19 Desember 2008

SENYUM PARA MALAIKAT


“Hai malaikat-malaikat-Ku, telah Ku jadikan bulan ini sebagai berlian manikam yang paling manikam di seluruh alam ciptaan-Ku. Telah kupersiapkan tak terujung pahala bagi manusia di bumi yang kecil itu, tentu saja bagi mereka, umat Muhammad yang selalu menyerukan nama-Ku dalam setiap lakunya. Telah Ku janjikan seribu bulan bagi mereka yang senantiasa melafazkan asma-Ku di mendekati penghujung Ramadhan ini. Maka, ambillah kantung-kantung pahala di almari itu dan turunlah kalian ke planet biru itu. hampiri mereka yang selalu menyeru nama-Ku!”

Maka seketika para malaikat bergegas menuju sebuah ruangan di salah satu sudut surga firdaus. Di ruang tersebut terdapat almari-almari berwarna nikmat, berjajar membentuk barisan seperti parade. Para malaikat berdiri satu persatu di depan almari tersebut dan membuka pintunya bersamaan. Maka terlihatlah ribuan kantung terbuat dari cahaya surga. Dalam kantung-kantung tersebut terdapat tak terhitung pahala yang bersinar terbuat dari cahaya surga yang paling indah dan utama. Diambilnya seluruh kantung-kantung pahala tersebut dan dimasukkannya ke dalam tas yang sangat besar di pinggangnya.

Setelah itu, mereka segera keluar dari rumah Allah dan menuju pelataran yang sangat luas. Mereka berjajar rapi. Kedua buah sayap yang terkuncup di belakang pundaknya serentak merentang gagah seperti elang dan mengeluarkan cahaya yang nikmat. Sayap yang indah. Bulu-bulunya putih melebihi putihnya kapas atau susu yang diperas dari payudara unta terbaik di jazirah Arab.

Tak selang kemudian, serentak ribuan malaikat terbang melesat ke angkasa raya dari surga yang paling mulia menuju sebuah bola kecil berwarna biru di antara ribuan bintang di salah satu sudut galaksi. Bola kecil itu bernama bumi. Tempat dimana jutaan manusia anak cucu Adam hidup. Terbang membantang sayap. Melesap lepas lebih cepat dari kecepatan cahaya. Begitu cepatnya hingga terlihat seperti larik cahaya tipis yang berkilau menyegarkan mata. Mereka membentuk sebuah formasi indah melebihi lukisan Michael Angelo atau Monet.

Ada kesegaran melebihi embun pagi di setiap wajah mereka. Madu termanis dari sungai di belakang rumah Allah tersulam sempurna di bibir mereka, membentuk sebuah senyuman yang selalu tersemat. Betapa tidak, mereka membawa berjuta pahala yang luar biasa nikmatnya untuk manusia-manusia terpilih di mata tuhan mereka. Pahala yang tercipta dari tangan Allah yang paling suci di bulan yang paling suci dari segala bulan yang ada. Pahala yang hanya ada di bulan Ramadhan. Terlebih lagi mereka turun ke bumi tepat pada malam lailatul qadar. Malam yang paling mulia diantara malam-malam yang ada.

Dari kedua buah bibir yang selalu tersimpul senyum kebanggaan itu terlafadzkan kata-kata takbir, tahmid, dan tahlil menyerukan asma Allah. Mereka berzikir kepada Allah. Seperti itu selalu. Alangkah merdunya, melebihi nyanyian termerdu dari bibir Sirens yang membuat gila Odiseus atau nada-nada yang dilahirkan oleh jari-jari lembut Apollo yang menari di dawai-dawai harpa emasnya.

