementara saya masih bisa menghadapinya. Memang saya tidak buru-buru mengatakan permasalahan saya kepada sutradara dan kawan-kawan yang lain. Sebab saya tidak ingin membuat mereka bingung. Saya depresi berat waktu itu. Semakin hari semakin tak kuat saya menahannya. Hingga hari yang ditunggu-tunggu telah di hadapan mata. Lusa, setelah latihan, saya mengumpulkan kawan-kawan dan mengatakan masalah saya kepada mereka. Saya meminta saran kepada mereka bagaimana untuk menghadapi masalah saya tersebut. Untungnya saya memiliki kawan-kawan yang peduli. Mereka memberikan banyak sekali saran yang membangun harapan saya. Sesampai di kontrakan saya memikirkan kembali saran-saran tersebut. Saya dihadapkan dua pilihan antara melanjutkan pementasan atau tidak. Saya berpikir dalam-dalam. Bagai buah simalakama. Jika saya tidak pentas maka sia-sia latihan saya selama ini, sia-sia pengorbanan kawan-kawan yang telah membanting tulang demi lancarnya pementasan saya. Tetapi ketakutan-ketakutan itu selalu menyerangku membabi buta dan memaksaku untuk tidak melanjutkan pementasan. Hingga tadi sore saya belum bias memutuskan jalan mana yang akan saya ambil.

Akhirnya tadi malam sebelum latihan saya mengumpulkan kawan-kawan dan membicarakan kembali permasalahan saya. Kawan-kawan masih setia untuk memberi semangat kepada saya. Namun akhirnya saya angkat bicara dan memutuskan untuk memilih jalan yang kedua. Saya tidak jadi pentas. Dan kali ini saya mantap dengan keputusan saya tersebut. Semua terdiam. Tidak ada suara waktu itu. Sunyi. Saya tidak berani memandang wajah kawan-kawan. Saya tidak tahu bagaimana raut ekspresi mereka saat mendengar keputusan saya itu. Setelah beberapa saat, baru saya beranikan untuk memandang mereka. Tampak wajah tak suka dari wajah mereka. Dan akhirnya meraka angkat bicara satu persatu. Ada yang menyesalkan keputusanku tadi, ada yang kecewa, ada yang mencaci-maki. Bahkan kawan satu rumah saya, Braja, sang sutradara marah-marah dengan kata-kata yang menyakitkan hati, tidak hanya itu, dia sudah siap dengan kepalan tangan dan hendak memukul saya.

Memang saya sadari, keputusan itu telah mengecewakan kawan-kawan TEKSAS semua, saya juga menyadari akan mengecewakan kawan-kawan yang hendak menyaksikan saya nantinya. Tidak hanya itu, saya juga telah membuat nama buruk dalam perjalanan sejarah teater TEKSAS yang saya rintis bersama-kawan-kawan dulu hingga sekarang. Teater yang sudah saya lekatkan pada darah dan daging saya. Tapi mau bagaimana lagi? Ketiak saya dihadapkan dengan pilihan yang sulit, saya pun akhirnya harus memilih. Dan pilihan itu pun sudah melalui berbagai macam pertimbangan yang tidak dapat saya sebutkan. Dan saya siap dengan resiko yang akan saya ambil nantinya. Tak apalah ketika kawan-kawan menganggap saya sebagai seorang pengecut, seorang penakut, seorang bajingan, seorang penghianat. Saya sudah siap dengan itu semua. Karena memang itulah saya. Saya seorang penakut, seorang pengecut, seorang bajingan, seorang penghianat. Ya ! saya memang seperti itu. Jika sudah seperti itu kalian mau apa? Mau memukul saya hingga babak belur! Pukullah sesuka kalian. Kalau perlu bunh saja saya.!

Maaf kawan-kawan, saya jadi terbawa emosi. Sekali lagi saya minta maaf. Saya khilaf. Sebenarnya keperluan saya berdiri di sini adalah ingin meminta maaf kepada kawan-kawan yang sudah hadir pada malam ini yang merasa dikecewakan oleh saya. Juga kepada kawan-kawan TEKSAS. Saya minta maaf atas semuanya. Saya harap saya masih diterima di hati kalian. Terimakasih kepada semuanya atas waktunya untuk mendengarkan saya tadi. Jika anda merasa muak kepada saya, silahkan pulang saja dan tak usah memiliki keinginan untuk melihat saya lagi.

Sekali lagi saya minta maaf.

Wassalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh.

Salam budaya salam sastra!

API



Mencari-cari ke setiap pojok panggung/segala arah.
Berhenti.
Mencari-cari lagi.
Berhenti.
Mencari-cari lagi

Dimana? Dimana?

Berhenti.

Api. Aku mencari api.

Mencari-cari lagi.


Dimana api itu sekarang?
Siapa yang membawanya?
Kemana perginya?

Berhenti, kelelahan.

Tidak ada. Tidak ada jejaknya. Dia telah pergi jauh entah kemana. Aku tak dapat menemukannya. Apiku. Api kami.

Musik sendu

Dia telah pergi. Dia telah pergi. Dia pergi dibawa angin entah kemana. Dia telah padam. Hujan yang turun telah memadamkannya.