Tubuh mereka yang gagah, terbungkus pakaian terindah. Di kepala mereka juga terlilit surban dengan warna yang sama dengan pakaian mereka. Pakaian yang dirajut dari benang-benang sutra yang dipetik dari pohon emas putih yang tumbuh di taman surga.
Dan bagi setiap langit yang dilintasi para malikat itu adalah sebuah anugrah yang maha nikmat yang diberikan oleh penciptanya. Setiap benda angkasa di langit tersebut serentak memberikan sambutan dan mengiringi perjalanan para malaikat pembawa kantung-kantung pahala dari surga itu dengan nyanyian termerdu dari bibir mereka. Sama seperti yang dilafadzkan para malaikat itu. Ya, bintang, planet, bulan, meteor, galaksi dan jutaan benda langit lainnya berzikir kepada Allah. Bahkan debu yang mengambang di langit hampa segera berlari agar para malaikat Allah itu dapat terbang di jalan yang bersih dan suci. Dan tak lupa mereka pun ikut berzikir menyerukan asma Allah Subhanahuwataalla.

Laaillahaillalah! Laaillahaillalah! Laaillahaillalah!

Subhanallah! Subhanallah! Subhanallah!

Allahuakbar! Allahuakbar! Allahuakbar!

Ya, seluruh alam mengiringi perjalanan mereka ke alam manusia. Senantiasa berzikir tiada henti seperti rantai yang tak pernah putus dari surga hingga Bumi.
Hingga pada akhirnya, rombongan malaikat suci pembawa pahala yang diberkahi oleh Allah Subhanahuwataala pun masuk ke dalam tata surya matahari. Sebuah tata surya kecil di antara jutaan tata surya yang ada di gugus bintang Bimasakti. Di sini pun demikaian halnya. Matahari, sebagai tuan rumah segera memerintahkan anak-anaknya untuk menyambut kedatangan para malaikat Allah dengan lantunan zikir.

“Assalamualaikum warahmatullahiwabarokatuh.”

“Waalaikum salam warahmatullahiwabarokatuh. Selamat datang wahai para malaikat Allah yang mulia”sahut Matahari beserta isi tata surya.

Tata surya ini adalah tata surya yang paling beruntung diantara tata surya lain. Bagaimana tidak, di tata surya yang kecil ini terdapat sebuah planet berwarna biru bernama bumi yang terdapat air dan udara hingga menjadi sebuah rumah bagi mahluk hidup. Di tata surya inilah mahluk tuhan yang bernama manusia ada dan hidup. Di tata surya ini lahir manusia-manusia pilihan yang di berkahi dan disayangi oleh penciptanya. Di tata surya ini lahir manusia pembawa ajaran tauhid seperti Nuh, Ibrahim, Ismail, Sulaiman, Isa, dan manusia paling mulia di sisi Allah, manusia penyempurna Islam, Muahammad. Di planet bumi inilah Al-Quran hadir. Dan di tata surya inilah pada setiap tahunnya, ribuan malaikat Allah datang membawa jutaan pahala ternikmat dari lemari surga yang paling teridah.

Dari Pluto, Neptunus, Uranus, Saturnus, Jupiter, dan Mars berserta para satelitnya berzikir tiada henti serta memberikan salam teridah bagi para malaikat Allah. Meskipun Matahari, Merkurius, dan Venus tidak dilalui oleh malaikat-malaikat itu, namun mereka tetap bersemangat memberikan sambutan dan doa serta zikir kepada Allah.
Hingga akhirnya mereka pun tiba di planet kecil berwarna biru dan putih tempat dulu pertama kali Adam, manusia pertama di alam raya ini di turunkan dari surga bersama Hawa. Sebelumnya mereka telah disambut terlebih dahulu oleh benda kecil di sebelah Bumi bernama bulan.

Dan Bumilah, benda langit kecil itu yang paling bersemangat dan penuh suka cita menyambut mereka. Dari atmosfer dingin yang paling terluar hingga api yang membara dalam perut bumi yang paling dalam. Tanah, air, pohon, rumput, bunga, gajah, jerapah, sapi, kuda, angsa, burung, ikan, kumbang, cacing, hingga bakteri yang paling terkecil sekalipun tak henti-hentinya berzikir kepada Allah menyambut malaikat-malaikat suci itu.