Diam

Api itu. Ya, aku masih ingat betul. Dulu, waktu dia masih kecil, saat dia masih berupa percik. Dia memercik setiap saa pada hatiku, pada hati kami. Ya, kami, pemuda-pemuda yang tinggal di rumah ini. Dia memberi kehangatan dalam dingin. Dia memberi cahaya dalam gelap.

Melihat sekeliling ruangan.

Rumah ini. Dulu di rumah ini, orang tua kami, kakek buyut kami, dan para pendahulu kami hidup dalam dingin dan kegelapan. Kedinginan dan kegelapan yang begitu lama. Ya, lama sekali. Kedinginan yang menusuk tulang, membekukan tubuh kurus kami dan mematikan hati kami. Kegelapan yang mencekam, menakutkan. Kegelapan yang menghancurkan masa depan kami. Kemiskinan, kebdohan, keterbelakangan, penyiksaan, perbudakan, dan penderitaan. Kegelapan yang memusnahkan jiwa kami.
Diam.

Raut muka berubah menjadi agak gembira

Lalu, tiba-tiba dia lahir. Dia memercik di hati dan jiwa kami. dia memberikan kami pengharapan tentang matahari esok pagi. Dia memberikan semangat kepada kami untuk lepas dari dingin dan kelar dari kegelapan yang meurung kami berabad-abad lamanya. Jiwa kami mulai tergerak. Hati kami mulai tergugah. Kita harus lepas dari belengu itu.

Hening.


Dia telah pergi. Dia telah pergi. Dia pergi dibawa angin entah kemana. Dia telah padam. Hujan yang turun telah memadamkannya.

Diam.

Masih jelas di otakku. Dia. Tak perlu waktu yang lama, dia telah menjadi dewasa. Dia tak lagi memercik. Dia menyala. Dia mulai membara. Lidah-lidahnya menjilat kesana-kemari tak pernah berhenti. Membakar jiwa-jiwa pemuda yang menghuni rumah ini. Dia terus membara dan menyatukan semangat kami semua. Api itu berteriak kepada jiwa-jiwa muda kami. dia selalu berteriak lantang.

“Kalian adalah satu. Tak ada perbedaan dalam diri kalian. Tak ada pemuda Sumatra, pemuda Jawa, pemuda Ambon, pemuda Kalimantan, pemuda Sulawesi. Kalian adalah pemuda Indonesia. Kalian adalah bangsa Indonesia. Rumah kalian adalah tanah air Indonesia. Bahasa kalian adalah bahasa Indonsia!!!”

Dia teru berteriak, terus, terus, dan terus. Tubuh kami terbakar, hati kami terbakar, jiwa kami terbakar. Kami tak tahan lagi dengan kegelapan yang mengurung kami. kami berteriak.

Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, menjundjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Api itu menyatukan kami menjadi bangsa Indonesia. Dia semakin besar dan sangat besar. Dia membakar seluruh jiwa pemuda yang ada di rumah ini. Indonesia. Untuk segera lepas dari cengkraman dingin dan kegelapan.

Kami pun berjuang tanpa mengenal lelah untuk mewujudkan mimpi-mimpi ami yang cerah di masa depan. Kami tak ingin anak-anak kami mengalami hal ang sama dengan kami.

Dan api itu benar-benar membakar seluruh semangat jiwa kami. kami terbakar, kami berteriak, bergerak, mengerang, menerjang, dan melawan.

Akhirnya kami terlepas dari dingin dan gelap yang telah lama mengurung kami. dingin dan gelap itu pergi menjauh dari rumah kami. habis gelap terbitlah terang. Matahari yang cerah terbit juga. Sinarnya masuk ke dalam rumah kami, ke dalam jiwa kami. kami benar-benar telah lepas dari belenggu itu. Kami merdeka.

Lalu kami mengisi rumah kami dengan hiasan-hiasan warna-warni. Dengan cat warnawarni, dengan bunga segala rupa, dengan ornamen-ornamen, dan dengan pernak-pernik lucu. Kami jadikan rumah kami penuh kesejukkan, kenyamanan, keindahan dan kesejukkan. Kami jadikan anak-anak kami lebih kerasan di sini, kami jadikan mereka lebih nyaman. Dan kami tularkan api-api yang membakar semangat kami ke dalam jiwa-jiwa mereka. Agar mereka tidak lena.

Diam
Raut muka berubah marah.

Tapi kini apa yang terjadi? Anak-anak kami ternyata tak tahu diri. Mereka asyik dengan rumah yang nyaman. Mereka tak tahu bagaimana perjuangan kami untuk lepas dari belenggu kegelapan. Untukmembuat rumah ini menjadi nyaman. Mereka tak peduli. Mereka asyik bermain-main. Mereka lena. Membiarkan api di jiwa-jiwa mereka. Mereka., anak-anakku, anak-anak kami.

Diam.
Tiba-tiba tergengar suara angin berhembus kencang, lalu suara hujan turun.
Suasana redup.


Api itu. Dia telah pergi. Dia telah pergi. Dia pergi dibawa angin entah kemana. Dia telah padam. Hujan yang turun telah memadamkannya. Kini, rumah ini tak seprti kemarin. Telah berubah. Gelap dan dingin.