Sesampai di atmosfer, tanpa perlu dikomando, mereka segera menyabar ke seluruh penjuru dunia. Mereka melesat menuju Makkah, Madinah, Palestina, Kairo, Iran, Suriah, Turki, Afrika Selatan, Nigeria, Indonesia, India, Jepang, Bosnia Herzegovina, Inggris, Spanyol, Jerman, Itali, Austria, Meksiko, Brazil, Argentina, Kuba, hingga Amerika dan Rusia. Setiap negara dimanapun di belahan dunia. Tidak peduli negara itu menganut paham federal, republik, sekuler atau bahkan komunis. Dari kota-kota besar hingga desa-desa kecil Dari tepi laut hingga yang terpencil di atas gunung.
Melesat menuju tempat dimana terdapat manusia yang khusuk shalat, berdoa, dan berzikir melafazkan asma Allah tanpa henti serta berserah diri kepada sesembahannya. Tanpa mengenal lelah dan kantuk.

Dan dialah manusia yang paling beruntung di antara manusia beruntung. Dia yang tiba-tiba diketuk jendelanya oleh para malaikat-malaikat Allah. Dan malaikat-malaikat itu dengan hati berbunga menaburkan kantung-kantung pahala yang diambil dari lemari surga kepada jiwa-jiwa nasuha itu.

Maka dia akan menjelma pengikut Muhammad yang selalu disayangi oleh Allah. Dari wajahnya akan berpendar cahaya sejuk seperti embun yang jatuh dari ujung daun keladi. Dari matanya tumbuh pohon beringin yang memberikan rumah teduh bagi burung-burung gereja. Setiap kata yang terlafaz dari mulutnya menjelma bebunga yang selalu mekar mengharum, nikmat dijaring liang telinga. Bilapun kakinya melangkah, jejak yang tersemat menyublim menjadi padang rumput hijau beroase. dengan air tiada pernah surut barang sekejap. Mengenyangkan dan menyegarkan para pengembara yang melintas.

Akhirnya, para malaikat Allah segera pamit saat bintang fajar mulai pudar. Dan tugaspun usailah mereka pun mengucap pamit kepada untuk kembali menghadap kepada penciptanya. Di sepanjang perjalanan pulang melintasi cakrawala, mulut mereka tak henti mendoakan keselamatan kepada Allah bagi manusia-manusia pilihan itu.
Dan sampailah mereka di rumah masing-masing di surga dengan senyum melati tersemat di bibirnya.

Sanggar Sastra Wedang Kendhi, September 2008

KARYA SASTRA YANG BAIK*


Dalam setiap karya sastra mengandung hal yang baik. Dalam bahasa Sansekerta, sastra atau susastra berasal dari kata su yang berarti baik dan sastra yang berarti ajaran, sehingga dapat diartikan bahwa susastra itu adalah sebuah ajaran yang berisi kebaikan yang ditujukan kepada manusia dengan tujuan kebaikan pula.
Sastra dalam bahasa lain sering kita sebut sebagai literatur. Literatur berasal dari bahasa Latin yaitu litera yang berarti tulisan. Literature dapat diartikan sebagai sesuatu hal yang berkaitan dengan tulisan. Akan tetapi tidak setiap tulisan dapat dikatakan sebagai sebuah karya sastra.

Karya sastra terbagi menjadi beberapa genre atau jenis. Menurut Aristoteles dalam bukunya Poetica, karya sastra berdasar ragam perwujudannya terdiri atas tiga macam, yaitu epic, lyric, dan drama. Epic adalah teks yang sebagian berisi deskripsi (paparan kisah), dan sebagian lainnya berisi ujaran tokoh (cakapan). Epic ini bisa disebut prosa. Dalam perkembangannya, prosa terbagi menjadi beberapa jenis yaitu cerpen, cerkak, novel, roman, novelette, dan cerita bersambung. Lyric adalah ungkapan atau ide pengarang. Dalam hal ini yang berbicara adalah “aku”, yang biasa disebut penyair. Lyric ini yang sekarang disebut puisi atau sajak. Drama adalah karya sastra yang didominasi oleh percakapan para tokoh (Noor, 2005:24).