Lampu mati.

SELESAI

07 Februari 2009

DURNA GUGAT

Malam bertambah larut, namun langit tak menampakkan wajah yang pekat. Langit terang. Alam tampak tenang. Hanya beberapa helai angin yang bergerak semilir. Berloncatan menggoyangkan reranting pohon yang diinjaknya. Tanah basah disiram embun yang memang dingin. Udara malam menusuk daging hingga tembus ke ujung-ujung tulang.

Sementara itu para niyaga masih memainkan gamelannya dengan irama rancak nan ritmis. Di tengah-tengah mereka, seorang panjuk memainkan tangan-tangannya dengan lincah menabuh permukaan kulit kendhang. Dengan penuh semangat dibuatnya tabuhan-tabuhan yang menghentak. Sementara yang lain masih me-ning... nang... ning... gung –kan alat musik jawa di hadapannya itu.

Lima orang wanita berpakaian kebaya duduk bersimpuh berjajar. Mereka masih terlihat muda meski usianya lebih dari tiga puluh. Mereka adalah para sinden. Dari helai bibir mereka yang bercat merah menyala seperti jambu air itu keluar suara-suara melengking namun merdu menyanyikan tembang alam.

Purnama hampir jatuh di setiap ubun-ubun orang-orang yang ada di tempat itu. Udara bertambah dingin. Tetapi mereka masih berdiri di tempat itu menunggu sang dalang naik ke singgasananya. Ada juga yang duduk-duduk sambil menikmati kacang kulit yang dibawanya dari rumah atau mengepulkan rokok di bibirnya. Para Kurawa pun masih berdiri menancapkan ujung-ujung jemari kakiku pada batang pohon pisang hingga tepat di bawah lutut. Tampak di samping Bisma, ada Duryudana, Durna dan Sengkuni. Di belakangnya ada Karna beserta prajurit-prajurit yang lain. Ya, ya. mereka adalah Kurawa.

Mereka masih berdiri di sebelah kiri gunungan yang berdiri gagah dan kokoh menantang langit yang gemintang.

Malam bertambah dingin.

Sinden-sinden itu masih mengeluarkan suara-suara dari mulut mereka. Menurut mereka adalah tembang yang merdu. Tapi sepintas biasa-biasa saja. Tak ubahnya dengan tangis bayi kecil yang ingin netek pada pu ting ibunya, atau seperti suara seorang nenek renta yang menegadahkan tangannya di ujung lorong Astina. Atau layaknya erangan istriku di ranjang empuk waktu kami bersenggama.

Di sebelah kiri gunungan tetancap rombongan Duryudana lengkap beserta bala Kurawanya. Ada Bisma, Durna, Sengkuni, Dursasana dan sebangainya. Terlihat mata mereka begitu tajam dan bengis.

Tampak di depan mereka, di sebelah kanan gunungan itu, sekelompok manusia kulit yang kakinya menancap pula. Mereka adalah Pandawa bersama anak, istri, kemenakan dan prajurit-prajuritnya. Puntadewa berdiri paling depan. Disusul Bima dan Arjuna. Juga Nakula dan Sadewa. Di belakangnya Kurawa di Astinadiraja.

Malam semakin berlari. Bintang-bintang di langit hilang tertutup mendung yang pekat. Tak tahu kenapa. Para niyaga memainkan alat musik seperti kesetanan. Ditabuhnya gamelan itu keras-keras. Keras, keras, keras dan cepat. Tiba-tiba petir menyambar. Kilat menjilat dan jatuh di depan panggung dan menimbulkan suara dentuman yang memecah gendang telinga. Lalu terlihat kepulan asap putih yang pekat.

Tak selang berapa lama, asap itu mulai menipis. Dari dalam asap itu nampaklah sesosok bayangan manusia. Semakin lama bayangan itu semakin jelas dan tegas. Seorang laki-laki yang sudah mulai tua namun badannya masih tegap dan kekar. Wajahnya keriput namun sorot matanya tajam. Di tubuhnya menempel pakaian kerajaan seperti di dunia wayang.

Sementara itu, seluruh yang ada di tempat itu diam dan tercengang.

Tiba-tiba dari mulutnya keluar suara, ”Wahai anak manusia, apakah kalian kaget melihatku berdiri di sini? Kalian tidak usah takut. Oh, baiklah, aku akan memperkenalkan diriku. Namaku Durna. Ya, Resi Durna.”

”Kedatanganku ke tempat ini tidak untuk menghancurkan tempat ini. Aku hanya ingin mengutarakan beberapa unek-unek yang selalu ada di otakku.”

Para manusia masih tercengang dan kaku memandang sosok itu.

“Seperti yang sudah aku katakan tadi, kedatanganku ke bumi ini adalah untuk menanyakan sesuatu kepada kalian yang aku rasa tidak adil bagiku. Sebenarnya cuma satu permasalahannya. Kenapa kalian memandangku sebagai manusia jahat? Kenapa?"

“Baik, mungkin karena aku adalah penasihat para Kurawa yang menjadi musuh Pendawa itu. Atau karena aku adalah seorang patih di Astinadiraja itu?”