Dalam perkembangannya karya sastra tidak hanya terbagi menjadi tiga saja. Kritik sastra menjadi genre terakhir dalam karya sastra. Literary has a relationship with the other knowledge (Helcombe: 2007). Karya sastra bukan suatu objek yang netral, melainkan sebuah objek yang eksistensinya terikat pada beberapa variebel. Setiap teks sastra terikat pada pengarang dan pembaca. (Noor: 2005:4). Keterikatan tersebut melahirkan penilaian sastra atau yang sering disebut kritik sastra.

Sedangkan menurut medianya, karya sastra terbagi menjadi dua jenis yaitu sastra ujar dan sastra tulis. Sastra ujar adalah karya sastra yang dalam penyampaiannya menggunakan mulut atau lisan berupa ucapan. Karya sastra ini antara lain berupa dongeng, fable, epos, legenda, sage, mite, dan hikayat. Sedang karya sastra tulis adalah karya sastra yang dalam penyampaiannya menggunakan tulisan. Karya sastra ini antara lain berupa puisi, prosa, dan naskah drama.

Karya sastra yang baik
Lalu karya sastra yang baik itu yang seperti apa? Karya sastra yang baik memiliki berbagai macam aspek di dalamnya yaitu:

1. Hakikat
Apakah sesungguhnya karya sastra itu? Karya sastra adalah karya yang bersifat imajinatif. Karya sastra bersifat fiktif (rekaan). Meskipun karya sastra memiliki bahan (inspirasi) dari dunia nyata namun telah diolah oleh pengarang melalui imajinasinya. Realitas dalam dunia sastra telah ditambah “sesuatu” oleh pengarang sehingga kebenaran karya sastra adalah kebenaran yang dianggap ideal oleh pengarang. Menurut Luxemburg, karya sastra adalah pencerminan masyarakat. Dalam hal ini penggamabaran kenyataan. Akan tetapi karya sastra menciptakan dunianya sendiri yaitu dunia yang lepas dari kenyataan (1984).

Menurut Redyanto Noor, hakikat karya sastra ada tiga, yaitu:
• Karya sastra merupakan struktur dunia rekaan, artinya realitas dalam karya sastra adalah realitas rekaan yang tidak sama dengan realitas dunia nyata.
• Sebagai pencerminan kehidupan tidak berarti karya sastra merupakan gambaran tentang kehidupan, akan tetapi pendapat pengarang tentang keseluruhan kehidupan.
• Karya sastra meskipun bersifat rekaan, tetapi tetap mengacu kepada realitas dalam dunia nyata.

2. Fungsi
Secara keseluruhan, karya sastra mempunyai fungsi seperti yang diungkapkan oleh filsuf Yunani, Horatius, yaitu dulce et utile (menyenangkan dan berguna). Menyenangkan karena karya sastra memberikan kenikmatan, tidak memaksa siapapun; berguna karena mengisyaratkan pada suatu yang pantas diperhatikan secara sungguh-sungguh.

Aristoteles menyatakan bahwa sastra berfungsi catharsis (pencucian emosi), yaitu membebaskan pembaca sekaligus pengarang dari tekanan emosi, batin dan perasaan.
Sastra tidak terlepas dari ilmu-ilmu lain. Sastra adalah salah satu bentuk karya seni. Sebuah karya seni yang baik adalah seni yang sebesar-besarnya bermanfaat untuk masyarakat. Karya seni diciptakan untuk tujuan kepentingan masyarakat agar dapat meningkatkan kehidupan yang lebih baik. Menurut Dr. Yusuf Qardhawi, syarat-syarat sesuatu menjadi karya seni yaitu memberi manfaat, bukannya mendatangkan madharat; membangun, bukan malah merusak (1998:22)

Bahkan Presiden John F. Kennedy mengatakan bahwa jika kekuasaan bengkok maka puisilah yang harus meluruskan. Hal ini menyatakan bahwa puisi sebagai salah satu karya sastra mempunyai peran dalam mempengaruhi seorang pemimpin dalam menjalankan pemerintahan untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang memihak kepada masyarakatnya.