“Jika aku harus memusuhi Pendawa ketika perang Baratayudha itu dikarenakan sikapku yang menjunjung tinggi kepada negaraku. Kepada tanah air dimana aku dan keluargaku hidup dan beranak pinak. Jangan kau tanyakan apa yang telah negara berikan kepadamu, tetapi tanyakan apa yang telah kamu berikan kepada negara. Kalian pernah dengar itu? Itu adalah patriotisme seorang warga negara yang baik. Right or wrong is my country. Jadi seburuk apapun itu, dia adalah negaraku, tempat aku hidup dan mencari nafkah.”

“Kenapa kalian masih mematung seperti itu? Apa penjelasan itu kurang cukup bagi kalian?”

“Baik, coba kalian dengarkan. Dulu ketika aku hendak mencari Sucitra, saudara seperguruanku di tanah Jawa, untuk dapat menemuinya aku harus menyeberang lautan, lalu aku berdoa kepada dewa agar diberi kemudahan kepada dewa supaya dapat menyeberang lautan itu. Lalu dewa megabulkan doaku, dia mengirimkan seekor kuda, dengan naik kuda itu akhirnya aku bisa menyeberang lautan. Di tengah lautan aku menyadari bahwa kuda itu adalah betina. Nafsu hebat menguasaiku hingga aku lupa diri. Di suatu tempat terpencil, aku meelakukan hubungan seksual dengan kuda itu hingga dia hamil. Tak lama kemudian lahir seorang bocah yang elok rupanya hanya saja kakinya cacat. Dia diberi nama Aswataman. Kalian pernah mendengar cerita itu bukan? Benar itu adalah cerita yang dibuat-buat oleh Gathutkaca. Itu hanya bohong belaka. Dia, Gathutkaca hanya membual.”

“Memang benar jika aku menghamili seekor kuda, namun bukan karena alasan nafsu berahi. Itu karena aku menjunjung tinggi sikap bawalaksana sebagai seorang ksatria. Ketika itu aku bersumpah kepada siapa saja yang dapat menyeberangkan aku ke tanah Jawa, maka kalau laki-laki akan aku angkat sebagai sedhulursinarawedhi dan kalau perempuan akan aku ambil sebagai istri. Untuk mengujiku, dewa mengirimkan kuda betina kepadaku dan menyatakan keanggupannya untuk membawaku menyeberang ke tanah Jawa. Karena aku sudah bersumpah, maka aku pun menerima uluran tangan kuda betina itu.”

”Karena aku seorang ksatria, maka konsekuensinya aku harus menikahi kuda betina itu. Dan perkawinan itu tidak hanya di formalitas saja. Aku pun wajib memperlakukannya layaknya seorang istri. Dan aku beri tahu kepada kalian, bahwasanya kuda itu adalah jelmaan dari Bethari Wilutama, seorang bidadari. Itulah kenyataannya.”

”Kenapa kalian tetap saja diam, apa penjelasanku kurang jelas?”

”Apa alasan itu tidak membuat kalian berubah pikiran?”

”O, mungkin kalian belum bisa terima akan sifatku yang picik terhadap Bima? Tidak, aku tidak sepicik yang kau kira. Aku menyuruh Bima untuk mencari air suci di Tirtapawitra bukan untuk menjauhkan Bima dari saudara-saudaranya. Memang air suci itu bukanlah air yang mempunyai kekuatan seperti para penyihir, namun air suci itu adalah alam raya seutuhnya. Dari perjalanan itu Bima dapat mengerti apa arti sebuah perjuangan dan pengorbanan. Meskipaun dia tak berhasil menemukan air suci itu, namun dia dapat bertemu dengan Dewa Ruci yang agung. Darinya dia dapat belajar betapa kecilnya manusia dihadapan Sang Zat. Itulah sebenarnya tujuanku menyuruh Bima untuk berkelana mencari air suci.”

”Aku rasa dari cerita di atas kalian dapat mengerti betapa aku tidaklah pantas dimasukkan ke dalam golongan jahat.”

Sunyi.

Tiba-tiba Durna terdiam, lalu menitikkan air mata.

”Dan satu lagi yang membuatku sangat terluka. Dulu di negeri ini pada masa Orde Lama ada seseorang yang sangat dibenci oleh masyarakat, dia diberi julukan Durna. Itu, itu yang sangat menyesakkan hatiku.”

Air matanya tak lagi menitik, namun kini berubah seperti hujan lebat di malam hari. Isaknya bertambah keras dan semakin keras. Tertunduk dia dan memasukkan mukanya ke telungkup tangannya.

Tiba-tiba angin bertambah kencang, langit menjadi mendung, pekat menutup gemintang. Gemuruh suara langit membahama. Lalu selarik kilat turun ke bumi menyambar sosok itu. Tak selang berapa lama sosok yang mengaku Durna itu lenyap bersama lenyapnya kilat.

Kemudian tawa pecah dari setiap mulut yang berada di tempat itu. Mereka seakan tidak mau tahu tetang apa yang telah dialaminya. Gamelan mulai ditabuh lagi. Sinden mulai menyanyikan tembangnya. Dalang pun mengangkat gunungan di hadapannya dan segera memulai pertunjukkan itu. Dan tetap menempatkan Durna di tempat sebelah kiri bersama para Kurawa.