3. Estetika
Estetika adalah bagian dari filsafat seni. Yakni filsafat yang menkaji nilai-nilai berkaitan dengan keindahan. Selain unsur imajinatif, unsure keindahan memiliki peran penting dalam penciptaan karya sastra. Karya sastra yang baik mempunyai nilai estetika yang tinggi.

Menurut Thomas Aquinas, keindahan memiliki syarat yaitu:
• Memiliki keutuhan (kesempurnaan).
• Memilki keselarasan (keseimbangan) bentuk.
• Memiliki sinar kejelasan.

Berdasar tiga syarat tersebut dapat disimpulkan bahwa apapun yang memberi kita rasa puas itu indah. Hal ini menjadi fitrah manusia yaitu menyukai hal-hal yang indah (Qardhawi 1998:10).

Keindahan dalam karya sastra dapat dilihat dari segi-segi intrinsik yang terkandung dalam karya tersebut.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa karya sastra yang baik itu mempunyai unsur hakikat, fungsi dan estetika. Apabila dalam sebuah karya sastra tidak ada salah satu atau semua dari unsur tersebut, maka karya saatra tersebut tidak dapat disebut sebagai karya sastra yang baik. Demikian.

* Makalah disampaikan dalam Workshop Penulisan Karya Sastra pada Workshop Anggota Baru Teater DIDIK bertempat di STAIN Purwokerto pada tanggal 3 Desember 2008.


Referensi
Eneste, Pamusuk, 1993. Proses Kreatif I & II. Jakarta: Gramedia.
Helcombe, C. John. 2007. Types of Literary Critism. Posted in . http://www.assumption.edu/users/ady/HHGateway/ Gateway/Approaches.html.
Luxemburg, Jan van, Mieke Bal & Willem G. Weststeijn. 1984. Pengantar Ilmu Sastra (diidonesiakan Dick hartoko). Jakarta: PT. Gramedia.
Noor, Redyanto. 2005. Pengkajian Sastra. Semarang: Fasindo.
Qardhawi, DR. Yusuf. 1998. Islam Bicara Seni. Solo: Era Media.

Kita Lagi Diksar Mapatra di Gunung Slamet Ya Nda?

Lagi Istirahat Pas Seminar Pariwisata di LPM

Ini Baru Ayah Nda

Buka Puasa di Ichi Bento

09 Desember 2008

Sebenarnya Berita Tahun Lalu

Ada yang terlupa. Tahun lalu pada tanggal 9 Nivember 2007, secara tidak sengaja saya menulis namaku di mesin pencari Google. Ternyata cerpenku dimuat di Batam Pos (wah jauhnya, saking jauhnya honornya belum sampai hingga sekarang, hiks hiks...). Ternyata juga, cerpen ini diposting ke Sriti.com. Cerpen tersebut adalah berikut ini

MBAH JOYO

“Dulu ketika mbah masih manjadi pejuang mbah ditempatkan di baris depan. Mbah dulu berjuang di bawah pimpinan Jenderal Soedirman. Kalian tahu siapa Jenderal Soedirman.” Tanya Mbah Joyo.
“Tahu mbah. Dia kan yang berjuang dengan cara perang gerilya,” jawabku.
“Kamu benar, cah,” dia memanggilku dengan sebutan cah, meskipun aku bukan bocah lagi. Saat ini aku duduk di bangku SMP kelas tiga. “Dia adalah sosok yang paling mbah banggakan. Orangnya gagah dan penuh dengan wibawa. Dia sangat kharismatik. Tentara Belanda dulu keder saat mendengar namanya,” lanjutnya.
“Terus mbah?”
“Mbah dulu salah satu pasukan kepercayaanya. Mbah ingat saat kami berada di hutan. Berhari-hari kami berjalan menembus hutan yang gelap. Secara bergantian kami memanggul Pak Dirman dengan tandu. Sungguh berat waktu itu cah, apa lagi jika hujan turun. Hati kami menjadi galau. Bagaimana tidak, kami harus memutuskan diantara dua pilihan. Melanjutkan perjalanan atau berhenti dan menunggu hingga hujan reda. Jika berhenti dan menunggu hujan reda, maka perjalanan kami akan semakin lama sedangkan jarak yang harus kami tempuh masih sangat jauh. Jika meneruskan perjalanan, kami kasihan terhadap Pak Dirman. Sedangkan tandu yang dinaikinya tidak seperti pertama kali kami membuatnya. Kain penutup atapnya sudah sobek di sana sini. Hujan yang deras dengan merembes dan menetesi tubuh Pak Dirman. Kami kasihan kepadanya, tubuhnya semakin lemas, apalagi dengan penyakit yang menggerogoti tubuhnya,” dia berhenti sejenak mengambil nafas.
“Di tengah kebingungan seperti itu, tiba-tiba Pak Dirman berkata untuk melanjutkan perjalanan. Luar biasa dia, dengan keadaan seperti itu semangat cinta terhadap tanah air tidak padam, malahan bertambah dan menggebu-gebu. Mendengar instruksi itu kami pun bertambah semangat dan melanjutkan perjalanan. Dengan semangat membara kami berjalan menembus hujan. Udara yang dingin tidak terasa sama ssekali karena sudah terbakar oleh semangat kami. Kami tidak peduli meskipun jalan licin dan becek. Meskipun kaki kami digerayangi dan dihisap darahnya oleh pacet. Kami terus berjalan.”
“Lalu apa yang terjadi mbah?” tanyaku penasaran. Dia tersenyum lebar.
“Sebentar,” jawabnya.
Tangannya meraih cangkir yang terbuat dari seng di depannya dan menyeruput isinya. Setelah meletakkannya kembali di atas meja kayu yang lapuk itu, kini gantian rokok kretek berlabel merah itu diambilnya. Lalu diraih korek api di sebelahnya. Dinyalakannya rokok itu. Dihisap dalam-dalam, tak berapa lama kemudian disemburkannya asap dari mulutnya. Hidungnya naik turun. Tiba-tiba dia terbatuk-batuk. Dadanya yang telanjang terlihat kembang kempis. Tubuhnya yang kurus gemetar.
Setelah batuknya berhenti dia melanjutkan ceritanya. “Kami berhenti sejenak untuk beristirahat dan membuka perbekalan kami. Kami makan sedikit sekali karena perbekalan sudah semakin menipis. Kami mengusahakan agar tetap waspada. Memang tentara sekutu tidak ada, namun di dalam hutan apa saja bisa terjadi. Siapa tahu kami diterkam binatang buas tiba-tiba atau diseruduk oleh celeng. Lalu kami melanjutkan perjalanan.” dia berhenti sejenak. Dihisapnya rokok di jari tangannya kembali. Lalu disemburkan asapnya ke arah langit. Aku masih antusias memperhatikannya dan mendengarkan ceritanya hingga selesai.
“Setelah lebih dari dua minggu kami berada di hutan, akhirnya kami sampai juga di sebuah perkampungan. Kami disambut dengan hangat oleh warga. Kami beristirahat di kampung itu untuk mengembalikan tenaga. Kami menginap di rumah kepala desa selama dua hari. Setelah merasa tenaga kami pulih, kami pun melanjutkan perjalanan. Kami memperoleh bekal yang cukup dari warga.”
“Begitu ya mbah?” kataku.