Sanggar Sastra Wedhang Kendi, Agustus-September 2006

*Ini cerpen yang luar biasa, sebab cerpen ini menjadi juara harapan I pada Peksiminas di Jambi kemarin. Akan tetapi, saya tidak mendapat hadiah sepeserpun dari panitia kampus, panitia daerah, maupun panitia pusat. Hiks...hiks...

AKU MENGUNYAH CAHAYA BULAN: Jejak Perjalanan Dharmadi Itu Bernama Puisi

Kumpulan puisi berjudul Aku Mengunyah Cahaya Bulan, 56 Puisi Pilihan (1974-2004) (Novembar 1994) karya Dharmadi adalah suatu kumpulan jejak langkah perjalanan panjang kehidupan seorang Dharmadi yang terlahir di Semarang 30 September 1948. Jejak yang ditempuhnya selama tiga puluh tahun dalam berkarya dan bergelut di bidang sastra. Buku ketiga kumpulan puisinya setelah Kembali Ke Asal (1999) dan Dalam Kemarau (2000). Buku yang berisikan 56 puisi diawali dengan puisi berjudul Cahaya Hari (1974) dan diakhiri dengan puisi berjudul Aku Ingin Pulang (2004).

Buku ini pernah dibedah dalam acara Badah Buku Aku Mengunyah Cahaya Bulan Karya Dharmadi yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia di Kampus Program Sarjana Bahasa Dan Sastra Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto pada tanggal 26 April 2005. Dengan pembicara adalah Dharmadi sendiri dan Abdul Wachid B.S.

Ke-56 puisi karya Dharmadi ini sebagian besar adalah penggambaran kejadian-kejadian yang dirasakannya sehari-hari. Coba simak puisi Dalam Sakit berikut: di ruang operasi/suntikkan pertama/sedikit goyang/suntikan kedua/aku mengembara/sampai di suatu negeri/dalam lapisan salju/mancar cahaya/betapa megah/berjalan-jalan/menyeka marmer putih/di dinding ruangan/kembali ke alam nyata/ada lamat-lamat suara/dalam mata yang masih memberat/selintas wajah istriku/lembut tangannya/menyeka ubunku/instalasi infus/dengan jarum menggigit urat nadiku/mengalirkan cairan di tabung/aku melihat-mu/berenang di dalamnya/dan gelembung udara/dari nafas-mu/menelusup slang plastik/menyusup di denyut jantungku//1994//

Dari puisi di atas dapat kita lihat bahwa dia melukiskan keadaannya saat sakit dan pengalamannya pada saat dioperasi. Momentum-momentum lain yang dia dapatkan juga tak luput ditelurkannya lewat puisi. Seperti pada puisi Di Kuburan (1974), Di Pendopo TBS (1995), Di Sisi Jenasah di Bibir Liang Kubur (1995), Sisir Itu Masih Mengurai Rambutku yang Tak Lagi Legam (1997), Di Dalam Gerbong (1999), Pantai Permisan (2000), Menjelang Senja (2000), dan Pantai Pasir Putih (2000). Dalam puisi Bulan Bulat di Ranjang (1994), tampak bahwa dia sedang menggambarkan pengalaman romantisnya di atas ranjang bersama sang istri dan diuraikan dalam bait …jatuh di tengah ranjang / sprei berbunga-bunga / yang tidur menggeliat pelan …

Simak juga puisi Akhirnya Kini Kita Tinggal Berdua berikut: Akhirnya kini kita tinggal berdua;/Anak-anak sepertinya baru kemarin/Menjadi bagian diri kita/Satu persatu pergi/Menyusuri jaman/Mencari nasibnya/Kita sendiri terus di jalan/Usia menuju tua/Dan akhirnya kini tinggal berdua;/Mengurai dialog dalam bahasa kata/Dengan cahaya hati dan bahasa rasa/Menuliskan huruf-abjad pada syaraf/Menjelma bahasa belaian/Sesekali terucapkan; siapa yang pergi dulu/Di antara kita, saling berebut merasa/Paling banyak salah dan dosa/: kalau sudah begitu sesaat berpandangan/kemudian berangkulan seolah tak ingin perpisahan/sambil saling menyeka airmata//2001-2002//

Dalam puisi di atas tersirat makna sebuah pengalaman sedih dimana dia sudah tak lagi bersama ketiga anaknya yang mengikuti suami/istri mereka. Tinggallah dia di rumah bersama sang istri sambil menunggu datangnya malaikat maut menjemput salah satu dari mereka.