“Ya begitulah, mbah rasa segitu dulu mbah cerita. Sudah sore, sebaiknya kamu pulang, nanti mbok dicari sama ibumu. Besok kalau kamu ke sini lagi, mbah akan ceritakan banyak lagi.”
“Ya mbah, terima kasih ya mbah, saya pulang dulu. Assalamu'alaikum.”
“Wa'alaikum salam.”
Aku bangkit dari tempat duduk dan bersalaman dengan Mbah Joyo sambil mencium punggung tangannya yang sudah keriput. Lalu kulangkahkan kaki meninggalkannya. Sesekali aku menoleh ke belakang melihatnya. Di masih duduk di bangku kayu yang hampir ambruk. Pandangannya tertuju padaku memperhatikan setiap langkahku.
***
Mbah Joyo adalah salah satu orang tua yang tinggal di desa kami. Dia tinggal sendirian di rumahnya yang reot. Dia tidak memiliki anak. Dia ditinggalkan istri tercintanya sekitar lima puluh tahun yang lalu. Istrinya yang sedang hamil terpeleset di sungai saat hendak mengambil air. Akhirnya nyawa istrinya tak tertolong dan meninggal. Nama lengkapnya adalah Sastrowijoyo. Aku memanggilnya Mbah Joyo. Rumahnya tak jauh dari rumahku. Jika ditempuh dengan jalan kaki maka membutuhkan waktu sekitar lima menit.
Kini di usia senjanya dia hidup sebatang kara. Rumahnya dari gedg yang sudah terlihat reot. Jika masuk ke dalam maka tak perlu melepas alas kaki karena lantainya masih berupa tanah, bukan lantai cor atau tegel. Di ruang tamu ada satu set kursi tamu dengan mejanya yang usianya kurang lebih sama dengan usiaku.
Di tiang penyangga rumahnya yang terbuat dari kayu gluglu tergantung sebuah foto yang sudah menguning sebesar amplop. Potret dirinya waktu masih muda dulu. Dia nampak gagah dan tampan. Dia mengenakan baju tentara lengkap dengan topinya. Di lehernya melingkar slayer berwarna merah putih. Tangannya memegang senapan. Hanya foto itu yang menjadi hiasan di rumahnya selebihnya tak ada. Tak ada kaligrafi atau lukisan bunga.
***
Hari ini adalah hari Jumat tanggal 10 November. Seperti tahun-tahun yang lalu, pada tanggal itu, sekolah kami selalu mengadakan upacara bendera memperingati hari pahlawan. Aku berdiri di depan sendiri bertugas sebagai pemimpin upacara. aku melaksanakan kewajibanku sebagai pemimpin upacara dengan tanggung jawab.
Saat mendengarkan sambutan dari pembina upacara aku mendengarkannya dengan penuh hikmat. Pembina upacara memberikan wajangan tentang kepahlawanan.
“Anak-anakku, bangsa ini tidak akan seperti ini sekarang tanpa pahlawan-pahlawan kita yang telah gugur mendahului kita. Jasanya sangatlah besar terhadap negeri ini. Mereka rela mengorbankan harta, dan benda, bahkan nyawanya demi kemerdekaan dan mengusir para penjajah. Untuk itu, kita sebagai generasi muda, berkewajiban untuk menghargai perjuangan mereka. Kita tidak harus berperang mengangkat senjata seperti mereka, namun kita bangun negara kita tercinta dengan kemampuan kita.”
Saat mengheningkan cipta untuk mendoakan arwah para pahlawan, tiba-tiba aku ingat Mbah Joyo. Ya, apa jadinya negeri ini tanpa orang-orang seperti Mbah Joyo. Tetapi, meskipun negara ini sudah merdeka, Mbah Joyo seakan belum bisa menikmati hasil perjuangannya mengangkat senjata dulu. Sekarangpun dia harus masih berjuang untuk dapat hidup. Dia masih berjuang demi mendapat sesuap nasi untuk menyambung hidup. Tak ada orang yang bersimpati kepadanya. Jangankan untuk membantu perekonomiannya, untuk sekedar datang berkunjung dan mendengarkan dirinya berceritapun tidak. Seolah-olah tidak ada penghargaan sama sekali kepadanya. Apakah masyarakat hanya memberikan penghargaan kepada mereka yang gugur saja, sedangkan yang masih hidup dibiarkan begitu saja? Apakah pemerintah juga demikian? Pikirku.
Dalam hati aku berjanji terhadap para pahlawan, juga Mbah Joyo. Akan kuteruskan perjuangan mereka dengan membangun negara ini semampuku. Tiba-tiba mataku terasa berat dan tak terasa air mataku meleleh membasahi pipiku.