Banyak memang, tema-tema yang diangkat adalah hal-hal yang biasa kita lihat dengan mata telanjang. Itu dapat kita lihat dalam puisi Gerimis Pagi (1995), Sungai-sungai (1999), Sajak Batu (1999-2004), Sebiji Beringin (2000), dan Selembar Daun (2001).
Puisinya juga berisikan suatu keadaan yang sesuai dengan keinginkannya. Pada puisi pertamanya; Cahaya Hari/hari, taburkan di sini/di pilar-pilar cuaca/cahaya hari/yang serbuk-serbuknya/di kantung langit//1974//

Sebuah puisi yang cukup singkat yang menggambarkan suatu keinginan sebuah awal yang baik, sebuah awal yang indah dalam menjajaki perjalanan hidupnya dalam berkarya. Sebuah keinginan untuk berumah tangga lagi setelah ditinggal mati oleh istrinya terefleksikan pada puisi Di Puncak Kemarau (1999-2000) pada bait terakhir, …aku percaya, aku percaya, pasti engkau akan menidurkanku dengan belaian sambil mendendangkan tembang tentang rahasia malam. Betapa dia sangat kesepiannya hingga dia memerlukan seorang sosok perempuan yang dapat mengurus hidupnya dan menemani hari-harinya. Dan kebetulan keinginannya tersebut terlaksana dengan sukses.

Coba kita simak puisi Aku Mengunyah Cahaya Bulan berikut: kukekalkan sebutir embun kehidupan/ada selembar daun hatiku kurambatkanfantasi lewat rentang kawat telepon/dan puncak tiang-tiangnya mengitarkan/ke langit dalam malamku/bulan memainkan cahaya/lewat serpihan kabut/menggugurkan suara gaduh/perjalananku/ada yang menimang resah hatiku di sana/betapa nikmat meneguk kedamaian meski sesaat/biarkan aku diam dalam mengunyah cahaya bulan/yang terlempar di sana//1995//

Sebuah puisi yang dijadikan sebagai judul buku ini. Memang benar apa yang dikatakan oleh Yudiono KS dalam pengantar buku ini. Tidak ada kejelasan apa yang hendak dinyatakan oleh sajak ini jika pemahaman dan penafsirannya diurutkan berdasarkan logika. Memang dalam sajak ini simbol-simbol yang ada tidak memiliki keterkaitan satu sama lain. Seperti cahaya bulan, suara gaduh, kawat telepon dan embun kehidupan. Mungkin inilah yang jadi pertanyaan. Tetapi menurut saya, Dharmadi memilih sajak ini sebagai judul bukunya memiliki sebuah tujuan. Dia menginginkan membawa pembaca ke dalam dunia tanya yang simbolik. Sehingga pembaca akan merasakan suatu kenikmatan terhadap rasa penasaran.

Ada yang menarik pada beberapa sajak di sini. Dalam puisi Sajak Jarum Jam (1993) …jarum jam menyimpan-mu…, Dalam Sakit (1994) …dari nafas-mu…, dan Sajak Dua Belasku (2002) …jadikan aku kakitangan-mu/dalam gerak kehendak-mu…. Jika kita cermati, maka ada penggunaan kata –mu menggunakan huruf m dengan huruf kecil. Sedangkan kita tahu, dalam kaidah bahasa Indonesia yang benar, penggunaan kata –mu dalam hal ini berarti tuhan, maka penulisan yang baik adalah menggunakan huruf m besar yaitu –Mu. Hal ini sempat menjadi pertanyaan dari rekan saya sesama mahasiswa. Bisa jadi, Dharmadi menggunakan kata tersebut, dapat disinyalir dia adalah seorang penganut paham manunggaling kawulo gusti. Tetapi hal itu tidak menjadi suatu hal yang perlu dipermasalahkan.

Dari keseluruhan puisi-puisinya, puisi Orang-orang Telah Kehilangan Sunyi adalah sebuah puisi yang merupakan kritik sosial terhadap keadaan umat manusia pada masa sekarang. …malam telah kehilangan sunyi/telah disulap dengan keramaian/malam telah kehilangan sunyi/telah disulap menjadi kenikmatan/malam telah kehilangan sunyi /telah disulap menjadi ajang pengkhianatan…. Tetapi dari keseluruhan puisinya adalah puisi-puisi perenungan. Kalau boleh saya menyebut, puisi-puisi Dharmadi adalah puisi romantis. Romantis di sini bukan berarti picisan, namun romantis di sini adalah puisi yang menghanyutkan. Buku ini di akhiri dengan puisi Aku Ingin Pulang (2004) …aku ingin pulang letih bertualang/terombang-ambing gelombang/gaduh dunia…. Sebuah bait yang menyatakan keinginannya untuk beristirahat setelah menempuh “perjalanan” yang melelahkan.

Purwokerto, 3 April 2006

AKUARIUM


Laut yang terkotak
Ikan-ikan yang bermain
dalam terumbu karang palsu
Terhempas gelombang palsu

Lalu kehidupan harus terkotak dalam kepalsuan?

Kebumen, 2005

ANAK-ANAK JAGUNG

Biar kami bercengkrama dengan bulir-bulir mutiara
Kuning memerah segar

Mari kita pilin bulir-bulir indah ini
Telanjangi saja rumah rindunya
Seperti kaki dan dada kita
Telanjang
Dan biar perut kita membuncit
Mendongak menyapa angin

Kita tak usah sekolah
(mungkin tak boleh)
Sebab kita lebih cerdas dari mereka
Sekolah kita adalah alam
Adalah tanah
Adalah air
Adalah pohon
Adalah jagung

Biar kami bersenggama di sini
Menikmati gemulai angin jendela
Tenggelam dalam kubangan bulir-bulir mutiara
Kuning memerah segar
Dan masa indah kami lenyap
Membeku
Dan terkubur bersama bulir-bulir ini

Tegal, Maret 2007

AKU PUN PULANG


Aku pun pulang
Berkendara malam dan deru aspal beku
Pulang menjemput rindu
Pada aroma bunga yang ditanam ibu di depan rumah
Pada bisik pasir yang diramu bapak menjadi istana
Pada lengking yang tersiar dari bibir adik-adikku

Dan aku pulang
Sebab aku hampir lupa
Bagaimana cara melelapkan mata pada kasur busa
Dan malam semakin basah

Sumpyuh, November 2008

AKU MENCINTAIMU DENGAN CARAKU SENDIRI


Apakah harus kau sangsikan lagi cerita tentang kesetiaan rumput kering menanti turunnya hujan? Sedangkan aku dalam ikhtiar menjadi batu sedimen yang bertahan dalam kubur gelap tanah basah menjaga percik api yang mulai berkembang di lembayung cakrawala senja. Sedangkan aku dalam masa menjadi daun hijau kangkung yang tersaji dalam perjamuan makan malam-malammu agar perutmu mengenyang nanti dalam meditasimu ketika hendak menjadi kupu-kupu warna-warni yang berenang mengepakkan sayap di lubuk jiwaku, berputar-putar diantara mekarnya kembang setaman di taman hatiku untuk kau hinggap dan hisap sari-sari pelangi di kelopaknya.

Seperti kau, aku adalah api yang membutuhkan sirkulasi oksigen dan remah-remah ranting kering untuk tetap menyala. Aku adalah cayaha, butuh gelap agar seribu nyawa dapat menatap tanpa harus menjulurkan mata keluar dari rumahnya. Bukan hanya udara yang berjalan di jalur angin, layang-layang juga membutuhkan seimbangnya tali kama dan benang menjulur kuat agar angin kencang mencengkeram hanya membuat oleng sebentar, tidak memutusnya.

Memang, ikan mana yang tak membutuhkan air? Dia tak mungkin menari balet di atas panggung pertunjukkan teater atau meliukkan sirip-sirip tipisnya di negeri atas angin seperti dalam dongeng nina bobo yang selalu diceritakan bunda kepadamu menjemput mimpi setiap purnama atau mencari plankton-plankton mengenyangkan di setiap rinai hujan yang turun semaunya membasahi tanah berpasir halaman rumah kita. Seperti kau membutuhkan aku. Akulah air yang selalu membasahi tubuhmu agar kau leluasa berenang dalam perjalananmu merunuti waktu masa depan.

Apakah harus kau sangsikan lagi cerita tentang senja yang menanti datangnya sang malam? Tak perlu kau tanyakan lagi kepada laut tentang kesetiaan. Laut adalah kreasi paling setia menunggu bermuaranya air dari sungai-sungai segala rupa. Laut selalu setia menerima air segala warna dari sungai-sungai mana saja. Dia tak pernah menolak seperti balita disuapi nasi tim atau bubur kental oleh ibunya. Seperti tanah, dia tidak pernah menolak bila hujan menyiramnya tanpa henti atau ketika tangan-tangan menusia mengeruknya dengan buldoser-buldoser mengerikan. Seperti istri mendapat hadiah kalung mutiara dikala hari ulang tahun ketigapuluhnya oleh suami tercinta, dia tidak pernah menolak. Seperti itulah aku. Akulah laut. Akulah tanah. Selalu setia.

Memang aku bukan Romeo yang mencinta Juliet lebih dalam dari palung di samudera Pasifik. Aku mencintaimu walau mungkin tak sedalam atau tak semati cintamu padaku, namun aku punya rindu yang selalu menggali dan menggali rasa cinta agar bisa mengimbangi dalamnya cintamu padaku atau bahkan melebihi. Maka jangan kau sebagai karang yang keras dengan pertanyaan-pertanyaan tentang kesetiaan atau tentang kepastian. Itu akan membuat tangan-tangan rinduku luka dan menghentikan penggaliannya.

Percayalah, burung-burung, ilalang, laut, tanah, rumput-rumput, lembayung, purnama, air, sungai, bunga, kupu-kupu, daun-daun, dan senja, mereka mencintai dengan caranya sendiri. Seperti aku, aku mencintaimu dengan caraku sendiri

Purwokerto, November 2007

AKU DAN GITAR TUA DALAM SAJAK


Dawai-dawai itu telah putus
Tak lagi ada kini nada merdu tercipta
Lenyap bersama buih-buih mimpi
Tak lagi ada kini melodi rindu terbaca
Melagukan syair-syair kehidupan

Dawai-dawai itu telah putus
Tergantung lunglai dan berdebu
Diam dan terlupakan

Sanggar Sastra Wedang Kendhi, 2005

AKU ADALAH GELAS KACA


Adalah sebuah gelas kaca
Tersulut riak air yang mendidih beku
Retak di ujung rindunya
Dan pecah terhambur di genggaman

Ketika pula cintaku di ujung cahaya
Rasa kangen rasa rindu berkecipak
Dalam bingkai kaca hati
Tak dapat membendung laju
Ribuan voltase magis senyummu
Hatiku pun menjelma gelas kaca

Namun senyum tak selamanya sejuk
Seperti bianglala yang tersurat
Di sudut langit senja
Senyum yang kau suguhkan
Dalam nampan tipis bergincu
Hanyalah sebatas kembang saja
Di sana terbatik untaian duri
Pada guratan tangkainya
Tajam dan perih
Setajam hamburan gelas kaca
Yang jatuh menjemput lantai mengkilap
Melebihi tajamnya puing gelas hatiku
Yang terbang ke pangkuan batu

Sanggar Sastra Wedang Kendhi, Maret 2007

ADALAH GELAP

Adalah gelap yang menjadi selimut istana kita. kita punya nada melengking nyaring. selalu berselancar di lekuk gelombang lidah. merunuti jejak-jejak purba. membungkus semua mimpi kita dalam gelembung-gelembung maya tak bermasa. lalu gelembung-gelembung mimpi kita yang kadang warna-warni berganti baju, berarak ke udara. dan kita akhirnya rela, meski hati mengubur kecewa, ketika jemari-jemari angin menangkap mereka seperti burung nasar memunguti bangkai-bangkai tentara perang salib di Jerusalem. membawanya terbang ke ujung langit, atau ke balik awan, atau di bibir gemintang, atau kemana entah. dan kita tak lagi bisa bermimpi

Adalah gelap yang menjadi selendang rumah kita. kita punya lentera yang pijar sedia kala. selalu menari di rongga mata kaca kita. meliukkan bunga-bunganya pada setiap bercak-bercak musim yang datang dan menghilang. mengemas setiap angan yang beraneka rupa dalam perahu-perahu kertas. lalu perahu-perahu kita tambatkan pada dermaga kecil di tepian sungai waktu di antara ceracau tangkai ilalang. dan akhirnya kita harus ikhlas meski jiwa meneguk anggur air mata, ketika irama-irama air menderu dari ujung gunung memutus jerat-jerat jangkar yang tertancap di dasar sungai. seperti manusia-manusia memanggul mayat Kristus dari bukit Golota, sungai manandu perahu-perahu kita menuruni bukit, ,melintasi muara dan membawa ke laut lepas. kita tak tahu garisan apa yang tertulis dari perahu kita. terus mengembangkan layar dan berlayar kemana entah, atau lambung bocor menghantam karang dan karam. dan kita tak lagi bisa berangan

Kini, adalah gelap yang bersemayam dalam mimpi-mimpi kita. adalah gelap yang meruang dalam angan-angan kita

Memang kita punya lidah yang menjulur setiap saat, seperti katak yang selalu mendongak menangkap pelangi di cakrawala. namun adalah gelap yang membungkam mulut kita. hingga betapapun kita berucap mantra, nada-nada kita tak akan pernah sampai di telinga langit

Memang kita punya mata yang menganga setiap kala, seperti ikan yang selalu tanpa mengerling di kotak purnama. namun adalah gelap yang menutup mata kita seperti Drupadi. hingga betapapun kita menerawang angkasa, larik-larik kita tidak akan pernah bertemu dengan mata angkasa

Memang kita punya telinga yang terpentang setiap detik, seperti apalah entah dimanalah entah. namun adalah gelap yang menyumbat telinga kita. kalaupun nada dapat menelusup ke liang telinga, hanya sumbang dan tak berarti bagi kita

Adalah gelap yang menjadi istana kita. kita lahir dalam gelap di sini. kita hidup dalam gelap di sini. dan kita pun mati dalam gelap di sini

Purwokerto, Agustus 2007

LENCANA



Memetik nafas hijaumu
Dia antara puing-puing wangi bulan sabit
Seperti menyemat lencana matari emas
Di dada tanpa rongga

Berpijarlah!
Nafasmu pijar

Purwokerto, Februari 2008

SENANDUNG KECIL

ah dinda
aku tahu
pasti mala mini ada bunga air yang mekar di mata kacamu
lalu perlahan kelopaknya yang berat gugur helai demi helai
jatuh dan lenyap seketika tak sempat menjadi telaga di kapas-kapas empuk mimpimu

ah dinda
aku tahu
pasti kali ini ada api gelisah yang pijar di kisi-kisi hati beningmu
lalu perlahan merayap dan menelusup dalam daging lewat celah-celah kapiler
pijar dan terus pijar
hingga kau tahu rasa lemah dan lunglai di setiap sendi dan seluruh

ah dinda
malam ini di sini gerimis telah lebat sejak pertengahan hari tadi
dan aku benar-benar terkotak di sini
aku seperti manusia di belantara sunyi
tanpa kabar tanpa mengabar
darimu untukmu

o dinda
aku gelisah segelisah hujan yang memukul atap rumahku
aku gelisah padamu
aku merindu
merindu pagi ayam bersiul dan membawa ketepianmu

dinda
aku tahu
malam ini kau dipukul tanpa kasihan oleh tangan-tangan kasar sang rindu
kau terlempar
kau menggelempar
kau tak sadar

Kebumen, Desember 2007

* Puisi ini pernah dimuat di Koran Seputar Indonesia Minggu, 17 Februari 2007, tapi belum dapat honor sampai sekarang, hee...